JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil bakal menggugat Keputusan Presiden terkait pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu ke Pengadilan Tata Usaha Negara jika Presiden Joko Widodo tidak mencabut beleid tersebut.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, mengatakan Keppres itu tidak ada urgensinya sebab semua kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih berpotensi dibawa ke pengadilan.
Selain itu, Keppres ini disebut tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi 1965.
Keluarga korban peristiwa 1965, Setiady, mengaku tak mempersoalkan cara penyelesaian yang ditempuh pemerintah asalkan pengungkapan kebenaran atas peristiwa itu dilakukan dan ada rehabilitasi kepada para korban.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan pendekatan rekonsiliasi kembali digaungkan pemerintah.
Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada Selasa (16/08), Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dia telah menandatangani Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, menilai Keppres tersebut tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Sebab penuntasan secara non-yudisial tidak dikenal dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Jadi lucu kalau Presiden Jokowi mendasarkan penyelesaian non-yudisial adalah mekanisme rekonsiliasi kalau undang-undang yang dirujuk saja tidak ada," kata Julius Ibrani dirilis BBC News Indonesia, Kamis (18/08).
Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM mekanisme penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalan non-yudisial dimungkinkan, kata Julius.
Akan tetapi syaratnya harus ada undang-undang yang memayungi yaitu UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Adapun UU ini masih dalam tahapan pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM.
Syarat lain, jalan non-yudisial mesti menempuh empat tahapan.
Pertama, adanya pengungkapan kebenaran oleh komisi atau tim yang dibentuk. Kemudian adanya reformasi institusional jika ditemukan adanya keterlibatan lembaga negara.
Selanjutnya adalah ajudikasi atau cara penyelesaian perkara di luar pengadilan berdasarkan keinginan para pihak tanpa adanya paksaan. Terakhir yakni reparasi alias pemulihan bagi para korban dan keluarga yang selama bertahun-tahun dirugikan akibat peristiwa tersebut.
"Ini (empat tahapan) itu tidak bisa salah satu ditinggalkan atau lompat ke tahapan ketiga tanpa ada pengungkapan kebenaran. Semua harus jalan berbarengan," jelasnya.
Konsep rekonsiliasi seperti itu, sambung Julius, diterapkan di semua negara seperti Afrika Selatan, Argentina, dan Vietnam.
"Semua negara pakai perspektif itu karena RUU KKR ditujukan untuk bagaimana caranya mau memaafkan. Sebab negara tidak mampu memproses secara detail dan tidak mampu memenjarakan para pelaku yang jumlahnya sangat banyak."
Julius menduga, Keppres yang dikeluarkan Presiden Jokowi jelang masa akhir jabatannya itu demi kepentingan politik semata yakni pencalonan mantan petinggi militer seperti Prabowo Subianto sebagai presiden di 2024.
Seperti diketahui Prabowo Subianto selama ini kuat diduga terlibat kuat dalam penculikan aktivis dan penghilangan orang secara paksa pada 1998. Kasus pelanggaran HAM berat itu selalu membayanginya tiap kali maju sebagai capres.
"Presiden Jokowi dihadapkan pada karut marut Polri sehingga sekarang cuma punya tentara. Kasus pelanggaran HAM masa lalu paling banyak melibatkan tentara. Selain itu, kekuatan politik ke depan yang paling kuat militer."
"Dengan Jokowi menutup kasus itu, Prabowo punya utang budi ke Jokowi. Maka Prabowo memiliki 'kewajiban' menjaga Jokowi jika sudah tidak menjabat. Kepentingan politik betul ini."
Komnas HAM: Kami tidak diajak bicara
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan pihaknya tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah soal pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sejauh ini, kata dia, seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diselidiki Komnas sangat terbuka untuk dibawa ke pengadilan atau melewati jalur yudisial.
Langkah selanjutnya tinggal bagaimana Kejaksaan Agung menindaklanjuti penyelidikan berkas yang sudah dikirim Komnas HAM.
Namun demikian jika pemerintah berkeinginan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur non-yudisial, Komnas HAM berharap agar "jangan ada blanket amnesty".
Blanket amnesty adalah pemberian pengampunan kepada para pelaku kejahatan serius tanpa ada pengakuan atas apa yang diperbuat.
"Jadi sekarang kalau presiden membentuk tim, kami mau tahu tim ini nanti kerjanya akan seperti apa. Sebab di banyak negara ada prinsip-prinsip kalau menempuh mekanisme non-yudisial. Yakni uang utama pengungkapan kebenaran, reparasi, hingga amnesti," ujar Amiruddin Al Rahab.
Seperti apa suara para keluarga korban pelanggaran HAM berat?
Setiady, anak dari salah seorang pimpinan PKI di Aceh yang dieksekusi di Lhoknga usai huru-hara peristiwa G30S pada awal Oktober 1965, mengaku tak mempersoalkan cara penyelesaian yang ditempuh pemerintah selama pengungkapan kebenaran atas tragedi itu dilakukan.
"Kalau saya pikir lewat pengadilan itu agak rumit, nanti dipanggil untuk sidang. Itu kan memerlukan waktu dan biaya meskipun kami senang karena lebih transparan. Tapi kan pelaku-pelakunya sudah tidak ada," tutur Setiady.
"Bagi kami yang penting mengetahui peristiwa itu dan siapa dalang tragedi pembunuhan di Lubang Buaya."
Hal lain pemerintah melakukan rehabilitasi kepada korban beserta keluarganya. Sebab selama bertahun-tahun keluarganya mengalami diskriminasi karena dicap anak PKI.
"Harus ada secara resmi (membersihkan nama keluarga kami) dari pemerintah. Sebab masih ada tentara dan orang-orang yang tidak memahami dan mengaku-ngaku ulama mengatakan 'anak PKI tidak cocok masuk militer karena menganut paham komunis'."
Maria Catarina Sumarsih, punya pandangan berbeda. Ibu dari korban tragedi Semanggi 1 ini menolak penuntasan lewat jalan non-yudisial karena cara itu tidak memberikan "pelajaran" kepada para pelaku pelanggaran HAM.
"Keppres ini akan menutup harapan korban dan keluarga korban dalam mencari kebenaran dan menuntut keadilan," imbuh Sumarsih dalam konferensi pers virtual Rabu (17/8).
"Bagi saya mekanisme non-yudisial bentuk pengampunan massal dan cuci tangan pemerintah serta melembagakan impunitas kian permanen."
Apa kata pemerintah?
Hingga Kamis (18/08) Keputusan Presiden soal pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu belum dipublikasikan di laman resmi Sekretariat Negara.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Siti Ruhaini, mengatakan Keppres itu dibentuk "untuk memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan tindakan serupa," katanya dalam keterangan tertulis Rabu (17/08).
Ruhaini juga mengatakan peneguhan komitmen itu karena presiden bertekad untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang menyandera.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengatakan DPR akan mendukung langkah pemerintah tersebut sepanjang upaya penuntasan dengan mekanisme yudisial berjalan beriringan.
"Sehingga ketika pemerintah pada saat ini mengambil jalan terlebih dahulu mempersiapkan jalan non-yudisial catatan pentingnya adalah tidak bisa diartikan kasus ditutup kemudian tidak lagi dibuka upaya melakukan yudisial," kata Taufik Basari.
Hal lain yang lebih penting, tim bentukan Presiden Jokowi itu harus bisa mengungkap kebenaran atas tragedi yang terjadi, korban mendapat hak atas pemulihan berupa kompensasi atau rehabilitasi, dan terakhir memuat prinsip tak terjadi lagi pelanggaran di masa mendatang.
"Prinsip-prinsip ini yang harus ada di dalam baik itu Keppres maupun dalam RUU KKR."
Saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum tuntas penanganannya. Yakni, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II di 1998-1999, Mei 1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003.
Kemudian peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Jambo Keupok 2003, simpang KKA Aceh 1999, Rumoh Geudong, dan pos Sattis Aceh 1989, pembunuhan dukun santet 1998-1999 dan Paniai di 2014.
Adapun satu-satunya kasus yang sudah masuk ke peradilan adalah kasus Paniai yang terjadi pada 2014.
Survei kasus pelanggaran HAM: Nuansa politis menjadi hambatan terbesar Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu
Riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Litbang Kompas mengungkapkan mayoritas masyarakat Indonesia menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma'ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa politis.
Berdasarkan hasil riset itu, 73,9 % responden menganggap nuansa politis menjadi hambatan utama. Selain itu, 23,6% persen beranggapan presiden tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu, dan hanya 2,5% yang menjawab tidak tahu.
"Hasil ini mengkonfirmasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat bukan karena teknis hukum. Kalau masih saling lempar pendapat, kurang bukti dan macam-macam, itu dibantah sendiri oleh masyarakat.
"Kalau hambatan ini bisa diselesaikan, maka 90 hari proses penyidikan, lalu masuk penuntutan sehingga tidak sampai satu tahun bisa diselesaikan di pengadilan. Kalau hambatan politisnya bisa dikurangi," kata komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Gedung Komnas HAM.
Dalam visi-misi kampanye Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Belakangan pemerintah mengungkapkan rencana untuk menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut yang selama ini terbengkalai.
Dalam konferensi pers tentang survei penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pada era kepemimpinan Joko Widodo itu, peneliti Litbang Kompas Christian M. Marpaung menjelaskan hambatan politis merupakan hasil dari proses pengkodean atas semua jawaban yang disampaikan responden.
Menurutnya, mayoritas responden memandang faktor politik sebagai penghambat utama, seperti kepentingan untuk menjaga supaya tidak memunculkan kericuhan dan merusak harmoni politik.
Penelitian itu menggunakan metodologi kuantitatif survei dengan melakukan wawancara tatap muka di 34 provinsi. Jumlah responden adalah 1200 orang dengan batas galat sekitar 2,8% dan dilakukan pada September 2019 hingga Oktober 2019.
Survei tersebut mengambil lima kasus pelanggaran HAM yang menarik perhatian publik, yaitu pelanggaran HAM pada tahun 1965, penembakan misterius dari tahun 1982 hingga 1985, penculikan aktivis pada 1997 hingga 1998, penembakan Trisakti dan Semanggi tahun 1998, dan kerusuhan Mei 1998.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai hambatan tersebut muncul karena ada beberapa figur penting yang diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu sedang memegang jabatan politik.
Menurutnya, pejabat tersebut berkepentingan untuk mempetiemaskan kasus HAM tersebut agar tidak menjatuhkan karier politiknya.
"Karena negara, pemerintah, tidak berani, karena itu melibatkan orang penting di negeri ini, karena punya rahasia juga terhadap negara ini. Ada tekanan politik.
"Inilah lingkaran setan, lingkaran kusut, hari demi hari, tahun demi tahun, dari periode-periode sebelumnya tidak pernah tuntas. Ini menjadi persoalan di bangsa ini," kata Ujang yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR).
'Pengadilan, bukan rekonsiliasi' pelanggaran HAM
Selain itu, survei tersebut juga menunjukan bahwa 99,5% responden ingin penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur pengadilan, yang mana 62,1%ingin menggunakan pengadilan nasional dan 37,2% melalui pengadilan internasional.
Kemudian, hanya 0,5% yang ingin kasus itu diselesaikan dengan mekanisme lainnya, salah satunya seperti pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kini sedang diwacanakan oleh pemerintah.
"Jadi kalau sekarang mau rekonsiliasi, itu salah satu bagian dari 0,5%. Jadi hentikan menarasikan KKR karena mayoritas masyarakat ingin penyelesaian melalui jalur pengadilan. Komnas HAM menghormati penyelesaian di pengadilan nasional maupun internasional," kata Choirul Anam.
Choirul melanjutkan temuan menarik lainnya dalam survei tersebut adalah belasan persen responden yang menganggap peristiwa 1965, Petrus 1982-1985, penculikan aktivis 1997-1998, penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan kerusuhan Mei 1998 sudah diselesaikan. Padahal, hingga kini, menurutnya, kelima kasus tersebut belum ada yang tuntas.
Menurutnya, pemerintah dalam lima tahun terakhir menggunakan metode penyelesaian kasus HAM dengan pendekatan kekeluargaan dengan saling memaafkan, lalu pendekatan budaya, dan ganti rugi yang ditunjukan dengan munculnya tim terpadu dan dewan kerukunan nasional dan menyampaikan pesan bahwa kasus itu telah selesai.
"Kenapa muncul angka bahwa itu sudah selesai bisa jadi karena pengaruh kampanye bahwa kasus ini sudah selesai, tinggal salam-salaman saja, terus kasih hak korban. Itu yang lima tahun terakhir sering didengungkan berbagai pihak yang tidak mau kasus ini diselesaikan dengan cara hak asasi manusia," katanya.
Penyelesaian kasus masih simpang siur di mata publik, berikut hasilnya:
Choirul berharap melalui survei tersebut, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat sasaran dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Senada dengan itu, Ujang mengatakan, penyelesaian kasus HAM masa lalu akan terjadi jika ada keinginan politik dari pemimpin negara dan pemerintah Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo, untuk menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi.
Menurutnya, Jokowi adalah pemegang kunci utama untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. (*)
Tags : Joko Widodo, Hak asasi, Hukum, Indonesia,