Headline Nasional   2020/10/15 16:39 WIB

Omnibus Law dan Kontroversi Isu SKCK: Polisi Berdalih Beri 'Efek Jera' Bagi Pelajar yang Memprotes UU Cipta Kerja

Omnibus Law dan Kontroversi Isu SKCK: Polisi Berdalih Beri 'Efek Jera' Bagi Pelajar yang Memprotes UU Cipta Kerja
Sejumlah pelajar melemparkan beragam benda di dekat gedung DPR/MPR, Jakarta, dalam demonstrasi tahun lalu.

JAKARTA - Kebijakan kepolisian yang akan mempersulit pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang terbukti melanggar hukum dalam demonstrasi anti-UU Cipta Kerja, dikritik sejumlah pihak.

Kepolisian mengklaim kebijakan itu akan ditempuh untuk memberikan "efek jera" kepada para pelajar tersebut, namun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai mekanisme itu justru mengancam masa depan para pelajar. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) biasanya menjadi semacam prasyarat untuk digunakan ketika anggota masyarakat melamar pekerjaan.

Itulah sebabnya, Komisioner KPAI Jasra Putra menyebut pencatatan di SKCK itu akan membuat pelajar kesulitan bekerja di sektor formal yang mensyaratkan calon pekerjanya bersih dari catatan kriminal. "Anak-anak kita ini di satu sisi masih punya masa depan, masih punya waktu untuk memperbaiki. Tapi catatan dugaan pindak pidana itu muncul di SKCK mereka tentu [di] masa depan mereka menjadi tidak bisa bekerja di sektor formal," ujar Jasra Putra seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (14/10).

KPAI mencatat, per Sabtu (10/10) ada 3.665 anak diamankan oleh kepolisian di seluruh Indonesia selama beberapa hari demonstrasi menentang UU Cipta Kerja, 91 di antaranya diproses hukum.

Polisi: Hanya berlaku bagi pelajar yang melanggar hukum

Sementara, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan mekanisme pencatatan SKCK itu hanya berlaku bagi pelajar yang memang terbukti melanggar hukum. "Kalau dia tidak terbukti melakukan tindak pidana nggak ada masalah. Tapi kalau dia terbukti melakukan tindak pidana ya kita proses," ujar Argo.

"Tadi yang kena pidana otomatis ada akibatnya," ujarnya kemudian.

Dia menambahkan kepolisian kembali mengamankan 806 pelajar dalam demonstrasi pada Selasa (13/10), sebagian besar di antara mereka adalah anak dibawah umur.
pelajar pedemo

Keberatan orangtua

Aminah memeluk putranya, Muhammad Satria yang duduk berjejer bersama anak-anak lain di halaman Polsek Pulogadung di Jakarta. Mereka adalah pelajar yang diamankan kepolisian karena ikut demonstrasi menentang UU Cipta Kerja, sehari sebelumnya. Aminah mengaku "kecolongan" karena dia tak tahu menahu kalau anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) itu turut dalam demonstrasi. Kala itu, Satria hanya minta izin untuk main bersama teman-temannya. "Bilangnya main aja. Kalau ibaratnya sampai bilang ikut-ikut demo, mungkin ibu enggak bakalan ngasih [izin]. Namanya anak dan orang tua, siapa sih yang mau ngerelain anaknya ikut-ikut demo?" tutur Aminah. 

Kapolsek Pulo Gadung, Kompol Beddy Suendi menjelaskan putra Aminah adalah salah satu dari 41 pelajar yang diamankan dalam demonstrasi pada Selasa (13/10). Beddy menjelaskan satu pelajar yang diamankan terkonfirmasi reaktif Covid-19 dan langsung dibawa ke rumah sakit khusus perawatan Covid-19 Wisma Atlet. Sementara 17 lainnya dikembalikan kepada orang tuanya, sisanya masih menjalani pendataan. "Dari hasil pemeriksaan rata-rata [ikut demo karena] ajakan teman-temannya dan dari keinginan sendiri untuk mengikuti demo," ujar Beddy. 

Sementara itu, sebanyak 230 orang - sekitar 85% dari mereka adalah pelajar SMA dan SMP - diamankan oleh Polresta Tangerang selama demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sejak pekan lalu hingga kemarin, Selasa (13/10).

Diamankan saat aksi demonstrasi 

Menurut Kasat Reskrim Polresta Tangerang, AKP Ivan Adhitira, para pelajar mengaku ikut demonstrasi setelah menerima ajakan berdemonstrasi melalui media sosial, namun mereka tidak mengetahui substansi dari demo tersebut. Kini, ujar Ivan, "seluruh pelajar yang diamankan telah dikembalikan ke orang tuanya untuk dibina". Mereka juga diwajibkan untuk membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. "Semua pelajar yang kita tangkap atau kita amankan kita catat identitasnya, termasuk kita ambil sidik jarinya dan kita lakukan foto untuk didokumentasikan ke database kita sehingga apabila mereka ingin melamar kerja kan harus membuat SKCK, kemungkinan mereka-mereka ini tidak bisa dikeluarkan SKCK-nya dalam waktu dekat."

Konsekuensinya, lanjut Ivan, para pelajar ini "akan kesulitan mendapat SKCK" yang dikeluarkan oleh kepolisian. SKCK menjadi salah satu persyaratan jika mereka mengikuti rekrutmen di perusahaan sektor formal.

Mengapa opsi pencatatan SKCK ini dipilih?

"Karena memang pelajar-pelajar ini harus ada efek jera. Kedua, karena mereka masih dibawah umur, untuk dipidanakan adalah alternatif terakhir," ujar Ivan.

"Makanya opsi yang kita ambil adalah men-database-kan identitas mereka, untuk apabila nanti mereka ingin melamar kerja, atau membuat SKCK, sehingga datanya sudah ada," katanya kemudian.

Hal serupa juga dilakukan oleh kepolisian di Depok, yang menegaskan pelajar yang tertangkap tangan mengikuti demonstrasi dan berpotensi rusuh, akan dipersulit saat membuat SKCK. Jika SKCK perlu diterbitkan, maka kepolisian memberikan keterangan bahwa pemohon adalah perusuh.

Kapolres Metro Depok, Kombes Azis Andriansyah menegaskan kebijakan ini merupkan komitmen bersama antara pemerintah kota Depok dan seluruh kepala sekolah. Penanganan kepolisian terhadap pelajar pedemo disayangkan oleh Komisioner KPAI Jasra Putra, yang menyebut kebijakan itu akan membuat pelajar -kesulitan mencari pekerjaan di sektor formal. "Sebab di [perusahaan] sektor formal pasti melihat salah satunya SKCK itu," kata dia. 

Semestinya, lanjut Jasra, ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk memberi efek jera pada pelajar pedemo. "Bahwa dia ada melakukan dugaan tindak pidana, itu ada aspek lain yang tentu ada pendekatan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak di mana kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi perhatian kita yang utama," tegas Jasra.

Apa tanggapan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak?

Sementara, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, menegaskan bahwa kebijakan yang ditempuh polisi "kurang tepat" dan justru menimbulkan stigma dan labelisasi pada anak. "Kurang tepat, karena nanti akan terkait dengan dengan UU Perlindungan Anak pasal 59 ayat 2 menegaskan kita punya kewajiban untuk menghindari stigma dan pelabelan pada anak-anak," ujar Nahar.

"Kita berharap sebaiknya anak-anak dibebaskan dari beban yang sebetulnya mereka ikut [demo] bukan atas inisiatifnya sendiri," lanjutnya. 

Bolehkah pelajar berdemo?

Nahar mengungkapkan bahwa tiap anak memiliki "hak partisipasi" untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, pelibatan anak-anak dalam demonstrasi yang mengandung kekerasan, bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Aturan tersebut mengamanatkan perlindungan anak dari kegiatan politik, dan kegiatan yang merusak serta mengandung kekerasan. "Lalu ketika kita mendapati anak-anak yang dilibatkan, seharusnya ini peran semua pihak untuk menahan diri untuk dapat mencegah agar anak-anak tidak dilibatkan dalam aktivitas yang dapat mengancam baik jiwa dan psikis anak," jelas Nahar.

Fenomena maraknya pelajar dalam demonstrasi mulai mencuat tahun lalu, ketika ratusan pelajar sekolah menengah atas dan sekolah teknik menengah (STM) turut serta dalam demonstrasi penolakan revisi UU KPK. Penanganan kepolisian terhadap pelajar dan penahanan mereka mendapat sorotan dari pegiat perlindungan anak. Sebab, kepolisian melontarkan gas air mata dan menahan 570 siswa SMP dan SMA pada aksi tersebut.

Bahkan, lembaga PBB yang menganani urusan anak, UNICEF, menyoroti pentingnya ketentuan khusus untuk anak-anak dalam sistem peradilan pidana Indonesia ketika anak-anak yang terlibat demonstrasi bersentuhan dengan hukum. UU Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia menetapkan bahwa perampasan kebebasan dan pemenjaraan adalah pilihan terakhir. Sedangkan penangkapan dan penahanan anak di bawah 18 tahun hanya bisa dilakukan untuk periode maksimum 24 jam. 

Merujuk pada aksi demonstrasi yang berujung ricuh baru-baru ini, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono menegaskan bahwa pihaknya akan tetap memproses hukum para pelajar yang terbukti melanggar unsur pidana. "Misalnya bawa senjata tajam, kemudian merusak membuat fasilitas umum rusak, tetap kita proses dan tetap kita ajukan ke pengadilan. Tapi ada aturannya yang mengatur perlakuan anak yang tersangkut pidana kan ada aturannya," kata Argo.

Namun, Nahar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan perlunya pencegahan agar pelajar tidak terlibat dalam demonstrasi yang mengandung kekerasan. "Dalam proses sistem peradilan anak, yang diutamakan adalah restorative justice, mengembalikan [anak] ke keluarga dan masyarakat, artinya ada peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah daerah."

"Peran-peran itu harus diaktifkan sehingga mencegah timbulnya persoalan-persoalan anak muda terprovokasi, anak-anak dieksploitasi untuk tujuan orang dewasa," jelas Nahar. (*)

Tags : Omnibus Law dan Kontroversi Isu SKCK, Pelajar Memprotes UU Cipta Kerja,