Sorotan   2022/04/05 22:31 WIB

Harga Pertamax Naik, Solar Langka dan Pertalite Diburu, 'Warga Makin Tertekan Antre Berjam-jam'

Harga Pertamax Naik, Solar Langka dan Pertalite Diburu, 'Warga Makin Tertekan Antre Berjam-jam'

"Imbas daya beli masyarakat, semua harga naik berbarengan, sudah susah jadi makin susah masyarakat makin disusahi"

enaikan harga Pertamax semakin memberatkan masyarakat. Harga Pertamax naik, solar langka dan Pertalite diburu, warga makin tertekan antre berjam-jam di tengah daya beli yang telah tertekan akibat kenaikan harga bahan pokok hingga pajak pertambahan nilai (PPn) yang terjadi berbarengan, kata Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto.

Kenaikan harga Pertamax berlaku mulai Jumat (01/04) dari Rp9.000-Rp9.400 per liter menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter. Di media sosial, sejumlah warganet mengeluhkan kenaikan tersebut. Beberapa di antaranya berencana beralih menggunakan Pertalite mengingat harganya disubsidi, sehingga tetap pada Rp7.650 per liter.

Sementara itu, sejumlah pengguna media sosial lainnya mengaku mulai kesulitan mencari Pertalite di sejumlah SPBU sejak harga Pertamax diberitakan naik.

INDEF mengatakan meski harga Pertalite stagnan karena disubsidi oleh pemerintah, namun implikasi dari kenaikan harga Pertamax akan tetap terasa.

Eko memprediksi kenaikan harga Pertamax akan menyebabkan sebagian masyarakat beralih menggunakan Pertalite yang selisih harganya berkisar Rp3.500-Rp3.600 per liter.

Eko mengatakan "tidak semua masyarakat mampu menanggung selisih harga tersebut" di tengah kenaikan harga bahan pokok, juga kenaikan PPn yang berimbas pada harga token listrik hingga pulsa.

"Akhirnya perburuan terhadap Pertalite dimana-mana, kalau itu langka mau enggak mau kan masyarakat tetap konsumsi Pertamax juga. Implikasinya tentu daya beli masyarakat yang makin tertekan," kata Eko Listyanto seperti dirilis BBC News Indonesia.

Di sisi lain, pejabat sementara Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan kenaikan harga Pertamax "tidak terhindarkan" karena kenaikan harga minyak dunia.

Kenaikan harga saat ini pun, kata Irto masih mempertimbangkan daya beli masyarakat dan sebetulnya masih di bawah harga sebenarnya yang seharusnya bisa mencapai Rp16.000.

'Kalau Pertalite jadi langka, kami yang kena imbasnya'

Seorang pengguna ojek online bernama Taufik, 45, mengaku harus mengantre selama 20 menit pada Jumat (01/04) ketika hendak membeli Pertalite di salah satu SPBU di wilayah Jakarta Barat. Sementara itu, tidak ada antrean pembelian Pertamax.

Taufik mengandalkan Pertalite untuk beroperasi sebagai pengemudi ojek karena harganya yang lebih murah. Biasanya, Taufik tak pernah sampai harus mengantre untuk mendapatkan Pertalite.

"Kalau orang-orang pindah ke Pertalite terus jadi langka, kami yang kena imbasnya. Mana mungkin kami bisa pakai Pertamax, enggak nutup (modal)," kata Taufik.

"Ngantre seperti tadi juga sudah menyusahkan karena waktu kami terbuang, apalagi pas lagi ada order (pesanan), enggak semua pelanggan mau nunggu," lanjut dia.

Sementara itu, pengemudi ojek online lainnya bernama Masta Wijaya, 43, mengatakan biasanya dia akan mengisi bahan bakar motornya dengan Pertamax setidaknya satu kali dalam sepekan "demi menjaga kualitas mesin motor".

Sedangkan di hari lainnya, Masta biasanya menggunakan Pertalite yang harganya lebih ekonomis.

Kenaikan harga ini membuat Masta berpikir ulang untuk masih menggunakan Pertamax, meski hanya satu kali dalam sepekan. Apalagi kenaikannya berbarengan dengan kenaikan harga bahan pangan dan PPn yang bagi dia sudah cukup memberatkan.

"Kemarin minyak goreng naik, sekarang pajak sama Pertamax juga naik. Semuanya naik berbarengan, sudah susah jadi makin susah. Mau enggak mau saya harus kerja lebih keras, narik dari pagi sampai malam," tutur Masta.

Saat ini, Masta bahkan sampai harus bekerja mencari pelanggan ojek online dari empat aplikasi sekaligus demi mencukupi kebutuhan keluarganya.

Sementara itu, seorang warga di Bekasi, Ika Defianti, 30, mengatakan akan tetap menggunakan Pertamax meski harganya naik. Tetapi, Ika mengatakan hal itu tentu akan menguras pos anggarannya yang semestinya bisa digunakan untuk kebutuhan lain.

"Mau gimana lagi, sudah kebiasaan pakai Pertamax karena lebih bagus juga buat mesin."

"Uang jajan sudah pasti berkurang karena ini, kalau biasanya isi Pertamax full itu Rp30 ribu, sekarang bisa sampai Rp40 ribu. Paling siasatnya akan lebih banyak pakai transportasi publik," kata Ika.

Apa yang menyebabkan harga Pertamax naik?

PT Pertamina Patra Niaga mengatakan kenaikan Pertamax dipicu oleh harga minyak dunia yang melambung, sehingga mendorong harga minyak mentah Indonesia pun mencapai mencapai US$114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24 Maret 2022.

Kondisi itu dapat menekan keuangan Pertamina, sehingga penyesuaian harga BBM non-subsidi tidak terelakkan. Konsumsi Pertamax sendiri hanya berkisar 14%, jauh lebih kecil apabila dibandingkan konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 83%.

Irto mengatakan kenaikan harga Pertamax yang ditetapkan saat ini pun masih lebih rendah dibandingkan harga seharusnya yang bisa mencapai Rp16.000 per liter.

"Pertamina mempertimbangkan daya beli masyarakat, harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Ini pun baru dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak 2019," jelas Irto melalui pesan tertulis.

Terkait keluhan masyarakat mengenai kelangkaan Pertalite, Irto mengklaim hal itu hanya terjadi di beberapa SPBU.

"Memang ini sedang kita monitor. Secara stok Pertalite kita aman dan kita salurkan ke SPBU sesuai kebutuhan," kata dia.

Kemampuan belanja masyarakat menurun

Ekonom INDEF, Eko Listyanto mengatakan kenaikan harga Pertamax "cukup vital" karena momentumnya berbarengan dengan kenaikan harga pangan dan PPn.

Situasi ini yang dianggap cukup memukul masyarakat, meski pengguna Pertamax biasanya merupakan kalangan menengah.

Oleh sebab itu, Eko meminta Pertamina mengantisipasi efek domino yang ditimbulkan dari kenaikan harga Pertamax, yakni langkanya Pertalite.

Apabila kelangkaan Pertalite tidak bisa dicegah, maka dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan semakin terasa.

"Yang mengkonsumsi ini kan banyak juga kelas menengah yang rentan turun kelas ke bawah, jadi mungkin akan banyak shifting terjadi. Pertamina harus memastikan stoknya tersedia, supaya tidak ada demo-demo, meskipun ini hanya satu aspek energi tapi ini vital," jelas Eko.

Di sisi lain, Eko memahami bahwa kenaikan harga Pertamax tidak bisa dihindari, apalagi menjelang mudik Lebaran di mana mobilitas masyarakat meningkat dan pasokan bahan bakar harus tetap terjaga.

Ketersediaan pasokan BBM justru terancam terkendala apabila penyesuaian harga tidak segera dilakukan.

Namun dia menyayangkan pemerintah tidak menunda kebijakan lainnya, seperti kenaikan PPn, di tengah situasi yang memberatkan masyarakat ini.

"Setidaknya PPn ditunda karena itu yang bisa sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Tidak ada mafia, tidak ada faktor global seperti pada harga minyak, hanya setoran pajak yang kurang," ujar dia.

"Kalau PPn tetap naik memang APBN akan bertambah, tapi di sisi lain kemampuan belanja masyarakat berkurang karena banyak harga yang naik. Ini jadi saling meniadakan. Dengan semua kenaikan ini masyarakat tidak akan jor-joran belanja," kata Eko.

Solar langka, warga antre berjam-jam

Kelangkaan solar yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dikhawatirkan berdampak pada kenaikan harga barang dan bahan pokok menjelang bulan Ramadan karena terhambatnya distribusi logistik.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengatakan sejauh ini keterlambatan pengiriman barang telah terjadi di wilayah Sumatra dan dikhawatirkan bisa merembet ke wilayah lainnya, termasuk Pulau Jawa.

Keterlambatan itu terjadi karena kendaraan pengangkut logistik harus mengantre berjam-jam bahkan hingga berhari-hari untuk mendapatkan solar bersubsidi. Sementara itu, kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan biasanya meningkat.

"Jangan sampai terjadi kelangkaan, distribusi lambat, kelangkaan bahan pokok, sehingga terjadi disparitas harga barang lagi nanti," kata Mahendra.

"Ini krusial, waktu tinggal tiga hari lagi menjelang Ramadan. Kalau enggak ada barang (masyarakat) teriak-teriak lagi, bahaya," lanjut dia.

Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan kelangkaan terjadi karena kuota solar bersubsidi pada 2022 sebesar 15,1 juta kiloliter, lebih kecil dibanding tahun lalu, sedangkan kebutuhan meningkat akibat perekonomian yang kembali mulai pulih dan ada dugaan penyelewengan di lapangan.

Padahal, Pertamina telah mendistribusikan solar bersubsidi hingga melebihi 10% dari kuota bulanan yang ditetapkan pemerintah.

Untuk mengatasi kelangkaan itu, Pertamina akan tetap mendistribusikan ke daerah-daerah yang membutuhkan, meski penyalurannya sudah melebihi kuota yang semestinya ditetapkan oleh pemerintah.

"Secara aturan kami tidak boleh overkuota, tapi mempertimbangkan peningkatan mobilitas dan logistik bagi masyarakat apalagi menjelang Ramadan dan Idul Fitri maka kita menaikkan (suplai)," kata Nicke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada Selasa (29/03) kemarin.

Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah angkutan yang menggunakan solar di Indonesia, tetapi asosiasi logistik menyatakan mayoritas kendaraan logistik dan bus memanfaatkan solar bersubsidi.

Data BPH Migas menunjukkan realisasi konsumsi solar di Indonesia kembali meningkat, setelah sempat menurun pada 2020 lalu begitu terhentinya aktivitas ekonomi akibat pandemi.

Sementara itu, pengamat dari Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan berapa pun kuota solar subsidi ditambah tidak akan cukup apabila penindakan terhadap penyelewengan solar bersubsidi di lapangan masih lemah.

Di sejumlah daerah, termasuk Aceh, kelangkaan terlihat dari antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar minyak.

Seorang sopir bus bernama Lifandi, 26, mengatakan berkeliling ke sejumlah SPBU di Banda Aceh pada Selasa pagi (29/03) untuk mencari stok solar.

"Saya antre sejak dari tadi pagi. Di Banda Aceh hampir semua SPBU antre enggak ada solar, di SPBU ini pun kalau masih ada," kata Lifandi.

Lifandi tidak tahu harus berapa lama dia mengantre pada saat itu. Sehari sebelumnya, dia juga telah mengantre selama enam jam demi mendapat solar.

Lamanya waktu antre membuat jadwal keberangkatan bus yang ia kemudikan pun terganggu.

"Apalagi kami bawa orang, harus sampai jam 12 tapi enggak sampai target, akhirnya orang enggak puas kan," ujar dia.

Lifandi meminta pemerintah segera mengatasi persoalan ini, sebab kelangkaan solar yang berlangsung lama dikhawatirkan akan berdampak pada penghasilannya.

"Jangan buat masyarakat menderita begini, sudah susah makin disusahi, kami cari uang, sehari enggak cari uang mau makan apa?" tutur Lifandi.

Antrean solar di SPBU tidak hanya terjadi di Aceh, namun juga di sejumlah wilayah lainnya seperti Riau, Jambi, Bengkulu, serta Sumatra Barat.

Selain itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo,) Gemilang Tarigan mengatakan antrean solar juga terjadi di Kalimantan, bahkan di sejumlah titik di Pulau Jawa.

"Di tol Jakarta-Merak itu kan sudah dibatasi, sopir teriak-teriak, tapi mereka mengisi (BBM) dibatasi. Di daerah juga sudah banyak teman-teman teriak, sudah langka, antre terus sepanjang hari," ujar Gemilang.

Apa yang menyebabkan solar langka?

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Erika Retnowati, dalam rapat dengan DPR pada Selasa (29/03) memaparkan ada sejumlah faktor yang memicu kelangkaan solar di sejumlah daerah.

Salah satunya adalah meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat pada kuartal pertama 2022, karena situasi pandemi yang kian membaik.

Sektor industri dan konsumsi kembali bergerak, sehingga arus barang pun turut meningkat, katanya.

Penyebab lainnya adalah selisih harga yang jauh antara solar bersubsidi dan nonsubsidi.

Solar bersubsidi dijual ke masyarakat dengan harga Rp5.500 per liter, sedangkan solar nonsubsidi yang paling murah dijual senilai Rp13.300.

Selisih harga itu membuat pengguna solar nonsubsidi beralih menggunakan solar bersubsidi. Selain itu, BPH Migas juga menemukan adanya penyalahgunaan solat bersubsidi.

"Di beberapa tempat kami menemukan ada penimbunan hingga pengoplosan solar ini," kata Erika.

Pada pertengahan Maret lalu, ditemukan pelaku solar oplosan dengan barang bukti sebanyak 108 ton di Sumatra Selatan.

Erika juga mengatakan banyak truk tambang dan perekebunan ikut mengantre di SPBU untuk mendapatkan solar bersubsidi.

Padahal, truk tambang dan perkebunan seharusnya tidak termasuk dalam kategori penerima solar bersubsidi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Bagaimana dampaknya bagi masyarakat?

Mahendra Rianto dari Aliansi Logistik Indonesia (ALI) mengatakan kelangkaan barang dan bahan pokok berpotensi terjadi, apabila pemerintah tidak segera mengatasi persoalan ini di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat menjelang bulan Ramadan.

"Kita menghadapi Ramadan ini, rantai pasokan setiap produk dan barang-barang yang dikonsumsi meningkat, sehingga seluruh produsen akan mengejar produksi dua minggu sebelum sampai dua minggu pertama Ramadan," kata Mahendra.

Peningkatan kebutuhan itu, lanjut dia, harus disambut dengan kelancaran distribusi agar harga barang dan kebutuhan pokok tidak meningkat.

"Kalau tidak terjadi pengiriman akibat BBM terlambat, akan terjadi kekurangan di area distribusi.

"Kalau pun ada sedikit tapi yang minta banyak, naik harganya. Padahal sebetulnya produksinya ada, kalau ini terjadi maka bisa memicu kelangkaan," ujar dia.

Sejauh ini, Mahendra mengatakan para pengusaha logistik berupaya mengatasi kelangkaan solar di wilayah Sumatra dengan menyetoknya dari wilayah Jabodetabek menggunakan jerigen.

Dia mengaku tidak ada jalan lain, sebab apabila mengantre akan memakan waktu hingga satu hari dan menyebabkan pengiriman barang terlambat.

Pengusaha juga enggan apabila harus beralih menggunakan solar nonsubsidi, sebab mereka keberatan dengan selisih biaya yang tinggi.

Sedangkan Ketua Organisasi Angkutan Darat DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan memperingatkan apabila kelangkaan solar bertahan hingga Lebaran, maka menyebabkan angkutan mudik sulit beroperasi atau tetap beroperasi dengan harga tiket yang lebih mahal akibat barus menggunakan solar nonsubsidi.

"Angkutan mudik bisa terganggu, kalau sampai lebaran suplai solar terganggu. Ini kan implikasinya armada kita banyak yang enggak bisa jalan dan akan menimbulkan gejolak sosial buat masyarakat," ujar Shafruhan.

Apa solusi pemerintah?

Pertamina telah mengusulkan agar BPH Migas menambah kuota solar bersubsidi menjadi 17 juta kiloliter pada tahun ini dari yang telah ditetapkan sebelumnya sebesar 15,1 juta kiloliter.

Desakan itu juga disampaikan oleh Komisi VII DPR RI dalam rapat yang digelar pada Selasa (29/03), demi menjaga pasokan hingga akhir tahun sekaligus mempertimbangkan kelangkaan di sejumlah daerah yang terjadi saat ini.

Tetapi hingga Selasa malam, BPH Migas belum memutuskan terkait permintaan tersebut.

Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas Patuan Alfons Simanjuntak belum bisa berkomentar karena sedang sakit.

Untuk sementara ini, Nicke mengatakan Pertamina akan menerapkan distribusi silang, dari daerah yang tidak ada kelangkaan ke daerah yang membutuhkan kuota lebih.

"Kami juga akan mengendalikannya bersama BPH Migas, melibatkan aparat penegakan hukum untuk memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran," ujar Nicke.

Tetapi, Pertamina juga mendesak agar pemerintah menerbitkan aturan turunan dari Perpres 191/2014, yang mengatur secara lebih rinci siapa saja yang berhak mendapatkan solar bersubsidi.

"Kalau ada aturan yang lebih detil lagi, ini menjadi dasar bagi penegakan hukum di lapangan," tutur Nicke.

Pengamat dari Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan penindakan hukum terhadap penyelewengan solar bersubsidi —yang akhirnya menimbulkan kelangkaan—selama ini memang belum berjalan baik.

Tidak ada sanksi yang bisa dikenakan apabila pihak-pihak yang tidak berhak —seperti truk perkebunan dan pertambangan—ternyata menggunakan solar bersubsidi.

Menurut Mamit, penindakan baru mungkin dilakukan apabila terjadi tindakan-tindakan seperti penimbunan.

"Dalam Perpres itu hanya mengatur kendaraan yang bisa dapat subsidi hanya yang maksimal roda 6, terus juga dibatasi pembeliannya untuk kendaraan pribadi 30 liter, untuk truk itu hanya 60 liter. Tapi sanksinya sama sekali tidak ada," kata Mamit.

Oleh sebab itu, dia menyarankan agar BPH Migas maupun aparat keamanan betul-betul mengawasi jalur distribusi agar tidak ada penyelewengan apalagi penimbuna.

Tanpa pengawasan dan penindakan yang tegas, kata Mamit, seberapa banyak pun kuota solar bersubsidi ditambah, tidak akan pernah mencukupi. (*)

Tags : Minyak gas, Ekonomi, Transportasi, Ekonomi, Energi, Indonesia ,