Headline Sorotan   2021/12/23 13:31 WIB

Jalan Panjang Mengakui Rumah Orang Rimba, yang 'Kini Mereka Mulai Mengenal Tuhan'

Jalan Panjang Mengakui Rumah Orang Rimba, yang 'Kini Mereka Mulai Mengenal Tuhan'
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas membawa masyarakat adat dialog munculkan tawaran pemerintah untuk membangun rumah di luar hutan. (Foto. Setkab)

"Orang Rimba atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam memiliki kepercayaan dan cara hidup nomaden tetapi tidak diakui negara"

eperti orang Rimba atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam cara hidup mereka yang nomaden, hutan mereka dihabisi untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Di sebuah rumah panggung, sekelompok anak berbaju putih duduk di lantai yang terbuat dari kayu. Dengan kompak, mereka melantunkan syair "Cinta Islam, Cinta Islam, sampai saya mati" dan memekikkan kalimat "Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah".

Dari luar rumah, seorang ibu berteriak memanggil putranya. Dia menyuruh si bocah untuk memakai baju dan bergabung dengan teman-temannya yang menyanyi. Kecuali tali ketapel yang digunakan untuk berburu burung, si bocah bertelanjang bulat. 

Beberapa bulan lalu sebanyak 58 keluarga dari Suku Celitai pindah agama untuk memeluk Islam.

Mereka dijemput menggunakan bus menuju ke Kota Jambi dan diberikan baju, sajadah, dan kerudung bagi kaum perempuan. Front Pembela Islam atau FPI memfasilitasi proses tersebut. 

Sebelumnya percaya pada roh-roh

"Ini adalah proses, tidak terjadi hanya dalam semalam," kata Ustad Reyhan dari kelompok Islam, Hidayatullah.

"Kini kami berfokus pada anak-anak, lebih mudah bagi mereka untuk berpindah agama. Pikiran mereka tidak dipenuhi banyak hal. Tapi, yang susah adalah orang-orang dewasa."

"Tapi mereka tidak ada di sini selamanya. Seberapa panjang sih umur manusia? Maksimal 60 atau 70 tahun," ujarnya dengan ceria.

"Sebelum berpindah ke Islam, mereka percaya pada roh-roh, dewa dan dewi, tapi bukan Allah Yang Maha Esa. Mereka tidak tahu pencipta kita. Ketika seseorang meninggal dunia, mereka tidak menguburkannya. Mereka hanya meninggalkan jenazah di hutan. Kini hidup mereka punya makna dan tujuan," papar Ustad Reyhan.

Tapi, apakah sebelumnya hidup mereka tidak punya tujuan?

"Bagaimana mereka punya tujuan, mereka hidup di hutan. Mereka hanya menjalani hari demi hari, momen demi momen. Saat mereka meninggal, mereka meninggal begitu saja. Tapi kini mereka punya agama, mereka tahu ada akhirat."

Kebutuhan bertahan hidup

Namun, kepala desa Orang Rimba, Muhammad Yusuf, atau dulu dikenal dengan nama Yuguk, tidak memikirkan akhirat saat memutuskan memeluk agama Islam. Keputusannya lebih didasari oleh kebutuhan bertahan hidup.

"Keputusannya saat itu sangat berat dan sulit, namun kami merasa tidak punya pilihan jika kami ingin maju," ujarnya, bisik-bisik.

"Ini kami lakukan agar anak-anak kami punya kesempatan yang sama seperti orang luar, orang terang. Kami tidak punya pilihan lain, tiada jalan lagi, kami semua harus berpindah ke Islam."

Orang Rimba menjuluki masyarakat luar sebagai 'orang terang' karena hidup di ruang terbuka, bukan di bawah pepohonan rimbun seperti mereka.

Populasi Orang Rimba sendiri tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sebanyak 3.000 Orang Rimba hidup di Provinsi Jambi.

"Jika ibu dulu datang ke sini, ibu akan melihat hutan kami yang elok dengan pohon-pohon besar," kata Yusuf. 

Sembari berbincang, kami menyusuri sisa-sisa hutan Orang Rimba. Pada satu sisi, tumpukan pohon yang telah dibakar dan berubah menjadi abu putih, sedang sisi lainnya barisan pohon kelapa sawit yang berjajar rapi. Ketiadaan bunyi-bunyian satwa, entah itu burung atau kawanan monyet, terasa begitu janggal.

"Semuanya habis, terjadi hanya dalam beberapa tahun terakhir. Perkebunan sawit muncul dan kemudian hutan mulai terbakar."

Yusuf menceritakan kebakaran dua tahun lalu yang melalap hutan dan kawasan gambut seluas 21.000 kilometer persegi—setara dengan 30 kali luas Singapura.

Sebanyak setengah juta orang terdampak asap beracun dari kebakaran dan puluhan orang meninggal dunia akibat penyakit menyangkut pernapasan.

"Saya takut, kami semua merasa sangat ngeri pada api dan asap di sekeliling kami."

Dalam kunjungannya bertemu dengan Orang Rimba, Presiden Jokowi memberikan Kartu Indonesia Sehat dan bantuan makanan. (Foto. Setkab)

Guna menghindari api, dia dan sebagian besar anggota sukunya kabur ke desa terdekat. Lainnya lari jauh ke dalam hutan di taman nasional. Di desa tempat mereka berlindung itulah, proses masuk agama Islam dimulai.

"Setelah beberapa lama, kami ingin mengirim anak-anak kami ke sekolah, tapi guru di sekolah ingin melihat akta kelahiran mereka. Untuk memperoleh akta kelahiran harus ada akta perkawinan dan untuk mendapat akta perkawinan harus memeluk agama yang diakui negara."

"Kami lalu mengadakan pertemuan suku dan membahas agama apa yang kami pilih. Kami lalu memutuskan memilih Islam," jelas Yusuf.

Indonesia hanya mengakui enam agama secara resmi, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, serta Konghucu.

Dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, setiap warga negara harus mencantumkan salah satu dari enam agama tersebut di kolom agama.

Baru pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaan mereka pada kolom agama KTP dan KK.

Penghayat kepercayaan mengalami kesulitan mendapatkan akta perkawinan, akta kelahiran, dan dokumen-dokumen lainnya.

Para pegiat kini berjuang agar parlemen mengubah Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2013.

Rukka Sombolinggi, selaku sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), merupakan salah satu tokoh pegiat yang memperjuangkan hak para penghayat kepercayaan.

"Kami sudah ada di sini sebelum agama baru tiba di Indonesia. Namun, sekarang mereka seperti menguasai kami dan ingin membasmi kami dari negara ini. Kami harus melawan," ujarnya.

Orang Rimba, kata Rukka, merupakan salah satu suku asli Indonesia yang rawan punah dan sangat menderita.

"Mereka telah sampai pada titik keputusasaan dan mereka melihat bahwa memeluk salah satu agama yang diakui negara mungkin akan menolong mereka keluar dari situasi yang sangat, sangat buruk. Ini masalah bertahan hidup."

Kehidupan orang Rimba Suku Pedalaman yang tinggal disekitar kebun sawit.

Masyarakat di Sumatera yang mayoritas muslim menjuluki Orang Rimba, Kubu.

"Itu artinya mereka sangat kotor, mereka sampah, bahkan jangan dilihat karena terlalu jijik. Kubu juga bisa bermakna primitif, bodoh, bau busuk. Pada dasarnya belum menjadi manusia, evolusinya belum sempurna," papar Butet Manurung, antropolog yang telah tinggal bersama Orang Rimba selama bertahun-tahun. 

Tiada tempat hidup

Orang Rimba sepertinya mendapat perlakukan didiskriminasi tatkala dimana mereka mempraktikkan budaya nomaden dan kepercayaan terhadap dewa-dewi.

"Orang Rimba tidak memakan hewan ternak, seperti ayam, sapi, atau kambing. Mereka menganggap itu adalah bentuk pengkhianatan."

Benturan kebudayaan semacam itu mengemuka pada 1980-an ketika Presiden Soeharto memberikan lahan kepada para transmigran dari Pulau Jawa dan perusahaan-perusahaan.

Sejak saat itu, area hutan yang menjadi rumah Orang Rimba, kian terbuka. Sejalan dengan langkah tersebut, perkebunan kelapa sawit, karet, dan kayu produksi leluasa merambah hutan tanpa berunding atau memberi kompensasi kepada penduduk asli. 

Zulkarnain, seorang pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membantu memfasilitasi perpindahan agama Suku Celitai, mengaku saat masih kanak-kanak mengira Orang Rimba bukan manusia.

"Suatu hari anak Kubu mencuri buah dari salah satu tetangga saya dan tetangga saya itu menembaknya. Kami menghampiri jasadnya dan saya sadar dia bukan sejenis hewan, dia manusia, seperti kita."

"Saya sadar kita harus membantu mereka. Saya kasihan pada mereka, mereka akan kelaparan kalau mereka tidak berubah."

Permukiman suku Talang Mamak.

Dalam 20 tahun terakhir, jutaan hektare lahan hutan telah dibuka di Indonesia. Beberapa kajian menyebutnya sebagai deforestasi tercepat di dunia.

Adapun luas perkebunan kelapa sawit telah meningkat antara 300.000 sampai 500.000 hektare per tahun selama 10 tahun terakhir.

Semasa saya hidup, selama 30-an tahun, lebih dari setengah hutan-hutan di Sumatra menghilang dan digantikan perkebunan kelapa sawit. 

Keluarga Sigungang adalah salah satu keluarga yang hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Dia berupaya memburu babi hutan saat hewan itu muncul.

"Namun jika kami tidak bisa menemukan apa-apa, kami terpaksa makan buah kelapa sawit. Kepala terasa berputar dan hampir membunuh anak-anak yang makan minyak kelapa sawit," ujar Sigungang.

Perkebunan kelapa sawit penuh dengan pestisida dan keluarganya mengalami sakit perut karena minum air di perkebunan.

"Tidak ada hutan bagi mereka untuk berburu. Sungai tempat mereka memancing dan minum sudah terpolusi dan begitu pula udaranya. Jadi kami memberikan mereka rumah, desa untuk hidup," kata Khofifah Indar Parawansa masa menjabat Menteri Sosial.

Berkaitan dengan itu, pemerintah telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan untuk membangun sejumlah unit rumah untuk Orang Rimba. 

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan kawasan permukiman dan lahan untuk Orang Rimba setelah bertemu dengan tetua suku. Pertemuan semacam itu adalah yang pertama dilakukan seorang presiden Indonesia.

Bagian yang tak kalah pentingnya dari proses tersebut, menurut Khofifah, adalah agama.

"Pada KTP, mereka harus menyatakan agama yang mereka anut. Ada yang menjadi Muslim, ada pula yang menjadi Kristen. Jadi kini mereka mengenal Tuhan."

'Kami ingin hutan, bukan rumah'

Bagaimanapun, rumah-rumah untuk Orang Rimba itu kini telah ditinggalkan dan berubah menjadi kota hantu.

Tanpa ada sumber nafkah untuk keluarga mereka, Orang Rimba yang sempat tinggal di rumah permanen kembali bermukim di hutan. 

"Yang kami inginkan dari mereka adalah berhenti mengambil hutan kami. Kami tidak ingin rumah seperti orang luar," kata Ngantap, salah satu tetua suku Makekal Hulu.

"Saya damai dan bahagia di hutan, saya adalah penghuni hutan," tambahnya.

Saya merasakan damai yang disebut Ngantap saat berjalan di tengah hutan Orang Rimba. Daun-daun dari pepohonan seolah membentuk tembok hijau, akar-akar saling membelit pohon-pohon besar, dan suara siamang yang sahut-menyahut jelas terdengar.

Kawasan ini adalah hutan adat suku Makekal Hulu, tempat banyak pohon dikeramatkan.

"Ini adalah salah satu pohon keramat yang paling kami lindungi. Siapapun yang menebang pohon ini akan dicari dan dihukum."

Ngantap memakai cawat khas Orang Rimba dan sekantong rokok terikat di pinggang. Di antara kami terdapat perempuan belum menikah yang memakai kain sarung untuk menutupi payudara.

Begitu menikah kain itu akan diikatkan di pinggang dan membiarkan payudara terbuka agar mudah menyusui bayi. Namun, kini banyak pula yang memakai kaus. Ngantap mengatakan mereka akan berpegang teguh pada kepercayaan leluhur.

"Salah bila mengatakan kami tidak beriman. Iman, agama, adalah hak pribadi setiap manusia. Sangat salah menjelekkan kepercayaan seseorang."

Soal kepercayaan, Butet Manurung yang tinggal bertahun-tahun bersama Orang Rimba menjelaskan.

"Orang Rimba menyembah banyak dewa. Harimau adalah salah satu yang terkuat," kata Butet.

"Mereka punya dewa lebah, dewa burung rangkong, lalu ada dewa dan dewi dari berbagai pohon. Mereka juga menyembah dewa mata air. Mereka meyakini bahwa sungai jangan diperlakukan buruk. Mereka tidak pernah pergi ke WC atau menaruh sabun di sungai supaya orang bisa minum langsung dari sungai," tutur Butet.

Ngerung, istri Ngantap, menjelaskan keterkaitan Orang Rimba dengan pohon.

"Setelah seorang bayi dilahirkan, tiga pohon harus ditanam. Satu untuk tali pusar, satu untuk si bayi, dan satu untuk namanya. Pohon-pohon itu tidak boleh ditebang atau dilukai," kata Ngerung, seorang perempuan Orang Rimba yang memiliki 11 anak ini.

"Ada seorang dukun yang akan mencari nama yang cocok untuk bayi dan bagian dari pohon itu akan dibalurkan ke kepala si bayi," timpal Ngantap.

Ngantap mewanti-wanti banyak pohon keramat di hutan dan tidak boleh dilukai.

"Jika kami kehilangan hutan, kami kehilangan cara hidup, budaya kami. Dewa-dewa kami akan hancur. Padahal, dewa-dewa yang melindungi perempuan dan anak-anak. Dukun-dukun akan kehilangan kekuatan mereka, sebaliknya penghancuran dan bencana akan berkuasa."

Mijak, pemandu juga berpindah ke agama Islam—sebuah keputusan yang menurutnya diambil agar bisa bepergian dan berjuang melindungi hutan leluhur.

Orang Rimba berusaha mendaftarkan hutan mereka sebagai tanah ulayat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013. Melalui putusan itu, hutan adat dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya selama berabad-abad.

Sebagai dampak dari keputusannya berpindah agama, Mijak dapat ikut ambil bagian dalam pertemuan suku tapi tidak dilibatkan dalam ritual kepercayaan.

Bahkan, karena Mijak kini menggunakan sabun untuk mandi serta makan sapi dan ayam, dia tidak bisa masuk rumah keluarga.

"Selalu ada pengorbanan yang harus dilakukan. Saat saya dididik dengan cara orang luar, ada banyak hal yang harus saya korbankan."

"Namun saya menerimanya karena saya adalah pembawa pesan dan jembatan bagi banyak orang di sini dengan dunia luar, dengan pemerintah mengenai hutan dan hak kami."

Meski demikian, Mijak masih takut dengan dewa dan dewi Orang Rimba setiap kali dia ke hutan.

"Orang-orang suci, dukun perempuan, merekalah yang saya takutkan dan kami hormati. Mereka bisa berkomunikasi dan melihat dewa-dewi."

"Dukun bisa berubah menjadi harimau, bisa berubah menjadi gajah jika dewa-dewa sangat marah dan menyerang manusia. Saya takut itu, saya khawatir melanggar aturan."

Di atas semua ketakutannya, kengerian terbesar Mijak adalah cara hidup Orang Rimba akan punah.

Muhammad Yusuf, kepala suku Celitai dari Orang Rimba yang telah menganut agama Islam, mengaku kehidupannya berubah dalam hitungan bulan.

Dia telah secara resmi memperistri tiga orang. Hamida, istri ketiga Yusuf, mengatakan kondisinya sangat berbeda.

"Sangat, sangat berbeda dalam hal kebersihan, apa yang kami makan, anak saya bisa sekolah, dan mereka bisa membaca Al-Quran. Sekarang, alhamdullilah kami bisa menyantap makanan halal."

Hamida sekarang memakai jilbab dan sering menggunakan kalimat Arab saat berbicara.

Apakah ada yang Anda rindukan dari kehidupan lama di hutan dan mendengar nyanyian burung? 

"Tidak. Alhamdullilah tiada yang kami rindukan (dari kehidupan lama), sekarang sangat berbeda, saya bahagia dengan kehidupan baru."

Apakah sama sekali tidak ada budaya Orang Rimba yang ingin Anda wariskan ke anak-anak? Mungkin bagaimana Orang Rimba menjaga kebersihan sungai dan melindungi hutan?

Hamida tampak khawatir salah bicara dan menatap ke arah suaminya untuk mencari persetujuan. Yusuf mengangguk.

Istri pertama Yusuf mengambil alih pembicaraan. "Tiada yang kami rindukan. Sangat melelahkan berpindah terus di hutan. Tapi, ya, saya akan mengajar anak-anak untuk tidak membuang sampah di sungai."

Selagi kami menyantap mie instan, istri pertama Yusuf berkelakar bahwa mereka dulu hidup berpindah-pindah di hutan, kini giliran Yusuf yang setiap malam berpindah-pindah antara rumah istri pertama, kedua, dan ketiga.

Rumah panggung ala Talang Mamak di Riau

Sementara orang rimba atau suku pedalaman Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau memiliki ciri khas rumah panggung yang banyak berdiri ditengah lahan kosong.

Jajaran pohon pinang mendampingi. Kulit kayu dulu dipilih untuk jadi dinding bangunan persegi tersebut. Jajaran daun rumbia tersusun rapi. Namun, termakan usia buat beberapa bagian rumah tampak bolong. Kulit kayu yang jadi dinding bangunan ini juga mulai lapuk terpapar hujan dan sinar mentari.

Seperti salah satu rumah panggung milik salah satu masyarakat suku Talang Mamak dan juga menyebar disekitar aliran Sungai Indragiri terutama di Kabupaten Indragiri Hulu atau Inhu. Mulanya, mereka berasal dari pedalam Jambi disebut dengan suku Tuha. Suku yang pertama kali datang dan berhak atas sumber daya alam di Inhu.

Rumah panggung Suku Talang Mamak di Inhu, Riau.

Inhu merupakan kabupaten di Riau yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi dibagian selatan. Sedangkan disisi barat dan timur, ia berbatasan dengan Kabupaten Kuantan Singingi dan Indragiri Hilir. Kabupaten Pelalawan ada dibagian utara Inhu. Luasan wilayahnya sekitar 8.198,26 kilometer persegi.

Suku Talang Mamak ini tersebar dibeberapa kecamatan. Ada di Kecamatan Batang Gangsal, Seberida, Rakit Kulim dan Rengat Barat. Sedangkan di Jambi, suku ini berkelompok di Dusun Semarantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo. Hingga 2010 tercatat ada 1507 kepala keluarga yang ada di suku ini— sekitar 7010 jiwa.

Perkampungan Talang Mamak terus berkembang dari 1 talang Durian Cacar, kini sudah jadi 7 talang. Yaitu Talang Durian Cacar, Perigi, Sungai Parit, Gedabu, Sungai Limau, Selantai dan Tujuh Buah Tangga.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Talang Mamak memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan. Mereka biasanya berladang karet atau mencari hasil hutan seperti jernang, rotan atau labi-labi. Untuk makanan biasanya mereka berburu atau mengambil hasil alam. Termasuk dalam membuat rumah, suku Talang Mamak pun bergantung dengan alam. Namun seiring berjalannya waktu, rumah-rumah masyarakat Talang Mamak mulai ikut berubah.

Dulunya kulit kayu dijadikan bahan untuk dinding rumah, kini sudah berganti dengan bilah-bilah papan. Begitu pula dengan atap jajaran rumbia, beberapa sudah menggantinya dengan seng. Perkembangan ini membuat beberapa rumah tersebut mengalami perubahan bentuk, fungsi serta tata ruang.

Ada dua kategori berdasarkan bentuk bangunan. Pertama, bangunan relatif asli. Maksudnya bangunan tersebut masih sesuai dengan informasi awal rumah suku Talang Mamak. Kedua, yang mengalami perubahan bentuk khususnya yang ada di Desa Talang Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Inhu. 

Dari Pekanbaru menuju Desa Talang Durian, dapat ditempuh dengan mobil, jarak 285 kilometer ditempuh hingga Simpang Kelayang, Kecamatan Kelayang, Inhu. Medan terjal dihadapi dalam bentuk jalan setapak ke pemukiman.

Dari satu pemukiman dengan lainnya memiliki jarak yang jauh. Sehingga pemukiman didasarkan pada kelompok atau banjar. Tiap banjar memiliki nama sesuai dengan nama lelaki tertua dalam kelompok itu. Sehingga dalam satu banjar, maka memiliki hubungan kekerabatan baik anak, keponakan atau menantu.

Batas antar satu banjar dengan lainnya sesuai dengan kondisi alam. Pemisah tersebut bisa sungai atau pohon besar seperti pohon sialang, beringin atau durian. Sedangkan batas antar satu rumah dengan lainnya dalam satu banjar ditandai dengan pohon pinang atau batas lain yang dibuat.

Bentuk dari rumah suku Talang Mamak dikategorikan memiliki jenis arsitektur vernakular. Bangunan yang memanfaatkan alam sekitar sebagai materialnya. Tipe rumah ini tidak melepaskan budaya serta adat istiadat lokal sebagai identitas.

Rumah panggung masyarakat Talang Mamak berbentuk persegi dan persegi panjang. Dindingnya terbuat dari kulit kayu tarap, meranti, ramin dan durian burung. Untuk menaiki rumah dibuat tangga dari batang pohon kecil.

Dengan bentuk rumah panggung, tiang menjadi struktur utama bangunan ini. Jumlah tiang kayu yang digunakan beragam, bisa 12,16 atau 20 tiang kayu.

Tiang-tiang ini harus dari kayu yang kuat, seperti kayu Kulim, Kapinis, Meranti, Malabai dan Petaling. Kayu ini ada yang dibenam dalam tanah, ada juga yang membuatnya berupa sandi, masyarakat Talang Mamak menyebutnya umpak. Kayu yang dibenam dalam tanah harus bagian pangkal kayu, sedangkan bagian ujung mengarah ke atas.

Untuk menopang tiang utama, ditambahkan tiang pendukung yang disebut masyarakat Talang Mamak tungkai. Lalu ditambah panggar untuk menghubung masing-masing tungkai. Semua material mulai dari tiang utama, rasuk untuk peletakan lantai, dinding hingga atap rumah terbuat dari bahan alam sekitar. Kayu yang digunakan sebagai struktur bangunan harus mengarah ke arah matahari hidup atau timur dan semuanya harus searah.

Untuk bagian atap terbuat dari daun sikai, rumbia dan salak, serta lantainya beralaskan bambu. Rotan digunakan sebagai pengikat kerangka bangunan, dinding maupun atap rumah.

Sseperti rumah pada umunya dijadikan tempat tinggal bagi penghuninya. Begitu pula bagi masyarakat Talang Mamak. Namun ada 3 kegiatan yang wajib dilakukan di rumah oleh masayarakat ini. Paling utama adalah adakan begawai, upacara perkawinan suku Talang Mamak. selain itu ada naik tambak—upacara kematian—dan bedukun atau upacara pengobatan suku.

Syarat upacara ini dapat dilangsungkan di rumah suku Talang Mamak, rumah haruslah memiliki 3 ruangan terbuka didalamannya. Ruang haluan, tangah dan tampuan. Haluan berarti ruangan dibagian depan. Biasanya dijadikan tempat menyambut tamu. Disinilah para tamu dari ketiga upacara tersebut disambut.

Ruang setelah haluan adalah tangah, ruangan yang berada ditengah bangunan. Beberapa rumah masyarakat membuat paran—sejenis ruangan dilantai atas—yang digunakan untuk meletakkan barang-barang berladang dibagian tangah. Adapula paran ginding yang dijadikan tempat tidur bagi anak gadis. Untuk menaiki paran ataupun paran ginding dibuat tangga turkis—tangga dari sebatang kayu yang diulir. Tapi umumnya paran dibuat dibagian haluan atau tampuan.

Dan ruang bagian ketiga, tampuan ialah ruang dibagian belakang. Jika tidak dibuat paran, maka ruangan yang pasti ditambahkan didekatnya ialah pandapuran dan jungkar ayam—ruangan yang disekat untuk meletakkan ayam jantan. Pandapuran dijadikan tempat masak dan makan dan dipastikan harus di ruang tampuan. Jika tidak, dipercaya kesialan ataupun penyakit akan mendatanggi si pemilik rumah.

Tambahan bagi rumah yang dijadikan bedukun, maka ia akan membangun surauan, tempat sesajen. Surauan biasanya dibangun dirumah yang pemiliknya punya kemampuan bedukun serta rumahnya besar. Selain itu dibagian depan pintu masuk, ada juga masyarakat yang membuat palantaran. Ia dijadikan tempat bersantai bagi penghuni rumah. Ia sepeti teras dirumah berbentuk panggung itu.

Yang unik dari rumah suku Talang Mamak ialah konsep batas tiap ruang tersebut. Jika pada rumah biasanya tiap ruang diberi sekat dinding ataupun partisi, bagi mereka, ruangan di rumah tersebut terbuka saja.

Dinding hanya melapisi 4 sisi bangunan membatasi sisi luar dan dalam rumah. Sedangkan pembatas  dari tiap ruang ialah bantalak atau bandul. Ia berupa kayu melintang yang diletakkan dilantai secara permanen. Menyatu dengan tiang penyangga rumah. Ia jadi dinding yang tak terlihat membatasi tiap ruang.

Dalam membangun rumah, masyarakat Talang Mamak menyebutnya managak rumah. Ada upacara yang dilakukan dengan menggunakan tanaman sitawar, sidingin, sipuleh, bangun-bangun dan sitajam. Tanaman ini diberi mantra-mantra dan diletakkan pada lokasi yang akan dibangun rumah. Upacara ini dikenal upacara palas tawar.

Masyarakat Talang Mamak membangun rumah secara bergotong royong hingga tiang dan kerangka rumah terbentuk. Selanjutnya pengerjaan dilakukan sendiri oleh pemilik rumah, boleh juga mengupah pada orang yang ahli dalam membuat rumah. Tiang yang pertama kali didirikan dalam membangun rumah ini disebut tiang tuha. Sebelum tiang ini ditancapkan dalam tanah, diletakkan uang logam pada lubang yang akan ditancapkan tiang tersebut. Ini diyakini membawa rezeki.

Setelah tiang-tiang berdiri dan rumah akan ditempati, tiang-tiang tersebut dililitkan dengan daun rumbia, masyarakat Talang Mamak menyebutnya sirawa-rawai. Tujuannya untuk menghilangkan hal-hal gaib. Selanjutnya segala upacara dibuat di rumah yang sudah dibangun.

Kemampuan untuk membangun rumah besar dan bisa lakukan upacara surauan, bedukun, begawai dan naik tambak menentukan status sosial pemiliknya. Pemilik rumah yang memiliki strata sosial yang tinggi, seperti patih—Kepala suku—, batin, dan manti, bisa memiliki rumah yang besar. Namun bagi masyarakat biasa, rumah yang dibangun biasanya rumah kecil.

Untuk atap, bentuk atap seluruh rumah ialah pelana dengan material bahan yang digunakan beragam. 15,9 persen bangunan gunakan seng untuk atap, 50 persen mempertahankan daun dan sisanya mengkombinasikan daun dan seng. Sedangkan bahan dinding sudah banyak yang gunakan papan, mencapai 61,4 persen. Sedangkan 8 rumah—18,2 persen— bertahan gunakan kulit kayu. 1 rumah gunakan bambu dan sisanya mengkombinasikan papan dengan kulit kayu.

Mencari kebutuhan kayu.

Pada lantai rumah, 72,8 persen sudah beralih gunakan papan sebagai lantai. Hanya 13,6 persen yang gunakan bambu sedangkan sisanya mengkombinasikan kedua bahan tersebut.

Kelompokkan rumah suku Talang Mamak dalam 3 tipe. Rumah kecil, sedang dan besar. Rumah kecil adalah rumah yang memiliki 4 hingga 5 ruang. Selain 3 ruang utama, mereka hanya menambahkan pandapuran dan paran ginding. Sedangkan tipe sedang ia punya 6 hingga 7 ruang. Ia menambahkan dua ruang selain yang ada di tipe rumah kecil, paran dan jungkar ayam. Sedangkan tipe terakhir ia menambahkan palantaran serta surauan.

Kehidupan baru

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas membawa masyarakat adat ini pada perhatian nasional. Dalam dialog tersebut, muncul tawaran pemerintah untuk membangun rumah dan menyediakan lahan bagi mereka di luar hutan.

Presiden Jokowi sebenarnya bukan yang pertama menawarkan rumah buat Orang Rimba. Pada 2001, Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah terlebih dulu menetapkan rumah buat mereka, yaitu Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Langkah Presiden Jokowi menawarkan rumah buat masyarakat adat nomaden ini mendapat kritikan, tetapi lembaga pendamping Orang Rimba, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, mengatakan tawaran presiden itu tidak salah.

Alasannya, toh sudah ada kelompok Orang Rimba yang keluar dari hutan dan hidup dekat dengan desa, sehingga solusi itu tepat buat mereka.

Ada dua kelompok orang Rimba lain

Kelompok pertama, mereka yang bertahan di dalam taman nasional, sekitar 1700 orang. Dan kelompok kedua, sekitar 1000 orang, yang bertahan di tanah leluhur yang kini sudah menjadi HTI atau kebun sawit.

"Nah kelompok kedua ini yang kritis, (mereka) cenderung dianggap pelanggar hukum, orang yang merugikan karena masih bertahan mengambil lahan perusahaan, bahkan mencuri buah sawit. Kelompok yang paling marjinal dan harusnya mendapat solusi," kata Manajer Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf.

Menurut Rudi, ruang hidup Orang Rimba sudah sejak 1990-an diambil alih dalam bentuk pemberian izin pada perusahaan menjadi HTI maupun kebun sawit.

Perubahan kondisi hutan ini, menurut temuan Warsi, menyumbang pada gizi buruk yang menyebabkan tewasnya 12 Orang Rimba secara beruntun pada Maret 2015 lalu..

Hutan yang sudah berubah menjadi lahan monokultur menyebabkan Orang Rimba kesulitan mendapat pangan.

Dalam proses mediasi yang juga dihadiri Warsi, menurut Rudi, Orang Rimba sudah ditawari rumah oleh Kementerian Sosial.

Namun mereka menyatakan, "Kami tidak mau rumah, kami mau lahan yang turun-temurun diberikan kembali."

Lahan yang diminta masyarakat, menurut Rudi, sekitar 114 hektar dalam konsesi seluas 29 ribu hektar. "Kecil sekali, tidak sampai 2 persen, tapi tetap tidak ditemukan solusi," ujar Rudi.

Contoh yang disampaikan Rudi baru dari satu HTI, sementara, dalam catatan Warsi, ada enam HTI dan empat kebun kelapa sawit yang bersinggungan dengan wilayah hidup Orang Rimba.

"Untuk kelompok yang masih hidup dalam hutan, sederhana saja solusinya, yaitu mempertahankan wilayah hutan yang tersisa untuk diakui menjadi wilayah mereka. Agar pemerintah tidak menerbitkan izin-izin baru di wilayah itu. Buat mereka yang penting ruang hidup, hutannya, diakui," kata Rudi.

Meski Presiden Joko Widodo memberi Kartu Indonesia Sehat pada Orang Rimba, namun, menurut Rudi, prosedur di lapangan untuk mendapatkan kartu tersebut harus menggunakan KTP. Dan karena Orang Rimba tak punya KTP, maka mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan gratis atau pendidikan.

Dengan alasan inilah Kementerian Sosial tengah berdialog untuk mengajak semua Orang Rimba di dalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas ke luar hutan agar bermukim dekat masyarakat.

"Kan tidak mungkin membangun rumah sakit di dalam hutan. Kalau mereka melangun (berpindah) bisa sampai 60 km, itu bisa tembus batas bukan hanya kabupaten, tapi juga provinsi, itu administrasinya bagaimana," kata Menteri Sosial Khofidah Indar Parawansa bertanya.

Dalam dialognya dengan Orang Rimba, Khofifah mengatakan dia sudah menanyakan, apakah para orangtua mau untuk menyekolahkan anaknya. Orang Rimba yang ditemui Khofifah menyatakan mau, tetapi mereka meminta agar guru dibawa ke dalam hutan.

Tetapi, kata Khofifah lagi, dia justru ingin agar anak-anak bersekolah di sekolah biasa. "Harapannya, kalau anak-anak sudah senang bersekolah, tentu orangtuanya akan melindungi dan lebih mau menetap," katanya.

Topangan hutan

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan mengatakan, bahwa bagi Orang Rimba, rumah yang fisik tidak bisa dipisahkan dari rumah yang lebih besar yaitu hutan. Hutan harus bisa menopang mereka dengan kesehatan dan pangan.

"Persoalannya bukan di rumah, tapi dengan cara hidup mereka yang sekarang, wilayah-wilayah adat yang menopang kehidupan mereka itu, sekarang rusak, berubah jadi HTI dan kebun sawit yang tidak bisa lagi memenuhi air bersih dan juga pangan," kata Abdon.

Orang Rimba kini tinggal di seputar Perkebunan Sawit.

Dia justru meminta agar taman nasional yang ada sekarang diperluas dengan sistem penyangga. "Nanti kalau wilayah kehidupan sudah beres, baru bicara soal kelayakan yang lain," ujarnya.

Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga juga mengatakan bahwa masyarakat adat punya hak atas hutan sebagai wilayah hidupnya.

Dan, menurut Sandra, karena wilayah hutan tanpa sepengetahuan mereka sudah jadi HTI dan kebun sawit, maka pemerintah wajib mengembalikan hak-hak masyarakat tersebut dengan memulihkan kondisi hutan.

Setelah kasus meninggalnya Orang Rimba pada Maret lalu, Komnas HAM juga melakukan pemantauan dan berdialog dengan masyarakat serta kelompok pendamping seperti Warsi dan Sokola Rimba.

"Pada prinsipnya, teman-teman melihat bahwa Orang Rimba mau hidup di wilayah hidupnya dan sebenarnya membutuhkan wilayah hutannya kembali, ada umbi-umbian, airnya bersih. Yang penting air cukup, lingkungan sehat," kata Sandra.

Sikap Komnas HAM

Dalam pandangan Komnas HAM, sebagai warga negara, Orang Rimba berhak mendapat pengakuan atas hak hidup dan kesempatan untuk menentukan nasib masa depannya. Tetapi, program pemberian rumah dan lahan yang direncanakan belum memberi pengakuan tersebut.

Komnas HAM sudah berdialog dengan Kementerian Sosial dan, menurut Sandra, mereka menyampaikan bahwa solusi perumahan bukan solusi permanen dan tidak bisa dipukul rata.

"Implikasinya bisa dianggap ini upaya negara mencerabut warga dari wilayah hidupnya," ujarnya.

Pemerintah, menurut Sandra, sebenarnya mampu untuk mengembalikan hak-hak hutan pada masyarakat adat yang berhak. Dia mencontohkan, ada pola-pola negara yang menganggarkan untuk membeli lagi izin pengelolaan hutan yang sudah diberikan pada perusahaan.

Menanggapi ini, Khofifah mengatakan, pemerintah sekarang sedang melakukan, "penanaman ulang hutan, merestorasi lahan gambut, dan menerapkan strict punishment" bagi perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Tetapi, dia juga melihat hak-hak anak Orang Rimba untuk mendapat pendidikan harus dipenuhi.

Sesuatu yang, dalam pandangannya, baru bisa dilakukan jika Orang Rimba bermukim di luar hutan. (*)

Tags : Orang Rimba, Jalan Panjang Membangun Rumah Orang Rimba, Sorotan, Orang Rimba Mulai Mengenal Tuhan,