Sorotan   2023/03/08 15:43 WIB

Pemerintah Wacanakan Pembentukan Pengadilan Tanah untuk Menerima Laporan Kasus, 'Tapi Dikhawatirkan Rentan Timbulkan Peran Mafia Tanah' 

Pemerintah Wacanakan Pembentukan Pengadilan Tanah untuk Menerima Laporan Kasus, 'Tapi Dikhawatirkan Rentan Timbulkan Peran Mafia Tanah' 
Pengadilan tanah dikhawatirkan rentan menjadi 'ruang suaka para mafia tanah', seperti terjadi pada Suku Anak Dalam di Tebing Tinggi kini hidup menumpang di lahan orang lain.

"Pemerintah mewacanakan pembentukan pengadilan tanah untuk menerima laporan kasus"

acana pembentukan pengadilan tanah oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk menerima laporan kasus yang melibatkan mafia tanah meningkat dua kali lipat dalam setahun terakhir. 

Pembentukan pengadilan tanah dikhawatirkan rentan timbulkan peran mafia tanah.

Namun, sejumlah kelompok masyarakat yang sedang menghadapi konflik agraria meragukan pengadilan tanah bisa menguntungkan mereka.

Di sisi lain, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai perlu ada masa transisi untuk memetakan persoalan pertanahan. Jika tidak, lembaga itu khawatir pengadilan tanah hanya akan dijadikan ruang suaka mafia tanah. 

Petani, masyarakat adat atau komunitas lokal disebut sulit menyelesaikan sengketa lahan di pengadilan. Sebabnya, mereka tak punya cukup bukti materil dan dokumentasi terkait lahan yang mereka tempati atau manfaatkan untuk pertanian atau perkebunan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Hadi Tjahjanto mengakui laporan terbanyak terkait mafia tanah yang diterima berasal dari tiga provinsi, yakni Riau, Sumatera Utara, dan Jambi.

"Sampai sekarang saya terus berkoordinasi dengan bapak Kapolri untuk menyelesaikan mafia tanah karena banyak permasalahan di Indonesia yang dikomandoi oleh mafia tanah," kata Hadi dalam Diskusi Publik Indonesia Consumer Club, Senin (15/8) lalu.

Ia menegaskan hingga kini Kementerian ATR masih terus menjalin koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian dalam menangani kasus mafia tanah di Indonesia.

"Laporan [mafia tanah] yang terbanyak ada di wilayah Riau, kemudian yang kedua adalah di Sumatera Utara, dan yang ketiga ada di Jambi," kata Hadi.

Seperti dialami Abdul Rozak, bersama 7.000 keluarga petani di salah satu wilayah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat sudah puluhan tahun menghadapi tekanan sebuah BUMN dalam persoalan tanah. 

Ia pesimistis pengadilan tanah yang diwacanakan Menkopolhukam Mahfud MD bisa menguntungkan para petani dalam menyelesaikan konflik yang terjadi sejak era Orde Baru.

Abdul Rozak mengatakan tanah seluas 20.000 hektare adalah milik nenek moyangnya. Tanah tersebut dulunya diambil pihak Belanda sebelum Indonesia merdeka.

Tapi setelah periode kemerdekaan, tanah tersebut diklaim milik pemerintah daerah, dan pada 1980an dinyatakan milik sebuah BUMN.

“Ya jangankan sertifikat zaman dulu. Banyak yang bilang orang tua nggak ada sertifikat. Kartu nikah saja tidak ada. Banyak anggota petani yang pada lupa, lahirnya pun tidak terdokumentasi,” kata Rozak.

Lahan yang telah dijadikan perkebunan kayu jati dan kayu putih oleh BUMN itu, kemudian dimanfaatkan masyarakat setempat dengan melakukan tumpang sari. Terkadang, pohon perkebunan milik BUMN yang tak sengaja rusak, membawa petaka.

Singkat cerita, saat ini warga enam desa yang tinggal dan menggarap tanaman padi di lahan tersebut selama beberapa generasi belum bisa hidup tenang, karena suatu waktu keberadaan mereka bisa kembali dipersoalkan.

Rozak yang menjadi ketua Serikat Tani Indramayu (STI) juga melakukan rangkaian aksi demonstrasi sampai ke Istana, termasuk meminta penyelesaian sengketa melalui Gugus Tugas Reforma Agraria di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Rozak berharap persoalan ini tak diselesaikan melalui kacamata hukum positif, tapi lewat kemauan dan keberpihakan pemerintah.

"Kalau mau mensejahterakan, berikan saja semangat reforma agraria, petani itu butuh tanah, butuh alat produksi. Berikan saja itu,” kata Rozak.

Begitupun konflik agraria yang terjadi di Tebing Tinggi, Sumatra Selatan di mana tanah milik kelompok Suku Anak Dalam (SAD) diduga diserobot sebuah perusahaan perkebunan sawit.

Dalam keterangan warga, tanah mereka seluas 1.400 hektare dijanjikan akan menjadi perkebunan plasma, tapi SAD selama tiga generasi tak pernah memperoleh hasilnya. Mereka justru terusir dari tanah leluhurnya sendiri karena perkebunan sawit.

Perwakilan SAD Tebing Tinggi, Medi Iswandi setuju dengan pembentukan pengadilan tanah, namun dengan catatan.

Menurutnya pengadilan tanah bisa diterima selama peradilan ini berisi panel penegak hukum yang benar-benar memahami persoalan konflik agraria. 

Petani demonstrasi menuntut hak atas tanah mereka.

Kata dia, jika masyarakat adat tak memiliki dokumen kepemilikan tanah, maka hakim bisa mengakuinya melalui keterangan saksi sesepuh adatnya, sebagai fakta persidangan.

“Saksi sejarah yang menegaskan mengenai hak atas tanah tersebut, atau batas padannya bisa menerangkan bahwa hak atas tanah ulayat tersebut adalah milik warga sekitar,” kata Medi Iswandi.

Kasus lainnya di Siantar, Sumatera Utara. Mereka adalah kelompok petani yang memiliki leluhur orang Jawa yang didatangkan pemerintah Belanda untuk menggarap perkebunan pada 1942.

Setelah Indonesia merdeka, lahan 246 hektar mereka kemudian dikuasai oleh perusahaan negara di era orde baru. Tapi kemudian, mereka hanya bisa menggarap sebanyak 26 hektar sampai hari ini.

“Sisanya, menunggu penyelesaian di pusat,” kata Jacob Kappau, petani di Siantar.

Jacob menyambut baik pembentukan pengadilan tanah, meski tetap menaruh rasa skeptis. “Cuma kita sering kali, pemerintah tidak konsisten, akhirnya peradilan yang digunakan untuk mengambil lahan masyarakat,” katanya.

Konflik tumpang tindih tanah yang berujung pada sengketa masih marak terjadi Provinsi Riau. Hal ini disebabkan kurangnya surat-surat kepemilikan tanah yang menguatkan.

Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau mengakui konflik agraria di Riau memang masih tinggi. Kebanyakan disebabkan surat-surat yang tidak lengkap.

Terungkap sepanjang memasuki tahun 2016, BPN Riau telah menerima kurang lebih 15 pengaduan konflik pertanahan. Namun upaya yang dilakukan BPN Riau menangani konflik sengketa dengan proses mediasi. Tapi upaya mediasi tersebut tetap gagal, maka pihak yang bersengketa akan menempuh jalur hukum.

Konflik lahan di Riau dengan perusahaan

Begitupun yang terjadi di Provinsi Riau, sengketa lahan terjadi sejak tahun 2008 banyak yang belum terselesaikan. Jumlahnya tak tanggung-tanggung ada seluas 200.586.10 hektar yang rentan terus terjadi sengketa lahan yang memicu konflik antara masyarakat dengan sejumlah perusahaan dan pemerintah.

Sebelumnya, Direktur Sustainable Social Development Partnership (Scal Up) Riau, Ahmad Zazali sudah mengingatkan soal sengketa lahan di Riau ini yang juga marak terjadi didepan media.

"Kami memprediksi perebutan lahan sejak pada 2009 lalu itu akan lebih meningkat lagi. Hal itu bisa dilihat dari migrasi penduduk yang lebih besar dari berbagai daerah tetangga," katanya. 

"Kami memprediksi perebutan lahan pada 2009 akan lebih meningkat lagi. Hal itu bisa dilihat dari migrasi penduduk yang lebih besar dari berbagai daerah tetangga," kata Zazali dari Scal Up dalam keterangan belum lama ini.

Ia menyebutkan sesuai data yang ada, akibat sengketa lahan ini, pada tahun 2008 telah terjadi 96 kasus konflik. Konflik lahan ini tertinggi pada sengketa lahan masyarakat dengan industri perkebunan kelapa sawit mencapai 29 konflik yang memperebutkan sekitar 58.105 hektar lahan.

"Sebagian lagi konflik antara masyarakat dengan pemerintah dalam menempati kawasan konservasi," kata Zazali.

Menurutnya, untuk sengkete lahan antara masyarakat dengan pemerintah misalnya terjadi di kawasan konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Dari 38.576 hektare sekitar 7.600 hektare lahannya dicaplok masyarakat. Hingga kini penyelesaian kasus tersebut belum jelas. Pemerintah belum bisa mengeluarkan masyarakat yang bermukim di dalam areal wilayah konservasi gajah tersebut.

Begitu juga dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim yang memiliki luas 6.150 hektar, hanya tersisa 1.900 hekatar saja masih lestari. Selebihnya sudah dicaplok masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit.

Zali juga menyebut, dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan akibat krisis global, salah satu pendukung meningkatnya konflik lahan. Sebab para pekerja yang di PHK kembali ke kampung halamannya untuk mengelola lahan yang justru statusnya sudah dikuasai pihak lain.

"Karena itu kita menyarankan kepada pemerintah untuk mengidentifikasi kepemilikan hak ulayat di Riau. Ini juga mengantisipasi klaim dari hak hak ulayat yang tidak jelas," ujar Zazali.

Karena itu, Scale Up juga meminta Pemerintah Provinsi Riau, untuk segera merivisi Tata Ruang Wilayah Riau yang saat ini belum selesai dilakukan sejak 2001 lalu. Pemerintah juga diminta untuk membuat protokol penyelesaian konflik lahan. Termasuk membentuk lembaga independen menangani masalah ini.

"Kalau semua sudah dilakukan, maka dengan sendirinya akan mengeliminir terjadinya konflik lahan," katanya.

Bagaimana langkah pencegahan sengketa lahan ini?

Kanwil BPN Provinsi Riau, Tarbarita Sinorangkir.

Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau mengakui punya strategi dan langkah pencegahan terjadinya kasus sengketa, konflik dan perkara pertanahan harus dilakukan agar tidak terulang kembali.

“Sengketa tanah marak terjadi pertama karena tanah menjadi tidak produktif, pusat ekonomi tidak bisa dibangun dan tidak terciptanya lapangan pekerjaan karena tanahnya menganggur,” jelas Kanwil BPN Provinsi Riau, Tarbarita Simorangkir, saat menyampaikan beberapa strategi pencegahan kasus pertanahan beberapa hari yang lalu.

Terkait strategi yang dilakukan piha BPN Riau ini, melalui Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa pertama, melakukan pemetaan potensi kasus berdasarkan tipologi kasus dan dilakukan kajian ilmiah/akademis maupun kajian praktis terhadap penyebab terjadinya kasus/akar masalah serta strategi penyelesaiannya maupun pencegahan kasus baru.

Kedua, pencegahan dilakukan terlebih dahulu diprioritaskan pada sengketa, konflik dan perkara pertanahan dengan tren tertinggi.

Ketiga, menguatkan kerjasama dan koordinasi dengan instansi pemerintah, kementerian, lembaga, perguruan tinggi, stakeholder terkait, dan masyarakat. Dalam bentuk membangun kesadaran bersama dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaan kegiatan pencegahan kasus pertanahan.

Keempat, optimalisasi penggunaan sistem informasi elektronik sengketa, konflik dan pertanahan (SKP). Kemudian melakukan justisia untuk perencanaan, analisis kebijakan, penanganan serta pencegahan kasus pertanahan.

Jika kasus pertanahan tidak diatasi, Tarbarita menyebutkan hal itu akan menimbulkan dampak buruk dilingkungan sesama manusia.

Lalu, berpotensi kehilangan pemasukan kas negara yang bersumber dari pajak. Bahkan, kasus pertanahan juga menimbulkan tindak pidana akibat berbenturan dengan masyarakat. Dan sering terjadi kekerasan dilapangan sehingga berdampak adanya korban jiwa.

Sementara Asisten I Setdaprov Riau, Jenri Salmon Ginting, mengatakan, di tahun 2020-2021 terdapat beberapa konflik pertanahan di Provinsi Riau diantaranya, permasalahan hak guna usaha (HGU), tumpang tindih lahan, batas wilayah, penguasaan dan pemanfaatan lahan serta tanah ulayat.

“Kami menekankan penanganan konflik pertanahan harus diletakkan dalam koridor Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat (Trantibumlinmas). Sehingga penanganannya responsif dan melibatkan multi pihak,” jelasnya.

Sengketa lahan seperti penyakit akut

Tetapi menurut Pakar Lingkungan Hidup, Dr Elviriadi menyikapi selama ini yang terjadi di Riau, sengketa lahan malah tak kunjung selesai, sudah seperti penyakit akut.

"Oknum korporasi pemegang sertifikat HGU kini semakin bernyali ketika berhadapan dengan masyarakat atas sengketa lahan. Sementara masyarakat yang sibuk lapor sana-sini semakin tersudut lantaran tidak dihiraukan," kata dia.

"Selain itu buruknya pelayanan birokrasi pemerintah menjadi penyebab semua ini," sambungnya.

Elviriadi mengatakan, kini masalah sengketa lahan di Riau semakin menumpuk dan memburuk. Bahkan, maraknya sengketa lahan di Riau terungkap jelas saat masyarakat mengundang Ketua Panja HGU, DPR RI Ahmad Doli pada Selasa 14 September 2021 lalu.

Dalam kunjungan kerjanya ke Riau, Ketua Panja HGU DPR RI untuk wilayah Riau, Ahmad Doli menerima pengaduan masyarakat yang disampaikan lewat aksi Hipemarohil.

Pengaduan ini terkait konflik lahan antara masyarakat dengan pemegang HGU di Rohil. Elviriadi berharap konflik masyarakat dengan pemegang HGU ini bisa diselesaikan secepatnya.

“Saya langsung menemani Bang Doly saat berada di Riau. Untuk upaya penyelesaian sudah saya sampaikan,” kata Elviriadi. 

Saat menemani Ketua Panja Ahmad Doly, Dr Elviriadi mengungkapkan dirinya juga sempat betemu dengan Gubri Syamsuar dan sejumlah pejabat lainnya di Gedung VIP Lancang Kuning Bandara SSK Pekanbaru.

“Saya bersama Bang Doly sempat bertemu Gubri Syamsuar dan sejumlah pejabat lainnya. Saya mendengar langsung pandangan mereka terkait upaya penyelesaian konflik lahan di Riau,” kata Elviriadi menceritakan.

Elviriadi mencontohkan, masalah Duta Palma. Bahkan menurutnya, Ketua Panja HGU DPR RI, Ahmad Doly sudah berencana memanggil pihak Duta Palma.

Menurut Elviriadi, penyelesaian sengekta lahan di Riau ini menjadi semakin buruk lantaran supervisi, sanksi administrasi, bahkan paksaan pemerintah masih bahasan tabu di negeri ini.

Belum lagi pengukuhan kawasan hutan tidak dilakukan dengan tata batas. Akibatnya marak penambahan areal HGU. Lalu terjadi perampasan tanah rakyat. Bahkan jaringan intruder atau penyusup memanfaatkan situasi

Kebijakan perizinan seharusnya menjadi instrument hukum, sebutnya. Namun yang terjadi selama ini, di lapangan luas HGU tidak dicrosscheck.

Birokrat, sebutnya, hanya bekerja di balik meja. Bahkan lebih miris lagi, argis atau koordinat dan data spasial diambil staf teknis perusahaan lalu diserahkan ke pemerintah.

"Kalau cara kerja begini, tentu saja akan crowded (kacau). Jadi tidak perlu heran kalau konflik pertanahan akibat perijinan seperti HGU di negeri ini sudah seperti penyakit akut,” kata Elviriadi yang juga Kepala Departemen Perubahn Iklim Majelis Nasional KAHMI ini.

Tetapi pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan pada tahun 2022 sedikitnya terdapat 212 kejadian konflik agraria. Jumlahnya meningkat 2,36% dibandingkan tahun sebelumnya dengan 207 kasus.

Laporan konflik agraria ini didominasi sektor perkebunan, khususnya sawit, dan diikuti dengan sektor infrastruktur, properti, kehutanan, tambang dan fasilitas militer.

Sekjen KPA, Dewi Sartika, mengatakan kasus pertanahan tak bisa dipukul rata semua bisa diselesaikan melalui pengadilan. Dalam kasus-kasus seperti di Indramayu, Tebing Tinggi, dan Siantar semestinya bisa diselesaikan pemerintah.

“Yang untuk reforma agraria itu kan ada aspek, tidak hanya pemenuhan atas tanah, tapi juga pemulihannya. Karena itu tadi ada banyak sekelompok petani, masyarakat adat, masyarakat desa yang menjadi korban hukum kebijakan di masa lalu," kata Dewi Sartika pada media.

“Itu adalah lebih ke putusan politik negara yang harus mengeluarkan desa-desa atau kampung-kampung di dalam konsesi perusahaan atau klaim BUMN atau negara. Itu bukan ranah pengadilan,” kata Dewi lagi.

Sejauh ini, menurut Dewi, pemerintah cenderung mendorong segala konflik agraria diselesaikan melalui pengadilan.

Padahal, kata dia, selama ini persoalan pertanahan yang dibawa ke PTUN, Pengadilan Perdata, atau Umum justru menjadi apa yang ia sebut “ruang suaka cuci tangan bagi mafia tanah itu sendiri.”

“Karena banyak juga kasus mafia tanah itu berkelindan dengan kepentingan-kepentingan beberapa elit penguasa, politik, bisnis. Justru ruang terbukanya di pengadilan,” katanya.

Bagaimana pun, kata Dewi, KPA tidak serta merta menolak wacana pembentukan pengadilan tanah. Akan tetapi, perlu adanya masa transisi untuk menyelesaikan konflik agraria struktural – konflik yang menyebabkan suatu komunitas kehilangan hak atas tanahnya karena klaim instansi/lembaga pemerintah, swasta atau badan usaha pemerintah.

Masa transisi ini perlu dikelola lewat lembaga atau komite khusus, kata Dewi. Selain itu, hakim pengadilan tanah juga wajib mengantongi sertifikat yang menandakan berkualifikasi memahami isu pertanahan dan reforma agraria.

“Kalau tidak demikian, nanti bisa rontok hak masyarakat. Atau dia [pengadilan tanah] nanti menjadi modus si mafia tanah untuk mencari suaka,” katanya.

Kenapa wacana pengadilan tanah dimunculkan?

Pada Kamis kemarin 19 Januari 2023, Menko Polhukam, Mahfud MD menggelar rapat percepatan capaian dan alternatif kebijakan program reforma agraria. Rapat ini dihadiri pejabat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kejaksaan Agung, Kepolisian dan perwakilan masyarakat.

Menteri Mahfud MD mengatakan persoalan sengketa lahan, dan konflik agraria "sangat rumit“.

Menurutnya, persoalan ini berlarut-larut hingga puluhan tahun karena keberadaan mafia tanah yang melakukan aktivitasnya "dengan cara cepat, dan melanggar hukum.“

"Sedangkan kita, mau menyelesaikannya, harus menurut aturan hukum. Menurut aturan hukum itu urutan-urutannya panjang,“ kata Menteri Mahfud MD.

Misalnya dalam pemeriksaan, kata Mahfud MD, bisa saja camat dan lurah yang mengeluarkan rekomendasi, pejabat BPN

"Nah, kita masih mau cari jalan terobosan antara lain dibuat pengadilan khusus yaitu pengadilan tanah. Tentu kita akan bicara dengan Mahakamah Agung, karena pengadilan sudah ada pakemnya,“ katanya.

Professor Denny Indrayana yang ikut dalam rapat tersebut mengatakan pengadilan khusus terkait konflik pertanahan sangat mungkin diterapkan. Hal ini sama halnya dengan pengadilan tindak pidana korupsi, dan terbentuknya lembaga anti-rasuah KPK.

“Sebagaimana kita punya pengadilan tindak pidana korupsi, punya Undang Undang Tipikor. Punya KPK, lembaga khusus anti korupsi. Bisa saja membentuk semacam itu,“ kata wakil menteri hukum dan HAM periode 2011-2014 ini.

Namun, ia menyoroti bahwa langkah ini harus diawali dengan pembersihan di lembaga pemerintah dan lembaga hukum dari kejahatan yang ia sebut “berkelindan dengan mafia tanah”.

“Pembersihan diri sendiri dulu masing-masing institusi sebelum kita efektif melakukan pemberantasan mafia di luar. Internalnya dulu harus detoks dulu,” katanya.

Ia juga menekankan agar wacana pembentukan pengadilan tanah ini dijalankan secara konsisten. Diberikan kewenangan luas untuk membongkar jaringan mafia tanah.

“Persoalannya kemudian, sebagaimana pengadilan tindak pidana korupsi, KPK, seiring berjalannya waktu itu tidak dikuatkan, tapi dilemahkan… Politik hukumnya bergeser,” tambah Denny.

Modus mafia tanah

Satu tahun terakhir, Kemenko Polhukam mencatat terjadi peningkatan 100% atas aduan permasalahan pertanahan. Pada 2021 kementerian ini menerima 701 laporan kasus pertanahan. Angkanya meningkat pada 2022 menjadi 1.406 laporan.

Mahfud MD juga mengutarakan daftar modus mafia tanah dari laporan-laporan tersebut, yang telah disarikan:

  • Tanah masyarakat yang bersertifikat tapi tidak dikuasai, kemudian diserobot pihak lain.
  • Tanah masyarakat yang dikuasai, tapi tidak punya bukti kepemilikan yang sah. Tiba-tiba dicaplok.
  • Tanah milik BUMN yang tiba-tiba dijual pihak tertentu.
  • Tanah yang dihuni masyarakat secara turun-temurun tidak bersertifikat. Tapi terbit sertifikat hak atas tanah oleh pihak lain.
  • Tanah yang dihuni masyarakat secara turun-temurun tidak bersertifikat, tapi ada yang memperjual-belikan ke pihak ketiga, tanpa sepengetahuan penghuninya.
  • Klaim tanah adat di atas lahan yang bersertifikat milik masyarakat. Tapi masyarakat yang ingin menempati dipolisikan.
  • Kesalahan dari kantor BPN daerah menerbitkan hak atas tanah terkait batas dan pemetaan yang menyebabkan tumpang tindih. Akibatnya, sertifikat lebih dari satu.
  • Masyarakat yang menguasai tanah milik pemerintah, BUMN, BUMD.
  • Terbitnya sertifikat hak atas tanah milik masyarakat di atas tanah aset pemerintah.'
  • Penguasaan tanah masyarakat pada aset pemerintah. (*)

Tags : pengadilan tanah, pemerintah wacanakan pembentukan pengadilan tanah, laporan kasus tanah, pengadilan tanah rentan timbulkan mafia tanah,