Headline Pendidikan   2024/02/04 11:38 WIB

Pemerintah Tengah Pengkaji Program Student Loan, Mungkinkah Bisa Diterapkan di Indonesia?

Pemerintah Tengah Pengkaji Program Student Loan, Mungkinkah Bisa Diterapkan di Indonesia?
Ilustrasi pinjaman untuk mahasiswa.

PENDIDIKAN - Pemerintah Indonesia tengah mengkaji program pinjaman pendidikan (student loan) di tengah kontroversi sejumlah universitas yang menggunakan sistem pinjaman online untuk pembayaran uang kuliah.

Bagi sebagian pihak, skema pinjaman pendidikan dikhawatirkan dapat memicu "beban ganda" bagi lulusan perguruan tinggi yang datang dari keluarga miskin.

Namun di sisi lain, sebuah pemodelan yang dilakukan oleh SMERU Institute menunjukkan bahwa pinjaman pendidikan "sangat mungkin" diterapkan di Indonesia – apabila skemanya tepat dan ditopang oleh subsidi pemerintah.

Wacana ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi tingginya kebutuhan pembiayaan pendidikan bagi mahasiswa.

Sri Mulyani mengatakan bahwa dewan pengawas Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tengah mengkaji potensi mengembangkan pinjaman pendidikan.

Namun dia menyadari bahwa pinjaman pendidikan dapat menimbulkan masalah jangka panjang seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Menurut Sri, hal yang dikaji bersama perbankan mencakup bagaimana pinjaman itu dapat terjangkau, tidak memberatkan mahasiswa, mencegah penyimpangan, dan tetap mengafirmasi kelompok yang tidak mampu.

“Itu kombinasi yang harus kita capture dalam desainnya,” kata Sri dalam konferensi pers pada Selasa (30/01).

Wacana itu sontak menuai beragam reaksi di media sosial. Mereka yang kontra dengan rencana ini mayoritas berkiblat pada apa yang terjadi di AS, ketika banyak anak muda pada akhirnya terjerat utang jangka panjang.

Ada pula yang berpendapat bahwa pinjaman pendidikan bisa saja diterapkan, asalkan tidak dikenakan bunga.

Apa itu pinjaman pendidikan?

Mengutip Cambridge Dictionary, pinjaman pendidikan adalah perjanjian di mana mahasiswa atau universitas dapat meminjam uang dari bank demi membiayai kuliahnya.

Mahasiswa peminjam kemudian harus membayar kembali uang tersebut setelah selesai berkuliah dan mulai bekerja.

Dalam makalah berjudul Pembiayaan Pendidikan Tinggi di Indonesia: Menilai Fisibilitas Sistem Pinjaman Berbasis Potensi Pendapatan yang diterbitkan oleh Smeru Institute, disebutkan bahwa ada dua jenis sistem pinjaman pendidikan.

Jenis yang pertama adalah pinjaman hipotek yang jangka waktu pembayarannya sudah ditentukan. Pinjaman jenis ini biasanya menyebabkan beban pembayaran yang tinggi, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Risikonya bisa berupa gagal bayar.

Ini adalah jenis pinjaman yang sering digunakan, di antaranya di Amerika Serikat, Kanada, Filipina, dan Thailand.

Sedangkan tipe yang kedua adalah sistem pinjaman berbasis pendapatan. Artinya, peminjam dapat membayar kembali pinjamannya setelah penghasilannya mencapai ambang batas tertentu.

Dalam tipe kedua ini, jangka waktu pelunasannya tidak ditentukan di awal. Skema semacam ini diterapkan di beberapa negara seperti Australia, Swedia, Inggris, dan Jerman.

Mengapa wacana ini muncul di Indonesia?

Akses terhadap pendidikan tinggi di Indonesia memang masih timpang.

Survei Sosiekonomi Nasional (Susenas) 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya 10,15% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengenyam pendidikan tinggi.

Sejauh ini, pemerintah memiliki sejumlah skema beasiswa untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Salah satunya adalah beasiswa Bidik Misi yang ditujukan kepada siswa tidak mampu.

Berdasarkan data pemerintah, sekitar 73.000 siswa menerima beasiswa dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Kementerian Agama; serta LPDP per Mei 2023.

Namun, data menunjukkan ketimpangan akses masih terjadi.

Akan tetapi, itu bukan satu-satunya persoalan yang muncul. Berkaca dari kasus di Institut Teknologi Bandung (ITB), ada siswa yang bisa mengakses pendidikan tinggi, namun kesulitan membayar uang kuliah yang dirasa mahal.

Salah satunya imbas komersialisasi perguruan tinggi usai disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Liputan jurnalisme data Kompas pada 2022 juga mengungkap bahwa kenaikan biaya pendidikan tidak sebanding dengan peningkatan penghasilan masyarakat.

Berdasarkan laporan BBC News Indonesia sebelumnya, mahasiswa yang menunggak pembayaran uang kuliah mengaku "dipaksa cuti" oleh kebijakan yang memberatkan. ITB lalu menawarkan opsi pembayaran melalui pinjaman online yang menuai kritik.

Pengamat dari Insitute for Development of Economics and Science (Indef) Nailul Huda mengatakan opsi pembayaran melalui pinjol memiliki risiko gagal bayar yang tinggi karena harus dibayar saat itu juga.

"Terutama apabila tidak ada kesanggupan dari orang tua untuk melakukan pembayaran cicilan," kata dia.

Sementara program-program bantuan pendidikan seperti beasiswa Bidik Misi, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan beasiswa lainnya biasanya mensyaratkan penerimanya harus terdaftar di keluarga miskin.

"Bagaimana dengan orang yang tidak masuk ke program keluarga miskin namun tidak mampu juga untuk membiayai kuliah. Ya bisa menerapkan student loan dengan bunga 0%," kata Nailul.

Bagaimana praktiknya di negara lain?

Di Inggris, pinjaman pendidikan berlaku dengan skema pendapatan minimum. Artinya, si peminjam tidak perlu membayar hingga pendapatannya mencapai minimal pendapatan yang ditetapkan.

Ketika sudah mendapat pendapatan minimal itu, maka biaya yang dibayarkan biasanya sebesar 9% dari pendapatan.

Berdasarkan peraturan terbaru di Inggris, jangka waktu pembayaran pinjaman mencapai 40 tahun. Apabila melebihi jangka itu, maka utangnya akan diputihkan berapa pun jumlahnya.

Sedangkan di Wales dan Skotlandia, jangka waktunya adalah 30 tahun, dan di Irlandia Utara selama 25 tahun.

Namun pada praktiknya, ada pula yang akhirnya merasa keberatan dengan beban utang yang mereka tanggung.

Salah satunya adalah Vonnie Sandlan, yang mengambil pinjaman mahasiswa untuk membiayai kuliah dan biaya hidupnya.

Sandlan yang telah berusia 41 tahun, masih harus menanggung utang dari pinjaman pendidikannya sebesar £35,000 (sekitar Rp700 juta).

“Saya mendapat gaji yang layak, namun saya masih belum membayar cukup uang untuk mengurangi utang pinjaman mahasiswa saya,” kata dia.

“Saya merasa tidak akan mampu melunasinya sebelum saya pensiun. Begitulah kenyataannya.”

Vonie juga membayar cicilan rumah dengan bunga 3,69%. Sedangkan bunga dari pinjaman mahasiswanya adalah 6,25%. Menurutnya bunga sebesar itu terasa “benar-benar konyol”.

“Bayangan bahwa saya masih akan melunasinya pada usia 60 tahun sungguh membuat khawatir,” kata dia.

Sementara itu, utangnya baru bisa diputihkan pada usia 65 tahun atau 30 tahun sejak dia memenuhi syarat untuk menyicil berdasarkan peraturan di Skotlandia.

Di Amerika Serikat, pinjaman pendidikan juga merupakan hal yang lumrah. Tingginya biaya kuliah di AS membuat sekitar 70% mahasiswa di negara tersebut lulus dengan bantuan pinjaman pendidikan.

Pemerintah AS menawarkan sejumlah skema pengembalian pinjaman. Salah satunya, debitur dapat membayar cicilan berdasarkan pendapatan mereka selama 20 hingga 25 tahun.

Namun mudahnya akses pinjaman pendidikan ternyata membuat banyak orang Amerika terlilit oleh utang.

Sebanyak 43 juta orang Amerika menanggung utang biaya pendidikan dengan total beban utang mencapai lebih dari $1,7 triliun. Pada banyak kasus, debitur harus menanggung tagihan bulanan selama berpuluh-puluh tahun setelah menamatkan pendidikan mereka.

Pada 2023, pemerintahan Joe Biden telah memutihkan utang dari pinjaman pendidikan sebesar US$39 miliar dari 804.000 peminjam yang telah menyicil selama lebih dari 20 tahun.

Elizabeth Hadzic, yang bekerja sebagai seorang terapis, merasa bahwa penghasilannya tidak memungkinkan untuk melunasi pinjaman pendidikan tersebut.

Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah memutihkan utangnya sebesar lebih dari US$100.000 (sekitar Rp1,5 miliar) pada tahun lalu.

Setiap bulan, dia harus membayar tagihan sebesar lebih dari US$1.400 (sekitar Rp21,8 juta) dan penghasilannya tidak mencukupi mengingat masih ada pengeluaran lainnya.

“Saya mengira saya akan mampu melunasinya, tapi pekerjaan saya ternyata tidak menghasilkan uang sebesar itu,” kata perempuan berusia 50 tahun ini.

Skema seperti apa yang ‘mungkin’ diterapkan di Indonesia?

Berdasarkan studi SMERU Institute yang dilakukan oleh peneliti Daniel Suryadarma dan Elza Samantha Elmira, menunjukkan bahwa skema pinjaman mahasiswa dinilai "sangat mungkin" diterapkan di Indonesia.

Namun Elza menggarisbawahi bahwa skema seperti yang diterapkan di Amerika Serikat "tidak cocok" untuk diterapkan di Indonesia.

"Model seperti di AS resistensinya cukup besar, karena modelnya seperti KPR [kredit kepemilikan rumah], berbasis waktu. Sedangkan ini adalah anak-anak yang belum dapat bekerja sudah mengambil utang, jadi pasti perspektif publik akan sangat memberatkan. Artinya mau tidak mau, begitu lulus harus membayar utang," jelas dia.

Pemodelan SMERU menyimpulkan bahwa skema pinjaman berbasis pendapatan justru "bisa menjadi alternatif solusi" atas timpangnya akses pendidikan tinggi di Indonesia. Contohnya kurang lebih seperti yang diterapkan di Australia dan Inggris.

Itu artinya, debitur baru bisa membayar cicilan ketika pendapatannya telah mencapai besaran minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.

SMERU melakukan simulasi terhadap pendapatan 11.300 orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana.

Dalam pemodelan ini, angka minimum pendapatannya mengacu pada rata-rata penghasilan lulusan strata satu ( pada usia 21 tahun berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional 2015, yakni Rp13,8 juta per tahun.

Kondisinya mungkin sudah berbeda saat ini.

Akan tetapi dengan ambang batas itu, lebih dari 50% lulusan dapat langsung menyicil pinjamannya setelah lulus dan bekerja.

Jumah utangnya diasumsikan sebesar Rp61 juta untuk empat tahun pendidikan dan biaya hidup selama berkuliah.

Pemerintah, kata Elza, dapat mengatur agar setiap bulan, seorang debitur menyisihkan 8% dari pendapatannya untuk menyicil, tanpa dikenakan bunga.

Dengan gaji per bulan rata-rata sebesar Rp1.150.000 berarti besar cicilannya tidak sampai Rp100.000 per bulan.

Jika pendapatannya semakin besar, maka pembayaran cicilannya pun akan semakin besar dan utangnya akan semakin cepat lunas.

Hasil pemodelan ini juga menyarankan agar pemerintah menetapkan jangka waktu pembayaran selama 20 hingga 25 tahun.

Temuan penting dalam studi ini adalah bahwa subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah berkisar 3,1% hingga 48% dari total biaya pendidikan. Itu tergantung pada besaran pendapatan dan bunga yang berlaku.

“Tingkat subsidi ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kebijakan beasiswa atau subsidi penuh,” kata Elza.

Sedangkan jika ada biaya tambahan sebesar 25% atau bunga riil 2% misalnya, pemodelan ini menemukan bahwa subsidi yang ditanggung oleh pemerintah bisa lebih kecil.

Namun, Elza mengatakan penting untuk memperhatikan ketimpangan pendapatan yang akan memengaruhi kemampuan membayar pinjaman.

Misalnya timpangnya pendapatan antara laki-laki dan perempuan, yang membuat perempuan akan lebih kesulitan untuk menyicil utang pendidikan mereka.

Selain itu, skema pinjaman berbasis pendapatan ini dapat berjalan baik apabila sistem perpajakan di Indonesia sudah efektif dan sistem pencatatan upah sudah baik.

Nailul Huda dari Indef juga menilai bahwa skema pinjaman pendidikan "sangat bisa dilakukan" sepanjang yang diterapkan adalah pinjaman tanpa bunga melalui dana abadi LPDP.

Skema itu dirasa lebih baik dibandingkan memanfaatkan skema pinjaman online karena risiko gagal bayarnya yang tinggi.

Opsi lainnya, pemerintah juga bisa mengadopsi pinjaman dengan membebankan pada pajak khusus.

"Pemerintah bisa menjadi debitur mewakili peserta didiknya dan membayar ke perbankan. Pemerintah mendapatkan penerimaan dari skema pajak khusus ketika mahasiswanya bekerja kelak," jelas Nailul.

Bisakah menyelesaikan masalah ketimpangan di Indonesia?

Di sisi lain, mantan peneliti dari Smeru Institute yang melakukan pemodelan soal penerapan pinjaman pendidikan di Indonesia, Elza Samantha Elmira justru berargumen bahwa pinjaman pendidikan dapat memperluas peluang bagi mereka yang tidak lolos seleksi beasiswa dan tidak mampu berkuliah.

"Dibanding pakai Bidik Misi yang selektif dan sulit ditembus misalnya, bisa pakai pinjaman pendidikan. Jadi semua orang dengan penghasilan terendah bisa punya peluang yang sama untuk mengakses perguruan tinggi," kata Elza.

Dia mengutip studi pada 2013 berjudul ‘Indonesian Universities: Rapid Growth, Major Challenges.’ In Education in Indonesia oleh Hal Hill dan Thee Kian Wie, bahwa kurang dari 20% siswa yang bisa memenuhi kriteria seleksi ketika pemerintah dan universitas memberikan beasiswa.

Menurutnya, skema ini bisa menjadi alternatif solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah untuk menjangkau semua siswa yang butuh bantuan untuk mengakses pendidikan tinggi.

Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengkritik skema pinjaman pendidikan ini sebagai program yang "bias kelas" dan dapat memperburuk komersialisasi pendidikan.

"[Universitas] pasti akan semena-mena dan semakin tinggi [menetapkan UKT] karena mengikuti kenaikan suku bunga," tutur Ubaid.

Sementara itu, Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dini Dwi Kusumaningrum menilai penerapan skema pinjaman pendidikan "tidak dapat menyelesaikan masalah ketimpangan", dapat "menimbulkan beban ganda" dan "masalah struktural" di masa yang akan datang".

Menurutnya, program semacam ini bisa membantu bagi kelompok kelas menengah. Namun bagi penduduk miskin, program beasiswa akan lebih membantu.

"Bagi mahasiswa miskin, berkuliah itu adalah pertaruhan. Ada biaya yang harus dibayar seperti jadi tidak bisa membantu orang tua bekerja. Kalau mereka harus memakai student loan, itu akan memunculkan beban ganda," ujar Dini.

"Jadi yang perlu diperluas adalah kebijakan afirmasi seperti beasiswa, misalnya dengan menambah kuota Bidik Misi," tuturnya.

Dia juga menyoroti soal masalah pengangguran, yang berpotensi membuat kemampuan lulusan perguruan tinggi kian sulit untuk menyicil.

Belum lagi dengan beban-beban lainnya seperti kredit kepemilikan rumah hingga kondisi finansial sebagai "generasi sandwich". Ini meningkatkan peluang gagal bayar.

"Jika student loan diberikan tanpa ada perbaikan persoalan struktural lain seperti misalnya penyediaan lapangan kerja, link and match lulusan pendidikan dengan industri," ujar Dini.

Tanpa program-program yang menopang itu, dia mengatakan skema ini hanya akan lebih banyak membantu kelas menengah. (*)

Tags : Ekonomi, Amerika Serikat, Kaum muda, Inggris raya, Pekerjaan, Indonesia, Pendidikan, Joe Biden,