Nusantara   2023/03/26 21:6 WIB

Nakes 'Bedakan Pasien BPJS' Dikecam Publik, Pegiat: 'Bentuk Kecurangan yang Sangat Tidak Pantas'

Nakes 'Bedakan Pasien BPJS' Dikecam Publik, Pegiat: 'Bentuk Kecurangan yang Sangat Tidak Pantas'
Pasien yang juga peserta BPJS Kesehatan menunggu resep obat di RSUD Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (9/2/2023).

NUSANTARA - Lembaga advokasi BPJS Watch mengatakan, video viral tenaga kesehatan yang menunjukkan perbedaan pelayanan pasien BPJS Kesehatan dan umum adalah "realita sesungguhnya".

Catatan lembaga ini sepanjang 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan.

Juru bicara BPJS Kesehatan, Agustinus Fardianto, mengaku telah berupaya menghilangkan praktik diskriminatif kepada pasien BPJS. Kendati diakuinya hal tersebut masih terjadi.

Kata dia, jika pasien mengalami kesulitan, diimbau agar mengadu ke sejumlah layanan yang tersedia. 

Sebuah video tiga tenaga kesehatan di TikTok yang memperlihatkan perbedaan perlakuan pada pelayanan pasien BPJS Kesehatan dan pasien umum, viral di media sosial.

Video yang dibagikan akun @rampoeng itu dikecam netizen dan para dokter. Meski belakangan mereka telah meminta maaf.

Dokter spesialis penyakit dalam, Zubairi Djoerban misalnya mencuit "Para teman sejawab jangan membedakan pasien BPJS dan pasien umum. Semua pasien itu sama-sama butuh bantuan. Saya mohon," katanya di Twitter.

Kemudian akun @RisaHart yang berkata, "Sangat tidak pantas tingkah laku mereka. Meremehkan orang yang pakai BPJS. Mereka sendiri berobat pakai BPJS enggak ya?"

Ada pula yang merasa video tersebut memang menampilkan pelayanan sesungguhnya.

"Saya pernah diperlakukan tidak baik sama nakes di puskesmas. Mereka sama sekali tidak ramah dan memang terkesan tidak peduli. Lalu saya bilang ke salah satu yang ada di situ 'kalian tidak tahu siapa saya?' Langsung berubah perlakuannya. Padahal saya bukan siapa-siapa," kata akun @kokonlimbonk.

Lembaga BPJS Watch menyebut tindakan diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan hampir terjadi di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga lanjutan atau dari puskesmas sampai rumah sakit.

Tapi kasus yang paling sering muncul ada di rumah sakit.

Salah satu kasus yang saat ini sedang diadvokasi terjadi di Surabaya, Jawa Timur.

Cerita pasien BPJS: 'Jatah anak saya diselak mulu'

Cahyadi, orangtua dari pasien BPJS, Kayla dan Nayla yang berusia 14 tahun, bercerita anak kembarnya itu harus menunggu lama untuk mendapat tindakan operasi amandel.

Ia mengatakan, kalau merujuk pada keputusan dokter yang memeriksa anaknya, tindakan operasi itu harus segera dilakukan karena amandel sudah membesar.

Pada 6 Februari 2023, sambung dia, nama kedua anaknya masuk dalam daftar untuk tindakan operasi.

Pihak rumah sakit kemudian menjanjikan dalam dua hingga empat minggu ke depan akan diberitahu kapan tanggal operasi itu dilangsungkan.

Akan tetapi hingga sebulan berlalu atau 6 Maret 2023, tidak juga ada informasi lanjutan dari rumah sakit.

"Saya komplain lewat telepon ke rumah sakit. Nakes itu bilang kalau ada enam urutan lagi sebelum anak saya. Terus saya jawab, kenapa tidak ada kabar selama satu bulan padahal janjinya hanya dua minggu," imbuh Cahyadi seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (19/03).

"Nakes itu juga bilang kalau tindakan operasi anak saya tidak bisa barengan. Padahal rekomendasi dokter sebelumnya harus bersama."

"Saya jawab ya sudah tidak apa-apa dan disuruh menunggu."

Sampai pekan lalu, ia akhirnya menghubungi pihak rumah sakit untuk menanyakan kepastian tindakan operasi anaknya.

Di situlah ia tahu kalau anaknya berada di urutan ke-20.

"Saya kaget, kemarin ngomongnya urutan masih enam. Berarti kan jatah anak saya diselak-selak mulu," katanya kesal.

Rencananya, Senin (20/03), dia akan mendatangi langsung rumah sakit untuk komplain dan memperjelas waktu operasi anaknya tersebut.

Sebab penundaan ini membuat kondisi si kembar makin parah.

"Keluar lendir terus, suara sengau terus, padahal dokter minta untuk segera dioperasi," tukasnya.

Perlakuan diskriminasi apa saja yang terjadi?

Catatan BPJS Watch sepanjang 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan.

Di puskesmas, tindakan diskriminasi yang biasa dilaporkan ke lembaganya seperti pemberian obat yang tidak sesuai jatah sehingga pasien harus membeli kekurangan obat dengan kocek sendiri.

Sedangkan di rumah sakit, kasus yang paling banyak diadukan adalah re-admisi di mana pasien yang sedang dalam perawatan dan belum sembuh total disuruh pulang ke rumah. Setelah itu, pasien akan masuk kembali ke rumah sakit untuk berobat.

Praktik tersebut, kata Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, merupakan bentuk kecurangan yang dilakukan pihak rumah sakit demi mengakali pembengkakan keuangan.

"Karena pembiayaan pasien BPJS menggunakan sistem paket. Jadi misalnya untuk penyakit demam berdarah paket biaya perawatannya Rp15 juta. Ketika pasien tersebut trombositnya belum naik, dia harusnya tetap dirawat," ujar Timboel Siregar, Minggu (19/03).

"Tapi karena dalam masa perawatan, biayanya sudah mentok Rp15 juta, pasien akhirnya disuruh pulang. Kalau tetap lanjut dirawat, biayanya bisa lebih tinggi daripada klaim."

Perlakuan diskriminasi lainnya adalah antrean pasien BPJS Kesehatan ke poli umum hingga berjam-jam.

Belum lagi antrean menunggu pemberian obat.

"Saya pernah pengalaman dari pagi sampai sore [nunggu obat], itu keterlaluan ya. Tapi ya itu faktanya masih terjadi sampai sekarang," imbuhnya.

"Harusnya rumah sakit bisa memberikan kepastian kepada pasien, bisa dengan kirim obatnya daripada menunggu berjam-jam."

"Ada juga perlakuan seperti barang medis untuk pasien BPJS Kesehatan dikatakan habis padahal tidak. Tapi karena pasien tidak tahu haknya, ya berulang terus."

Data itu sejalan dengan temuan Ombudsman yang mendapati 700 pengaduan sepanjang 2021-2022. Mayoritas pengaduan yang diterima soal penolakan pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan alasan kuota terbatas.

Timboel berkata, tindakan seperti itu semestinya tidak dibolehkan kalau merujuk pada UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 di pasal 32.

Mengapa ada tindakan diskriminasi?

Menurut Timboel, semua perlakuan diskriminasi itu bermula karena tarif Inasibijis atau INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups) di rumah sakit dan kapitasi di puskesmas 'sangat rendah' serta 'tak ada kenaikan sejak 2016 sampai 2022'.

Untuk diketahui tarif INA-CBGs adalah paket layanan yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur, meliputi seluruh sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun nonmedis.

Sedangkan kapitasi merupakan standar tarif yang dibayarkan untuk fasilitas kesehatan dan praktik dokter.

Bedanya, ujar Timboel, tarif kapitasi di puskesmas telah dibayarkan terlebih dahulu sesuai dengan jumlah peserta. Sementara rumah sakit, sistemnya klaim. 

"Misalnya di satu puskesmas ada 1.000 peserta, kalau rata-rata tarif satu pasien Rp5000 maka total Rp5 juta yang dibayar oleh BPJS Kesehatan. Walau pasien tidak datang, ya tetap dibayar sebesar itu."

Pada tahun ini, Kementerian Kesehatan memutuskan menaikkan tarif INA CBGs sebesar 9,5% dengan begitu diharapkan perlakuan diskriminatif tersebut tidak akan terjadi lagi.

Akan tetapi, dia ragu akan hal tersebut.

"Yang namanya motif bisnis identik dengan greedy atau keserakahan. Walau sudah dinaikkan terjadi juga celah kecurangan. Ini yang harus diatasi pemerintah, pengawas rumah sakit, BPJS Kesehatan, dan dinas kesehatan," tegasnya.

BPJS Kesehatan imbau pasien adukan tindakan diskriminatif

Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto, tak menampik masih adanya perilaku diskriminatif terhadap pasien BPJS.

Untuk menekan tindakan-tindakan seperti itu, ia mengaku pihaknya terus mengimbau manajemen fasilitas kesehatan agar setara memperlakukan pasien BPJS.

Kalaupun ada kesulitan, dia mengimbau pasien BPJS mengadukan ke layanan yang ada. Mulai dari call center atau pusat panggilan 165, aplikasi JKN Mobile, kantor cabang terdekat, hingga akun media sosial resmi BPJS Kesehatan.

Adapun soal video viral yang dibuat nakes puskesmas Lambunu 2, Kecamatan Bolano, Sulteng, itu pihaknya sudah minta agar ditindak.

"Kami juga mengharap dukungan dari pemerintah, manajemen fasilitas kesehatan dan pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengimbau para tenaga kesehatan agar mengedepankan etika profesinya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh pasien, termasuk pasien JKN," ujarnya dalam keterangan tertulis. 

Secara terpisah, Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengeklaim sejuah ini tidak ada tenaga kesehatan yang diskriminatif terhadap pasien BPJS.

Ia menduga, konten itu dibuat untuk akal-akalan viral semata.

"Kenyataan di lapangan, kami menjamin tidak ada perbedaan itu lagi pasien BPJS maupun nonBPJS," ucapnya seperti dilansir CNN Indonesia.com.

Namun demikian dia berkata, jika ada nakes yang dilaporkan terbukti diskriminatif akan mendapat surat peringatan atau sanksi dari manajemen rumah sakit.

Apa solusinya?

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, menilai imbauan menghubungi call center sampai mengadu lewat media sosial, kurang mempan.

Ia mengusulkan agar pihak BPJS Kesehatan membuka nomor pengaduan khusus di tiap fasilitas kesehatan dan ditempel di ruang-ruang yang gampang dilihat orang.

Sehingga kalau ada pasien yang mengalami diskriminasi atau dipersulit bisa langsung menghubungi.

"Biar orang BPJS Kesehatan yang bicara langsung ke rumah sakit, kalau pasien pasti tidak punya informasi yang lengkap."

"Pasien jangan dituntut tahu semuanya. Saya sendiri yang mengadvokasi tidak tahu misalnya nama-nama obat yang terdapat di Formularium Nasional."

"Itu yang harus lebih dimasifkan, bagaimana membuat sistem agar masyarakat bisa memiliki akses lebih mudah untuk melapor kalau mengalami diskriminasi."

Hal lain, kata dia, fasilitas kesehatan entah itu puskesmas atau rumah sakit harus menindak tegas pegawainya yang mendiskriminasi pasien.

Semisal diberhentikan supaya ada efek jera.

"Jadi ada efek jera ke pelakunya. Kalau saya melakukan ini, bisa diPHK. Kalau hanya peringatan, besok akan terjadi lagi," ucapnya. (*)

Tags : badan penyelenggara jaminan sosial, nakes bedakan pasien bpjs, nakes dikecam publik,