Artikel   2023/04/09 21:8 WIB

Kisah di Laut Natuna yang Masuk Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, Mhd Budiman: 'Nelayan Bagaikan Terusir dan Terasing di Laut Sendiri'

Kisah di Laut Natuna yang Masuk Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, Mhd Budiman: 'Nelayan Bagaikan Terusir dan Terasing di Laut Sendiri'
Muhammad Budiman, nelayan Natuna

MUHAMMAD BUDIMAN, salah satu nelayan di Kabupaten Natuna menceritakan pengalamannya tentang nasibnya pernah mencari ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) bagaikan terusir dan terasing di laut sendiri.

Pasalnya, kata dia, puluhan kapal asing banyak memasuki wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara untuk mencuri ikan.

"Nelayan asing selalu masuk wilayah ZEE menabrak dan bersikap brutal."

"Kita selalu dikejar, diusir, dan bahkan ada yang ditabrak kapal asing. Kita (laju) gas habis-habisan karena jarak kapal yang mengejar kita itu kurang dari 40 sampai 50 meter," kata Muhammad Budiman menceritakan, di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Januari lalu.

Para Nelayan Natuna menyebutkan patroli keamanan yang jarang dituding menjadi penyebabnya.

Akan tetapi, aparat keamanan Indonesia menyatakan patroli dilakukan sepanjang tahun di perairan Natuna.

Muhammad Budiman mengaku pernah berhadapan langsung dengan kapal-kapal nelayan asing.

"Malam itu, 18 Desember 2019, sekitar pukul 10 malam, bersama tujuh awak buah kapalnya (ABK) saya semua pada ketakutan dan gemetar," kata Muhammad Budiman.

Keringat mengalir deras dari kulit mereka walaupun udara dingin dan angin laut bertiup kencang.

Budiman yang bertanggung jawab sebagai nakhoda kapal ikan berteriak, "Matikan genset! Semua lampu juga matikan!"

Saat cahaya bulan redup karena tertutup awan, yang terdengar hanya suara mesin kapal yang melaju cepat dan deru ombak yang dihantam kapal.

Budiman, yang biasa disapa Budi, memacu kecepatan maksimal kapal ikan berkekuatan 29 gross tonnage (GT) yang berasal dari Tanjung Balai Karimun itu tanpa arah.

Dalam pikirannya, ia harus kabur secepat mungkin dan bersembunyi di balik gelapnya malam.

Ia pun menghubungi teman-teman nelayan lain lewat radio agar siap sedia membantu jika kejadian buruk terjadi.

Kapal yang dinakhodai Budi saat itu dikejar-kejar oleh dua pasang kapal nelayan asing di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Selain itu, kata Budi, masih terdapat banyak lampu jauh kapal asing lain yang sedang mencuri ikan di saat bersamaan.

"Saat itu takut sekali. Keringat semua badan, gemetar lagi. Intinya yang penting nyawa selamat," kata warga asli Pulau Tiga Barat itu.

"Haluan pun kita sudah tidak tahu lagi. Yang penting menengok ke belakang, dia putar haluan, kita putar haluan ke arah lainnya," katanya.

Dua jam berlalu, katanya, akhirnya cahaya lampu suar kapal asing itu menghilang. Namun, jantungnya masih berdetak kencang dan ia terus waspada melihat sekitar untuk memastikan kondisi telah aman.

"Awalnya, kita berlayar melewati mereka. Setelah mereka menarik pukat, lalu mengejar kita, entah mau menabrak atau menakut-nakuti kita, kita pun tidak tahu. Kita semua pun pada takut tidak sempat merekam dan apa," ujarnya.

Budi mengeluhkan saat itu tidak ada patroli aparat keamanan Indonesia. Ia dan teman-teman nelayan lain pun telah mengontak aparat keamanan untuk mengeluhkan banyaknya nelayan asing yang mencuri ikan di ZEE.

"Dua hari tidak ada tanggapan. Hari ketiga pas kita hubungi Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) baru ada keluar patroli KRI (kapal perang Republik Indonesia). Kita di laut juga sebagai benteng bagi pemerintah. Ibarat kita kasih tahu ya disikapi dengan cepat lah, biar tidak menunggu-nunggu" ujarnya.

Setelah kondisi aman dan tidak lagi dikejar, Budi dan para ABK melanjutkan memancing ikan menggunakan metode pancing ulur.

'Terusir dan terasing di laut sendiri'

Kejadian itu adalah satu dari banyak pengalaman yang dirasakan Budi dan nelayan Indonesia lain saat mengambil ikan di wilayah laut Indonesia, khususnya perairan Natuna.

Mereka menyebut merasa terusir dan terasing di laut sendiri.

"Banyak kejadian seperti ini yang terjadi, bahkan ada yang hampir tenggelam dan hancur. Saya merasa terasing di daerah sendiri," kata Budi.

Pada hari yang sama setelah kejar-kejaran itu, ternyata ada nelayan Indonesia lain yang juga mengalami nasib miris akibat ulah kapal asing.

Nelayan bernama Asoy yang berasal dari Tanjung Balai Karimun mengeluhkan seluruh tali pancingnya habis ditabrak oleh kapal asing pada hari itu.

"Habis kita punya alat tangkap ditabrak. Kita tidak bisa buat apa-apa sama mereka. Mereka itu brutal. Kalau kita kode mereka (agar menjauh) malah kita ditakut-takutin," kata Asoy yang sudah menjadi nelayan lebih dari 13 tahun.

Nelayan Natuna melaut di perairan Kepulauan Riau.

Selain itu, Asoy juga bercerita pernah ditabrak, dilempar dengan botol berisi kotoran, dan disemprot air kotoran busuk ikan oleh kapal asing.

Nelayan lain, Muhammad Daud dan Zaliwardi, juga mengeluhkan maraknya pencurian ikan oleh kapal asing di Laut Natuna Utara.

"Tengah bulan lalu banyak sekali (kapal asing), pokoknya puluhan kapal. Kita takut dekat kapal mereka, kapal kita (ukuran) tidak sama," kata Daud yang telah menjadi nelayan sejak 1993.

"Mereka itu merajalela, kita pakai tali, mereka pakai pukat. Disapu habis semua ikannya, mau makan apa kita?"

Lucunya, kata Zaliwardi, nelayan dari Rukun Lubuk Lumbang, nelayan Natuna seperti 'warga ilegal' saat mengambil ikan di Laut Natuna Utara.

Menurutnya, nelayan Natuna seperti 'sembunyi-sembunyi' saat mengambil ikan guna menghindari pertemuan dengan kapal asing karena takut diganggu.

Sedangkan kapal asing secara terbuka mengambil ikan tanpa takut, keluh Zaliwardi.

"Memang sedih, pencarian kita di situ malah kita diusir. Mau bentrok kita tidak mampu, kawan-kawan pun lari juga. Tidak ada yang mampu kalau diusir, dia lebih besar dari kita, 60 GT ke atas," kata Zaliwardi.

Keberadaan kapal asing itu, kata Zaliwardi, sangat merugikan hasil tangkapan ikan karena mereka menggunakan pukat yang merusak terumbu karang dan mengambil ikan secara masif.

Patroli keamanan Indonesia 'minim'

Para nelayan tersebut mengungkapkan keterusiran dan keterasingan tersebut muncul akibat dari kurangnya perlindungan dari aparat keamanan laut Indonesia terhadap nelayan di Laut Natuna Utara.

"Kita tidak pernah jumpa patroli saat ada kapal asing (kejadian Desember lalu itu). Itu pun dia (aparat keamanan) minta berita sama kita. Ada kapal tidak di laut, baru mereka turun," kata Zaliwardi yang menggunakan kapal 5 GT melaut hingga 100 mil.

Bahkan, Daud cukup heran karena beberapa waktu lalu saat kapal keamanan Indonesia mau patroli, kapal asing telah mengetahui dan cepat kabur.

"Saya mengeluh, kapal kita ini tidak ada sering patroli. Kapal perang kita itu tidak ada sering patroli di situ," kata Budi.

Akhir tahun lalu, para nelayan tersebut malah mengatakan bertemu seminggu bahkan hanya sebulan sekali dengan patroli keamanan Indonesia.

Namun, setelah berita kapal nelayan China masuk ke ZEE Indonesia untuk mengambil ikan viral, pengerahan kekuatan keamanan menjadi besar.

Hasilnya, mereka bisa bertemu dengan kapal keamanan Indonesia setiap hari hingga saat ini dan kapal asing pencuri ikan pun telah menghilang.

Untuk itu, mereka berharap agar keamanan perairan Natuna Utara dapat terus dijaga setiap saat, dan terus ditingkatkan.

"Harapan kita, supaya laut aman, bukan untuk saya, bukan untuk generasi sekarang, tapi ke depan, anak cucu kita karena ikan itu kan kita punya harta," kata Asoy.

Pengamat sosial ekonomi maritim dari Universitas Maritim Raja Ali Haji di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Khodijah Ismail, mengatakan pelanggaran tersebut karena rendahnya pengawasan dari aparat keamanan Indonesia.

"Akibatnya bukan hanya menimbulkan ancaman sosial ekonomi tapi juga ancaman nyawa. Ketika mereka melaut, armada mereka kecil, armada asing besar. Mereka takut," kata Khodijah yang melakukan riset terhadap kesejahteraan nelayan tradisional Natuna.

Patroli keamanan di Natuna: Akan tidak terbatas dan sepanjang tahun

Kasus pencurian ikan ilegal oleh kapal asing mencuat ke publik saat Dedek Ardiansyah, nelayan dari Pulau Tiga Barat mengunggah video kapal-kapal asing ke sosial media pada Desember tahun lalu.

Kasus pencurian ikan menjadi viral ketika kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal penjaga pantai China terdeteksi melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai.

Bahkan, mereka menolak untuk diusir dari wilayah ZEE Indonesia.

Strategi nelayan: pagar laut Nusantara

Tokoh nelayan Pulau Tiga Barat, Hanafi Jamaluddin, mengatakan pengamanan perairan Natuna tidak hanya bisa disandarkan kepada aparat keamanan Indonesia semata.

Perlu ada, kata Hanafi, kerja sama bersinergi antara aparat dengan para nelayan Natuna.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah laut Natuna

"Kami selaku nelayan semut, selaku nelayan kecil, siap menjadi pagar laut Nusantara. Natuna adalah pintu jalur laut negara lain yang masuk ke Indonesia," katanya.

Artinya, kata Hanafi, kapal 'semut' nelayan tradisional Natuna berperan sebagai pagar laut di wilayah 20-30 mil.

Lalu kapal nelayan berukuran lebih besar berada di jarak 30 sampai 100 mil. Kemudian kapal lebih 50 GT berada di wilayah 100 sampai 200 mil.

"Jadi berlapis-lapis. Tidak ada celah untuk masuk. Saya rasa kalau ini kita buat, mereka berpikir 1000 kali juga. Betul-betul kita menguasai laut kita, itu harapan kami kedepan. Kapal-kapal kita, Bakalma, TNI AL, KKP, dan lainnya berpatroli untuk menjaga dan mengawasi wilayah dan nelayan," katanya.

Fasilitas yang memadai kepada nelayan Natuna, kata Hanafi, bukan hanya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat namun juga berperan sebagai benteng pertahanan laut Indonesia. (*)

Tags : nelayan indonesia, nasib nelayan natuna, wilayah zona ekonomi eksklusif dimasuki nelayan asing, nelayan natuna bagaikan terusir dan terasing di laut sendiri,