JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) akan memanggil sejumlah hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, yang melalui putusannya, telah memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024.
KY menyatakan akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, "terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi," kata Miko Ginting, Juru Bicara KY, dalam pesan tertulis, Jumat (03/03).
Salah satu bagian dari pendalaman itu, tambahnya, bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi.
"Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan," kata Miko.
KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait.
Apa isi putusan PN Jakpus?
Putusan perdata, yang dibacakan pada Kamis (02/03) ini, telah menimbulkan gelombang kritikan, mulai KPU hingga pengamat hukum, yang intinya menilai putusan itu "tidak tepat" atau "cacat".
Majelis hakim PN Jakpus memutuskan hal itu dalam perkara perdata yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dengan pihak tergugat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari," ujar majelis hakim, seperti dikutip dari salinan putusan, Kamis (02/03).
Dalam tahapan verifikasi administrasi, KPU menyatakan, Prima tidak memenuhi syarat keanggotaan sehingga tidak bisa berproses ke tahapan verifikasi faktual.
Sebaliknya, Partai Prima mengeklaim pihaknya telah memenuhi syarat keanggotaan tersebut. Mereka menuduh Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU bermasalah, sehingga menyebabkan Prima tidak lolos.
Dalam putusannya, majelis hakim PN Jakpus menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan itu, demikian amar putusannya, yaitu ketika KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi parpol calon peserta pemilu.
Atas gugatan ini, PN Jakpus memerintahkan KPU agar menunda tahapan Pemilu 2024.
Apa reaksi KPU?
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan pihaknya akan melakukan banding atas putusan PN Jakpus itu.
Dan, "KPU juga tetap menjalankan tahapan Pemilu 2024 sesuai dengan peraturan KPU," kata Ketua KPU Hasyim Asy'ari, Kamis (02/03) malam.
Dia beralasan, tahapan dan jadwal Pemilu sudah dituangkan dalam produk hukum berupa Peraturan KPU (PKPU).
"Putusan ini tidak menyasar kepada PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024.
"Sehingga, tahapan dan jadwal masih memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Hasyim saat memberikan keterangan pers via daring.
Lebih lanjut Hasyim mengatakan, KPU sudah pernah mengajukan eksepsi saat Partai Prima menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurutnya, PTUN kemudian menyatakan gugatan itu tidak diterima.
"Kami nyatakan itu sudah pernah diuji di PTUN dan dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan begitu, keputusan KPU tentang penetapan parpol masih berlaku dan sah," tambahnya.
Mengapa putusan PN Jakpus dikritik?
Sejumlah ahli hukum, para pejabat pemerintah serta politikus di DPR mengkritik putusan PN Jakpus tersebut, yang antara lain, menganggap hal itu bukan wewenang pengadilan negeri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai PN Jakpus membuat "sensasi berlebihan" dalam putusannya itu.
Dalam unggahan Instagramnya, Kamis, Mahfud mengatakan, vonis itu berpotensi "memancing kontroversi" dan "dapat mengganggu konsentrasi" sehingga bisa dipolitisasi seakan-akan putusan yang benar.
"Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang," katanya.
Lebih lanjut Mahfud berujar, pengadilan negeri (PN) tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut.
Dia menjelaskan, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu sudah diatur tersendiri dalam hukum dan kompetensinya tidak berada di PN.
Misalnya, sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Adapun, soal keputusan ke pesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), ujarnya.
"Nah, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara," ujar Mahfud.
Sementara untuk sengketa selepas pemungutan suara maupun hasil pemilu kompetensi berada di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Itu pakem-nya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu," tulis Mahfud.
Pemerintah dukung pemilu berjalan sesuai jadwal
Presiden Jokowi, dalam berbagai kesempatan, menekankan dukungan agar pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal, ujar Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani.
Di sinilah, menurut Jaleswari dalam keterangan tertulisnya, pemerintah tetap mendukung pemilu berjalan sesuai jadwal, yakni pada Februari 2024.
Dikatakan, pemilu merupakan agenda konstitusi yang "harus bersama-sama didukung dan dilaksanakan sebaik-baiknya".
Menurutnya, pemerintah akan terus memberikan fasilitas dan dukungan pelaksanaan tahapan pemilu, sesuai agenda KPU. (*)
Tags : Pemilu 2019, penundaan Pemilu 2024, Hukum,