Headline Linkungan   2021/03/21 13:29 WIB

Kehidupan Modern Tertutup, Tapi Sampah Plastik Rambah Kawasan Baduy Dalam

Kehidupan Modern Tertutup, Tapi Sampah Plastik Rambah Kawasan Baduy Dalam
Imbauan untuk tidak membuang sampah di kawasan Baduy yang menarik banyak wisatawan.

LINGKUNGAN - Pariwisata di Kampung Baduy di provinsi Banten berkembang dan sejalan dengan perkembangan ini sejumlah penduduk mengatakan perekonomian mereka ikut terbantu. Namun, orang Baduy, yang membatasi diri dari kehidupan modern dan menganut gaya hidup yang sangat dekat dengan alam, mulai kewalahan dengan menumpuknya sampah plastik.

Kampung Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, berkembang menjadi tempat wisata yang populer. Komunitas Baduy yang masih menerapkan gaya hidup tradisional dan memegang teguh adat istiadat menjadi daya tarik wisatawan, terutama masyarakat perkotaan Wisata Baduy berkembang sejak Provinsi Banten berpisah dengan Jawa Barat pada tahun 2000, sebagai dampak dari pemekaran wilayah.

Sejak itu, kunjungan wisatawan relatif lebih mudah, dibanding saat Banten masih bergabung dengan Jawa Barat. "Waktu saya ke Baduy pertama kalinya di tahun 1998, saya harus ngurus izin ke (dinas) Sospol Jawa Barat. Kalau sekarang, sejak pisah dengan Jawa Barat, lebih gampang datang ke Baduy," ujar Iwan Hermawan, wisatawan yang hampir tiap tahun berkunjung ke Baduy dirilis BBC Indonesia.

Suku Baduy Dalam yang membatasi kehidupan modern kini menghadapi masalah sampah plastik. (Foto. BBC INDONESIA)

Iwan masih ingat prosedur apa saja yang harus ditempuh saat akan berkunjung ke Baduy dengan mengisi formulir, menyerahkan fotokopi KTP, dan menjalani sesi wawancara. "Dulu selektif demi menjaga kelestarian Baduy," ungkap guru sebuah sekolah menengah atas di Bandung ini.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, wisatawan tidak perlu mengurus izin, tapi cukup membayar uang sebesar Rp4000 per orang dan menuliskan identitas di pos masuk menuju Kampung Baduy. Salah satunya, di pos masuk menuju pemukiman Baduy Luar di Kampung Balimbing, Desa Ciboleger. Kemudahan ini meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Apalagi, pemerintah Provinsi Banten telah menetapkan Baduy sebagai satu di antara tujuh pariwisata andalan Banten. "Kalau akhir pekan jumlah wisatawan yang datang rata-rata di atas 400 orang," kata Mulyono, ketua Himpunan Pramuwisata Baduy.

Suku Baduy atau biasa disebut Urang Kanekes tersebar di 65 kampung yang berada di wilayah Kabupaten Lebak Banten. Dari jumlah itu, hanya 10 kampung yang dikunjungi wisatawan; Kampung Balimbing (Baduy Luar) dan Cibeo (Baduy Dalam). Sebelumnya, banyak warga Baduy yang berprofesi sebagai petani namun dengan kedatangan wisatawan, banyak yang memiliki usaha tambahan, utamanya berdagang. "Warga menjual kerajinan tangan seperti tenun, hasil bumi, durian, pisang, juga madu. Ekonomi Baduy membaik sejak banyak wisatawan," kata Mulyono yang juga tokoh pemuda Baduy Luar Kampung Balimbing.

Tumbuhnya ekonomi warga Baduy, terlihat dari banyaknya warung di sepanjang jalan menuju Kampung Balimbing. Warung-warung menyatu dengan rumah dan perempuan yang sedang menenun menjadi pemandangan lazim di kampung itu. Suara alat yang beradu saat perempuan menenun juga lumrah terdengar. Anak-anak sibuk menjajakan kerajinan khas Baduy sementara pedagang berkeliling menawarkan minuman kemasan terlihat di antara wisatawan. Bahkan, saat menyusuri bukit dari Kampung Balimbing ke Cibeo sejauh kurang lebih 8 kilometer, akan sangat mudah menemui pedagang minuman kemasan di beberapa titik di sepanjang perjalanan.

Sampah plastik meningkat

Suku Baduy, terutama Baduy Dalam, dikenal sebagai suku yang masih kuat memegang teguh adat istiadat yang diwariskan leluhur. Mereka tetap menjalankan sejumlah larangan yang tujuannya menjaga kelestarian alam. Sejumlah aturan yang mereka anut hingga kini antara lain tidak menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, dan larangan menggunakan alat elektronik atau peralatan modern lainnya.

Kemasan plastik dianggap sebagai hal modern sebab masyarakat Baduy terbiasa memakai kemasan dedaunan, seperti daun pisang dan daun patat untuk membungkus makanan. "Kalau nasi bungkusnya daun pisang, daun patat, atau daun ubi. Tidak pakai plastik, hanya daun pisang dan patat. Itu larangan dari dulu. Itu ciri khas Baduy Dalam memakai daun pisang dan daun patat," kata Sadi, warga Baduy Dalam yang diterjemahkan dari Bahasa Sunda.

Kemasan plastik nyaris tidak pernah digunakan warga Baduy Dalam. Untuk kegiatan mandi atau mencuci, mereka terbiasa memakai bahan alami. Mandi dan sikat gigi menggunakan honje, sedangkan mencuci baju menggunakan lerak. Bahan alami itu digunakan lantaran warga Baduy Dalam dilarang mengotori sungai. Namun, meningkatnya kunjungan wisatawan ditambah ramainya usaha dagang warga yang sebagian besar menjual produk makanan minuman berkemasan plastik, mendatangkan persoalan baru.

Sampah plastik semakin banyak ditemukan berserakan di sekitar pemukiman warga Baduy, yang juga area kawasan wisata itu. Botol-botol minuman kemasan, bungkus plastik makanan ringan, juga sedotan adalah jenis sampah yang dominan ditemukan di jalan maupun di sungai atau di tempat sampah yang tersedia sepanjang jalan. "Dulu belum banyak sampah plastik. Pengunjung masih sedikit karena sulitnya proses pengurusan izin masuk Baduy," ungkap Iwan.

Kampung Baduy seperti diserbu sampah plastik. Warga yang dulu jauh dari sampah plastik ini, kini akrab dengan sampah yang sulit terurai itu. "Tahun 2000-an, saya masih jarang menemukan sampah plastik. Sungai masih belum ada plastik lewat, di jalan-jalan juga sama, belum ada. Tapi sejak tahun 2003, sudah mulai-mulai kelihatan banyak sampah plastik," ujar Mulyono, pemuda kelahiran 1994.

Sampah plastik perlahan merambah Baduy Dalam, seiring semakin leluasanya wisatawan masuk ke kampung adat itu. Kondisi itu bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat Baduy Dalam yang menghindari memakai benda modern seperti plastik. Masyarakat Baduy yang selama ini tidak pernah kesulitan mengelola sampah organik yang akan terurai dengan sendirinya ini, kini kebingungan mengatasi tumpukan sampah plastik.

Mereka yang tidak paham cara mengelolanya akhirnya memilih untuk membakar sampah plastik. "Melihat sampah plastik pasti agak lebih sulit dari tahun ke tahun. Pendatang semakin banyak, semakin bertambah warga Baduy Dalam juga dari tahun ke tahun, khawatirnya sampah plastik kalau bertahun-tahun tidak dibakar, misalnya dibuang sembarangan saja, ditumpuk, semakin lama akan semakin meluas," kata Sapri, warga Baduy Dalam.

Tapi, Sapri menyadari membakar sampah plastik tidak menyelesaikan persoalan. Asap pembakaran sampah plastik mulai mengganggu pernafasan warga setempat. "Pasti ada bedanya. Kalau plastik sangat menyengat hidung, juga terasa pedas, kalau sampah organik tidak terlalu dihindari, (baunya) kayak asap pepesan," ujar Sapri yang biasa dipanggil Ayah Sarno ini. "Tidak ada aturan adat menangani plastik. Dibakar bagaimana, tidak dibakar juga bagaimana?"

Membakar sampah plastik juga dilakukan warga Baduy Luar. Mulyono beralasan, hal itu dilakukan lantaran minimnya edukasi pengelolaan sampah plastik. "Kita di sini tidak ada edukasi bagaimana mengelola sampah itu dan harus dijadikan apa. Makanya kita di sini kebingungan dan daripada kita melihat tumpukan sampah, akhirnya satu-satunya jalan ya dibakar," ujar Mulyono.

Sampah plastik di area Suku Baduy Dalam meningkat dengan naiknya wisatawan (Foto. BBC INDONESIA)

Meski enggan menyalahkan wisatawan atas menumpuknya sampah plastik, namun Mulyono berharap kesadaran wisatawan agar tidak membawa sampah ke wilayah Baduy. Mulyono juga berharap, wisatawan bisa ikut mengedukasi warga Baduy. "Seharusnya teman wisatawan yang datang ke Baduy bisa mengingatkan orang Baduy karena plastik merupakan hal yang baru bagi warga Baduy. Jadi wajar kalau mereka tidak tahu apa sih dampak sampah plastik itu. Harusnya mereka (wisatawan) datang ke sini mengedukasi warga tentang sampah plastik," kata Mulyono.

Sampah yang berserakan juga membuat wisatawan tidak nyaman, seperti yang diakui Emi Priyanto Nugroho, wisatawan asal Tangerang. Senada dengan pendapat Mulyono, perempuan 63 tahun itu juga setuju, perlu keterlibatan wisatawan dalam mengatasi sampah plastik di Baduy. "Sampah-sampah plastik ada (berserakan), mungkin perlu edukasi juga. Kita sebagai wisatawan perlu edukasi mereka untuk jaga kebersihan lingkungan. Kalau banyak sampah, kurang nyaman, kelihatan seperti kumuh, kotor. Kalau bisa, sebisa mungkin kita mengurangi penggunaan plastik untuk menjaga lingkungan lebih asri," kata Emi.

Tidak hanya Emi, sejumlah komunitas telah menunjukkan kepedulian terhadap sampah di Baduy. Komunitas Bike to Work terlihat memasang sejumlah papan imbauan, seperti "Jangan kau nodai alam Baduy dengan sampahmu" dan "Bawa kembali sampahmu". (*)

Tags : Suku Baduy, Baduy Dalam, Kehidupan Suku Baduy Dalam Tercemar, Sampah Plastik Rambah Kawasan Baduy Dalam,