Nasional   2023/11/11 19:9 WIB

Jokowi Mengawali Karier Politik Dulu dan Sekarang, 'yang Dituduh Mengonsolidasikan Oligarki'

Jokowi Mengawali Karier Politik Dulu dan Sekarang, 'yang Dituduh Mengonsolidasikan Oligarki'
Presiden RI Joko Widodo

JAKARTA - Mengawali karier politik sebagai wali kota Solo, berlanjut menjabat gubernur DKI Jakarta, kemudian menjadi presiden Indonesia, Joko Widodo disebut sebagai sosok pembawa "harapan baru”.

Namun, di penghujung kekuasaan Jokowi sebagai presiden, banyak kalangan – termasuk dari pendukungnya – menuduh pengusaha mebel itu mengonsolidasikan "oligarki” dan sedang ingin melanggengkan kekuasaan dengan merancang putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, melaju ke Pilpres 2024.

Hal ini tak lain, karena wacana penundaan pemilu dan tiga periode, kandas.

Akan tetapi, tuduhan politik dinasti ini dibantah Jokowi dengan mengatakan, “Ya, itu kan masyarakat yang menilai.” 

Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi sejauh ini masih di atas 50%. Namun, suara yang kecewa disertai keretakan hubungan dengan PDI Perjuangan (PDIP) berpotensi mengerek turun sentimen positif tersebut.

Berikut adalah “metamorfosis” wajah politik Jokowi yang mengawali karier politik sebagai sosok pembawa “harapan” dan berakhir menorehkan “keprihatinan” sebagian pendukungnya.

Pria dengan perawakan ramping itu lahir di Rumah Sakit Minulyo, Solo pada 1961 di tengah keluarga sederhana. Ayahnya penjual kayu dan bambu serta ibunda seorang pekerja keras yang merawat anak-anak.

Masa kecil Jokowi disebut "sulit dan keras". Keluarganya pernah berpindah-pindah tempat tinggal karena rumahnya beberapa kali terkena penggusuran, menurut catatan Fandy A dalam Biografi Joko Widodo.

Tahun 1988 menjadi saat-saat yang menentukan nasib Jokowi di masa mendatang, ketika ia memutuskan membangun bisnis kayu lewat utang dari bank, dengan jaminan sertifikat tanah milik orang tua.

Bisnis mebel yang dirintis itu kemudian berhasil menembus pasar luar negeri dan bertahan hingga kini.

Jokowi mulai karir politik dengan bergabung PDIP pada 1998. Ia mendapat tiket dari partai berlambang banteng menjadi wali kota Solo pada 2005.

Ririn Sefsani, aktivis 98, mengenang kembali pertama kali bersinggungan dengan Jokowi.

Saat itu, ia melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, menghelat debat calon wali kota Solo. Jokowi sebagai salah satu kandidat ia anggap baik dalam merencanakan program anggaran daerah yang partisipatif.

Saat terpilih menjadi wali kota, “ada harapan dalam konteks lokal” dalam menjalankan program yang partisipatif, antikekerasan dan ruang publik yang dibuka.

"Ini seperti angin besar, angin yang manis sekali untuk Indonesia yang lebih baik dengan kepemimpinan sipil," kata Ririn dalam konteks Pilpres 2014.

Wali kota ketiga terbaik sedunia

Nama Jokowi makin mencuri perhatian publik setelah memperoleh penghargaan-penghargaan karena sejumlah gebrakan saat menjabat wali kota Solo. Ia mematahkan mitos relokasi PKL yang berujung kekerasan antara aparat dan pedagang.

Sekitar 900 pedagang mau meninggalkan Taman Banjarsari di pusat Kota Solo menuju lokasi baru di Pasar Klitikan, tanpa ada kekerasan tapi melalui dialog berbulan-bulan.

Istilah blusukan juga melekat dengan Jokowi, karena sejak menjabat wali kota ia turun langsung ke lapangan melihat persoalan yang ada di masyarakat, dan mendengarkan langsung. Blusukan juga berarti inspeksi mendadak memeriksa anak buahnya bekerja dengan benar.

Pada 2012, pria yang suka dengan musik cadas ini terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga sedunia versi World Mayor Project.

Jokowi disebut berhasil mengubah Solo dari kota yang marak tindak kriminalitas menjadi pusat seni dan budaya, lalu dapat menarik wisatawan mancanegara.

Kebijakan antikekerasan

Hasta Gunawan, mantan Kepala Satpol PP Solo juga menyaksikan bagaimana Jokowi menjalankan kebijakan antikekerasan di kotanya pada saat menjadi wali kota.

Dalam menghadapi demonstrasi, Jokowi sempat memerintahkan Hasta untuk setiap saat membuka gerbang kantor wali kota.

Tujuannya, agar para pengunjuk rasa bisa bertemu dirinya untuk menyampaikan tuntutan secara langsung melalui dialog, sampai mencari jalan keluar bersama.

Selain diterima, pendemo juga diberi makanan ringan dan minuman di sela-sela menemui wali kota maupun pejabat dinas Pemkot Solo saat menyampaikan aspirasi maupun tuntutannya.

“Tatkala itu bisa komunikasi tidak ada masalah. Memang Pak Jokowi, Pak Rudy (Wakil Wali Kota Solo), Satpol PP dan Kesbangpol itu memang waktu itu bagus koordinasinya. Setelah itu demo berangsur-angsur berkurang dan mengecil, mengecil,” katanya.

Selain ‘menghilangkan’ pagar dan pintu depan Balai Kota Solo, Hasta membeberkan kebijakan Jokowi lainnya yang antikekerasan adalah memerintahkan petugas Satpol PP menanggalkan pentungan dan tameng. Dua perangkat ini dimasukkan di gudang.

“Mereka harus tanpa senjata. Senjatanya hanya (buku saku) peraturan perundangan dan peluit itu. Dan tameng yang sesungguhnya itu komunikasi,” ujarnya.

Dengan perubahan itu, Jokowi saat itu menginginkan agar tampilan petugas Satpol PP di lapangan tidak garang dan menyeramkan, tetapi lebih humanis.

Bahkan Satpol PP di masa Jokowi menjadi wali kota juga dilengkapi dengan kemampuan untuk bermain drumband. Hal ini dilakukan untuk menampilkan sisi lain para anggota Satpol PP.

“Biar Satpol PP semakin ramah,” kata Hasta.

Saat menjabat wali kota Solo, Jokowi juga menggagas apa yang disebut Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS), program jaminan kesehatan gratis untuk warga miskin.

Saat program tersebut diluncurkan awal 2008, antusiasme masyarakat sangat tinggi, sehingga membentuk antrean panjang.

“Pimpinan yang mau turun langsung itu Pak Jokowi dan Pak Rudy (wakilnya) mengangkati kursi karena masyarakat keleleran menunggu antrean pendaftaran,” kata Siti Wahyuningsing, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Solo mengenang kejadian saat itu.

Kata Siti, PMKS ini menjadi cikal bakal program jaminan kesehatan yang dikampanyekan Jokowi saat maju sebagai gubernur DKI Jakarta maupun menjadi presiden. Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menerbitkan Kartu Jakarta Sehat yang merupakan penyempurnaan dari PKMS.

“Kemudian dengan semangat beliau yang peduli dengan jaminan kesehatan ini, akhirnya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) jalan dan cikal bakalnya dari PKMS,” kata Siti yang saat ini masih aktif bekerja di lingkungan pemerintahan Kota Solo.

Sebelum ada JKN tiap daerah punya program sendiri-sendiri, sekarang menjadi satu pengelolaannya melalui BPJS.

Selain itu, Jokowi juga memperoleh sejumlah penghargaan antikorupsi sampai menjadi tokoh publik pilihan media.

Saat menjabat gubernur DKI Jakarta selama dua tahun (2012-2014), pria yang saat itu menjadi “kesayangan media” disebut berhasil mereformasi birokrasi, mengambil saham PT Palyja dari perusahaan asing, pembenahan Pasar Tanah Abang, relokasi warga dan perbaikan Waduk Pluit, serta pembangunan rumah kampung deret untuk rakyat.

Wajahnya juga menjadi sampul depan Majalah terkemuka AS, Time, dengan judul utama ‘A New Hope’ atau sebuah harapan baru.

Sejumlah media asing memberi julukan kepada Jokowi sebagai Obama dari Jakarta, Mr. Fix – pemimpin yang bisa memperbaiki semua hal, dan The man in the Madras Shirt (pria dengan kemeja kotak-kotak).

Menjelang masa purnabakti sebagai presiden Indonesia, eksistensi Jokowi diwarnai tuduhan politik dinasti dan drama hubungan dengan PDIP.

Sebagian kalangan berspekulasi, sosok berjuluk ‘Bapak Infrastruktur’ sedang merancang perpanjangan kekuasaan melalui keluarga dan kroninya.

Sejumlah gejalanya bisa dilihat dari momentum politik yang melibatkan anak-anak Jokowi jelang Pilpres 2024.

Pertama, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) – salah satu hakimnya adik ipar Jokowi, Anwar Usman – memutuskan syarat capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun dengan catatan berpengalaman sebagai kepala daerah. 

Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) – rival PDIP dan koalisinya dalam Pilpres 2024.

Kedua, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep dinobatkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hanya tiga hari setelah memperoleh kartu tanda anggota (KTA) partai berlogo kepalan tangan yang menggenggam bunga mawar berwarna putih itu.

Ketiga, keluarga Jokowi ini disebut "politikus kutu loncat“ dan “pembangkang” karena tidak seirama dengan PDIP, partai yang mengusung Jokowi dari awal karir politik hingga menjadi presiden. PDIP mengusung Ganjar-Mahfud MD dalam Pilpres 2024. 

Alasan terakhir ini lebih politis – bisa dijadikan bahan kampanye – karena PDIP juga sudah punya jagoan sendiri, sekaligus berpeluang membalikkan citra Jokowi yang selama ini memperoleh sentimen positif dari publik.

Dalam keterangannya, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto mengaku "kami ditinggalkan“ Jokowi setelah PDIP "memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga.“

Pendukung yang berbalik arah

Ririn Sefsani mengaku telah mengawal dan mendukung program dan kebijakan Jokowi yang pro terhadap masyarakat sejak memulai karirnya sebagai wali kota Solo pada 2005.

Namun sekarang, Ririn yang memilih Jokowi dua kali pilpres mengatakan, "saya jengkel“ karena Gibran dan Kaesang menjelma politikus "karbitan“ yang disokong kekuasaan. Caranya tidak benar, katanya.

"Ini bukan soal usia, tapi bagaimana cara mereka mengangkangi, menerabas, menghina 50% lebih pemilih Indonesia yang orang muda ini dengan cara mereka," kata Ririn.

"Ini harusnya anak-anak muda protes," ujarnya kemudian, sambil menambahkan ini menjadi puncak perubahan politik Jokowi yang ia tuduh bagian tak terpisahkan dari politik dinasti.

“Kalau figur ini sudah tidak sesuai dengan cita-cita reformasi. Masak saya mau dukung? Kalau beliau sudah tidak lagi sejalan, ya harus kita lawan,” katanya.

Ririn hanya satu dari sejumlah kalangan yang mengutarakan “keprihatinan” terhadap Jokowi.

Pernyataan "keprihatinan" juga datang dari budayawan Butet Kartaredjasa yang mengatakan putusan MK menyebabkan Gibran bisa pasangkan dengan Prabowo sebagai "awal datangnya bencana moral", sebagaimana dinukil dari Kompas.

"Rakyat Indonesia bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca peristiwa," kata Butet dalam surat terbuka kepada Jokowi.

Dalam cuitannya, jurnalis senior Goenawan Mohamad meragukan kepatutan Gibran sebagai cawapres "bukanlah karena usianya, melainkan karena soal nepotisme".

Nepotisme adalah tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan – kebiasaan yang terjadi di era Soeharto berkuasa.

"Nepotisme itu tidak adil. Gibran naik ke atas, bukan melalui persaingan terbuka," kata GM, sapaan Goenawan Mohamad.

Dalam prosesnya, Jokowi, Gibran, Anwar Usman dan Kaesang telah dilaporkan sejumlah ormas ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tuduhan kolusi dan nepotisme terkait putusan MK.

Menanggapi hal ini, Gibran menjawab ringan, “Ya, biar ditindaklanjuti KPK ya. Monggo, silakan," katanya di Balai Kota Solo, Selasa (24/10).

Guru besar ilmu komunikasi Universitas Airlangga, Profesor Henri Subiakto juga menuturkan serupa.

Ia bicara gamblang "menyukai Pak Jokowi" dan menganggap sosoknya sebagai representasi rakyat "yang selama 30 tahun terpinggirkan dan tidak diberi kesempatan dan kekuasaan oleh orde baru."

Menurut Prof Henri, menggandeng Prabowo dan meluncurkan Gibran sebagai cawapresnya "sudah direncanakan dan siapkan lama oleh Pak Jokowi".

"Menjelang akhir jabatannya, Pak Jokowi berubah. Atau memang inilah aslinya yang mulai diketahui," kata Prof Henri dalam akunnya di X - dulu bernama Twitter.

Suara kekecewaan terhadap sikap Jokowi yang merestui putranya, Gibran untuk ikut di panggung kontestasi Pilpres 2024 juga diwujudkan dalam aksi-aksi di daerah.

Di Yogyakarta, sekumpulan orang yang mengeklaim pernah mendukung Jokowi, memasang keranda mayat, dan beberapa pocong sebagai bentuk kekecewaan atas sikap Jokowi, seperti dikutip dari Kompas.

Di Nusa Tenggara Timur, puluhan warga dari Desa Sunu di Kabupaten Timor Tengah Selatan menggelar ritual adat di depan patung Jokowi setinggi 3,5 meter. Mereka berharap Jokowi tidak memaksakan diri merestui Gibran masuk ke bursa Pilpres 2024.

"Biarkan Gibran matang secara alami,” kata Panglima perang Suku Benu sekaligus Mantan Kepala Desa Sunu Nithanel Benu, ditilik dari laporan Detik.

Di sisi lain, dalam keterangan kepada media, Jokowi menjawab santai tuduhan politik dinasti, dan mengatakan “Ya, itu kan masyarakat yang menilai,” katanya.

Dalam keterangan lainnya, Jokowi mengatakan dalam setiap pemilu masyarakat yang menentukan siapa calon yang akan dipilih.

“Itu semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat, bukan kita, bukan elit, bukan partai. Itulah demokrasi,” kata Jokowi.

Dalam perkembangannya, Anwar Usman, hakim MK sekaligus adik ipar Jokowi membantah telah memutuskan perkara syarat capres-cawapres untuk meloloskan kandidat tertentu, khususnya Gibran dalam Pilpres 2024.

Ia menyebut tuduhan itu sebagai "fitnah yang amat keji". "Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saja, dan kehormatan saya, di ujung pengabdian sebagai hakim demi meloloskan pasangan calon tertentu," katanya.

Lagi pula, kata dia, juga mengatakan keputusan ini diambil secara kolektif kolegial oleh sembilan hakim konstitusi.

Namun, sebelumnya Majelis Kehormatan MK menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar kode etik berat, dan memberhentikannya sebagai ketua MK.

Badan Pemenangan Pilpres Relawan Pro Jokowi (Projo), Panel Barus, juga menempatkan ini sebagai perbedaan pendapat “yang wajar saja”.

“Saya percaya dan yakin pada Jokowi sampai detik ini. Bahwa Pak Jokowi bersama kami, masih pada rel yang sama, membawa Indonesia maju ke depan,” katanya.

Tuduhan politik dinasti terhadap Jokowi dan keluarganya merupakan hal biasa yang terjadi menjelang pemilu, kata Panel. 

“Sekarang seperti itu lagi. Tuduhan-tuduhan itu muncul,” kata Panel yang mengeklaim terdapat 5 juta simpatisan dan kader Projo yang setia dengan Jokowi.

Gerakan ini mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, meskipun sempat terjadi pecah suara di internal.

Bagaimana ‘metamorfosis’ wajah politik Jokowi?

Dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad mengatakan setiap politikus “bermetamorfosis” sesuai dengan posisi dan jabatan yang dimilikinya.

“Itu terjadi pada semua politikus, termasuk Jokowi,” katanya.

Berdasarkan pengamatan Nyarwi, saat awal duduk di kursi presiden, Jokowi masih canggung melakukan manuver politik.

Tapi setelah merangkul kelompok elit politik yang berseberangan, menjadikan Jokowi sebagai “aktor politik yang makin kuat di negeri ini, termasuk keluarganya,” kata Nyarwi.

Jokowi disebut memberikan efek elektoral kepada parpol koalisi pendukungnya, seperti PDIP di Pilpres 2014 saat melawan Prabowo Subianto yang didukung Koalisi Merah Putih dengan kekuatan 63% kursi parlemen.

Pemilu saat itu juga mematahkan mitos koalisi gemuk akan selalu menang.

Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh suara 53,15%, dan rivalnya Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 46,85%.

Kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 dirayakan ribuan warga yang berkumpul di Monas, Jakarta Pusat. Jokowi membawa program Nawacita (Sembilan Agenda).

Nyarwi Ahmad yang juga menjabat direktur eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) mengatakan awal Jokowi duduk di kursi RI-1, menjadi “sosok populis yang luar biasa”.

“Menjadi harapan dan tumpuan masyarakat,” katanya.

Selama memerintah bersama Jusuf Kalla sebagai wakil presiden, tidak ada gejolak politik yang berarti. Jokowi-JK merangkul sejumlah parpol yang semula berseberangan seperti Golkar, dan PPP. Dengan demikian, pemerintahan Jokowi berjalan makin kuat dan stabil.

Sejumlah tokoh militer di orde baru masuk dalam kabinetnya seperti Wiranto dan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan. Moeldoko juga dipilih menjadi kepala kantor Istana sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia.

Saat itu belum ada satu pun keluarga Jokowi yang benar-benar bergabung dengan politik praktis. Kedua putranya, Gibran dan Kaesang pada periode ini masing-masing fokus dengan usaha kuliner martabak dan pisang goreng. 

Pria dalam keluarga Jokowi lainnya adalah menantunya, Bobby Nasution, saat itu mengaku ingin fokus bisnis kedai kopi.

"Masih di dunia usaha dulu. Lebih fokus di dunia usaha dulu," kata Bobby kepada media di penghujung 2018.

Dalam kesempatan lain, Gibran mengaku tidak tertarik berpolitik. "Kalau jadi pebisnis, saya tertarik, tapi kalau politikus tidak," katanya, 11 Maret 2018 sebagaimana dikutip dari Tempo.

Jokowi juga mengatakan tidak memaksa anak-anaknya untuk terjun dalam panggung politik praktis. Dalam satu kesempatan, ia berkata: “anak-anak saya, saya berikan kebebasan penuh.”

Tapi orang bisa berubah. Pada 2020 Gibran dan Bobby melenggang ke panggung pilkada, dan menang masing-masing menjadi wali kota Solo dan wali kota Medan.

Dalam wawancara Jokowi menyangkal itu bagian dari dinasti politik.

"Kalau ada keluarga, misalnya anak, yang berpartisipasi dalam pilkada di daerah, itu rakyat yang menentukan, bukan Jokowi," katanya seperti dirilis BBC. 

Jokowi kembali menang pemilu melawan Prabowo Subianto yang kali itu berpasangan dengan Sandiaga Uno.

Sementara, Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin sebagai kombinasi “saling melengkapi: nasionalis religius” sekaligus figur yang dianggap bisa meraup suara Nahdlatul Ulama.

Rekapitulasi KPU menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan perolehan suara 55,5% dan Prabowo-Sandi 44,5%. Jokowi unggul di 21 provinsi melawan 13 provinsi.

Saat itu koalisi yang menyokong Jokowi makin gemuk, berkat konsolidasi yang dibangun selama periode pertama dengan Golkar dan PPP. Koalisi Indonesia Kerja (KIK) di bawah Jokowi yang juga berisi PDIP, PKB dan NasDem menguasai kursi parlemen 60,69%.

Dominasi parlemen makin kuat setelah Jokowi merangkul Prabowo sebagai menteri pertahanan, yang otomatis memasukkan Gerindra dalam barisan koalisi dengan tambahan suara di parlemen 12,57%.

Belakangan, PAN dengan suara di parlemen 6,84%, juga masuk barisan koalisi seiring dengan pengangkatan ketua umumnya, Zulkifli Hasan sebagai menteri perdagangan.

Koalisi besar dengan suara parlemen 80% akhirnya menopang pemerintahan Jokowi.

Meskipun terdapat parpol oposisi seperti Demokrat dan PKS, namun analis politik mengatakan keberadaan mereka tidak cukup kuat sebagai penyeimbang. 

“Di negara lain mungkin sulit tapi inilah Indonesia. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, demokrasi gotong royong,” kata Jokowi menjawab pertanyaan merangkul oposisi.

Dalam satu analisis politik memproyeksikan kehadiran Prabowo yang semula oposan menjadi bagian dari pemerintahan disebut bakal melemahkan oposisi. Akibatnya, sistem pengawasan dan keseimbangan pemerintahan ikut melempem.

Era "demokrasi gotong royong" ini diwarnai pelbagai demonstrasi besar di Indonesia, di antaranya unjuk rasa menentang hasil pemilu 2019, termasuk menolak revisi Undang Undang KPK dan revisi UU KUHP, serta anti rasisme di Papua.

Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM menunjukan setidaknya 52 orang meninggal dan ratusan lainnya ditangkap dalam demonstrasi yang diadakan sepanjang tahun 2019. Hal yang disebut aktivis HAM “sangat mengerikan” dan periode pasca reformasi yang paling banyak menelan korban jiwa.

Polisi membantah laporan ini, dan mengatakan mayoritas korban tewas “akibat rusuh”.

Setahun setelah Jokowi dilantik menjadi presiden, giliran putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, dan mantunya Bobby Nasution masing-masing menang pilkada kota Solo dan Medan.

Dalam periode ini, aparat keamanan juga mengambil alih penanganan kritik dari publik terhadap pemerintah “dengan berlebihan”, Jokowi dituduh membangun politik dinasti, dan memperluas konsolidasi elit politik apa yang disebut “oligarki”.

Gejolak politik yang terjadi saat itu membuat sebagian kalangan mengkhawatirkan terjadinya ‘neo-orde baru’.

"Jokowi bisa mengkonsolidasikan kekuatan oligarki untuk mendukung agenda-agendanya,” kata Nyarwi Ahmad.

Ririn Sefsani menambahkan, wajah politik Jokowi yang paling terbaca adalah saat merangkul Prabowo Subianto menjadi menteri pertahanan.

Ririn mempertanyakan kebijakan itu, karena mantan menantu Presiden Soeharto itu masih belum tuntas dengan kasus penculikan aktivis 97-98.

“Kompromi demi menjaga Indonesia, demi mengurangi gesekan sosial. Tapi di sisi lain, publik tidak dididik politik yang benar,” katanya.

Sejumlah kebijakan yang kontroversial seperti UU KPK, RKUHP dan menyusul UU Omnibus Law disahkan tanpa pertentangan yang berarti di parlemen.

“Semua adalah musyawarah mufakat,” kata Ririn.

Selain itu, ia menyebut “cara-cara represif” semakin kuat di periode kedua Jokowi.

Hal ini ditandai dengan maraknya peretasan akun aktivis, konflik agraria, kasus pemblokiran internet di Papua, ASN dilarang mengkritik pemerintah, sampai makin banyak polisi dan militer mendapat posisi di pemerintahan.

Namun, perlu dicatat, bahwa Jokowi tidak sendiri dalam mengatur pemerintahan. Ia mendapat dukungan dari elit koalisi partai di pemerintahan, yang juga tak bisa dilepaskan dari segala kebijakan-kebijakan kontroversial.

Misalnya, pengesahan revisi UU KPK yang disetujui semua fraksi DPR, dan Omnimbus Law Cipta Kerja oleh fraksi dari koalisi pemerintahan, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, PKB, PPP.

Periode kedua, Jokowi mampu memberi ruang kepada keluarga untuk bermain dalam panggung politik, bukan hanya di daerah tapi nasional.

"Jokowi termasuk presiden pascareformasi yang paling berhasil memperkuat politik dinastinya," kata Nyarwi Ahmad, yang menyebut Jokowi sebagai ketua dari sebagian para ketua partai politik di pemerintahan.

Dengan jatah kursi menteri dan pejabat teras di BUMN yang terdistribusi dengan baik untuk para pendukung dan parpol pendukung pemerintahan, menjadikan “modal bisnis dan politik bagi anak-anaknya untuk membangun jejaring yang lebih luas”.

“Termasuk berkontestasi dalam pilpres hari ini,” tambah Nyarwi.

Dibandingkan dengan presiden terdahulu, karir politik anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, terbilang cepat. Hanya butuh waktu dua tahun sejak menjabat wali kota Solo untuk memperoleh tiket bakal cawapres.

Sementara itu, Puan Maharani mendapuk kursi Ketua DPR pada 2019 - setidaknya butuh waktu 18 tahun sejak ibunya, Megawati Soekarnoputri menjadi presiden Indonesia pada 2001.

Dan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjabat ketua Partai Demokrat pada 2020 secara aklamasi. Setidaknya karir politik ini ia capai setelah 16 tahun, sejak ayahnya SBY menjabat presiden ke-6 pada 2004.

Pengamat komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sri Hastjarjo menilai perubahan yang menonjol dari Jokowi sejak awal karirnya sebagai wali kota dan saat menjadi presiden adalah cara mendengarkan persoalan di masyarakat.

“Salah satu yang monumental kan ketika mindah PKL dari Banjarsari. Sampai berbulan-bulan negosiasi langsung dan bertemu langsung, istilahnya dulu itu negosiasi makan.

"Sekarang nyaris kok yang itu sudah tidak ada ya. Langsung diputuskan, terkesan tidak lagi mendengarkan suara,” ujar dia.

Dalam polemik yang terjadi belakangan ini mengenai putusan MK yang memberi jalan bagi Gibran mendampingi Prabowo sebagai bakal cawapres, Jokowi “seolah membiarkan” suara masyarakat, tambah Sri.

“Apalagi soal kasus yang terakhir MK itu kan sepertinya sudah tidak mau mendengarkan apapun yang dikatakan oleh publik,” katanya.

Banyaknya kebijakan kontroversial disahkan tanpa mempertimbangkan suara yang bermakna, termasuk putusan MK baru-baru ini, menunjukkan pergeseran arah pemerintahan dari demokrasi menuju otoritarianisme, kata Devi Darmawan, peneliti Pusat Riset Politik dari BRIN.

“[Sekarang ini] adalah gerakan oleh elit politik. Politik sangat dipengaruhi oleh elit, tidak lagi rakyat yang menentukan,” kata Devi.

Kondisi ini, tambah Devi, sangat bergantung dari pemimpin sebuah negara.

“Semakin demokrat leader (pemimpin), wajah politik kita semakin demokratis,” katanya.

Dalam satu wawancara eksklusif dengan BBC, Jokowi mengaku dirinya masih seperti yang dulu.

Saat ditanya apakah Anda masih menempatkan diri sebagai ‘wong cilik’, ikon demokrasi dan memenuhi harapan itu?

"Ya, sampai saat ini Jokowi juga masih tetap seperti ini (tertawa), tidak berubah. Dan ya, terserah juga penilaian dari masyarakat," kata Jokowi.

Menurut Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, Jokowi memang tidak berubah.

"Beliau memang terlihat polos, tapi beliau ini politisi yang ulung. Justru dengan gayanya itu (polos), dia adalah politisi ulung," katanya. 

Keulungan Jokowi, menurut Hurriyah, salah satunya diwujudkan dengan mempersiapkan regenerasi, walau dia sendiri dipersepsikan sebagai antitesa dari semua hal buruk di Orde Baru, termasuk dinasti politik.

"Sebenarnya yang dilakukan Jokowi hanyalah mengikuti, meneruskan, tradisi yang sudah berjalan lama, sejak masa reformasi," kata Hurriyah.

Terlepas dari kritik jelang masa purnabaktinya, Jokowi setidaknya telah menjadi presiden pertama di era reformasi yang atas nama negara mengakui pelanggaran HAM berat di masa lalu - meskipun pada prosesnya ditantang untuk menyeret para pelaku ke pengadilan.

Sementara itu, Indeks Demokrasi Indonesia versi Economist Intelligence Unit (EIU), dalam periode satu dekade terakhir, masuk kategori flawed democracy atau "demokrasi yang cacat" dengan angka cenderung stagnan. Terakhir, angkanya 6,71 (2022).

Bagaimana pun, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin juga masih stabil di atas 50%.

Litbang Kompas pada Agustus lalu melaporkan angkanya mencapai 74,3%. Tingkat kepuasan publik yang diuji dalam survei ini meliputi bidang politik keamanan, kesejahteraan sosial, penegakan hukum, dan perekonomian.

Lembaga jajak pendapat lainnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indikator Politik Indonesia masing-masing mencatat angkanya 81,9% (Juli) dan 79,2% (Juni).

Jika merujuk pada data per 25-31 Oktober dari Morning Consulat Political Intelligent, maka tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi menjadi yang tertinggi di dunia – berdasarkan hasil survei LSI dan Indikator Politik.

Morning Consulat memang tidak memasukkan Indonesia dalam riset 22 negara. Tapi perbandingan tingkat kepuasan publik kepada Jokowi mengungguli skor tertinggi yang dipegang Narendra Modi (India).

Skor approval rating Jokowi juga terpaut jauh dengan Presiden AS, Joe Biden (38%), dan Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak (28%).

Menurut Nyarwi Ahmad setidaknya ada sejumlah hal yang bisa menjawab pertanyaan kenapa publik puas dengan kinerja Presiden Jokowi, dan kritik terhadap pemerintahan tidak terlalu berpengaruh:

  • Jokowi menggunakan wajah populisme sepanjang karir politik dengan kampanye-kampanye “demi kepentingan rakyat”.
  • Kucuran APBN untuk Program Dana Desa.
  • Program bantuan sosial, terutama bantuan langsung tunai.
  • Jaringan relawan Jokowi yang menjadi “mesin opini” melalui media sosial, menetralisir suara kritis masyarakat melalui “buzzer”.
  • Wacana kritis tentang kebijakan kontroversial hanya muncul di kalangan kelas menengah dan kelompok intelektual.

“Isu problematika pemerintahan Jokowi itu hanya jadi diskusi kelompok kelas menengah dan tidak tersebar masif di masyarakat,” kata Nyarwi.

Peneliti politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti sejurus dengan itu. Menurutnya, isu pemerintahan yang kontroversial dan menjadi catatan negatif pemerintahan Jokowi “tidak berefek langsung ke perut rakyat”.

“Jadi kepuasan publik konsisten selalu bagus karena imejnya bagus,” kata Puput, sapaan Aisah Putri Budiarti.

Ia juga menambahkan, pemerintahan Jokowi cukup baik dalam mendongkrak perekonomian di masa pagebluk, termasuk membombardir bantuan sosial kepada masyarakat - meskipun mendapat catatan data penerimanya bermasalah.

“Di saat bersamaan, semua kelompok basis politik masih mendukung Jokowi. Belum ada perpecahan, faksi dan kompetisi, sampai pencalonan hari ini,” kata Puput.

Dengan suara-suara kalangan yang kecewa, ditambah perseteruan keluarga Jokowi dengan PDIP berpotensi mengerek turun sentimen positif terhadap Jokowi. Ini artinya, pihak yang punya kepentingan untuk menjaga citra Jokowi, berkurang.

“Enggak semua parpol sekubu dengan Jokowi lagi. Ada kepentingan menang untuk pemilu, dan mengarahkan ke strategi politik yang akan dipakai,” kata Puput.

Sekali lagi, semua akan kembali pada drama elit politik. 

Publik harus belajar lebih hati-hati dalam memilih pemimpin di setiap pemilu, kata peneliti politik dari BRIN, Devi Darmawan.

Kata dia, wajah pemimpin saat berkampanye mungkin sangat demokrat, dekat rakyat kecil, tapi niat dan perilakunya sebenarnya bisa jadi sebaliknya.

“Perlu berhati-hati lagi dalam memilih seorang demokrat dalam pemilu. Apakah dia benar-benar demokrat, atau sebenarnya shadowing [untuk menutupi] dari otoritarianisme dalam tubuh demokrat ini,” katanya.

Sebagai sosok “kesayangan media”, di mana pun berada, dan apa pun yang disampaikan, Jokowi selalu menjadi perhatian publik. Rekam jejak digital-nya tersimpan, dan bisa ditelusuri siapa pun.

Berikut sejumlah pertentangan sikap dan pernyataan Jokowi terhadap isu-isu yang kontroversial:

  • Cawe-cawe Pemilu 2024

4 Mei 2023: Jokowi mengatakan “Saya bukan cawe-cawe. Urusan capres, cawapres, itu urusannya partai atau gabungan partai. Sudah bolak-balik saya sampaikan kan?” merujuk pertemuan 2 Mei 2023 dengan enam ketua parpol di Istana.

Cawe-cawe adalah bahasa Jawa yang artinya ikut campur tangan atau nimbrung.

29 Mei 2023: Jokowi mengatakan “saya harus cawe-cawe” dalam Pemilu 2024 dalam keterangan kepada pada pemimpin media massa, sebagaimana dikutip Tempo.

Belakangan pernyataan ini diklarifikasi pihak protokoler Istana dengan menyebut cawe-cawe yang dimaksud dalam konteks agar Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil. 

  • Dulu bilang ‘Yang logis saja lah’, sekarang merestui Gibran

22 Oktober 2023: Jokowi berkata, “Orangtua itu tugasnya hanya mendoakan dan merestui”. Pernyataan ini disampaikan dalam situasi Gibran menjadi bakal cawapres.

4 Mei 2023: Memasangkan Gibran dengan Prabowo, menurut Jokowi kurang tepat. “Yang pertama umur [usia Gibran belum memenuhi syarat]. Yang kedua, [Gibran] baru dua tahun jadi wali kota. Yang logis saja lah,” katanya.

  • Isu penundaan pemilu dan tiga periode

2 Desember 2019: "Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga [motif] menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, sebagaimana dilaporkan Kompas.

4 Mei 2022: Tiga tahun kemudian, Jokowi sedikit lebih lunak menanggapinya, karena penundaan pemilu atau tiga periode tidak bisa dilarang saat sejumlah elit politik mewacanakan hal ini. Itu bagian dari demokrasi.

“Karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat. 

  • Dulu kampanye pemerintahan ramping, sekarang gemuk

Dalam debat capres-cawapres 2014, Jokowi pernah menjawab satu pertanyaan penting mengenai pemimpin negara bebas dari tuntutan partai dan menghindari perilaku koruptif.

“Sejak awal sudah kami sampaikan bahwa kami ingin membangun sebuah koalisi, sebuah kerja sama yang ramping. Tidak usah banyak parpol yang bergabung, tidak apa-apa,” kata Jokowi seperti dikutip dari laporan Tirto.

Dalam perjalanannya, koalisi pemerintahan Jokowi mendominasi hingga 80% suara di parlemen.

“Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan 24 Oktober 2019.

  • Dulu kritik program bantuan langsung tunai SBY, sekarang beda

28 Maret 2012: "Kalau diberikan langsung tunai begitu, itu namanya kita mendidik masyarakat hanya menjadi tangan di bawah, menengadahkan tangan saja," kata Jokowi mengkritik kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono terkait BLT.

Lalu...

September 2022: "Agar daya beli masyarakat, konsumsi masyarakat menjadi lebih baik," kata Jokowi setelah BBM bersubsidi dinaikkan harganya. Saat itu penerima BLT subsidi BBM di seluruh Indonesia mencapai 20,6 juta, dikutip dari Kompas. 

  • Kebijakan antikekerasan

Saat menjabat wali kota Solo, Jokowi menerapkan kebijakan nirkekerasan dalam hal penggusuran. Contoh suksesnya adalah relokasi 900 pedagang di Taman Banjarsari ke Pasar Klitikan.

Namun, jelang sembilan tahun pemerintahan Jokowi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria, yang berdampak pada 5,8 juta hektar lahan. Sebanyak 1.615 warga ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

Dari ribuan konflik agraria ini, terdapat 77 kasus penembakan, terdapat 29 di antaranya meninggal karena mempertahankan hak-haknya. Data ini belum termasuk kasus penembakan di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang menewaskan tiga warga sipil.

Proyek Strategis Nasional (PSN) juga disebut menyumbang 73 konflik agraria (periode 2019 - 2022). Angka ini juga belum termasuk kericuhan yang terjadi di Sembulang, Kepulauan Riau. (*)

Tags : Joko Widodo, Politik, Pilpres 2019, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024, Demonstrasi, Protes,