Sorotan   2022/06/12 15:1 WIB

Pabrik Sawit Kelola Limbah Sendiri, 'Bisa Lepas dari Jerat Hukum Bila ada Pencemaran'

Pabrik Sawit Kelola Limbah Sendiri, 'Bisa Lepas dari Jerat Hukum Bila ada Pencemaran'
Pabrik Kelapa Sawit kini bisa mengelola limbah sendiri.

"Pabrik Kelapa Sawit kini bisa mengelola limbah sendiri yang membuat perusahaan lepas dari jerat hukum bila ada pencemaran"

eputusan pemerintah mengeluarkan limbah penyulingan kelapa sawit atau spent bleaching earth (SBE) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) dikritik pegiat lingkungan hidup karena disebut mengorbankan hak masyarakat dan lingkungan hidup.

Sebab, kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial di Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Wahyu Perdana, dengan dikeluarkannya limbah sawit dari kategori B3 maka perusahaan bisa lepas dari jerat hukum jika terjadi pencemaran.

Tapi kalangan pengusaha kepala sawit mengklaim limbah yang berbentuk tanah dan mengandung kadar minyak di bawah tiga persen itu tidak beracun dan bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan.

Sementara pemerintah memastikan pengawasan terhadap limbah tersebut akan tetap dilakukan dan jika terjadi pelanggaran akan diseret secara hukum.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan limbah kelapa sawit yang dikeluarkan dari kategori bahan berbahaya dan beracun adalah jenis SBE atau spent bleaching earth.

Limbah SBE ini, kata dia, sudah diekstrak kandungan minyaknya dari 20% menjadi di bawah tiga persen.

Kadar tersebut, secara kajian teknis dan ilmiah sudah tidak lagi menunjukkan karakteristik limbah yang berbahaya dan beracun, lanjut Vivien.

"Dan lebih mudah untuk pemanfaatannya karena tidak lagi mengandung minyak serta logam berat," kata Rosa Vivien kepada wartawan, Minggu 14 Maret 2022 lalu.

"Sehingga walaupun bukan limbah B3, tapi tetap limbah harus dikelola dengan standar-standar," sambungnya.

Kendati limbah hasil pemurnian untuk minyak goreng ini sesuai ketentuan aman bagi lingkungan, tapi KLHK akan tetap melakukan pengawasan terhadap proses pengelolaannya.

Tetapi Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang, menjelaskan, spent bleaching earth atau SBE merupakan limbah hasil pemurnian yang dipakai untuk pengolahan minyak goreng.

Bentuknya seperti tanah yang mengandung minyak.

Jika tanpa pengolahan, minyak yang terkandung dalam limbah itu berkisar 20% dan ada kemungkinan 'terbakar sendiri' dalam cuaca atau kondisi tertentu.

Karena itulah, SBE masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun atau B3 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014.

Namun begitu, ia mengklaim di negara-negara lain, termasuk Malaysia, limbah SBE tidak lagi dianggap sebagai limbah B3.

"SBE tidak hanya dipakai di Indonesia tapi di seluruh dunia dan pabrik olahan minyak goreng dan minyak mentak memakai pemurnian seperti ini," imbuh Togar Sitanggang.

"Di negara-negara Eropa dan Malaysia, SBE tidak termasuk limbah B3."

"Tapi di Indonesia karena masuk daftar B3 harus diolah untuk kemudian dibuang."

Dalam Peraturan Pemerintah yang teranyar, limbah SBE yang dikeluarkan dari kategori B3 yakni yang kandungan minyaknya di bawah tiga persen.

Togar mengklaim, limbah tersebut tidak berbahaya berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Kajian berulang kali sudah kita lakukan termasuk kadar toxic. Hasil pembuktian bahwa tidak toxic (beracun)."

"Dugaan saya diturunkan menjadi tiga persen supaya tidak ada kemungkinan terbakar sendiri."

Lagipula, katanya, limbah berupa tanah tersebut bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan seperti pembuatan batu bata daripada ditimbun menjadi tumpukan tanah.

'Warga yang terdampak pencemaran tak bisa menuntut'

Keputusan mengeluarkan limbah penyulingan minyak kelapa sawit menjadi minyak goreng ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tapi Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial di Walhi, Wahyu Perdana, menuding pemerintah melakukan pemutihan terhadap kejahatan lingkungan hidup.

Penelitian yang pernah dilakukan Walhi menunjukkan, limbah SBE terbukti memengaruhi tingkat keasaman tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tumbuhan sekitar.

Karena itulah, kata Wahyu Perdana, dengan dikeluarkannya SBE dari kategori B3, warga yang terdampak pencemaran tak bisa lagi menggugat secara hukum seperti yang selama ini dilakukan.

Padahal risiko pencemaran lingkungan dari limbah ini cukup tinggi.

"Jadi kalau misalnya limbah sesuai baku mutu, tapi volume dan pengolahannya asal-asalan dan berdampak, warga tidak bisa menuntut. Sehingga hak masyarakat ketika terjadi pencemaran, semakin sulit," ujar Wahyu Perdana.

"Artinya hak warga melakukan komplain, tertutup."

"Padahal dulu kalau masih dalam B3, pertanggung jawaban mutlak. Masyarakat bisa protes dan menuntut."

Itu mengapa ia mendesak pemerintah agar membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang menurut Walhi lebih banyak mengorbankan hak masyarakat dan lingkungan hidup ketimbang menyediakan tenaga kerja dan hanya menguntungkan korporasi.

"Apakah cost produksi berkurang? Iya pasti, apakah mengancam hak orang lain? Iya juga."

Apa kata pengusaha kelapa sawit?

Kelapa sawit mulai dari buah, pelepah, batang, dan limbahnya, dapat diolah menjadi berbagai macam produk.

"Pada proses pengolahan TBS akan dihasilkan CPO, kernel, tandan kosong, mesocarp fiber, cangkang, dan Palm Oil Mills Effluent (POME) semua bisa diolah. Maka untuk limbah ini pabrik juga sudah mengolah untuk keperluan sendiri," kata H Zulfikar, Direktur PT. Mustika Agung Sawit Gemilang (MASG) saat ditanyakan melalui WhatShapp (WA) nya belum lama ini. 

Sejalan dengan pengakuan pihak PT MASG itu, Malinton Purba, Manager Humas PT Musim Mas (MM) yang berbasis di Kabupaten Pelalawan itu juga mengaku hal sama.

Jadi kelapa sawit mulai dari buah, pelepah, batang, dan limbahnya, dapat diolah menjadi  berbagai macam produk. Pada proses pengolahan TBS akan dihasilkan CPO, kernel, tandan kosong, mesocarp fiber, cangkang, dan Palm Oil Mills Effluent (POME), kata Kepala Seksi Pengembangan Usaha Perkebunan Disbun Provinsi Riau, Sri Ambar belum lama ini diruang kerjanya.

Sri Ambar menerangkan pada industri refinery akan dihasilkan RBDPO dan PFAD, pada tahap fraksinasi akan dihasilkan olein dan stearin. Pada industri Kernel Crushing Plant akan dihasilkan Palm Kernel Oil (PKO) dan Palm Kernel Meal (PKM).

Proses pengolahan pengolahan Tandan Buah Segar kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) akan menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Khusus berkaitan dengan limbah yang dihasilkan dari hasil pengolahan PKS, diperlukan penanganan dan pemanfaatan kembali produk hasil samping yang dihasilkan agar tidak menjadi beban lingkungan.

Dari satuton tandan buah segar yang diolah akan dihasilkan limbah cair POME sebanyak 583 kg. Limbah padat yang dihasilkan adalah MF dan cangkang sebanyak 144 kg dan 64 kg, serta  210 kg TKKS (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan incenerator.

"Produksi limbah padat dan limbah cair dari pabrik pengolahan kelapa sawit ada kecenderungan yang meningkat, hal ini berbanding lurus dengan peningkatan produksi tandan buah segar (TBS) dan luas areal perkebunan kelapa sawit," terangnya.

Saat ini biomassa kelapa sawit seperti pelepah, batang, cangkang, serat mesocarp, tandan kosong kelapa sawit dan PKM, sudah dimanfaatkan, namun pemanfaatannya belum optimal, yaitu :

  • EFB (tandan kosong sawit) dan pelepah sebagai mulsa di kebun
  • Limbah cair untuk biogas dan land application
  • Limbah cair dan EFB untuk pupuk kompos
  • EFB , serat mesokarp, dan shell (cangkang) untuk biomass
  • PKM sudah dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak

Sri Ambar juga mengklaim pabrik kelapa sawit di Riau sudah berupaya membantu pemerintah dalam memerangi terjadinya perubahan iklim sekaligus mengatasi krisis listrik yang kini terjadi di Riau.

"Suatu pujian bagi perusahaan perkebunan yang telah mengolah limbah jadi energi listrik untuk konsumsi sendiri atau kepada masyarakat melalui PLN," paparnya.

Dia mengatakan, langkah yang telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir oleh lima perusahaan pabrik kelapa sawit di Riau dinilai membantu pemerintah provinsi dalam mengatasi terjadinya krisis listrik di daerah itu akibat laju pertumbuhan penduduk.

Berdasarkan data terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau tahun 2014 menyebutkan baru sekitar 61 persen ratio elektrifikasi listrik di provinsi tersebut yang memiliki 12 kabupaten/kota terutama pada tingkat kabupaten seperti wilayah pesisir.

Kelima pabrik kelapa sawit tersebut yakni PT Musim Mas Pangkalan Kuras di Kabupaten Pelalawan yang menghasilkan listrik dua MW, kemudian perusahaan yang sama dan berada di Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan menghasilkan listrik 1,5 MW.

Lalu PT Meskom Agrosarimas di Kabupaten Bengkalis menghasilkan listrik 2 MW, PT Arya Rama Perkasa di Kabupaten Rokan Hulu menghasilkan listrik satu MW dan PT Perkebunan Nusantara V Tandun di Kabupaten Kampar menghasilkan listrik 1,3 MW.

"Secara tidak langsung perusahaan sawit itu telah melakukan hal nyata dan ikut memerangi perubahan iklim karena memanfaatkan limbah cair jadi energi terbarukan melalui pembangkit listrik tenaga biomassa," katanya.

Warga terdampak limbah kelapa sawit: 'tanaman petani mati total'

Salah satu kasus dampak buruk pembuangan limbah salah satu pabrik kelapa sawit PT PAS, terjadi di Desa Kemang Manis, Kecamatan Rengat Barat, Indragiri Hulu (Inhu), Riau.

"Jarak antara lokasi pembuangan limbah dengan permukiman dan kebun warga terlalu dekat," kata Yanto, salah satu petani di desa itu mengkisahkan, Minggu (12/6/2022).

Dampak yang dirasakan warga, bau menyengat.

"Bau minyak menyengat, kalau sampai sekarang ke lokasi itu, pusing sampai dua hari baru hilang," tutur Yanto.

Tak cuma itu, beberapa hektar tanaman warga mati. Hitungan Yanto, satu petani menanggung rugi antara Rp15 juta sampai Rp40 juta.

"Tanaman semangka ikut mati. Terus yang signifikan tanaman karet yang umurnya di atas 10 tahun mati total," kenangnya.

Limbah sawit milik PT PAS, sambungnya, dibuang tidak jelas pada Februari tahun 2020 lalu kemudian ditempatkan di lokasi bekas galian di empat tempat berbeda di Inhu.

Saat itu, menurut Yanto, pihak yang membuang mengaku jika limbah tersebut tidak berbahaya.

Katanya, jika ditotal, limbah tersebut berkisar puluhan ton dengan ketinggian 1-2 meter.

Kini warga Desa Kemang Manis, kata Yanto, menginginkan agar limbah milik perusahaan dapat dikelola dengan baik alias tidak dibuang sembarangan, "kita takut jika hujan turun itu limbah berpindah ke areal tanaman kebun warga," harapnya dengan rasa cemas melihat pabrik sawit itu berdiri ditengah pemukiman penduduk desa.

Pabrik kelapa sawit didorong kelola limbah sendiri

Seiring adanya kebijakan pemerintah berkaitan dengan adanya larangan ekspor, Gubernur Riau (Gubri), Syamsuar mengakui larangan ekspor bukan semua hasil dari sawit tersebut dilarang.

"Yang dilarang itu bukan semua dilarang, tapi yang dilarang itu hanya ekspor minyak goreng. Supaya minyak goreng ini bisa untuk kebutuhan rakyat Indonesia. Sebab beberapa waktu lalu, sempat terjadi kelangkaan minyak goreng," kata Gubri, Selasa 26 April 2022 kemarin.

Pemerintah bukan melarang ekspor Crude Palm Oil (CPO), melainkan hanya Refined, Bleached, Deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit dan Minyak Goreng Sawit (MGS).

"Namun untuk CPO tidak, saya tadi langsung hubungi menteri, saya minta surat dari Dirjen Perkebunan untuk petunjuk kepada seluruh bupati/walikota agar kita bisa mengawal pabrik kelapa sawit ini. Disamping itu pabrik diberikan kewenangannya untuk mengelola limbah miko nya sendiri," terangnya.

Jadi perusahaan kelapa sawit di Provinsi Riau didorong untuk mengelola limbah industrinya sendiri.

"Selain untuk menghindari pencemaran lingkungan hidup, juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas, energi listrik dan barang berharga lainnya," kata Gubernur Riau Syamsuar.

"Saya berharap seluruh pabrik kelapa sawit [PKS] di Riau nantinya bisa membangun PLTBg seperti yang dilakukan Asian Agri. PLTBg penting karena  bisa mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Gubri lagi.

Menjaga lingkungan sangat penting, kata Gubri Syamsuar, khususnya untuk kepentingan generasi berikutnya. "PLTBg juga akan menolong pemerintah dalam pemenuhan energi listrik," ujarnya. 

Gubri tidak menginginkan adanya trik-trik lain dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS), keleluasaan untuk mengelola limbah sudah diberikan, tetapi tidak untuk menurunkan harga TBS petani sesuka hatinya. "Itu sudah ada Pergub yang mengatur tentang TBS sawit," ujarnya.

"Ini saya sudah perintahkan kepala dinas (Dinas Perkebunan) ya tolong siapkan ini. Agar masyarakat kita tidak diakali oleh pemilik pabrik kelapa sawit dengan sekehendak hatinya menetapkan harga," tuturnya. (*)

Tags : Pabrik Kelapa Sawit, Kelola Limbah Sendiri, Limbah Sawit Dicoret dari Daftar Berbahaya'Hutan, Sawit Riau, , Lingkungan, Sorotan,