Headline Sorotan   2022/08/28 16:33 WIB

Kisah Warga Desa Jaga Hutan demi Lingkungan Sehat 'Sudah Sirna', 'karena TPP Buat Angan-angan Kosong, Apa yang Terjadi?'

Kisah Warga Desa Jaga Hutan demi Lingkungan Sehat 'Sudah Sirna', 'karena TPP Buat Angan-angan Kosong, Apa yang Terjadi?'

Kisah masyarakat desa di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) jaga hutan demi lingkungan sehat pupus sudah karena hutan dialih fungsikan jadi kebun sawit.

erusahaan PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP) dalam menjalankan operasionalnya bidang perkebunan sawit mempunyai kisah tersendiri.

Perkebunan sawit perusahaan PT TPP ini menyebar di delapan desa (Desa Lirik, Sei Lala, Banjar Balam, Redang Seko, Sei Sagu) masuk pada Wilayah Kecamatan Pasir Penyu, sedangkan Desa Sei Meranti dan Desa Ukui sebagian masuk wilayah Kabupaten Pelalawan, Riau.

Benarkah kehadiran perusahaan membantu warga memperoleh hak hidup?

Kisah masyarakat desa di Kecamatan Pasir Penyu misalnya, warga dari semula ikut menjaga hutan demi lingkungan sehat.

"Tetapi warga disini masih mempertanyakan proses kelebihan Hak Guna Usaha (HGU) yang sempat dikuasai perusahaan PT TPP," kata Darul Rangkuti, Aktivis Eka Nusa yang melakukan invenstigasi menyelusuri kehidupan masyarakat beberapa pekan ini.  

Kelebihan izin HGU PT Tunggal Perkasa Plantation masih jadi perhatian.

Masyarakat Desa Sei Lala mulai dari kampong Banjar Balam dan Redang Seko pada pekan pertama Juni lalu terus alami kegelisahan.

Pasalnya, semula lahan berbentuk hutan kini sudah berubah fungsi jadi kebun sawit.

"Kisah penyelamat lingkungan hutan pun disini sirna. Komitmen masyarakat dahulunya  menjaga keaslian hutan mereka hingga berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan menjaga gaya hidup sehat sudah pupus," kata Dahrul.

"Saat ini wilayah administratifnya meliputi Kecamatan Pasir Penyu, Lirik dan Sei Lala. Kemudian HGU No 15 tahun 1997 seluas 3.627 ha di Desa Banjar Balam dan Redang Seko Kecamatan Lirik serta HGU No 01 tahun 1997 seluas 1.064 ha di Desa Ukui Dua wilayah Kabupaten Pelalawan."

Masyarakat Sei Lala tercatat memiliki lebih kurang 300 Kepala Keluarga (KK) kondisinya membuat mereka tak pernah kekurangan sumber air, yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. 

Dahrul Rangkuti, Direktur Eka Nusa, yakni sebuah LSM bidang pelestarian dan pemanfaatan biodiversity Sumberdaya Alam di Riau ini, dalam sebuah wawancara dengan riaupagi.com menjelaskan masyarakat Sei Lala memegang filosofi ‘Hutan adalah ibu, hutan adalah air susu ibu dan air untuk kehidupan’.

Tetapi yang sangat diherankan, hutan mereka sampai sekarang tak bagus lagi, alias sudah berubah fungsi jadi kebun sawit.

“Bagi masyarakat, di hutan itu mereka bisa mendapatkan segalanya. Tanah di sana bersifat komunal (kepemilikan bersama), tapi masyarakat diperbolehkan menanam pohon, di mana pohon itulah yang bersifat kepemilikan,” kata Dahrul.

Masyarakat di delapan desa itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dahulunya dengan cara berkebun, bertani, berburu dan meramu. Contohnya, mereka berkebun singkong, durian, dan karet. Pendapatan tahunan mereka diperoleh dari hasil berkebun karet, rotan dan kopi.

“Persaingan dikalangan masyarakat desa tidak ada. Mereka hidupnya bergotong royong. Itu yang selalu dilakukan. Mereka panen padi pun bareng-bareng. Semua diatur dengan aturan adat,” ujarnya.

"Tapi itu dulu (dua puluh tahun terakhir). Masyarakat desa disekitar Kecamatan Pasir Penyu itu, menggunakan hukum adat untuk mengatur lingkungan," sambungnya.

"Hasil bercocok tanam, digunakan untuk konsumsi sendiri, seperti singkong, beras, ketan atau sayur-mayur. Sedangan hasil pertanian yang bersifat tahan lama, selain digunakan sendiri juga disimpan sampai banyak – baru dijual."    

Di delapan desa itu hidup dari alam membuat masyarakat sehat – sehat. Di sana tidak ada Covid-19 sehingga masyarakatnya tidak memakai masker. Dahrul menyebut, penyakit yang paling parah cuma malaria dan nyamuk kepala putih yang suka menyerang hewan ternak. 

Desa Desa Lirik, Sei Lala, Banjar Balam dan Redang Seko menjadi tempat tinggal masyarakat yang berlokasi 50 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Inhu tak membuat mereka ketar-ketir karena generasi muda dahulu berkomitmen mempertahankan hutan.

Seperti perusahaan PT Tunggal Perkasa Plantation [TPP] salah satu anak perusahaan PT Astra Group yang berbasis di Jakarta itu, menempatkan karakteristik tersebut dengan membuat syarat-syarat yang ideal dan telah membangun kembali hutan yang rusak menjadi tumbuhan penompang hidup seperti kelapa sawit.

Perusahaan itu beroperasi di lingkungan alam yang tidak bisa 'menyembuhkan' diri sendiri dan masuk kewilayah-wilayah terpencil ke tempat-tempat dengan kondisi yang sulit baik dari segi cuaca, dengan musim panas, penghujan dan medan yang berat.

Pada awal masuknya perusahaan ini mereka menggarap lahan yang sudah tak terurus milik pemerintah daerah dan menghujaninya dengan alat khas mereka.

Membantu pembibitan pada tahun pertama di antaranya bertahan dari musim panas tanpa sistem irigasi tambahan, sungguh suatu pencapaian luar biasa untuk tanaman keriting asal afrika elaeis guineensis itu mulai dikembangkan.

Dengan lokasi penempatan usaha perkebunan sawit di dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau diatas rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir (2000 – 2009) adalah 2 763.5 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan adalah 135 hari/tahun.

Sedangkan rata-rata bulan kering 1.9 bulan/tahun dan rata-rata bulan basah 9.2 bulan/tahun. PT TPP menempatkan areal perkebunan sawit diatas jenis tanah dua ordo, yang menurunkan lima subgroup, yaitu Inceptisol (Fluvaquepts, Aquic Dystrudepts) dan Ultisols (Typic, Hapludults, Typic Kanhapludults, Typic kandiudults) dengan fisiografi pada sebagian areal berbentuk flat, rolling, dan rendahan.

Sifat-sifat tanah lapisan atas dari kebun kelapa sawit PT TPP semuanya bereaksi sangat masam dengan pH-H2O (1:5) < 4.5.

Keadaan tanah yang sangat masam tersebut juga disertai dengan kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) yang sangat rendah, sehingga kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basanya (KB) juga rendah atau sangat rendah. Kemampuan tanah yang rendah dalam pertukaran kation tersebut diperburuk oleh adanya tekstur tanah yang kasar, yaitu tanah pasir (sand) atau tanah berpasir (sandy).

Kandungan fosfor (P) dan Kalium (K) potensial tanah ekstrak HCl 25 % semua contoh tanah termasuk sangat rendah. Sedangkan P tersedia ekstrak Bray 1 dan K dapat ditukar bervariasi dari sangat rendah sampai sedang atau tinggi, walaupun demikian sebagian besar termasuk sangat rendah.

Mereka terbuka pada masuknya investasi dari luar, namun harus digaris-bawahi investasi itu tidak boleh merusak hutan. Kalau ada investasi masuk, apapun itu yang merusak alam, masyarakat akan berfikir lagi.

Investasi hanya boleh untuk tujuan menaikkan perekonomian mereka. Contohnya, untuk memperbaiki jalan supaya mereka bisa lebih mudah menjual hasil bumi atau membangun sekolah.     

Dahrul menjelaskan, kondisi jalan kampong banyak yang rusak parah telah membuat masyarakat desa harus menghabiskan waktu tiga jam untuk ke Kota.

Selain itu, lantaran kondisi gedung sekolah rusak, maka anak-anak desa belajar dengan sistem sekolah kunjung (guru datang ke desa).    

Tetapi Dahrul menangkap sinyal, dalam 10 tahun terakhr, kondisi alam di kampong itu mulai ricuh. Sebab masyarakatnya yang tadinya memegang aturan adat dengan kuat, yang tidak akan merubah hutan mereka dan ini pupus sudah karena kebaikan warga dan alam mulai rusak karena masuknya investasi.

"Mempertahankan hutan  dan menjaga gaya hidup sehat dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan mulai sirna."

Warga desa itu mempertanyakan proses dugaan kelebihan HGU PT TPP.

Proses over Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP) di Air Molek, Kecamatan Pasir Penyu Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau, menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, pasalnya, sudah 15 tahun terakhir belum ada kepastian apakah HGU itu berlebih atau tidak.

Tahun 2012 silam Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Inhu bersama Tim Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, BPN, Bagian Tapem yang dipimpin mantan eks Sekdakab HR Erisman, pernah melakukan pengukuran ulang lahan.

Tapi sayang, kegiatan inventarisasi dan penataan lahan perkebunan milik Astra Group tersebut justru stagnan, tanpa publikasi hasil pengukuran lahan HGU.

Kegiatan tersebut terealisasi dibiayai oleh uang rakyat melalui APBD II Inhu tahun anggaran 2012 di Dinas Perkebunan Inhu sebesar Rp 200 juta lebih, sebagaimana SK Bupati Inhu Nomor 390 Tahun 2012, tertanggal 12 Nopember 2012, kata Hatta Munir, salah satu tokoh warga Air Molek pada media.

Mantan anggota DPRD Inhu ini juga menyebutkan kalau hasil kegiatannya tidak jelas, karena pada akhirnya tidak ada ending.

Untungnya, kata Hatta, kopian data hasil ukur Tim tahun 2012 tersebut ada di tangan sumber, dengan rincian kelebihan HGU yang dikuasai PT TPP mencapai 1.108 hektare.

Ia berharap kelebihan lahan tersebut dapat ditindaklanjuti dan disita oleh negara, serta dilakukan audit wajib pajak.

“Terhadap penerapan undang-undang pemerintah jangan tebang pilih,” pinta Hatta, yang juga aktivis anti korupsi di Inhu tersebut.

Hadi Sukoco dikonfirmasi soal itu Jumat (26/8/2022) melalui WhatsApp (WA) nya tidak menjawab. Berselang kemudian Hadi hanya menuliskan keluhan; "Saya masih mumet Bang ... semua nanya, sedangkan pusat terus menekan ... makanya sy gak berani jwb kesiapapun ..."

Plang pemberitahuan disekitar konsensi HGU

Ketentuan dari HGU itu sendiri sudah ada aturannya dalam Peraturan Perundangan terkait Hak Guna Usaha ini tercantum di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

Undang-Undang itu mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia.

Pengertian yang dimiliki oleh HGU sendiri sudah diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

Selain UUPA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah juga mengatur terkait HGU. Di mana, isi dari PP ini lebih mengatur kepada hal-hal lain terkait HGU itu sendiri.

Tidak semua orang bisa memiliki sertifikat HGU, karena hal ini sudah diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

Adapun, yang dapat memiliki HGU adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Jika pemegang HGU sudah tidak memenuhi syarat sebagai WNI dan bukan badan hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia, maka pemegang Hak Guna Usaha tersebut dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkannya.

Mereka harus mengalihkannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika tidak dilepaskan ataupun dialihkan, maka Hak Guna Usaha tersebut akan hapus dan status tanah kembali menjadi tanah negara.

Seperti HGU PT Tunggal Perkasa Plantations (TPP) bukti masih HGU, PT TPP Pasang Plang himbauan kepada warga disekitar Konsensi HGU tidak dibenarkan mendirikan bangunan dan aktivitas lainnya diareal tersebut.

Tetapi kenapa didirikan plang larangan atau semacam himbauan itu tidak lain tujuannya untuk menjaga agar lahan Hak Guna Usaha (HGU) lebih tertata dan aman dari gangguan Sosial Politik (Sospol) dan lainnya.

Administratur (ADM) diwakili Humas CDO PT TPP, Hadi Sukoco membenarkan lahan lebih kurang 10 Ha itu masih setatus HGU TPP. Lahan itu dulunya untuk Fasilitas Umum (Fasum) tempat didirikan Rumah Sakit oleh Pemkab Inhu namun gagal.

Mengenai dibangun RTH oleh pemerintah dan Kantor Lurah Tanah Merah, "kalau tidak salah itu pinjam pakai, yang saya ketahui bahwa lahan lebih kurang 10 Ha itu masih setatus HGU TPP," sebutnya.

“Mengenai pemasangan plang himbauan dilarang menggarap lahan dan mendirikan bangunan diareal TPP itu hanya untuk mengantisifasi agar tidak ada warga mendirikan bangunan secara Ilegal diareal HGU Perusahaan,” tegas Hadi Sukoco.

'Jatuh bangun PT TPP dalam alih fungsi hutan jadi kebun sawit'

"Bisakah kita mengembalikan hutan yang rusak setelah diratakan dengan tanah dan dibersihkan melalui alih fungsi hutan yang berubah menjadi kebun sawit dengan alasan membantu warga memproleh hak hidup melalui berbagai program?"

Seperti kembali disebutkan Darul Rangkuti, setengah milenium lalu, seperti hutan-hutan menutupi sebagian besar wilayah Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu], Riau namun hal itu berubah dengan cepat bahkan menjadi hamparan kebun sawit.

Pembangunan dan peningkatan ekonomi selama puluhan tahun, ditambah perluasan pertanian, perkebunan dan penebangan kayu untuk pembuatan mebile dan kegiatan ekspor telah menyapu bersih sebagian besar hutan dan mengubah kawasan desa-desa kecil di Inhu, menjadi sebuah lansekap yang terdegradasi.

Daerah dengan iklim yang basah dan tanah yang subur itu diletakkan beberapa program penanaman hutan kembali yang umum seperti peralihan tanaman kebun kelapa sawit.

Dalam perjalananya, perusahaan TPP mengembangkan komuditi kelapa sawit intinya membantu warga memproleh hak hidup melalui alih fungsi hutan dengan kebun sawit, tetapi tak lepas berbagai konflik tanah masyarakat.

Perlawanan dari masyarakat yang tak mengerti dengan maksud serta tujuan program yang diluncurkan perusahaan justru dituduhkan oleh petani terkait tanahnya yang dirampas oleh PT TPP di Desa Air Molek, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Para pelaku seperti pemilik perusahaan, karyawan perusahaan, masyarakat yang tanahnya dirugikan, tokoh adat, anggota DPRD dan lembaga swadaya masyarakat [LSM] pun tersita perhatiannya terhadap berbagai persoalan di daerah mencuat bagaikan menggetarkan seluruh sentaro bumi yang dikenal mayoritas berpenduduk Melayu itu.

Gambaran-gambaran tempo dulu dari kehidupan masyarakat yang tanahnya dirampas oleh PT TPP kian hari kian memprihatinkan. Hal itu ditandai dengan tidak mampunya masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

"Yang lebih mengenaskan adalah makam penduduk sipil pun ikut tergadai dan rata dengan tanah menjadi kebun sawit."  

Untuk mencukupi kebutuhan mereka tersebut pun terkadang mereka melakukan aksi pencurian buah sawit milik PT TPP.

Masyarakat bukan saja hanya berdiam diri, sudah banyak cara yang mereka lakukan untuk mengambil kembali tanah mereka yang sudah dirampas.

Upaya atau perlawanan yang dilakukan ada yang bersifat tertutup dan ada yang bersifat terbuka.

Sepanjang Orde Baru hingga Reformasi, masyarakat lebih melakukan aksi perlawanan yang bersifat tertutup.

Hal ini dikarenakan masyarakat tidak ingin terlacak oleh perusahaan dan pemerintah. Untuk menutupi jejak mereka, lantas mereka melakukan aksi-aksi pencurian, mogok kerja, dan pembakaran lahan kebun.

Setelah Reformasi, perlawanan yang dilakukan masyarakat cenderung bersifat terbuka. Hal tersebut ditandai dengan di tahun 1999, masyarakat mulai berani melakukan aksi demonstrasi. Hingga puncaknya di tahun 2013, saat HGU PT TPP di wilayah Kecamatan Pasir Penyu telah habis masa berlakunya.

Untuk menuntut hak mereka kembali, banyak upaya yang sudah dilakukan. Demonstrasi hingga bentrokan sudah dirasakan oleh masyarakat sepanjang tahun 2013 itu.

Akan tetapi, segala perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menuntut haknya kembali sia-sia belaka. HGU PT TPP yang menjadi objek konflik diperpanjang kembali oleh BPN-RI.

Bahkan untuk mempertanyakan kebenaran HGU tersebut, masyarakat membawa permasalahan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hasilnya, masyarakat dikalahkan bahkan sampai tiga kali di Pengadilan. Masyarakat lagi-lagi harus menanggung beban hidup yang kian hari kian memberatkan. 

Perusahaan kelapa sawit kerap mengalami konflik di lapangan dengan masyarakat terkait pengelolaan lahan konsesi di berbagai daerah perkebunan sawit di Indonesia.

Carut marut gambaran ditubuh perusahaan ini, Humas dan CDO PT TPP Hadi Sukoco saat dikonfirmasi lewat ponselnya tidak ingin menjawab.

Tetapi menurut Kepala Humas PT Astra Agro Lestari Grup Tbk Tofan Mahdi menanggapi konflik-konflik di daerah itu tidak murni untuk kepentingan masyarakat, tapi justru konflik itu berpotensi membonceng kepentingan pihak lain, termasuk pihak asing.

Tofan Mahdi  menilai, ada upaya untuk menghambat perkembangan investasi sawit di Indonesia dengan cara menghalangi perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU).

Dia menjelaskan, posisi Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit di dunia karena memiliki perkebunan sawit yang luas merupakan modal yang menjanjikan.

Sebab, perkebunan sawit di sejumlah daerah turut menggerakkan perekonomian daerah baik itu dalam bentuk membuka lapangan kerja, membangun infrastruktur dan memberdayakan masyarakat setempat.

Itu sebabnya, "kita juga harus mewasdapai bahwa di balik konflik-konflik yang muncul itu, karena bisa saja ditopang kepentingan bisnis tertentu," ujar Tofan didepan media belum lama ini.

Tofan menjelaskan PT Tunggal Perkasa Plantations (PT.TPP) yang terletak di Riau anak usaha dari PT Astra Agro Lestrari Group (PT AAL Tbk) yang pernah izin HGU nya dipermasalahkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu (Pemkab Inhu), Provinsi Riau telah diselesaikan.

Izin perpajangan HGU TPP telah dikeluarkan sehingga, TPP dapat beroperasi seperti sediakala. Selain itu, Tofan mengatakan perkebunan kelapa sawit milik TPP telah mengantongi sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).  

Pemkab Inhu mengklaim adanya kelebihan lahan seluas 1.108 hektare (ha) dari luas areal HGU yang dikantongi PT TPP dari luas izin HGU kedua yang dikantongi seluas 3.627 ha.

Tapi setelah diukur ternyata luasnya 4.735 ha. Perusahaan pun seakan berang atas kampanye negatif terkait isu yang dihembuskan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberi cap negatif atas perkebunan sawit di Inhu itu yang tidak ramah lingkungan.

Malah sebaliknya perusahaan menilai semua itu syarat dengan kepentingan pihak tertentu yang memberi modal kepada beberapa LSM.

Tetapi sampai hari ini PT Tunggal Perkasa Plantations (PT TPP) yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri perkebunan kelapa sawit yang berada di bawah naungan PT Astra Agro Lestari, Tbk.

Produk utama yang dihasilkan adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan inti sawit (kernel).

"PT TPP yang terletak di Kecamatan Pasir Penyu, Inhu, Riau itu memiliki areal kebun kelapa sawit dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) sebesar 14 935.40 ha dengan areal tanam seluas 14 153.56 ha dan memiliki pabrik pengolahan Crude Plam Oil (CPO) dan kernel dengan kapasitas olah 60 ton/jam dan telah memperkerjakan 3 016 orang karyawan yang terdiri atas 50 orang staf, 482 orang karyawan bulanan, 1 045 karyawan harian tetap, dan 1 439 karyawan harian lepas."

"Hak Guna Usaha [HGU] perusahaan ini luasnya 14 935.40 ha dengan areal tanam seluas 14 153.56 ha yang terbagi atas lima kebun, yaitu Kebun Sei Sagu 3 234.88 ha, Kebun Sei Meranti 3 029.79 ha, Kebun Sei Lala 3 377.48 ha, Kebun Redang Seko 4 511.46 ha, dan kebun Plasma KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) 1 393.02 ha da memiliki pabrik pengolahan crude palm oil (CPO) dan kernel dengan kapasitas 60 ton/jam."

'Penertiban yang setengah-setengah'

Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan Hutan dan Lahan Secara Ilegal bentukan Pemprov Riau lantas memunculkan peraturan untuk penertiban terhadap beberapa perusahaan kebun kelapa sawit yang menggunakan lahan ilegal.

"Dalam perjalannya Satgas menemukan 5 perusahaan yang terindikasi tidak mengantongi izin di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Indragiri Hulu dan Kampar," kata Larshen Yunus, S.Sos, Sc,SE, M.Si, C.L.A, C.Me, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) menyikapi. 

Bahkan, menurutnya, sebagian lahan kebun kelapa sawit milik PT Tunggal Perkasa Plantation di kawasan Pasir Penyu Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) terindikasi berada dalam kawasan Hutan Produksi yang bisa di Konversi (HPK).

"Kalau dihitung-hitung, luasannya mencapai 10.385,59 hektar," sebutnya.

Namun mengingat pernyataan Wakil Gubernur Riau (Wagubri), Edy Nasution mengatakan, Satgas terpadu yang di dalamnya juga tergabung Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, sedang memonitoring lahan-lahan perusahaan ilegal dan yang berada dalam kawasan hutan.

“Jadi Satgas ini sudah menurunkan tim sebagai mata dan telinga untuk mendapatkan data akurat di lapangan. Data awal 99,9 persen sudah benar,” ulang Larshen seperti dalam keterangan Wagubri itu.

Penertiban kawasan ilegal, sesuai instruksi Presiden Jokowi. Perusahaan yang tidak memiliki izin akan ditindak tegas.

"Baik itu izinnya bodong atau memang tak memiliki izin sama sekali. Kita sikat habis, karena sudah merugikan negara," tegas mantan Danrem 031 Wirabima ini.

Edy kemudian merinci, Satgas yang dibikin oleh Pemprov Riau tadi dibagi menjadi dua tim, masing-masing tim beranggotakan 40 orang.

Tim itu sedang bekerja di lapangan untuk mengumpulkan bahan dan keterangan. Saat ditanyai perusahaan mana saja yang diduga ilegal, Edy masih merahasiakan.

Humas PT Tunggal Perkasa Plantation, Hadi Sukoco pernah menyebutkan, luas Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan itu mencapai 14 ribu hektar.

Dia mengklaim tidak ada kelebihan HGU di lahan itu.

"HGU kami sudah ada sejak tahun 1913 dan sudah beberapa kali perpanjangan (HGU),” katanya.

Hanya saja saat ditanya apakah benar sebahagian luasan lahan HGU tadi terindikasi berada di HPK dan belum mendapat izin pelepasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hadi memilih tidak mau berkomentar.

"Kalau soal itu, yang mengerti bagian legal kami. Saya hanya bidang teritorial," ujarnya.

Perusahaan tempat Hadi bekerja adalah Anak Perusahaan (AP) Astra Group.

Beberapa tahun lalu, sempat terjadi konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan itu.

Carut marut ditengah perusahaan

Dalam perjalanan pengembangan usaha perkebunan perusahaan yang tak lepas 'menggunakan kawasan hutan' di Kecamatan Lirik dengan membuka kebun sawit seluas 2.000 ha disebutkan PT TPP menggunakan melalui Koperasi Sawit Redang Seko sudah berlangsung sejak tahun 1999 lalu.

Pembangunan kebun sawit tersebut didasarkan atas SK Bupati Inhu nomor: 91/460-IHI/V/1999 tanggal 19 Mei 1999 yang ditandatangani mantan Bupati Inhu H. Ruchiyat Saefuddin yang memberikan izin membuka tanah atas nama anggota Kelompok Tani Koperasi Redang Seko seluas 2.000 hektar.

Namun kritikan masyarakat setempat dari luas areal tersebut ada 1.362 hektar areal yang dijadikan sebagai kebun sawit pola KKPA oleh PT TPP berada dalam kawasan hutan.

Masa Suseno Adji menjabat Kepala Dinas Kehutanan Inhu juga tidak menampik kalau areal yang dijadikan kebun sawit oleh Koperasi Redang Seko bekerjasama dengan PT TPP berada dalam kawasan hutan.

Sebagai salah satu bukti berdasarkan peta kawasan hutan Propinsi Riau lampiran keputusan Menteri Kehutanan nomor: 173/kpts-II/1986 areal koperasi sawit Redang Seko sebagian besar berada pada Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HPT) dan sebagian kecil berada pada areal pengggunaan lain (APL).

Suseno Aji mengatakan perusahaan itu belum memiliki pelepasan kawasan hutan terhadap areal Koperasi sawit redang seko dari Menteri Kehutanan.

Itu lah sebabnya areal kawasan tersebut tidak mungkin bisa dibagi-bagikan kepada masyarakat untuk mendapatkan kebun sawit sebelum ada pelepasan kawasan hutan.

Lantas pihaknya juga pernah meninjau kembali lokasi areal kebun sawit koperasi sawit redang seko bersama dengan tim pemkab Inhu dan melakukan pengukuran dilapangan sesuai peta kawasan hutan yang memastikan hamper semua areal koprasi sawit redang seko masuk kawasan hutan.

Solusi yang bisa dilakukan menurut Seno, agar sawit bisa dinikmati masyarakat adalah mengurus pelepasan kawasan kepada Menteri, tentu beradasarkan titik kordinat yang ada dapat diketahui mengapa terjadinya perambahan kawasan hutan, apakah memang salah pengembangan dari izin yang ada atau memang ada permasalahan lain.

Sebenarnya, kata Suseno pengukuran ulang terhadap areal plasma kebun sawit pola KKPA PT. TPP sudah dilakukan Kanwil BPN Riau tahun 2005 lalu.

Melalui surat nomor: 600/949/IX/2005 tanggal 16 September 2005 disebutkan sehubungan dengan pengukuran ulang, maka lahan plasma dapat diproses lebih lanjut apabila PT. TPP sudah memperoleh pelepasan hutan dari Departemen Kehutanan.

Selain pembangunan kebun sawit dalam izin 2.000 hektar yang berada dalam kawasan hutan seluas 1.362 hektar, ternyata areal yang dijadikan kebun sawit Pola KKPA oleh PT. TPP seluas 299,5 hektar lagi berada dalam wilayah kabupaten Pelalawan.

Sedangkan areal seluas 414,25 hektar yang dibangun kebun swit oleh PT TPP berada di dalam HGU PT Gandaerah Hedana, sehingga semua lahan KKPA yang ada saat ini masih bermasalah.

Selain itu perusahaan telah melanggar SK Bupati Inhu terkait program pola kemitraan dengan warga disekitar perusahaan.

Bahkan berakhir tak kunjung direalisasikannya pada masyarakat lahan kebun sawit kepada kelompok tani (Koptan) yang anggotanya berasal dari Desa Jati Rejo, Desa Serumpun Jaya dan Desa Sungai Air Putih.

Surat Keputusan Bupati Indragiri Hulu Nomor Kpts: 520/IX/2019 tentang penetapan nama nama peserta kemitraan PT TPP yang tergabung dengan kelompok tani (Koptan) terdiri Desa Jati Rejo, Desa Serumpun Jaya Kecamatan Pasir Penyu dan Desa Sungai Air Putih Kecamatan Sungai Lala Kabupaten Indragiri Hulu sudah ditetapkan pada tanggal 16 September 2019, kata H Jumian selaku Kordinator Poktan di Airmolek.

Koptan yang terdiri dari 3 desa itu masih mengharapkan kebaikan perusahaan, semenjak SK Bupati diterbitkan belum ada sinyal dari TPP akan direalisasikannya kebun yang dijanjikan kepada Poktan.

Tetapi Cerita Jumian, awalnya ada kesepakatan melalui rapat bersama untuk penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Sungai Lala pada tanggal 29 Januari 2014 dan tanggal 2 April 2014 dengan Ketua PAP DPD RI, Direktur Konflik BPN RI, Ketua DPRD Kab Inhu, Sekda Kab Inhu, Direktur PT TPP serta Perwakilan Tokoh Masyarakat, Ketum LSM LP5SBI dan Kades Jatirejo.

"Seharusnya perusahaan sudah menyerahkan lahan kepada Koptan yang seluas 400 ha dimaksud dalam kondisi tanaman yang sesuai dengan standar perekebunan kelapa sawit," kata dia.

Sampai-sampai kordinator poktan melakukan pertemuan menyikapi keterlambatan realisasi penyerahan lahan tersebut dengan pihak menajemen PT TPP melalui CDO/Humas, Hadi Sukoco.

Dalam pertemuan di Cafee Wayang Supermaket Mini Berkah Kelurahan Kembang Harum Kecamatan Pasir Penyu Kabupaten Inhu yang disaksikan oleh Kepala Desa Serumpun Jaya dan Kepala Desa Jatirejo.

Dalam pertemuan itu Hadi Sukoco berjanji akan melakukan pembersihan lahan seperti pembuatan kanal dan pencucian kanal, penyisipan kelapa sawit yang rusak dan leandclearing pada bulan Januari 2020 lalu.

Lagi-lagi perusahaan ingkar janji untuk menyikapi hal tersebut, lantas Kordinator Koptan (H Jumian) yang didampingi Presiden Direktur LSM LP5SBI (Banteng YP) melakukan audensi dengan pemdakab Inhu yang difasilitasi oleh Sekda, H Hendrizal dan Kabag Tapem, R Fahrurrozi pada tanggal 12 Februari 2020 itu intinya Pemkab Inhu memanggil kembali ADM dan CDO/Humas TPP.

Administratur (ADM) melalui CDO/Humas PT TPP Hadi Sukoco dalam menanggapi soal kemitraan kebun yang arealnya di Desa Redang Seko belum direalisasikan ini belum bisa menjawab. 

Berbagai persoalan dialami perusahaan terus terjadi, seperti kisruhnya tuntutan lahan kebun kelapa sawit PT TPP setelah sebelumnya warga sebelas desa di Kecamatan Pasirpenyu mematok areal kebun perusahaan oleh warga Desa Lubukbatu Tinggal, Kecamatan Lubukbatu Jaya yang berujung melakukan aksi menduduki lahan PT TPP.

Aksi pendudukan lahan perusahaan dilakukan pasca pengukuran ulang pada November 2012 lalu yang menindaklanjuti tuntutan warga atas lahan yang dijadikan kebun sawit oleh perusahaan sejak 1987.

Dimana areal seluas 1.108 hektar yang saat ini masih 'dikuasai' perusahaan di desa Lubukbatu Tinggal berada di luar HGU PT TPP.

"Warga sudah dua kali diajak rapat di kantor bupati. Terakhir Januari 2013 lalu. Dalam rapat itu dinyatakan ada kelebihan lahan seluas 1.108 hektar yang berada di luar HGU PT TPP," kata Kepala Desa Lubukbatu Jaya, Masrullah pada waktu itu.

Rapat di kantor Pemda Inhu dipimpin, Yopi Arianto masa menjabat Bupati Inhu itu menindak lanjuti kelebihan lahan PT TPP dan menyampaikan berjanji akan mengambil alih areal tersebut dan mengatur pengelolaannya agar lahan tersebut dapat diserahkan kepada warga Desa Lubukbatu Tinggal.

Namun, janji Bupati yang dinanti warga tak kunjung berjalan mulus. 

Pemkab Inhu hanya konsentrasi mengurus tuntutan warga Pasir Penyu hingga ke pemerintahan pusat seperti ke Kemenko Polhukam, sedangkan mengenai tuntutan warga Lubukbatu Tinggal yang jelas jelas menuntut lahan yang bukan di dalam areal HGU PT TPP tidak ditindaklanjuti.

Untuk itu warga telah sepakat untuk melakukan aksi menguasai kebun diluar HGU PT TPP yang berada di Desa Lubukbatu Tinggal dengan aksi pematokan lahan.

Jadi kelebihan izin HGU PT TPP jadi perhatian.

Masa Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Setda Indragiri Hulu dijabat Hendri, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) telah mengutus Asisten Pemerintahan serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk berkoordinasi dengan Kepala BPN di Jakarta.

Langkah ini dilakukan guna menyikapi hasil ukur ulang lahan serta berakhirnya izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP).

"Rapat ini membahas tentang hasil ukur ulang luas serta masa berakhirnya HGU PT TPP pada 31 Desember 2012 lalu.

Warga sering mempertanyakan itu. Hasil kerja tim juga sudah disampaikan kepada Bupati Inhu dan masih ditelaah," tutur Hendri, kepada wartawan di Pematangreba.

Ia menjelaskan, pada Rabu (2/1) lalu, tim teknis sudah menggelar rapat bersama dipimpin Sekda Inhu, Raja Erisman, selaku ketua tim. Mengenai data kelebihan lahan dari izin HGU dimiliki PT TPP, Hendri belum mau menyebutkannya.

"Yang jelas, tim menyampaikan hasil temuan di lapangan ke pimpinan. Kalau ditanya konsekuensinya, tentu ada kewajiban harus dilaksanakan perusahaan jika ditemukan kelebihan lahan dari izin HGU," kata Hendri.

Mengenai aksi demonstrasi warga, Hendri mengungkapkan, itu belum ada kepastian. Sebab hasil konfirmasi Pemkab ke masyarakat sejumlah desa dikabarkan akan berdemo belum ada kepastian.

Pemkab berupaya berkoordinasi mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan justru merugikan warga.

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Inhu masa dijabat Hendrizal juga pernah mengungkapkan, Pemkab Inhu mengutus Asisten Pemerintahan dan Kepala BPN Inhu ke Jakarta guna mempertanyakan proses izin HGU PT TPP.

Selain itu juga berkonsultasi mengenai Permentan Nomor 26 tahun 2007 tentang Perizinan Perusahaan Perkebunan. Dalam aturan tersebut, 20 persen dari luas HGU perusahaan harus diberikan kepada masyarakat tempatan.

Ini, tuturnya, sangat penting terutama penerapan di lapangan. Karena, warga tentu sangat menantikan aplikasi aturan tersebut untuk mendapatkan kebun dalam upaya meningkatkan perekonomian.

Seperti diketahui, persoalan dugaan kelebihan lahan serta penolakan atas perpanjangan izin HGU PT TPP sudah berlangsung lama.

Bahkan beberapa anggota DPRD Inhu pernah menyampaikan di media massa PT TPP memiliki lahan seluas 1.625 ha di Desa Lubuk Batu Tinggal dan belum memiliki HGU.

Namun pernyataan itu dibantah Community Development Officer (CDO) PT TPP, Erwan Junaidi dan Sukmayanto, beberapa waktu lalu. Menurutnya, PT TPP memiliki tiga sertifikat HGU, masing-masing No 8 tahun 1981 seluas 10.244 ha di Kecamatan Pasir Penyu.

Saat ini wilayah administratifnya meliputi Kecamatan Pasir Penyu, Lirik dan Sei Lala. Kemudian HGU No 15 tahun 1997 seluas 3.627 ha di Desa Banjar Balam dan Redang Seko Kecamatan Lirik serta HGU No 01 tahun 1997 seluas 1.064 ha di Desa Ukui Dua wilayah Kabupaten Pelalawan.

Dari tiga sertifikat HGU dimiliki PT TPP, kata Erwan, HGU No 8 tahun 1981 seluas 10.244 ha sudah direvisi pada 2001, karena ada jalur pipa gas berakhir pada 31 Desember 2012. Namun proses perpanjangan HGU sudah ditangan BPN. (*)

Tags : PT Tunggal Perkasa Plantations, Inhu, Riau, PT TPP Rubah Hutan Jadi Sawit, Kisah Masyarakat Desa Air Molek Jaga Hutan demi Lingkungan, Hutan Dialih Fungsikan Jadi Kebun Sawit, Sorotan,