Headline Pekanbaru   2020/12/19 12:31 WIB

Mengapa Tiap Tahun Harga Sembako Naik, Dewan Sebut, 'Lemah Pengawasan'

Mengapa Tiap Tahun Harga Sembako Naik, Dewan Sebut, 'Lemah Pengawasan'

Berita selalu menghiasi media massa adalah realitas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Setiap kali memasuki hari-hari besar bahkan akhir tahun selalu terlihat dan mendengar bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya.

PEKANBARU - Kenaikan sembilan bahan pokok [Sembako] biasanya, kambing hitamnya adalah para penimbun barang. Realitas naiknya harga kebutuhan pokok menjelang hari-hari besar seakan menjadi sebuah tradisi. Dari tradisi ini lahirlah tradisi lain seperti mengeluh. Umumnya kaum ibu-lah yang sering bersentuhan dengan tradisi keluhan ini. Hanya sedikit orang yang merasa bingung dengan realitas ini. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya? Sepertinya orang tidak belajar dari pengalaman, padahal keledai saja tidak pernah jatuh ke dalam lobang yang sama untuk kedua kalinya.

"Sebenarnya realitas kenaikan harga barang dan berpijak pada pengalaman baik memasuki bulan ramadan, Idul Fitri, Natalan dan tahun baru ini bisa dijelaskan dengan hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi (pasar), dimana persediaan barang sedikit dan permintaan akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik. Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar," kata H Darmawi Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] menyikapi itu dalam bincang-bincangnya, Sabtu [19/12].

Hukum ekonomi (pasar), kata dia, bisa diterapkan dalam fenomena harga naik pada saat hari-hari besar keagamaan. "Bisanya kan menjelang hari besar keagamaan  persediaan barang yang dibutuhkan sangat sedikit, sementara para pamakainya banyak. Hal ini membuat harga-harga barangnya menjadi naik," sebutnya.

Dia mencontoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur 1.000, sementara yang membutuhkannya hanya 10 orang, dimana tiap orang cuma butuh 1 atau 2 butir telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis. Tapi pada saat memasuki moment hari bear, persediaan telur tetap 1.000, sementara yang butuh lebih dari 500, dimana tiap orang butuh 2 atau 3 butir, maka pedagang dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang butuh tetap 10 orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah pedagang juga akan menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.

"Jadi, kenaikan itu sepertinya merupakan suatu keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Akan tetapi, haruskah kita menyerah pada hukum tersebut, atau bisakah diatur sedemikian rupa sehingga pada masa hari-hari besar harga barang tidak naik? Tentu saja bisa dan seharusnya bisa. Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur yang menyebabkan harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas, peminat yang banyak atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau pemakai sebenarnya tidak terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang membutuhkannya. Tak mungkin setiap memasuki hari besar lantas jumlah penduduk kita bertambah banyak. Yang meningkat adalah kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang dalam jumlah yang tidak biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan harga barang ini ada dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan," terang Darmawi.

Jadi menurutnya, untuk mengendalikan harga pasar, tentulah dengan cara mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama, persediaan barang harus ditingkatkan jumlahnya. Setiap tahun pasti orang mengalaminya. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan akan barang tertentu. Misalnya, kalau setiap memasuki momen hari besar keagamaan kebutuhan akan telur sekitar 3000, maka saat menjelang moment itu harus sudah disediakan 3000-4000 butir telur. Kedua, soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada manusia, maka yang perlu dikendalikan adalah manusianya. "Lainnya tentu yang harus dikendalikan dari manusianya seperti nafsu manusia harus dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia untuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak."

"Jika seandainya nafsu itu dapat dikendalikan atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam jumlah yang banyak. Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya, dapatkah manusia mengendalikan nafsunya itu," tanya Damawi.

Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab akan semuanya ini. Untuk pengendalian unsur yang pertama, yaitu persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah pemerintah, para produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak menjelang ramadhan. Dan para produsen harus menyediakan hal itu. Jika produsen memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat mendekati moment hari besar, tentulah para pedagang tidak ada niat untuk melakukan penimbunan.

Memang pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian harga pasar. Namun menurutnya, bukan berarti kesalahan atas naiknya harga barang ini mutlak pada pemerintah. "Tak pantaslah kita menyalahkan pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan adalah konsumen, yang merupakan unsur kedua," sebutnya.

Menurutnya, konsumen adalah pengguna atau pemakai barang yang merupakan unsur kedua yang bertanggung jawab atas kenaikan harga barang. Konsumen juga berperan penting dalam menstabilkan harga barang. Misalnya, masing-masing orang hendaknya mengendalikan hawa nafsunya untuk membeli barang dalam jumlah sangat banyak. Dengan adanya pengendalian dua unsur ini, kejadian naiknya harga barang menjelang dan sepanjang hari besar tidak akan terjadi lagi. "Kebutuhan orang akan barang tetap sama saja. Contohnya, seharusnya di saat hari besar kebutuhan akan barang mesti turun [malah peristiwa itu sudah berulang-ulang saban tahun], orang makan pun cuma 2 kali sehari [pagi dan malam]. Semua ini bisa terjadi jika ada kemauan politik dari unsur-unsur yang berkaitan dengan kenaikan harga tadi.

Dewan sikapi kenaikan sembako

Muhammad Sabarudi, Anggota Komisi II DPRD Kota Pekanbaru juga menyikapi banyaknya keluhan masyarakat tekait melambungnya sembilan bahan pokok (sembako) ini. "Kalau saya lihat belum kuat (pengawasan). Kalau pengawasan kuat dari Pemko Pekanbaru, maka distributor ataupun pemasok sembako tidak semena-mena dalam menaikan harga," sebut Sabarudi didepan wartawan, Jumat (18/12).

Pemko Pekanbaru memberikan solusi dengan adanya pasar induk. Namun Sabarudi melihat pembangunan pasar induk juga lagi bermasalah, "jadi bahan pokok yang sudah diketahui naik sebaiknya harus dikontrol, agar kenaikannya tidak liar," jelasnya.

Wakil Walikota Pekanbaru Ayat Cahyadi turut merespon terkait lonjakan harga sembako di pasar-pasar tradisional di Pekanbaru. Menurut Ayat, pihaknya sudah mengintruksikan agar dinas-dinas terkait menerapkan berbagai strategi untuk dapat mengendalikan harga sembako. "Harus ada kegiatan untuk mengendalikan harga, di Dinas Ketahanan Pangan (Ketapang) sebenarnya sudah ada kegiatan pasar di kantornya. Mungkin nanti volume akan ditingkatkan untuk mengendalikan harga," ujar Wakil Walikota Ayat Cahyadi.

Ayat juga menjelaskan perusahaan daerah milik Pemko Pekanbaru yakni PT Sarana Pembangunan Pekanbaru (SPP) melalui anak perusahaannya yaitu PT Sarana Pembangunan Madani (SPM) juga ikut menjaga kestabilan harga sembako dengan cara menanam cabai. Ayat juga mengakui bahwa saat ini selain harga telur, harga cabai merah juga tengah melambung tinggi. Karena itu nanti Pemko Pekanbaru juga akan menggandeng Bulog untuk melakukan operasi pasar. "Namun nanti jika operasi pasar harus tetap menjaga protokol kesehatan Covid-19," pungkasnya. 

Penulis: Jonuar
Editor: Elfi Yandera

Tags : Pedagang Pasar Pekanbaru, Pedagang Sembilan Bahan Pokok, , Sembako Naik,