KALIMANTAN TENGAH - Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng) sudah dua tahun berjalan.
Perkebunan singkong seluas 600 hektare sempat terlantar dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen. Penelusuran lembaga swadaya masyarakat (lsm) Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.
Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.
Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.
Namun, sebutnya, apabila sudah ada kepastian alokasi dana dari APBN Tahun 2023 maka pengelolaan kebun singkong akan dilanjutkan.
Dengan nada bicara tinggi, Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.
Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional.
Kini, semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektare yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh keluarganya.
"Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan. Sekarang lihat saja kayak lapangan... siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur," ucapnya seperti dirilis BBC News Indonesia.
Pria 53 tahun ini berkata warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate atau pembukaan kebun singkong.
Hingga pada November 2020, menurut Rangkap, puluhan alat berat yang dikawal tentara tiba-tiba masuk ke hutan.
Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, membenarkan pernyataan Rangkap.
Proses sosialisasi, katanya, berlangsung tiga kali pada 2020. Karena situasi kala itu pandemi Covid-19, hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertahanan.
Mereka yang diajak di antaranya seluruh kepala desa di Kecamatan Sepang, damang (kepala adat), mantir (perangkat adat), lurah, bupati, kapolsek dan kapolres.
Di situ disampaikan ada program nasional lumbung pangan singkong yang mencakup empat desa yakni seluas 31.000 hektare - setara dengan setengah luas DKI Jakarta.
Namun tak ada penjelasan lanjutan soal mengapa lahan food estate itu menggunakan hutan produksi di desanya dan mengapa tanaman singkong yang dipilih.
Selaku kepala desa, Sigo mengeklaim tak berani menolak kebijakan dari pemerintah pusat.
"Kami tetap menerima, yang penting program ini terjadi masyarakat inginkan ada tenaga kerja lokal sesuai kemampuan masing-masing. Ternyata fakta di lapangan, sejak lahan dibuka sampai ditanami singkong tidak ada dilibatkan masyarakat satu pun," ujarnya.
Kebun singkong dijaga ketat
Apa yang terjadi di dalam kebun singkong, tak ada yang tahu.
Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, berkata masyarakat dilarang masuk ke area tersebut. Begitu juga dirinya.
Bahkan untuk meminta kayu yang sudah ditebang pun, katanya, tak boleh.
Suatu kali ia pernah ke sana untuk meminta beberapa batang kayu demi kebutuhan pembangunan kantor desa.
Tapi begitu sampai, katanya, dia dicegat tentara.
Rangkap juga mengalami kejadian serupa. Dia berkisah, waktu itu ia mau mengambil sayur di ladang miliknya. Saat tiba, lahannya sudah habis dibabat.
Di lain hari, dia hendak mencari kayu untuk memperbaiki rumah namun dicegah.
"Kayu itu bukan untuk dijual, untuk dipakai kok dilarang? Kayak penjajahan saja," katanya kesal.
Sejak itu, Rangkap tak pernah mau menginjakkan kaki di sana.
Sampai di akhir 2021 satu per satu pekerja meninggalkan area itu.
Tak ada informasi dari pekerja kontraktor di kebun singkong kenapa mereka pergi, tutur Sigo. Ia pun tak tahu status program food estate ini dihentikan atau masih berlanjut usai terbengkalai.
Di kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.
Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.
Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus.
Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.
Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.
Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter.
Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.
Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan.
Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar bahkan mengaku tak pernah melihat pekerja memanen singkong-singkong itu.
Lahan kebun singkong tidak cocok
Sigo menyebut kebun singkong itu gagal lantaran kondisi tanah yang tidak cocok.
Di sana, kata dia, karakteristik tanahnya 70% adalah pasir.
Sementara lahan yang baik untuk menanam umbi kayu adalah tanah yang memiliki struktur gembur, remah, dan punya banyak bahan organik.
Rangkap juga sependapat.
"Dari dulu saya bilang ini namanya Gunung Mas, jangan ditanam macam-macam. Jangan dibalik jadi gunung singkong," ujar Rangkap setengah berteriak.
Kalaupun mau digunakan untuk tanaman singkong, menurut dia, tanah itu harus diolah terlebih dahulu agar subur.
Sebab mustahil singkong tumbuh di atas tanah berpasir, katanya.
"Jadi kalau tanam singkong harus lihat kondisi tanah, benar tidak? Walau bodoh, masyarakat kan tahu kondisi tanahnya."
"Kalau kayak gini, tanam singkong mandek apa jadinya? Hutan habis, singkong enggak jadi. Siapa yang rugi? Masyarakat yang kena dampaknya."
Sejak hutan dibuka, kata Kepala Desa Tewai Baru, banjir di wilayahnya makin parah. Ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap.
Kalau sebelumnya hanya 50 sentimeter, sekarang bisa 1,5 meter lebih.
Ini karena hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.
Dion Noel, seorang warga Desa Tewai Baru yang rumahnya selalu kebanjiran ingin agar hutan itu dipulihkan.
"Banjir ini enggak enak, makan hati kami. Apalagi kalau banjir di malam hari. Waktunya tidur malah air naik," imbuhnya.
Bapak lima anak ini tinggal di dataran rendah Gunung Mas dan persis di pinggir Sungai Tambun yang bermuara ke Sungai Kahayan.
Ia berkata, hujan lebat selama dua jam saja langsung merendam sebagian rumahnya dan baru surut esoknya.
Sudah tak terhitung barang-barang perlengkapan rumah yang hanyut terbawa banjir.
"Kalau kami mau disetop saja kalau bisa, karena kami kena dampaknya."
Food estate padi yang tak kunjung panen
Selain singkong, pemerintah juga mengembangkan food estate atau lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.
Sebagian besar atau sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).
Wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.
Menengok sejarah ke belakang, kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng Sunarti, di era pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono area itu menjadi sentra padi.
Meskipun gambut, sambungnya, tapi tidak terlalu dalam. Sehingga tanah di sana, klaimnya, subur lantaran sudah diolah bertahun-tahun oleh warga transmigran.
Untuk program ini, penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertanian menggunakan dua metode: intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi artinya menggenjot produksi padi dari lahan sawah yang sudah ada jadi lebih tinggi lagi.
Sedangkan ekstensifikasi, meningkatkan hasil pertanian dengan cara mencetak sawah baru di atas lahan tidur atau terlantar.
Kalau menurut beberapa pengamat pertanian, food estate semestinya fokus pada upaya ekstensifikasi. Mengingat luas lahan pertanian di Jawa kian menyusut akibat pembangunan.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan luasan lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru pada 2021-2022 di dua kabupaten di Kalteng mencapai 17.175 hektar.
Hanya saja, dari ribuan hektare itu belum ada sawah yang bisa dipanen karena "lahan baru dibuka dan ditanam," kata Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman.
'Tak ada peran dinas pertanian'
Di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Sarianto dan 16 pemilik lahan di sana mengatakan, penyebabnya adalah karena tak ada peran dari dinas pertanian.
Luas lahan milik kelompok tani yang dipimpin Sarianto mencapai 17 hektare.
Pertama kali mereka tahu desanya masuk program food estate sekitar Mei 2021, kata dia.
Lewat pertemuan di kantor desa, perwakilan dari kontraktor dan petugas penyuluh pertanian lapangan menjelaskan bahwa lahan di Desa Mantangai Hulu nantinya akan dijadikan area pertanian food estate.
Masyarakat, menurut petugas penyuluh sebagaimana yang diingat Sarianto, bisa mengusahakan lahan tersebut untuk menanam padi sawah.
Akan tetapi seingat Sarianto, petugas penyuluh tak ada menyinggung manfaat atau hasil program tersebut.
Ia dan anggota kelompok tani menyatakan bersedia lahannya masuk program lumbung pangan.
"Karena ada lahan yang tidak dikelola, dengan food estate ada usaha yang bisa ditunjang. Kami ya, antusias," ucap Sarianto.
Langkah selanjutnya, kata Sarianto, seluruh anggota kelompok tani Pematang Haratak disuruh membuat surat pernyataan.
Isinya pertama, memastikan lahan tersebut tidak tumpang tindih kepemilikan.
Kedua, seluruh kelompok tani bersedia mengusahakan sawah food estate dan tidak mengalihfungsikan sejak surat pernyataan dibuat.
Ketiga, seluruh anggota tidak akan pernah melakukan transaksi jual-beli lahan yang dijadikan sawah food estate.
Terakhir, jika ada tanaman yang ada di atas lahan yang akan dijadikan lokasi sawah food estate, mereka tidak akan menuntut ganti rugi.
Di penghujung surat tertulis apabila seluruh anggota kelompok tani tidak menepati pernyataan ini maka mereka bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Kira-kira Juli sampai Agustus 2021, menurut Sarianto, eskavator didatangkan ke desa untuk menggarap 17 hektare lahan rawa gambut yang selama ini terlantar.
Semak belukar dibabat habis dan batas pematang sawah dibuat.
Tapi selesai garap lahan, dia mengatakan, tak ada kelanjutan apa-apa.
Tak ada juga pelatihan kepada para petani bagaimana menanam padi sawah. Padahal, kata Sarianto, hal itu penting karena mereka tak punya pengetahuan tentang itu.
Sepanjang hidupnya, ia hanya pernah menanam padi ladang yakni dengan cara membakar lahan.
"Prosesnya seperti apa belum pernah [ada pelatihan] sampai sekarang. Selama ini kami terbiasa menanam padi ladang dengan mengandalkan hasil pembakaran lahan sebagai pupuk," jelas Sarianto.
"Kalau padi sawah prosesnya panjang dan perlu banyak pupuk, makanya harusnya pendampingan penting."
Persoalan lain, infrastruktur pertanian seperti irigasi tak juga dibikin.
Jangan bayangkan lahan di Kalimantan serupa dengan lahan di Jawa. Di Kalimantan Tengah, ladang mereka berada di rawa pasang surut. Ada waktu-waktu tertentu air akan surut dan petani baru bisa menanam bibit padi.
Karena itulah petani sangat berharap dinas pertanian membuat irigasi agar bisa mengatur air.
Tujuh bulan berselang, bantuan benih, pupuk, kapur dolomit, obat pembasmi rumput baru datang yaitu sekitar Maret 2022 dan akhirnya tak terpakai, kata Sarianto.
"Tidak mungkin membasmi rumput kalau terendam air. Ada yang bilang bibit bisa hidup di air, tapi enggak masuk di akal kami."
"Makanya kegagalan ini tidak ada kesalahan dari anggota. Karena dari sana tidak melakukan pelatihan. Harusnya kami dilatih dulu, bagaimana musimnya, bulan apa yang cocok."
Di lokasi ekstensifikasi itu, bekas cetak sawah baru yang dulu digarap masih bisa terlihat meskipun telah dipenuhi semak belukar.
Kata Sarianto, kalau ingin menggarap ladang ini menjadi sawah padi maka prosesnya harus diulang dari awal lagi.
Mengapa program lumbung pangan tak ada yang berhasil?
Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan pihaknya sudah mengira program lumbung pangan ini bakal gagal seperti yang sudah-sudah.
Perlu diketahui, program serupa pernah dijalankan oleh mantan presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono di Kalteng. Namun tak ada yang berhasil.
"Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng," ujar Bayu.
Menurut Bayu, menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan.
Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.
Kini, pemerintah tak cuma mengobrak-abrik gambut tapi merembet ke kawasan hutan yang menjadi lokasi kebun singkong.
Padahal hutan itu adalah habitat orang utan.
"Di sana salah satu wilayah yang tutupan hutannya masih bagus dan itu jadi koridor orang utan," ujarnya.
Sejumlah warga yang tinggal di sekitar kebun singkong membenarkan ucapan Bayu. Beberapa kali mereka melihat dua orang utan dewasa melintas di hutan itu.
Dalam hal kondisi sosial masyarakat, sambungnya, orang Dayak sebetulnya sudah punya pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal mereka.
Sehingga mereka tahu betul mana lokasi yang bisa dijadikan lahan pertanian.
Sayangnya, dia menyebut, program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka.
"Masyarakat di sini pola pertanian sawah belum dekat. Kalaupun ada itu bukan orang lokal tapi transmigran."
"Penduduk setempat terbiasa berladang dengan membakar lahan. Tapi kalau terjadi kebakaran, mereka yang disalahkan. Padahal mereka paling punya lahan dua sampai tiga hektare saja."
Apa yang terjadi sekarang, menurut Bayu, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan dan itu bukan perkara sederhana.
Butuh proses yang panjang untuk berubah.
Persoalan lain mengapa program ini kandas, katanya, benih yang diberikan ke petani lokal tidak sesuai dengan pengetahuan mereka, semisal siam munus atau siam mayang.
Benih untuk food estate menggunakan varietas Inpari 42 dari Kementan.
Pengalaman pertama Abdul Hadi menanam bibit Inpari 42 di dua hektare sawah milik kelompoknya di Desa Talekung Punei, Kapuas, tak begitu memuaskan.
Sudah umur bibitnya lebih pendek dari usia bibit lokal, begitu tumbuh diserang hama tungro dan gosong leher.
Ia yang tak punya pengalaman menanam bibit Inpari 42 menjajal setidaknya enam obat hama, tapi tak juga membaik.
Akhirnya dari dua hektare, Abdul Hadi cuma memanen 150 kilogram gabah kering giling. Jauh dari panen biasanya yang mencapai empat ton per hektare.
Kementan: Food estate tak sepenuhnya gagal
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng, Sunarti, menampik tuduhan bahwa jajarannya tidak melakukan pelatihan kepada petani lokal seperti yang terjadi di Desa Mantangai Hulu, Kapuas.
Ia berkata, petugas penyuluh di tingkat kecamatan sudah ditugaskan untuk melakukan pendampingan.
Namun soal irigasi diakuinya masih belum berjalan kecuali di Kecamatan Dadahup, Kapuas - yang menjadi lokasi intensifikasi.
Rencananya pada tahun ini proses perbaikan maupun pembangunan irigasi baru akan dilanjutkan oleh tim dari Kementerian PUPR, kata dia.
Terlepas dari persoalan itu, Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Dede Sulaeman, mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate.
Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.
Meskipun lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru belum juga panen, lanjut dia, dari 44.135 hektare sawah intensifikasi yang mulai digarap sejak 2020-2021 sudah menghasilkan setidaknya 42.588 ton gabah kering giling.
"Kalau cuma sedikit yang tidak berhasil, apakah kita tidak legowo untuk menyebut 44.000 hektare itu itu bagus? Dan selebihnya perlu perhatian khusus," ucap Dede Sulaeman, Senin (13/02).
"Kami ingin semua melihat secara menyeluruh. Bahwa ada kondisi serangan hama, penurunan panen kami akui tapi tidak general," sambungnya.
Alasan Kementan tetap memasukkan sawah eksisting atau intensifikasi dalam program food estate karena proyek ini juga bertujuan meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas, kata Dede Sulaeman.
Dengan begitu sawah di Kalteng yang tadinya masih satu kali panen dalam setahun bisa ditingkatkan menjadi dua kali setahun.
Untuk diketahui, anggaran yang dikeluarkan Kementerian Pertanian dalam rangka program intensifikasi dan ekstensifikasi seluas 62.000 hektare di Kalteng mencapai Rp600 miliar.
Akan tetapi pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa menyebut pemahaman food estate seperti itu "tidak benar".
"Food estate itu misi-visinya memperluas lahan pertanian terutama sawah. Kalau intensifikasi ya program intensifikasi yang setiap saat dijalankan pemerintah," jelas Dwi Andreas.
Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, juga sependapat. Food estate semestinya memperluas lahan yang diusahakan untuk pertanian ditambah membangun jaringan irigasi.
Apakah proyek food estate diperlukan?
Aditya Alta menyarankan agar program buang-buang uang seperti ini sebaiknya dihentikan saja.
Pemerintah harus fokus pada upaya intensifikasi pertanian terutama di luar Pulau Jawa. Sebab produktivitas atau indeks pertanaman di Pulau Jawa sudah mentok kecuali ada terobosan teknologi, kata Aditya.
"Misalnya penggunaan pupuk, petani yang tidak gunakan pupuk di luar Pulau Jawa sangat signifikan. Seingat saya 5 sampai 10 persen petani belum gunakan pupuk sama sekali," jelasnya, Jumat (03/02) kemarin.
Begitu juga dengan akses irigasi. Di luar Pulau Jawa baru mencapai 50%, ujar Aditya.
Termasuk soal benih padi unggul yang kurang populer di luar Jawa.
Kesenjangan produktivitas yang cukup lebar itulah yang semestinya dikhawatirkan pemerintah.
Karena meskipun kebutuhan beras domestik di Indonesia 98% bisa dipenuhi dari dalam negeri, tapi nyatanya "tidak terjangkau" oleh masyarakat di luar Pulau Jawa dalam hal harga.
"Harga beras sangat mahal. Apakah [beras] langka? Tidak, tapi harganya mahal. Di beberapa daerah sekarang seperti Sulawesi atau Kalimantan Selatan selama Januari lalu harga berasnya tertinggi se-Indonesia."
Harga beras di Kalimantan Selatan tinggi lantaran berasnya dikirim dari Jawa. Ada ongkos distribusi yang membuat mahal, jelas Aditya.
Sementara beras lokal tidak bisa maksimal produksinya akibat kesenjangan sarana dan prasarana pertanian.
Sepanjang pengamatannya, pemerintah belum menemukan terobosan untuk menjawab persoalan lahan sawah di rawa pasang surut seperti Kalimantan.
Itu mengapa, menurutnya, langkah pemerintah membuka lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) untuk pertanian padi dianggap tidak tepat.
Pertama, produktivitas padi di lahan gambut tidak akan setinggi di tanah mineral.
Kedua, berbenturan dengan komitmen pemerintah mengurangi gas emisi.
"Lahan yang tadinya untuk hutan atau gambut lalu dibuka, itu kan keluar simpanan karbonnya yang berkontribusi paling besar ke emisi."
"Jadi solusinya pada mengintensifkan lahan yang ada. Jumlah luas padi di luar Jawa besar tapi produktivitasnya tidak sebesar di Jawa."
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luasan sawah di seluruh Indonesia pada 2021 sebesar 10,5 juta hektar.
Setengah dari total luasan itu tersebar di luar Pulau Jawa.
Adapun perkara singkong, Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, mendesak agar program ini disudahi saja karena terlalu besar dampak lingkungan yang harus ditanggung.
Lebih dari itu, food estate singkong hanya kedok untuk "bagi-bagi kue" atau proyek ke sejumlah pihak, Bayu menuduh.
Penelusuran Walhi, PT Agro Industri Nasional atau Agrinas ditunjuk sebagai mitra Kementerian Pertahanan untuk menawarkan proposal investasi food estate singkong.
Sementara itu Agrinas disebut binaan Kementerian Pertahanan.
Bagaimana nasib food estate padi dan singkong di Kalteng?
Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman mengatakan pada 2023 tidak ada lagi pembukaan sawah baru untuk ekstensifikasi.
Kementerian akan fokus di hilirisasi dan kelembagaan usaha petani.
"Sekarang memperkuat pemanfaatan penggilingan padi, yang dijual tidak lagi berupa gabah tapi beras," ujarnya.
Selama ini gabah hasil food estate dikirim ke Banjarmasin untuk penggilingan kemudian berasnya dijual ke Palangkaraya dan Kalimantan Selatan.
Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bapennas, food estate hanya sampai 2024.
Dede berharap program ini dilanjutkan dalam penyusunan RPJMN 2024-2028.
Melalui keterangan tertulis, Kepala Pusat Cadangan Logistik Strategis Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Heru Sudarminto mengatakan mangkraknya kebun singkong di Desa Tewai Baru disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.
Namun, sebutnya, apabila sudah ada kepastikan alokasi dana dari APBN Tahun 2023 maka pengelolaan kebun singkong akan dilanjutkan.
Heru juga menyebut lantaran belum ada dukungan dana, awal penggarapan lahan itu dilaksanakan oleh mitra pelaksana yang pekerjaannya mencakup perawatan dan penyiapan bibit singkong.
Hanya saja dalam pernyataan tertulis yang diterima BBC News Indonesia itu, dia tidak menyebutkan siapa mitra pelaksana tersebut.
"Dengan kondisi tersebut, maka kegiatan perawatan tanaman dalam bentuk pemupukan, pemeliharaan belum terlaksana optimal."
"Sehingga hasil buah singkongnya juga belum maksimal," kata Heru, Senin (27/02).
Dia juga menolak tuduhan Walhi Kalteng bahwa program ini hanya bagi-bagi kue. Klaimnya kegiatan food estate singkong Kemenhan tidak melibatkan PT Agrinas.
"Informasi yang disampaikan Walhi tidaklah benar," tulisnya.
"Kegiatan perencanaan kegiatan food estate singkong dilaksanakan dengan transparan dan sudah mendapat penilaian dari tim audit internal Kemhan maupun eksternal," sambung Heru.
Bagaimanapun, bencana lingkungan akibat pembukaan hutan dan gambut tak bisa dihindari.
Warga di Desa Tewai Baru, seperti Rangkap dan Dion Noel, ingin hutan itu dipulihkan.
"Saya tidak minta ganti rugi, yang penting bapak bisa tanam-tanam lagi. Kami masyarakat tidak serakah kok," ujar Rangkap.
'Food Estate bukan tanggung jawab Kementan'
Kementerian Pertanian, dalam hak jawabnya pada Jumat 17 Maret 2023, mengatakan pengelolaan Food Estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian.
Kementan hanya bertanggung jawab dalam mengelola pengembangan Food Estate yang berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
"Kementerian Pertanian hanya bertanggung jawab dalam mengelola pengembangan Food Estate yang berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau," kata Direktur Perlindungan dan Penyediaan Lahan, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, Jumat (17/03).
Dikatakan, Food Estate di dua kabupaten itu dilakukan sejak pertengahan 2020 melalui kegiatan intensifikasi lahan pada areal lahan sawah eksisting sekitar 30.000 hektare.
"[Yaitu] dengan mengembangkan usaha tani padi dan multikomoditas (hortikultura, perkebunan dan peternakan itik)," tambahnya.
Setahun kemudian, lanjutnya, pengembangan Food Estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau diperluas menjadi 60.778 hektare, melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.
Hingga 2022 total luas pengembangan Food Estate menjadi 62.455 hektare pada dua kabupaten tersebut, sambung Baginda.
Program jangka panjang dan 'tidak mudah'
Dalam bagian lain hak jawabnya, Kementerian Pertanian mengatakan, pengembangan food estate merupakan program jangka panjang.
"Sehingga hasil kegiatan tidak seluruhnya dapat dilihat dalam waktu singkat," tulis Baginda.
Diakuinya, pengelolaan lahan pertanian rawa tidak mudah, namun memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Karena itulah, diperlukan penanganan lahan melalui program/kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sebagai upaya meningkatkan produksi pangan dan luas lahan pertanian, paparnya.
Baginda mengeklaim, dalam pengembangan lahan pertanian rawa di Kalteng, pihaknya melaksanakannya dengan memperhatikan tipologi lahan rawa.
"Agar diperoleh manajemen tata air makro dan mikro yang tepat untuk lahan tersebut," ujarnya.
Disebutkan, penyiapan infrastruktur tata air dilakukan utamanya oleh Kementerian PUPR.
Kementerian Pertanian dalam hak jawab secara tertulis yang dirilis BBC News Indonesia; sinergi antar kementerian dan lembaga dalam rangka membangun tata kelola lahan dan sistem irigasi yang optimal menjadi hal penting dilakukan.
Mencapai produksi 'cukup baik'
Lebih lanjut dikatakan, pengembangan food estate Kalimantan Tengah, pada 2020-2022, untuk komoditas padi telah mencapai produksi yang cukup baik.
Baginda mengatakan, capaian produksi tiap kabupaten - menurut tahun pelaksanaan kegiatan intensifikasi lahan - dilakukan pada lahan sawah eksisting masyarakat guna meningkatkan Indeks pertanaman (IP) dan produktivitas.
Dikatakan, produksi padi di kawasan food estate khususnya di Kabupaten Kapuas meningkat dari 37.390 ton GKG (2019) menjadi 70.365 ton GKG pada tahun 2020, dengan produktivitas berkisar 2,8-4,5 ton GKG/ha.
"Sedangkan di Kabupaten Pulang Pisau meningkat dari 36.492 ton GKG (2019) menjadi 40.739 ton GKG pada tahun 2020 dengan produktivitas berkisar 2,29-4,7 ton GKG/ha," kata Baginda.
Kantor Dinas Pertanian 'mendampingi' masyarakat
Dalam bagian lain hak jawabnya, Kementerian Pertanian kembali menegaskan bahwa pihaknya sejak awal sudah melakukan pendampingan terhadap kegiatan food estate.
Menurut Baginda, pendampingan itu sudah dilakukan petugas dari Dinas Pertanian Provinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten melalui penyuluh, petugas POPT, hingga mantri tani.
"Sehingga tidak benar bila disebutkan dalam pemberitaan tanpa pendampingan dinas pertanian," kata Baginda.
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng, Sunarti, menampik tuduhan bahwa jajarannya tidak melakukan pelatihan kepada petani lokal seperti yang terjadi di Desa Mantangai Hulu, Kapuas.
Sunarti berujar, petugas penyuluh di tingkat kecamatan sudah ditugaskan untuk melakukan pendampingan.
Merasakan manfaat positif
Pada bagian akhir hak jawabnya, Kementerian Pertanian juga meminta agar menyampaikan testimoni petani yang merasakan manfaat positif dari keberadaan kegiatan Pengembangan Food Estate.
Rilis Humas Kementan mengutip Timang, salah satu petani dari Kelompok Tani Ulin Berkarya Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
Timang mengatakan, semenjak program food estate berjalan banyak petani lain yang dapat mengubah perilaku tani. Perubahan yang dimaksud adalah dari yang sebelumnya suka melakukan pembakaran hutan untuk membuka lahan baru menjadi tidak lagi.
"Sebelumnya, kami memang sudah bertani tapi tapi semampunya saja. Sekarang kami bisa menanam padi sawah dan bisa berhenti melakukan kegiatan yang istilahnya sistem padi gunung atau sistem bakar. Maka dari itu, kami manfaatkan ini dengan sebaik mungkin," jelas Timang, sebagaimana dikutip dalam rilis Humas Kementan.
Saat ini program food estate dikembangkan di beberapa daerah, salah satunya di lahan rawa Kalimantan Tengah.
Program ini dilaksanakan dengan dua kegiatan yaitu intensifikasi lahan dan ekstensifikasi lahan.
Intensifikasi lahan adalah peningkatan produktivitas melalui atau menggunakan lahan eksisting.
Sementara, ekstensifikasi lahan adalah perluasan areal tanam baru dengan memanfaatkan atau optimalisasi lahan rawa eks PLG. (*)
Tags : food estate, perkebunan singkong, kalimantan tengah, hutan dibabat jadi kebun singkong, pangan, hutan, pertanian,