Nusantara   2023/10/13 21:33 WIB

Konflik Buaya dan Manusia Terparah di Dunia, 'Ratusan Orang Sudah Kehilangan Nyawa'

Konflik Buaya dan Manusia Terparah di Dunia, 'Ratusan Orang Sudah Kehilangan Nyawa'
Buaya muara yang dievakuasi tidak akan pernah kembali ke alam karena tidak ada zona pelepasliarannya.

BANGKA BELITUNG - Di Desa Sekar Biru, Bangka Barat konflik buaya dan manusia sudah ratusan orang kehilangan nyawa.

"Kadang-kadang lagi tidur terbawa ke mimpi teringat kejadian itu… Trauma tidak bisa lupa, lengket benar-benar. Ibarat luka yang disayat-sayat dengan pisau silet, saking pedasnya..."

Ketika saya temui di depan teras rumahnya yang berlokasi di Desa Sekar Biru, Bangka Barat, Sariah tak henti-hentinya berlinang air mata saat mengingat insiden yang mengoyak luka fisik hingga trauma abadi dalam hidupnya.

Perempuan berpostur tubuh gempal dengan pembawaan yang terlihat emosional itu beberapa kali menopang tangan kirinya di badan karena diserang rasa nyeri.

Sariah, perempuan paruh baya berusia 54 tahun ini adalah satu dari ratusan korban serangan mematikan buaya muara, atau Crocodylus porosus, yang dikenal sebagai spesies buaya terbesar di dunia dan sering menyerang manusia. 

Sariah mengenang kejadian nahas yang terjadi padanya kala itu.

Ketika matahari perlahan menampakkan dirinya pada Jumat 5 September 2022 silam, Sariah meninggalkan rumah dengan membawa dua jeriken berukuran 20 liter di atas sepeda motornya.

Sariah menuju lubang bekas tambang timah disebut kolong oleh warga setempat — yang berjarak sekitar 50 meter di belakang rumahnya.

Kolong itu menjadi satu-satunya sumber mata air bagi keluarganya dan warga kampung yang lain.

Air sumur yang terletak di depan rumahnya mengering akibat kemarau panjang, sementara pasokan tirta bersih dari PAM (perusahaan air minum) dihentikan karena dia tak mampu membayar tagihan selama tiga bulan.

"Saya pegawai [guru] honorer, gaji tidak rutin, tiga atau empat bulan baru gajian, jadi kami ambil air di sungai [kolong] pagi dan sore," kata Sariah seperti dirilis BBC News Indonesia. 

Air berwarna coklat di pinggir kolong begitu tenang kala Sariah mengisi satu demi satu jeriken miliknya.

Tak ada riak, tak ada gelombang. Sariah memenuhi jeriken dan menaruh di tas kantong motornya.

Sebelum beranjak pulang, Sariah memutuskan untuk mandi di kolong itu, membersihkan dirinya untuk bersiap mengajar.

Namun nahas, saat dia membasuh tubuhnya, tiba-tiba seekor buaya dengan panjang sekitar tiga meter muncul dari dalam air dan langsung menerkam tangan kirinya.

Reptil itu dengan gesit menyeretnya ke dalam air, kenang Sariah.

Terkejut dengan apa yang terjadi pada dirinya, Sariah dengan spontan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri dari terkaman buaya muara yang diklaim terkuat dari hewan mana pun di bumi.

"Dia seret Ibu [ke dalam air]. Ibu melawan dan tarik tangan sekuat-kuatnya sambil teriak Allahu Akbar. Entah bagaimana Ibu diberi kekuatan," tutur Sariah penuh emosi sambil mengayunkan tangan kirinya menirukan kejadian itu, seakan rasa nyeri di lengannya hilang seketika.

Waktu berputar begitu cepat. Detik demi detik menjadi sebuah pertarungan di antara hidup atau mati.

Setelah berjibaku dengan hewan itu, Sariah akhirnya mampu melepaskan diri dari gigitan buaya.

Darah segar mengucur di sekujur tubuhnya.

Mengerahkan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, Sariah berteriak meminta pertolongan, namun tak ada yang menjawab.

Penuh luka dan darah yang tak henti mengalir, Sariah berjalan kaki menuju rumahnya, meninggalkan jeriken dan motornya.

Sariah lalu dibawa oleh keluarganya ke puskesmas untuk menjalani operasi yang dia sebut mencapai lebih dari 100 jahitan. 

"Ini bekasnya, lukanya aslinya besar sekali. Paling parah di sini. Kata orang sebenarnya korban gigitan buaya itu jarang ada yang hidup seperti Ibu ini," kata Sariah seraya menunjukkan satu demi satu bekas luka di tubuhnya.

Akibat serangan itu, tangan kiri Sariah kini cacat. Rasa ngilu seketika menyerang saraf otak saat Sariah menggunakan tangan kirinya untuk beraktivitas.

"Jari Ibu tidak bisa bergerak [menggenggam]. Kalau dipakai buat menyapu, angkat sesuatu, langsung bengkak dan sakit. Hanya beginilah, dijahit semua, sudah cacat total," katanya.

Tidak hanya lengan, dada Sariah juga disebut penuh dengan bekas luka.

Selain luka fisik, kenangan buruk tentang serangan buaya itu membuat Sariah trauma dan terus membekas hingga sekarang.

"Asal tengok gambar buaya di HP atau buku, Ibu takut. Tengok sungai pun takut, sudah syok," ujarnya.

Kembali ke kolong yang menjadi lokasi kejadian adalah hal yang tak akan pernah dia lakukan selama hidupnya. Apalagi, ujarnya, buaya yang menerkamnya masih berkeliaran di kolong itu.

Hanya lima hari setelah serangan yang menimpa Sariah, pada Sabtu 10 September 2022, masyarakat Desa Sekar Biru kembali digemparkan oleh serangan buaya.

Seorang pemuda bernama Eka Samita Jaya diterkam buaya saat sedang mencuci timah di kolong. Pekerja tambang timah itu mendapat luka serius di kepala, bahu dan tangan. 

Kini ada bekas sekitar 50 jahitan yang menghiasi badannya.

Sayangnya, saya tidak bisa menjumpai Eka lantaran pria tersebut sedang bekerja di tambang timah inkonvensional selama sebulan di tengah laut, ujar Kepala Desa Sekar Biru, Munarfarzah.

Tambang inkonvensional (TI) adalah istilah yang awalnya dilekatkan pada mitra kerja PT Timah, namun berubah makna menjadi kegiatan ilegal karena dikerjakan oleh masyarakat secara bebas dan tidak memiliki izin.

Apa yang dialami Sariah dan Eka hanyalah sekelumit dari ratusan konflik buaya muara dan manusia yang terjadi di Kepulauan Bangka Belitung (Babel).

Crocodile Attack Database atau CrocBITE - basis data online yang mencatat serangan buaya ke manusia di dunia - menempatkan Babel di urutan empat besar serangan buara muara terbanyak di Indonesia dengan 86 serangan.

Sebanyak 35 orang dilaporkan meninggal dunia. 

Jika ditarik ke skala nasional, spesialis buaya dari CrocBITE dan IUCN Crocodile Specialist Group, Brandon Sideleau mengatakan serangan buaya muara ke manusia di Indonesia adalah yang terparah di dunia.

"Indonesia adalah lokasi dengan jumlah serangan buaya air asin [muara] tertinggi [di dunia] yang pernah tercatat," ujar Brandon.

CrocBITE mendata terjadi 980 serangan buaya muara di Indonesia dari tahun 2014 hingga Agustus 2023.

Dari jumlah itu, sekitar 455 orang meregang nyawa akibat serangan buaya. 

Tahun lalu saja, tercatat ada 70 kematian akibat serangan buaya muara di Indonesia, dan satu kematian akibat serangan buaya senyulong, buaya dengan nama latin Tomistoma schlegelii.

Sementara di negara-negara lain, merujuk data CrocBITE dari 2013 hingga 2022, angka serangan buaya terhadap manusia jauh di bawah Indonesia.

Di Malaysia terjadi 173 serangan yang menewaskan 117 orang, lalu diikuti Kepulauan Solomon dengan 121 serangan dan India sebanyak 106 serangan yang menewaskan 53 jiwa. 

Beberapa penyebab konflik manusia dan buaya:

  1. Perilaku manusia di habitat buaya karena faktor kemiskinan, kekurangan sumber daya, hingga ketidaktahuan akan perilaku dan biologi buaya;
  2. Perilaku manusia yang dipicu oleh alkohol, obat-obatan, dan provokasi yang disengaja terhadap buaya;
  3. Pembunuhan atau penangkapan buaya untuk keuntungan komersial atau non-komersial;
  4. Perusakan dan perambahan habitat buaya, seperti konstruksi, tambang, kegiatan, dan lain-lain;
  5. Polusi air yang berbahaya secara ekologis. 

Dari total 26 spesies buaya di dunia, buaya muara adalah jenis yang paling besar dan diklaim sering menyerang manusia.

Buaya muara masuk dalam kategori risiko rendah (least concern) oleh Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN, dengan populasi sekitar 500.000 individu dewasa di seluruh dunia.

Ukuran normal reptil terbesar di bumi itu sepanjang lima meter, namun beberapa satwa ditemukan mencapai lebih dari tujuh meter.

Habitat buaya yang kulitnya menjadi primadona dalam industri fesyen ini tersebar dari Sri Langka, Asia Tenggara, Papua, hingga Australia bagian utara, dengan habitat di sungai, rawa, dan sekitar garis pantai.

Buaya bertahan di habitat yang telah rusak dan berpotensi mengancam manusia.

Buaya ditangkap lalu mati dibunuh warga.

Terakhir, buaya dievakuasi dan hidup selamanya di kandang rehabilitasi yang telah kelebihan populasi.

Itulah segelintir pilihan bagi buaya muara yang terperangkap dalam konflik di Bangka Belitung. 

Di tengah siang yang terik awal Agustus lalu, permukaan air di kolam rehabilitasi buaya berukuran 30x40 meter terlihat tenang. Padahal di dalamnya, terdapat sekitar 34 ekor buaya muara.

Dari yang berukuran kecil hingga mencapai lebih dari empat meter, belasan buaya mulai bermunculan ke permukaan air mengawasi kedatangan saya. Mereka tampak seperti batu yang mengambang.

Buaya-buaya itu lalu berlomba menuju tepian kolam untuk berebut potongan daging sapi yang dilempar petugas. 

Kolam ini berada di Alobi (Animal Lovers of Bangka Island), satu-satunya pusat penyelamatan satwa (PPS) di Pulau Bangka yang telah melepasliarkan hampir 8.000 hewan ke alam liar.

Selain buaya, saya juga melihat beragam binatang liar yang berasal dari sitaan negara, penegakan hukum, dan konflik dengan masyarakat, mulai dari burung kakatua, binturong, beruang madu, beragam jenis monyet, hingga mentilin (primata tarsius endemik Bangka yang terancam punah). 

Sembari menunjuk beberapa buaya, Direktur Operasional Alobi Endi Riadi menceritakan, mayoritas predator mematikan itu adalah satwa hasil evakuasi yang terjebak konflik dengan manusia di Babel.

Upaya penyelamatan dilakukan karena buaya muara adalah binatang yang dilindungi. Demikian halnya buaya irian, buaya siam, dan buaya sinyulong.

Terlebih lagi, adanya sebuah kearifan lokal di masyarakat Babel bahwa "buaya yang telah menyerang manusia harus dibunuh," kata Endi. 

"Contoh, seekor buaya di Desa Bukit Layang yang menyerang manusia ditangkap warga pakai pancing yang tajam. Buaya itu pasti menelannya sehingga merusak organ tubuh. Ketika dievakuasi, dia mati," tambah Endi.

Buaya sepanjang tiga meter itu ditangkap karena diduga menerkam warga bernama Ribuan hingga meninggal dunia pada Kamis (01/06) lalu.

Upaya evakuasi ternyata tidak menyelesaikan persoalan, namun justru sebaliknya, memunculkan masalah baru. 

Kini, kolam rehabilitasi buaya semata wayang di Babel itu telah kelebihan populasi.

Dengan luas yang terbatas, buaya kerap saling menyerang, khususnya saat musim kawin.

Ditambah lagi, Alobi memiliki keterbatasan biaya untuk memberikan pakan bagi buaya-buaya hasil evakuasi yang semakin hari terus bertambah.

"Konflik buaya terus terjadi. Semakin banyak buaya masuk, pakan juga semakin besar. Kita tidak tahu mau sampai kapan kita bisa menampung buaya konflik ini," tutur Endi. 

Yang membuat semakin miris, buaya yang dievakuasi ternyata akan tinggal selamanya di kolam itu.

Hingga kini, tidak ada zona pelepasliaran di Babel bagi hewan purba yang sedikit mengalami evolusi sejak zaman dinosaurus itu, kata Endi.

Penyebabnya, kata Kepala Resort Wilayah 17 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Sumatra Selatan (yang juga mengelola kawasan suaka alam di Pulau Bangka) Ahmad Fadli Gundana, karena belum ada kajian mengenai lokasi pelepasliaran buaya di Babel.

"Jadi tahun 2022 kami sempat melepas buaya muara hasil interaksi negatif di Bangka ke Suaka Margasatwa Padang Sugihan [di Sumatra Selatan]. Kalau di Bangka [dan Belitung] kami belum pernah lepas," kata Fadli.

Pegiat satwa, aktivis lingkungan, hingga pemerintah satu suara: konflik manusia dan buaya yang semakin masif terjadi di Babel dipicu oleh maraknya aktivitas pertambangan timah ilegal.

Buktinya, tiap kali Alobi melakukan evakuasi terhadap buaya yang terperangkap konflik dengan manusia, di dekatnya "pasti ada tambang timah ilegal", sebut Endi. 

Merujuk peta tutupan lahan di Babel yang diolah oleh Finlan Aldan dari organisasi pembela satwa liar Garda Animalia, habitat buaya di Bangka "hampir semuanya telah habis menjadi wilayah tambang".

Dari total luas daratan Babel yang mencapai sekitar 1,6 juta hektare, lebih dari satu juta telah dikuasai industri pertambangan skala besar hingga kecil, mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel. 

Jumlah itu belum termasuk sebagian wilayah laut yang kini disebut telah luluh lantak dihajar tambang, kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Jessix Amundian.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Babel mencatat ada 167.104 hektare lahan kritis hingga sangat kritis (10,2%) pada tahun 2022.

Wilayah kerusakan terluas di antaranya terletak di Bangka Barat — lokasi Sariah dan Eka diserang buaya — yang mencapai 19.562 hektare. 

Kepungan aktivitas pertambangan ini tidak lepas dari melimpahnya sumber daya timah di Babel, yang menyimpan 91% cadangan Indonesia dan menjadi lumbung timah dunia.

Merujuk data United States Geological Survey (USGS), cadangan timah Indonesia diperkirakan mencapai 800.000 ton logam pada 2021, sekitar 17% dari total cadangan timah di seluruh dunia sebesar 4,7 juta ton logam.

Jumlah itu membuat Indonesia menempati urutan kedua pemilik cadangan timah terbesar di dunia, setelah China.

Adapun, sebuah lembaga menyebut Indonesia memiliki cadangan timah mencapai 2,23 juta ton. 

Saya pun mengunjungi beberapa lokasi pertambangan timah yang berada di darat dan laut di Pulau Bangka.

Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah kolong bekas tambang timah, tempat Sariah diserang buaya.

Di area reklamasi tempat PT Timah menanam pohon sengon seluas 4,8 hektare itu, terdengar mesin pompa yang menderu. 

Usai berjalan puluhan meter, saya menyaksikan enam ponton — sejenis kapal dengan lambung datar — berukuran kecil bernama rajuk atau suntik sedang beroperasi.

Di setiap ponton yang dibuat dari susunan kayu dan belasan tong plastik sebagai pelampung, tampak dua hingga empat orang sibuk bekerja. 

Dengan menggunakan pipa yang ditusuk ke dasar kolong, mereka menyedot pasir dan menyaringnya di atas kapal.

Melihat kedatangan kami, beberapa penambang ilegal itu kabur menggunakan sepeda motor, sementara lainnya tak menghiraukan kami dan terus bekerja.

Walau awalnya enggan bercerita lantaran diselimuti rasa takut, mereka yang bertahan akhirnya melontarkan kisah mereka.

Penambang ilegal 'kami butuh makan'

Seorang penambang timah bernama Amat, 52 tahun, bercerita bahwa dirinya hampir digigit buaya sepanjang tiga meter, diperkirakan sama dengan yang menyerang Sariah.

"Jumat sore, aku mau amankan ponton di tengah air, takut dimaling mesinnya. Jadi aku ambil kayu dan cucuk di tengah [kolong]," kata Amat mengawali kisahnya.

"Saat ikat tali, ternyata buaya langsung gigit. Untung kayu yang diterkam. Aku langsung panik takut," katanya sambil menunjuk lokasi kejadian itu. 

Walau hampir digigit buaya, Amat yang lulusan sekolah dasar (SD) tetap kembali menambang di wilayah itu. Kepada saya, dia mengungkap alasannya.

"Lapangan kerja tidak ada, cuma inilah. Kolong lain tidak ada timahnya, sudah habis. Kami butuh makan," ungkapnya.

Jika nasibnya sedang mujur, Amat bisa mendapat dua hingga tiga kilogram (kg) timah per hari, dengan harga sekitar Rp200.000 per kg. 

In, penambang timah lainnya yang ketika saya temui duduk berdampingan dengan Amat, mengaku tetap menggeluti pekerjaan ini kendati dia tahu nyawa menjadi taruhannya.

"Kemarin lihat buaya, kurang lebih jam empat sore. Takut tidak takut lah, namanya juga cari makan. Kami lebih takut istri tidak makan," kata pria berusia 42 tahun itu.

Ketika saya berbincang dengan In, kapur berwarna putih menyelimuti sekujur tubuhnya. Kapur itu berguna untuk mengurangi sengatan panas siang itu. 

Selain keterbatasan lapangan pekerjaan, alasan lain adalah mereka dapat memperoleh "uang cepat" dari timah, ungkap Reza yang telah menambang lebih dari 20 tahun.

"Kalau ke kebun tidak mungkin pulang langsung bawa duit. Kalau ini [timah] duit cepat, perputaran juga cepat. Walau hasilnya tidak banyak tapi bisa menutupi [kebutuhan] hari ini."

Dari timah, Reza mengaku mampu membiayai kebutuhan hidup keluarganya, "Anak saya bisa sekolah, satu [di bangku] SMP, satu SMA dan satu PAUD. Semua hidup dari timah, mau dari mana lagi," katanya.

Ketiga penambang yang saya temui itu sadar bahwa profesi yang mereka geluti melanggar hukum. Namun, mereka mengaku tak bisa berhenti lantaran terbatasnya alternatif pekerjaan yang bisa menandingi hasil dari timah, lamun secara ilegal.

Para penambang timah inkonvensional itu pun berharap agar pemerintah membuat program yang memberdayakan mereka untuk bisa terus menambang.
Tambang timah di laut: 'Kalau ditutup, mengamuk warga'

Selain di darat, aktivitas tambang timah — baik legal maupun ilegal — juga merebak ke wilayah laut.

Dari kolong tambang darat Sekar Biru, saya menuju sebuah pantai di Dusun Bakit Pecinan, Paritiga, Bangka Barat.

Di warung panggung yang menjorok puluhan meter ke laut, saya melihat ratusan kapal tambang ilegal dengan ragam ukuran terpampang tanpa malu di perairan yang menjadi bagian dari Teluk Kelabat Dalam, terletak di ujung utara Pulau Bangka.

Sejumlah ponton berukuran kecil hingga sedang tampak bersandar di bibir pantai, sementara kapal berskala besar sibuk beraksi di tengah laut.

Dengan menumpangi kapal kayu, saya menuju salah satu lokasi tambang di tengah laut. Di situlah, belasan ponton isap tower — kapal dengan lambung datar berukuran hampir 50 meter persegi — saling merapat.

Setiap kapal tower itu disebut dapat menghasilkan timah rata-rata 10-20 kg per hari. 

Saya melihat sekitar lima pria tengah bekerja di tiap ponton. Di antara mereka ada yang menyedot pasir, sementara lainnya memurnikan timah.

Tiap harinya, beberapa pekerja mengaku dapat menerima upah hingga Rp300.000, tergantung pada jumlah timah yang mereka dapat.

Di antara para pekerja pria, saya menyaksikan sejumlah perempuan yang sigap mengumpulkan sisa-sisa pasir yang masih mengandung timah. 

Layaknya simbiosis mutualisme, para perempuan itu diizinkan mengambil sisa pasir sebagai barter atas makanan yang mereka bawa untuk pekerja pria.

Kepada saya, seorang perempuan mengaku mendapatkan dua kilogram timah selama tiga hari.

Kepala Dusun Bakit Pecinan, Amrullah mengatakan, aktivitas penambangan yang saya saksikan itu menggambarkan betapa besar ketergantungan masyarakat akan timah di wilayahnya. 

"Sulit memisahkan masyarakat dengan timah. Dengan bebasnya orang mengambil timah, terasa sekali [kemajuan] di sini," klaim Amrullah.

Pria berusia 58 tahun itu mencontohkan, keponakannya bisa lulus dari akademi keperawatan berkat uang hasil menambang timah.

Demikian halnya dengan banyak warga lain, tambah Amrullah. Mereka mampu membeli kendaraan, seperti motor dan mobil serta melakukan renovasi rumah hingga membuka usaha. 

Amrullah menyadari bahwa aktivitas warganya yang mengambil sisa tailing — limbah dari industri pertambangan — kapal isap produksi (KIP) legal skala besar di kawasan izin milik PT Timah itu adalah tindakan ilegal dan merusak lingkungan.

"Tapi yang namanya merusak, kita bikin kandang ayam saja merusak lingkungan dengan tebang kayu. Kalau ditutup sama sekali, waduh, mengamuk [warga]," katanya.

Klaim ketergantungan masyarakat atas timah itu disebut hanyalah "pembenaran agar dapat terus melakukan pertambangan", ujar Jessix Amundian dari Walhi Babel.

"Pikiran itu tidak objektif dan tambang timah telah mencuci otak masyarakat seakan-akan itu satu-satunya [pekerjaan]," sahut Jessix. 

Jessix menyebut, Babel kaya akan sumber daya alam lain yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, juga sangat menguntungkan.

Di antaranya adalah hasil pertanian seperti lada putih dengan kualitas pedas dan aroma yang telah diakui dunia.

Belum lagi, hasil laut yang diekspor ke mancanegara, seperti udang belalang atau lipan, kepiting, cumi-cumi, hingga beragam jenis ikan.
'Koordinasi' di balik tambang ilegal

Gamblangnya aktivitas timah ilegal di Pulau Bangka tidak lepas dari adanya "beking" yang diduga melindungi para penambang ilegal, kata Maryono, Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam.

Bahkan, ketika kelompoknya melakukan aksi penolakan hingga perlawanan atas tambang ilegal, yang mereka hadapi adalah intimidasi.

"Pemain semua di sini. Bahasa mereka, tambang ilegal ini dikoordinasi. Jadi ada semacam pengamanan yang mengkoordinir tambang ilegal. Itu yang membuat mereka kuat. Kami dulu selalu bentrok, para pemilik kekuasaan semua yang melindungi," kata Maryono.

"Hanya Pak Jokowi yang bisa menghentikannya. Kami harap, kalau masih dianggap, tolong diperhatikan nasib Teluk Kelabat yang kondisinya sangat parah ini," tambahnya. 

Organisasi yang dikepalai oleh Maryono adalah gerakan sekelompok nelayan dari 12 desa yang berjuang bertahun-tahun menentang tambang ilegal di perairan Teluk Kelabat Dalam.

Mereka terus berjuang karena teluk itu adalah tulang punggung kehidupan, akar sejarah, hingga budaya masyarakat pesisir di sana.

"Kondisi laut kami telah rusak hampir 50%, sudah dilibas semua oleh tambang," kata Maryono yang menyebut kerusakan juga menghantam wilayah pertanian di sekitar teluk. 

Bahkan, budayawan dan sejarawan dari Bangka, Ahmad Elvian, mengungkapkan adanya istilah "perkara gelap, keuntungan diam" di balik aktivitas timah ilegal.

"Jadi timah itu mudah sekali menjualnya, dan keuntungannya luar biasa. Mulai dari penambang, kolektor, perusahaan, kemudian yang mengamankan jalur penambang, semua mendapatkan keuntungan dari perkara gelap timah yang ilegal."

"Karena mendapatkan keuntungan, semuanya jadi diam," ujar Elvian yang juga menjabat sebagai Sekjen Lembaga Adat Melayu Kepulauan Babel.

Selama ratusan tahun pertambangan timah telah berlangsung di Bangka dan Belitung.

Berdasarkan beberapa literatur sejarah, nama Bangka kuat dugaan berasal dari kata 'vanca atau wangka,' yang berarti timah dalam bahasa Sanskerta.

Kata itu muncul bersama dengan nama Swarnabhumi — yang merujuk untuk Pulau Sumatra — dalam kitab sastra India bertajuk Milindrapantha yang ditulis pada abad ke-1.

Kata yang sama juga muncul dalam buku suci Hindu, Mahaniddesa, yang ditulis pada abad ke-3. 

Seiring berjalannya waktu, timah menjadi komoditas yang dimonopoli oleh penguasa, mulai dari zaman Kerajaan Palembang, penjajahan Inggris dan Belanda, hingga masa Orde Lama serta Orde Baru, ujar Ahmad Elvian.

Pada masa penjajahan, Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia, membuatnya dikenal luas di Eropa.

Pada tahun 1847, sekitar 83% timah dari Bangka membanjiri pasar Amsterdam. Bahkan saat itu, sebanyak 25% kebutuhan timah Eropa dipasok dari Bangka. 

Saat timah dimonopoli penguasa itu, lanjut Elvian, aktivitas pertambangan dilakukan secara selektif di daerah-daerah tertentu, dengan mempertimbangkan wilayah adat dan lingkungan.

Walaupun terjadi kerusakan bentang alam, kondisi kala itu dikatakan tidak separah saat ini.

Alfian mengatakan, reformasi pada 1998 menjadi era pembuka masifnya pertambangan ilegal oleh masyarakat.

"Sejak reformasi, kondisi menjadi lawless (tanpa hukum), orang tidak peduli dan tidak takut."

"Aturan adat dan hukum dilanggar, apakah itu sungai, lahan konservasi air, bahkan kuburan saja digali demi mencari timah," kata penerima anugerah kebudayaan Indonesia itu. 

Pascakejatuhan rezim Soeharto itu, tepatnya pada 1999, pemerintah menyatakan timah bukan lagi masuk dalam komoditas strategis. Keputusan itu diiringi kemunculan peraturan daerah yang membuka kesempatan masyarakat untuk menambang.

Akibatnya, hanya dalam dua tahun sejak itu, jumlah tambang inkonvensional (TI) menjamur hingga 6.000 unit, dari awalnya dilarang total di Babel.

Merujuk data lain, terdapat 5.257 TI di Bangka dan 734 di Belitung tahun 2001, di bekas lokasi kuasa pertambangan (KP) PT Timah.

Angka itu belum termasuk aktivitas TI di kawasan hutan produksi, hutan lindung, hingga kebun dan pekarangan rumah warga.

Jumlah TI terus membengkak hingga mendekati 20.000 unit pada penghujung 2008. Di antaranya adalah kemunculan TI apung yang beroperasi di perairan sungai hingga laut yang mendekati 5.000 unit.

Belasan tahun kemudian, jumlah TI kini diprediksi aktivis lingkungan semakin marak dan masif.

Direktur utama PT Timah, Ahmad Dani Virsal mengatakan kini siapa pun dapat mengeksploitasi timah tanpa dituntut pertanggungjawaban, baik terhadap kerusakan maupun keberlanjutan lingkungan.

"Itu yang saya sangat prihatin, terus terang. Kalau itu bisa dilakukan sebagai komoditas strategis maupun kritis, saya pikir itu akan menjadi peluang buat kita melakukan konservasi dan pemanfaatan jangka panjang," ujar Virsal.

Upaya untuk mengembalikan timah sebagai komoditas strategis Indonesia juga pernah direkomendasikan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Alasannya, dikutip dari situs Lemhanas, adalah "Diiringi ketidakefektifan pengawasan dan penegakan hukum, praktik penambangan dan peredaran timah secara ilegal semakin merajalela sehingga membawa dampak negatif seperti konflik sosial, berkurangnya penerimaan negara, dan terkurasnya cadangan timah secara tidak terkendali."

Dirut PT Timah, Ahmad Dani Virsal tak memungkiri bahwa sangat sulit menghentikan pertambangan ilegal yang beroperasi di wilayah izin usaha produksi (IUP) milik produsen dan eksportir logam timah itu.

Sebab, mata pencaharian sebagian besar warga Babel sangat bergantung pada tambang timah.

Membangun kemitraan dengan warga, kata Virsal, adalah pendekatan yang kini dilakukan oleh perusahaannya.

"Kita terus melakukan pembinaan, skill, bimbingan teknologi baru, agar lebih efektif dan efisien dan mengurangi dampak lingkungan yang jauh dari kita harapkan," kata Virsal. 

Alih-alih memberantas tambang timah ilegal, pemerintah setempat kini tengah berupaya melegalkan aktivitas liar itu.

Kepala Dinas ESDM Babel, Amir Syahbana, mengungkap dua cara yang sudah ditempuh, salah satunya adalah memfasilitasi kemitraan antara penambang dengan pemegang IUP, melalui pemberian izin usaha jasa pertambangan (IUJP).

"Jadi apa pun masyarakat mau menambang, apa itu di darat atau laut, kita cek koordinat. Kalau dalam wilayah IUP, kita fasilitasi untuk diberikan kemitraan atau kontrak oleh pemegang IUP," katanya.

Hal lain yang dilakukan oleh Dinas ESDM adalah memberikan izin pertambangan rakyat (IPR) melalui penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) bagi penambang TI yang tidak berada pada wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Legalisasi ini diklaim sebagai bentuk "hadirnya negara di tengah masyarakat", kata Amir, seraya menambahkan bahwa upaya ini juga bertujuan agar penambang ilegal memiliki tanggung jawab atas pemulihan lingkungan.

Akan tetapi, Jessix Amundian dari Walhi Babel memandang upaya melegalkan tambang gelap itu hanya akan semakin 'menenggelamkan' Pulau Bangka dan Belitung, yang lingkungannya ia klaim kini berada dalam kondisi "hancur, parah dan masif" dari darat hingga laut.

"Itu merupakan satu langkah yang mundur. Ini semakin meningkatkan aktivitas tambang, lingkungan akan tambah rusak, dan ancaman bencana kian besar," kata Jessix. 

Senada, Endi dari Alobi mengatakan pelegalan aktivitas TI juga akan semakin memperuncing konflik manusia dan satwa.

"Flora dan fauna endemik akan dekat ke ambang punah, dan konflik manusia satwa semakin besar dan masif terjadi. Seharusnya TI ilegal dihentikan."

Dari masifnya konflik buaya dan manusia, kerusakan lingkungan, tudingan beking hingga wacana mengembalikan timah sebagai komoditas strategis, perubahan nyata ibarat "jauh panggang dari api", kata aktivis lingkungan.

Sosialisasi hingga penegakan hukum yang dilakukan untuk menghentikan praktik ilegal yang terpampang jelas di depan mata pun seakan tidak menimbulkan efek jera.

Lalu apa jalan keluar yang bisa dilakukan?

Dari sisi lingkungan, Jessix memandang pemerintah harus segera melakukan audit kerusakan lingkungan bagi pertambangan legal dan mendorong akselerasi reklamasi wilayah pascatambang. 

Sedangkan pertambangan ilegal, Jessix meminta untuk dihentikan total, dan dilakukan penegakan hukum yang tegas guna meminimalisir kerusakan yang telah terjadi, seraya membangun alternatif mata pencaharian bagi masyarakat.

Lalu dari sudut konservasi satwa, Endi memandang pembangunan penangkaran dan penetapan zona pelepasliaran buaya muara adalah langkah yang harus segera dilakukan. 

Garda Animalia melihat ada wilayah di Pulau Bangka yang mendekati ideal untuk dijadikan tempat pelepasliaran, yaitu di sekitar Sungai Upang, Kabupaten Bangka.

"Lokasi ini ideal karena jauh dari tambang, dan masih ditutupi vegetasi," kata Finlan dari Garda Animalia sambil menambahkan bahwa masih butuh kajian lebih mendalam terkait hal itu.

Kemudian untuk mengurangi potensi konflik manusia dan buaya, Brandon dari CrocBITE mendorong perlu adanya program edukasi untuk masyarakat tentang buaya, upaya yang berguna dalam mengurangi serangan buaya di NTT.

Sariah yang kini cacat dan hidup dalam trauma karena serangan buaya punya harapan. Dia ingin kolong bekas tambang di dekat rumahnya ditutup kembali, dan aktivitas pertambangan dihentikan.

Namun, dia pesimistis "karena orang di sini timah semua. Orang ini tidak mau tahu. Kalau kita bilang begitu, pasti kita dimusuhi orang."

Cadangan timah Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia. Dan, selama ratusan tahun Babel yang berada di sabuk timah dunia telah menjadi tulang punggung utama.

Eksploitasi timah di Babel diprediksi pemerintah masih dapat menyuplai kebutuhan dunia hingga puluhan tahun mendatang.

Namun, ada beban berat yang harus dipikul, dari kerusakan lingkungan, masifnya konflik manusia dan buaya, hingga dugaan praktik ilegal dan "beking".

Di ujung perjalanan saya selama hampir sepekan di Pulau Bangka, saya mengingat sebuah kegelisahan yang diungkapkan oleh aktivis lingkungan, pegiat satwa hingga sebagian masyarakat Babel yang saya temui.

Bagaimana nasib Pulau Bangka dan Belitung ketika akhirnya timah telah habis dikeruk dan lingkungan terlanjur "tenggelam" dalam kerusakan?

Dan, apakah satwa-satwa yang hidup di Pulau Bangka, seperti buaya muara, akan berakhir pada kepunahan akibat ulah manusia?. (*)

Tags : Polusi, Hukum, Indonesia, Hewan-hewan, Kesejahteraan hewan, Lingkungan, Hak hewan,