Kepri   2023/09/20 20:55 WIB

Organisasi Masyarakat Sayangkan PSN di Rempang, Wasekjend Larshen Yunus: 'Ini Bukti Ketidaksiapan Pemerintah Merangkul Rakyatnya'

Organisasi Masyarakat Sayangkan PSN di Rempang, Wasekjend Larshen Yunus: 'Ini Bukti Ketidaksiapan Pemerintah Merangkul Rakyatnya'
Larshen Yunus

KEPULAUAN RIAU, RIAUPAGI.COM - Investigasi yang dilakukan organisasi masyarakat sipil menemukan "dugaan pelanggaran HAM" di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada Kamis 7 September 2023 saat aparat bentrok dengan warga yang menolak digusur demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan pada 11-13 September 2023, organisasi-organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang ini menyebut aparat telah menggunakan “kekuatan berlebih” dan secara “serampangan” menembakkan gas air mata.

Sedikitnya 20 warga mengalami luka berat maupun ringan akibat kerusuhan tersebut.

“Kami bisa memastikan bahwa kejadian 7 September itu menimbulkan korban dari kalangan anak-anak, perempuan, dan lansia,” kata Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian Sodik, dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu (17/9).

Selain itu, kehadiran posko-posko aparat dan “sosialisasi” untuk membujuk warga mendaftarkan diri dalam program relokasi disebut telah “membuat masyarakat ketakutan”.

Kelompok masyarakat sipil ini pun mendesak Komnas HAM menyelidiki dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Pada Sabtu 16 September 2023, Komnas HAM telah menurunkan tim ke Pulau Rempang untuk memverifikasi peristiwa yang terjadi.

Salah satu komisionernya, Prabianto Mukti Wibowo mengatakan bahwa posisi Komnas HAM saat ini adalah “merekomendasikan supaya dipertimbangkan kembali rencana pembangunan industri ini tanpa harus menggusur warga setempat”.

"Dugaan pelanggaran HAM’ di Pulau Rempang sebanyak 20 orang terluka, aparat gunakan 'kekuatan berlebih' dan 'serampangan' tembakkan gas air mata."

"Investasi yang berlangsung di Pulau Rempang, Batam, seharus tidak menghilangkan hak tinggal masyarakat karena terdampak proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) itu," kata Larshen Yunus, Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend], Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Pusat Jakarta, tadi ini Rabu (20/9/2023).   

"Masyarakat Rempang, masyarakat saya juga dan masyarakat Kepri,” tandas Larshen.

Terkait hal itu, Caleg dari Partai Persatuan Indonesia [Perindo] ini berjanji akan berjuang untuk kepentingan masyarakat di Kepri, termasuk warga Pulau Rempang. Sehingga hak masyarakat Rempang tidak terabaikan begitu saja.

Larshen menyampaikan pihaknya akan terus mengawal persoalan yang dihadapi masyarakat Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri itu.

"Kita akan kawal, bagaimana investasi tetap ada, tapi hak masyarakat tetap dipenuhi,” pungkasnya. 

Menurutnya, Rempang Eco City merupakan proyek yang digarap oleh perusahaan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berinduk kepada Artha Graha Network (AG Network).

PT MEG sendiri merupakan perusahaan yang mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.000 hektare (ha) lebih lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini.

Sekitar 2.000 ha dari lahan itu lalu dijadikan sebagai tempat pembangunan Rempang Eco City, lokasi pabrik produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd.

Perusahaan itu pun telah berkomitmen untuk membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai US$11,5 miliar di kawasan tersebut dan menjadikannya sebagai pabrik kaca kedua terbesar dunia setelah di China. Namun, sejak pekan lalu, masyarakat di kawasan itu enggan direlokasi hingga timbul bentrokan.

Atas pengosongan lahan ini, BP Batam menyiapkan permukiman baru untuk masyarakat Rempang yang terdampak proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Permukiman ini bernama Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City dan berlokasi di Dapur 3, Kelurahan Sijantung, Pulau Galang.

Lokasi pemukiman baru itu  diberi nama Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City.

Program ini memiliki slogan Tinggal di Kampung Baru yang Maju, Agar Sejahtera Anak Cucu. Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City akan menjadi kampung percontohan di Indonesia sebagai kampung nelayan modern dan maju.

Tetapi masyarakat terdampak pun akan mendapatkan hunian 1 rumah baru tipe 45 senilai Rp 120 juta rupiah/KK, dengan luas tanah maksimal 500 m2. (Satu) 1 rumah terdampak akan diganti dengan 1 hunian baru.

Masyarakat dijanjikan bebas biaya Uang Wajib Tahunan (UWT) selama 30 tahun, gratis PBB selama 5 tahun, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Fasilitas pendidikan tersedia untuk jenjang SD, SMP hingga SMA. Tersedia juga pusat layanan kesehatan, olahraga dan fasilitas sosial. Juga disiapkan fasilitas ibadah seperti masjid dan gereja. 

"Jadi kesalahan ini hanya tingkat koordinasi yang belum baik, tetapi mengapa proyek yang belum dimulai kok rumah warga sudah digusur," tanya dia.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengklaim apa yang dilakukan polisi merupakan “penertiban atas gangguan masyarakat”.

“Bagaimana enggak kekuatan berlebih, negosiator dari Polwan saja sudah tidak ditanggapi. Dalmas awal kami sudah dilempari dengan ketapel, batu, dan klewang,” kata Pandra.

Pandra menyebut polisi juga berupaya membubarkan massa, yang memblokade Jalan Trans Balerang, menggunakan water canon.

“Itu sudah sesuai SOP [standar operasional prosedur], masih dilawan lagi, bahkan yang membahayakan petugas dengan melempar bom molotov. Apa tidak membahayakan petugas itu? Apa tidak melanggar hak asasi? Apanya yang berlebih?” tutur Pandra.

Menurut Rozy Brilian Sodik lagi, setidaknya 20 orang menjadi korban luka berat maupun ringan ketika aparat merangsek masuk ke kampung-kampung, bahkan sekolah.

Salah satu korban adalah seorang lansia berusia 60 tahun, Ridwan, yang fotonya berlumuran darah akibat tertembak peluru karet beredar di media sosial. Ridwan harus mendapatkan 12 jahitan.

Seorang jurnalis lokal yang meliput di lokasi kejadian juga menyaksikan beberapa orang tertembak peluru karet, namun hanya dirawat di rumah.

Namun, tim investigasi mengatakan belum bisa mengakses korban untuk mengetahui bagaimana dampak tembakan itu terhadap mereka.

Informasi lainnya dari keterangan warga juga menyebut beberapa orang dilarikan ke RS Marinir pasca-insiden. Namun, akses informasi mengenai jumlah pastinya “sangat sulit untuk didapatkan”.

Sebanyak 11 orang juga menjadi korban di SMPN 22 setelah aparat menembakkan gas air mata.

Satu orang di antaranya adalah guru yang sempat pingsan akibat gas air mata. Sedangkan 10 orang lainnya adalah siswa yang mengalami syok berat, tegang, dan sesak napas berat.

“Dari hasil wawancara dengan salah satu orangtua murid di SMPN 22, anaknya mengalami trauma hingga tidak mau untuk kembali ke sekolah karena merasa masih tegang dan suka merasa sesak,” papar Rozy.

Temuan ini membantah pernyataan Polri sebelumnya yang menyebut "tidak ada korban" dalam peristiwa tersebut.

Tim investigasi juga menemukan fakta bahwa gas air mata ditembakkan "secara serampangan" ke berbagai penjuru jalan, ketika aparat gabungan ingin membubarkan massa aksi yang menolak pengukuran dan pematokan lahan.

Gas air mata pertama kali ditembakkan di Jalan IV Barelang. Tetapi kemudian gas air mata juga ditembakkan menuju SD 24 Galang dan SMPN 22 Batam.

Salah satu guru SMPN 22 bersaksi bahwa seluruh siswa berada di dalam kelas ketika kerusuhan terjadi sekitar pukul 10.10 WIB.

Ketika mendengar suara kericuhan di Jalan Trans Balerang, salah satu guru menyadari ada gas air mata yang telah ditembakkan.

“Salah satu guru yang kami wawancarai langsung datang ke ruang guru, menyalakan speaker, menyatakan jangan menembak ke area sekolah, tapi asap gas air mata yang ditembakkan sampai ke sekolah,” jelas Rozy.

Asap gas air mata membuat para siswa berlarian "kocar-kacir" ke arah musala, bahkan ke atas bukit di dekat sekolah.

Selain itu, kesaksian warga menyebut gas air mata “ditembakkan secara brutal” menuju SDN 024 Galang. Hal itu, kata Rozy, dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah selongsong gas air mata persis di SD.

Secara terpisah, Komnas HAM juga mengungkapkan temuan selongsong gas air mata di lingkungan sekolah.

“Di lingkungan sekolah. Di dalam lingkungan sekolah,” kata Shalita, salah satu anggota tim Komnas HAM.

Rozy mengatakan temuan-temuan itu membantah pernyataan polisi yang menyebut "penggunaan gas air mata sesuai prosedur" serta "gas air mata tertiup angin".

Pengerahan aparat 'skala besar' untuk pematokan

Dalam investigasi ini, warga Pulau Rempang bersaksi bahwa terdapat sekitar 60 kendaraan aparat yang dikerahkan menuju lokasi pematokan pada 7 September. Di antaranya adalah mobil water canon, pengurai massa, dan APC Wolf.

Pengerahan itu melibatkan 1.010 personel gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP dan Ditpam BP Batam.

Apabila ditinjau dari kekuatan yang dikerahkan, Rozy mengatakan polisi "tampaknya telah memperkirakan akan terjadi bentrokan dengan warga Pulau Rempang".

Polisi juga disebut "sangat eksesif dan agresif" memukul mundur massa dengan water canon dan gas air mata.

Polda Riau menyatakan hal itu dilakukan karena warga telah berhari-hari memblokade jalan Trans Balerang, yang merupakan jalur penghubung antar-pulau, termasuk untuk aktivitas ekonomi dan pariwisata.

"Mereka menduduki di situ bukan satu malam, tapi mulai pertengahan Agustus mereka sudah melakukan sweeping, kami mau sosialisasi diusir," kata Pandra.

Pasca-insiden pada 7 September 2023, aparat gabungan membentuk posko-posko di Pulau Rempang, hingga di tengah perkampungan warga.

Tim investigasi Solidaritas Nasional Untuk Rempang menemukan ada lima posko di Jembatan IV, Simpang Cate, Sungai Buluh Simpang Sembulang, Simpang Rezeki, dan Kantor Kecamatan Galang.

Mereka mengidentifikasi ada sekitar 20 hingga 30 aparat gabungan di masing-masing posko.

Posko yang tadinya didirikan masyarakat untuk menolak kehadiran petugas BP Batam pun telah beralih menjadi posko milik aparat gabungan.

Hal senada juga dibenarkan oleh Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi.

Suardi mengatakan masyarakat masih berharap seluruh personel Polri dan TNI ditarik dari Pulau Rempang. Hal itu juga mereka sampaikan ketika berdialog dengan Komnas HAM pada Sabtu (16/9).

"Mereka [aparat] bangun tenda-tenda. Sekarang sudah di dalam kampung," kata Suardi.

Dikonfirmasi terkait posko-posko aparat, Pandra mengatakan bahwa "sudah tidak ada posko-posko keamanan".

"Sekarang ini yang ada adalah posko pendaftaran untuk mendaftarkan secara sukarela untuk memilih tempat yang nantinya benar-benar mereka pilih," kata Pandra.

Terkait keterlibatan aparat dalam sosialisasi relokasi dan posko pendaftaran, yang semestinya menjadi kewenangan BP Batam, Pandra mengatakan, "Itu kan tim terpadu, tentu harus dijaga keamanannya dalam mendukung apa yang menjadi komitmen pemerintah".

Warga tak bisa cari nafkah

Kehadiran aparat dan kekhawatiran soal pematokan lahan membuat banyak masyarakat Pulau Rempang, yang mayoritas nelayan, tidak bisa pergi mencari nafkah.

"Mereka takut sewaktu-waktu anak istrinya dijemput dan direlokasi, itu menyebabkan mereka berhenti melaut," kata Rozy Brilian Sodik, Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras.

Warga Kampung Tanjung Banon, Sobirin, 43, mengaku tak bisa melaut karena khawatir tanahnya dipatok oleh petugas dari BP Batam.

Suardi dari KERAMAT mengatakan aktivitas warga telah terganggu sejak tiga bulan yang lalu. Sebagian warga bahkan sampai berhutang demi bertahan hidup.

"Kalau ada yang keluarganya rezekinya banyak, mereka berhutang untuk beli beras," tutur Suardi.

Situasi ini juga membuat aktivitas pariwisata di Pulau Rempang sepi pengunjung.

"Ini sudah berpengaruh pada pelaku usaha kecil. Tidak sedikit juga masyarakat Rempang Galang berpenghasilan dari sana [pariwisata]. Kericuhan dan kehadiran aparat mungkin membuat pengunjung ragu terkait keamanan," kata Suardi.

Menurut Rozy, sosialisasi yang dilakukan BP Batam terkait relokasi warga dilakukan "searah dan tidak partisipatif". Itu karena BP Batam dinilai warga hanya memaparkan program relokasi tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

Salah seorang warga di Sembulang bersaksi bahwa BP Batam hanya melakukan dua kali sosialisasi kepada warga terdampak.

"Dalam sosialisasi tersebut warga diminta untuk membawa kelengkapan dokumen yang digunakan untuk mengklasifikasikan besaran ganti rugi yang akan diterima dan mendaftarkannya pada dua tempat yang telah ditentukan, serta pemaparan pembangunan proyek Rempang Eco-City," papar Rozy.

Rozy melanjutkan, salah satu warga lainnya, yang memiliki lahan seluas lima hektare secara turun temurun, mengaku tidak sedikit pun ada pembicaraan mengenai ganti rugi lahan tersebut.

Sementara itu, belakangan ini, petugas BP Batam didampingi aparat disebut melakukan sosialisasi dari pintu ke pintu kepada masyarakat.

Menurut Suardi, kedatangan aparat ke rumah-rumah warga justru membuat masyarakat ketakutan dan merasa dipaksa untuk mendaftar.

"Warga memang ketakutan, khususnya di Kelurahan Sembulang. Yang jualan sudah tidak berani membuka pintu karena takut didatangi dengan brosur-brosur relokasi itu," kata Suardi.

Pegawai kelurahan dan kecamatan pun, menurutnya, turut mendukung pendataan masyarakat oleh BP Batam.

"Padahal tugas dan fungsi mereka seharusnya kan pelayanan, bukan jadi marketing perusahaan. Kalau pemerintah ada di garis lurus, tidak akan terjadi situasi ini," tuturnya.

Bias administratif itu juga disoroti oleh tim investigasi Solidaritas Nasional Untuk Rempang.

Rozy mengatakan posisi Wali Kota Batam Muhammad Rudi yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam "cenderung berpihak pada kelompok pemodal".

Hingga Minggu 17 September 2023, Suardi mengatakan warga masih diliputi ketakutan karena aparat belum ditarik dari kampung-kampung mereka.

Banyak warga masih belum berani pergi mencari nafkah. Namun sebagian besar anak-anak telah mulai kembali ke sekolah sejak beberapa hari terakhir.

"Hanya yang belum datang ke sekolah itu karena mereka terdampak kemarin, ada yang pingsan, itu banyak yang belum sekolah lagi," papar Suardi.

Selain itu, warga juga masih bertahan untuk tidak meninggalkan kampung mereka, meski pemerintah menetapkan batas waktu hingga 28 September 2023.

"Tanggal 28 itu masih menjadi ketakutan yang luar biasa meskipun warga menolak. Tanggal 28 pengosongan menurut saya tidak perlu dilakukan," kata Suardi.

"Kemarin saya minta kepada Polri untuk menghentikan segala bentuk pendataan dan relokasi itu karena menolak relokasi. Jangan sampai ada aksi-aksi lain yang jauh lebih mengancam keamanan masyarakat Batam," kata dia.

Suardi mengatakan masyarakat ingin "menjalin komunikasi yang baik" melalui musyawarah dan mufakat dalam merumuskan kebijakan.

Usai pertemuan dengan Komnas HAM, masyarakat berharap aspirasi mereka soal penarikan aparat dan penolakan untuk direlokasi dapat disampaikan kepada pemerintah pusat.

Atas temuan-temuan di lapangan tersebut, Solidaritas Nasional Untuk Rempang mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek Rempang Eco City dan mencabutnya sebagai PSN.

Sementara itu, Komnas HAM diminta menggelar investigasi independen dan menetapkan kasus Rempang sebagai bentuk "pelanggaran HAM".

Menanggapi desakan itu, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan langkah-langkah Komnas HAM akan disampaikan setelah tim mereka kembali dari Pulau Rempang.

Kembali seperti disebutkan Larshen Yunus, Wasekjend KNPI Pusat Jakarta ini yang menyayangkan bentrokan di Pulau Rempang beberapa waktu kebelakang.

Larshen Yunus menyayangkan peristiwa kericuhan yang terjadi antara masyarakat dan pihak kepolisian.

Ia mengatakan, kejadian itu seharusnya bisa dijadikan pelajaran oleh semua pihak. "Ini pelajaran yang tidak perlu terulang, investasi harus disiapkan dengan kesadaran masyarakat secara bersama," kata Larshen Yunus yang juga menjabat sebagai Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana ini.

Menurut Larshen, setiap investasi seharusnya memberikan manfaat untuk warga bukan malah merugikan. "Tidak boleh investasi merugikan masyarakat setempat, tapi juga memberikan tempat dan manfaat bagi masyarakat setempat," jelasnya.

Selain itu, Ia menyebutkan, pemerintah seharusnya lebih mendahulukan proses sosialisasi, daripada melakukan aksi represif jika ada warga yang tak setuju dengan proses investasi.

"Proses yang pelaksanaanya harus mendukung proses sosialisasi, diskusi dan pendekatan yang baik. Saya rasa saatnya pemerintah mengedepankan dialog daripada represif," ucapnya. (*)

Tags : proyek strategis nasional, organisasi masyarakat sayangkan psn di Pulau Rempang, Batam, Kepri, Investasi Tak Boleh Rugikan Masyarakat, Ekonomi, Hak asasi, Hukum, Indonesia ,