Pilkada   2023/10/26 16:48 WIB

Pemuda Memegang Peran yang Krusial dalam Pemilu 2024, Tapi Sekadar ‘Token’ atau Benar-benar Didengar Aspirasinya?

Pemuda Memegang Peran yang Krusial dalam Pemilu 2024, Tapi Sekadar ‘Token’ atau Benar-benar Didengar Aspirasinya?
Pemilih Milenial dan Gen Z mencakup lebih dari 50% dari pemilih dalam Pemilu 2024.

JAKARTA - Pemuda memegang peran yang krusial dalam Pemilu 2024. Namun, pengamat menilai mereka masih dipandang sebagai “token” oleh politisi, meskipun banyak pemuda mulai berani menyuarakan aspirasi mereka lewat media sosial.

Etta, 23, seorang Gen Z yang tinggal di Jakarta, tampak gusar saat mengetik nama masing-masing kandidat presiden ke dalam kolom situs pencarian.

Dengan musim pemilu semakin dekat, ia merasa terdorong untuk menggali informasi sejumlah sosok yang digadang-gadang akan memimpin Indonesia kelak.

Namun, setelah beberapa jam membaca biodata, gagasan, dan rekam jejak masing-masing kandidat, harapannya perlahan sirna. Etta merasa tak ada kandidat presiden yang peduli dengan isu yang menjadi perhatiannya. 

“Karena saya sendiri juga termasuk dalam beberapa kelompok minoritas, dan kami diajarkan sejak usia dini bahwa sistem politik sebenarnya tidak mendukung kami,” ungkap Etta, September lalu. 

Etta adalah perempuan Tionghoa yang berasal dari keluarga Kristen. Ia juga merupakan bagian dari komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Setiap tahun Pemilu, ia merasa ada pola yang terus berulang: identitasnya sebagai kelompok minoritas dimanfaatkan oleh para calon presiden (capres).

“Isu LGBT sering digunakan sebagai alat politik identitas untuk menjatuhkan kandidat lain. Jadi bisa dibilang, agak susah bagi saya untuk nge-stan [dukung] mereka,” katanya.

Etta mengatakan kebanyakan dari teman-temanyang seumuran dengannya juga berharap suara mereka didengar dan isu-isu yang mereka perjuangkan menjadi prioritas para calon pemimpin negara.

“Pada akhirnya yang bakal jadi usia produktif di negara ini orang-orang muda. Dan walaupun enggak banyak kelompok minoritas, tapi mereka juga bagian dari negara ini. Mereka berhak untuk didengar dan diperhatikan isu-isunya,” ujar Etta. 

Aisah Putri Budiarti, peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan partai politik cenderung masih memandang suara pemilih muda sebagai sesuatu yang harus diraih, dan bukan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan.

“Tidak ada yang membahas mereka sebagai kelompok yang punya kebutuhan pada program-program tertentu,” ujar peneliti yang akrab disapa Puput tersebut.

Jelang tahun politik, kata Puput, golongan muda memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Sebab, mereka menjadi kelompok yang mencakup lebih dari 55%, atau sekitar 114 juta, dari total suara Pemilu 2024.

“Anak muda menurut saya sadar bahwa mereka sudah menjadi pemilih yang menjadi fokus Pilpres nanti. Jadi mereka harus memanfaatkan momen itu,” katanya. 

Bagaimana pemuda memandang politik?

Sama seperti Etta, Alexand Lucas (bukan nama sebenarnya) mengaku dirinya pesimistis dalam memandang situasi politik di Indonesia, khususnya jelang Pemilu 2024 yang bakal digelar Februari mendatang.

Remaja laki-laki berusia 21 tahun ini adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Australia.

“Sejujurnya, saya kurang menyukai capres-capres yang ada. Karena menurut saya tidak ada politisi di Indonesia yang bisa mewakili saya dengan benar," ujarnya dalam wawancara via Zoom. 

Ia merasa generasi Z sering dipandang rendah oleh generasi-generasi lebih tua, terutama dalam menyikapi isu-isu politik, krena dianggap kurang berpengalaman atau “sok tahu”.

Hal itu membuatnya kurang antusias menyambut kontestasi politik tahun depan.

Meski begitu, ia menyadari pentingnya suara yang ia miliki sebagai warga negara Indonesia dan Gen Z dalam menentukan masa depan Indonesia.

Oleh karena itu, Alexand berharap lebih banyak teman-teman sebayanya – khususnya mereka yang tinggal atau bersekolah di luar negeri – mau menggunakan hak suara mereka dalam pemilu nanti.

“Meskipun Anda tidak berada di Indonesia secara fisik, Anda masih memiliki hubungan erat dengan negara asal Anda. Bagaimanapun, Anda dibesarkan di sana. Jika Anda tidak peduli dengan negara Anda, siapa yang akan peduli?” ungkap Alexand. 

Studi yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2022 silam menemukan partisipasi pemilih muda pada pemilu 2019 sebesar 91,3%, naik dari 85,9% pada pemilu 2014.

Namun ketika ditanya pandangannya, persentase anak muda yang menyatakan minatnya pada politik hanya 1,1%. Banyak pemilih muda yang ragu-ragu, pesimistis terhadap situasi politik dan kurang percaya pada elit politik.

Survei yang dilakukan UMN Consulting menemukan 48,25% Gen Z menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2019, sementara 4,86% memutuskan untuk golput, dan 46,88% belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut. 

Studi lain mengungkapkan bahwa banyak remaja mengindentifikasi diri mereka sebagai golput (bukan partisipan dalam proses politik), apatis secara politik, dan bersikap pasif dalam politik meskipun mereka hidup di lingkungan politik yang lebih liberal.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin, mengatakan Gen Z sebenarnya tidak apatis terhadap permasalahan politik. Menurutnya, mereka cukup melek politik karena terpapar banyak informasi lewat media sosial.

“Masalahnya, masih ada [anak muda] yang menganggap politik bukan bagian dari mereka dan juga politik itu identik dengan hal yang kotor,” kata Silvanus.

Lebih jauh Silvanus mengatakan bahwa Gen Z memiliki preferensi sosok pemimpin yang mereka inginkan. Antara lain, tidak memiliki rekam jejak korupsi, peduli akan isu-isu lingkungan dan melek teknologi, serta tahu cara memanfaatkannya untuk masa depan.

Sementara, ia menilai pemilih milenial – yang lahir satu generasi lebih awal dibanding Gen Z – cenderung lebih pragmatis dalam menentukan pilihan capres. Mereka lebih fokus pada program-program kerja dan gagasan dari masing-masing capres.

“Mereka adalah tipikal yang tidak ingin jargon-jargon konvensional, bersih, berantas korupsi, sejahterakan rakyat. Menurut saya generasi milenial adalah generasi yang sudah jenuh dengan pendekatan marketing politik,” ujarnya. 

Pengamat politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti mengatakan generasi muda rata-rata merupakan swing voters yang ingin bebas menentukan pilihan serta menyatakan pendapat. Di sisi lain, para capres sudah mulai membentuk citra untuk menarik minat para pemilih muda.

“Jadi mereka lihat dulu, baik itu calon politisi atau partai politik yang menarik, pilihan itu bisa [ditentukan] nanti,” ujar Puput.

Setiap tahun pemilu, kata Puput, suara pemilih muda memang selalu mencakup lebih dari 50% suara. Namun, penggunaan media sosial sebagai sarana untuk berkampanye demi menggaet pemilih muda dalam pemilu kali ini, membuat situasinya lebih genting.

Sebab, sambung Puput, kebanyakan generasi muda, terutama pemilih muda, memiliki akses yang intens dengan media sosial. Sebagian besar informasi tentang situasi politik pun mereka dapat dari media sosial.

Namun, di sisi lain, banyak pemilih muda yang memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran politik.

“Anak muda itu memanfaatkan media sosial untuk menantang para capres lebih jauh berbicara tentang program, pemikiran, visi-misi dan lain-lain. Itu sebenarnya juga bisa menularkan ke anak muda untuk menyadarkan yang lain,” katanya.

Apakah pemilih muda hanya sekedar ‘token’ dalam kontestasi politik?

Berdiri di atap sebuah bangunan indekos yang dijuluki The Raid, tempat singgah sejumlah komika Indonesia di Palmerah, Jakarta Barat, tiga pemuda bernama Eki Priyago, Rio Chan dan Sandi Sukron — dijuluki Trio Netizen — sedang bersiap-siap membuat konten.

Trio Netizen menjadi viral setelah konten mereka yang mengkritik para capres dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR beberapa kali masuk halaman yang merekomendasi konten untuk pengguna alias for you page (fyp )TikTok.

Video mereka seringkali menggunakan judul ‘Ngejulid’in ….” diikuti dengan subyek yang mereka kritik. Konten mereka bertajuk ‘Ngejulid’in Anies Baswedan’ sudah ditonton lebih dari 10 juta kali.

Konten mereka yang lain berjudul ‘Ngejulid’in Ganjar Pranowo, telah ditonton 5,2 juta kali. Akun dengan nama Netizen (@sandisukron) di TikTok kini memiliki 30 ribu pengikut dan disukai sebanyak 1,8 juta kali.

“Mereka merasa terwakilkan, karena apa yang ingin mereka tanyakan tentang fakta-fakta itu bisa lewat saya. Bahkan sekarang pun banyak yang request bahas topik,” kata Sandi, komika asal Bandung yang memulai karirnya dengan menyelipkan isu politik dalam materi kontennya. 

“Walaupun sebenarnya saya bukan orang yang paham politik, tapi saya cukup memperhatikan itu. Karena banyak sekali masalah atau kasus yang cukup menggelikan terjadi di politik kita,” tambahnya.

Melihat cara para politisi berkomunikasi dengan pemilih muda, baik lewat konten, gaya bahasa maupun diskusi di lembaga pendidikan, Eki mengatakan pemilih muda masih sulit merasa dekat dengan para kandidat presiden.

“Banyak kampanye dari capres-capres ini yang saya rasa terlalu memaksakan untuk masuk ke ranah anak muda, tapi kita enggak tahu bagaimana substansinya dan akan dibawa sejauh apa,” ungkap Eki.

Bahkan, tak sedikit pula dari penonton mereka yang khawatir akan keamanan Trio Netizen karena membuat konten yang menyindir orang-orang yang berkuasa di Indonesia.

Hal ini menunjukkan bahwa politik di mata orang muda masih memiliki konotasi menyeramkan, menurut Rio Chan, anggota Trio Netizen lainnya. 

“Anak muda lain bertanya 'kok bisa sih seberani itu?'. Kita takut juga kalau kenapa-kenapa, tapi kita ingin membawa [isu politik] dengan lebih asyik aja. Dan mudah-mudahan politik ke depannya akan se-asyik itu,“ tutur Rio.

Selain Trio Netizen, ada pula kelompok lain yang menggunakan sarana internet untuk mengangkat kesadaran masyarakat tentang isu politik.

Abigail Limuria, generasi milenial berusia 27 tahun, bekerja sama dengan lembaga kebijakan publik Think Policy membentuk situs bijak memilik.id guna membantu para pemilih mengenal partai politik dan calon pemimpin yang turut dalam kontestasi Pemilu 2024.

“Bijak Memilih adalah sebuah eksperimen dimana kita kasih platform informasi berkualitas dan dapat diakses. Kita lihat apakah akan digunakan, apakah akan mempengaruhi keadaan demokrasi di Indonesia,” kata Abigail. 

Menurut Abigail, para pemilih muda kini semakin berani mengungkapkan pendapat, dibandingkan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Ia menyebut media sosial sebagai katalis utama fenomena tersebut.

“Ini pertama kalinya ada pemilu di era saat media sosial sudah secanggih sekarang. Pemilu sebelumnya belum sampai tahap itu, TikTok belum sampai seviral ini dan tentu dengan ada media sosial semakin mempermudah siapapun untuk bersuara,” ungkap Abigail.

Konten pada situs Bijak Memilih memaparkan profil dan rekam jejak partai serta topik isu yang menjadi perhatian pemilih muda, seperti perubahan iklim, pendidikan dan kecerdasan buatan (artificial inteligence).

Meskipun Abigail merasa pembahasan terkait isu-isu tersebut mulai dibicarakan oleh sejumlah politisi, namun dia merasa masih ada politisi yang memandang pemuda sebagai “token”, atau komoditas yang hanya sekadar ditampilkan.

“Dijadikan token, produk, bukan benar-benar di-engage. Itu tentu masih banyak. Tapi, menurutku mulai ada tren politisi-politisi yang benar-benar ingin membahas permasalahan-permasalahan anak muda,” ujar Abigail.

Masalah-masalah apa yang sebenarnya dihadapi pemuda?

Menurut peneliti politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti, ada sejumlah masalah yang dihadapi generasi muda di Indonesia, antara lain terkait pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan.

“Yang paling melekat yaitu terkait pendidikan. Usia gen Z rata-rata masih sekolah, kuliah, atau baru lulus. Di luar itu, milenial adalah usia produktif yang beberapa punya anak yang sekolah juga,” ujar peneliti yang akrab disapa Puput tersebut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, rata-rata pemuda Indonesia hanya mampu bersekolah 10,75 tahun. Artinya, kebanyakan dari mereka terpaksa putus sekolah ketika duduk di bangku kelas 2 SMA. 

Sementara rata-rata pemuda penyandang disabilitas, hanya mampu bersekolah selama 7,71 tahun, yang berarti mereka terpaksa putus sekolah di bangku SMP kelas 2. Adapun, sebanyak 171 ribu pemuda di Indonesia tercatat mengalami buta huruf.

Puput juga mengatakan banyak pemuda masih belum sejahtera secara sosial-ekonomi. Sekitar 25,2 juta pemuda hidup dalam rumah tangga berpendapatan rendah dan 26,4 juta lainnya tinggal dalam rumah tak layak hidup.

Dari segi lapangan pekerjaan, pada Agustus 2022, angka pengangguran kelompok usia muda (15-24 tahun) menjadi yang tertinggi, mencapai 20,63% dari total pengangguran Indonesia.

Bahkan, 17,6 juta pemuda berstatus tidak bekerja, tidak bersekolah, atau menerima pelatihan.

Tak hanya itu, data BPS pada 2022 juga menunjukkan kaum muda masih belum sepenuhnya aman tinggal di Indonesia. Sebab, 2,97 juta pemuda menjadi korban penganiayaan dan 1,2 juta mengalami pelecehan seksual. 

Menurut Puput, gagasan dari ketiga bakal capres masih terkesan generalis, dan belum membahas secara spesifik masalah-masalah yang dihadapi pemuda di luar sekadar jargon politik.

Sehingga, pemilih pun menjadi bingung ketika memilih calon berdasarkan program kerja yang mereka tawarkan.

“Kalau mereka peduli dengan anak muda secara serius, hal-hal seperti ini seharusnya masukdan dijadikan pembahasan oleh mereka. Semua masalah pasti akan jadi bahasan politisi dan partai politik,” ujarnya.

Oleh karena itu, Puput berharap dalam Pemilu 2024 mendatang, politisi tidak hanya memandang kaum muda sebagai kelompok pemilih jangka-pendek, melainkan sebagai komunitas yang harus diprioritaskan dalam merencanakan masa depan bangsa.

“Apakah mereka menggarisbawahi masalah-masalah ini di program mereka atau kampanye mereka? Kalau mereka benar-benar peduli dengan lebih dari 50% pemilih itu,” kata Puput. 

Dalam acara Mata Najwa di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang disiarkan lewat YouTube secara langsung pada Selasa (19/09), kandidat presiden Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, memaparkan gagasan dalam Pilpres 2024, beberapa berkaitan dengan generasi muda

Ketiganya mengedepankan hadirnya negara dalam mewujudkan akses pendidikan yang adil, menambah lapangan kerja, dan menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, mulai dari lahir hingga tua.

Mereka juga menekankan penegakan hukum, khususnya dalam memberantas praktik korupsi.

Pada giliran pertama, Anies Baswedan, kandidat presiden dari Koalisi Perubahan yang antara lain didukung oleh Partai Nasdem dan Partai Keadilan Bangsa (PKB), menekankan pentingnya kampus kembali menjadi ruang bebas menyampaikan pendapat.

Ia juga memberikan motivasi pada generasi sandwich, yang harus mencari nafkah untuk orang tua mereka, sekaligus diri sendiri. 

Sementara Ganjar Pranowo, kandidat presiden yang didukung partai yang berkuasa, PDI-Perjuangan, mengangkat soal upaya mengatasi perubahan iklim, yakni dengan pengurangan emisi gas rumah kaca dan peralihan ke energi baru dan terbarukan.

Ia juga menekanan pentingnya digitalisasi, baik infrastruktur maupun literalisasi digital.

Adapun Prabowo Subianto, yang sejauh ini didukung koalisi sejumlah partai besar seperti Partai Gerindra, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN), menjelaskan sejumlah progam prioritas, termasuk program rumah murah untuk masyarakat desa dan pemberantasan narkoba untuk meningkatkan kualitas generasi muda.

Ia juga akan melanjutkan program kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, kartu sembako, dan kartu pra kerja. 

Bagaimana capres memandang generasi muda?

Juru bicara tim kampanye Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian, menyatakan Anies ingin menghindari memperlakukan pemilih muda sebagai “objek” menjelang kontestasi Pemilu 2024.

“Banyak [calon] yang memilih strategi untuk menjadikan mereka sebagai objek, [misalnya mereka] pakai baju dan sepatu seperti anak muda, ajak anak muda bikin konten TikTok,” kata Angga.

Menurut Angga, Anies ingin mendapatkan umpan balik atau masukan langsung dari generasi muda untuk program-program kerjanya ke depan.

“Beliau mengundang anak-anak muda untuk datang, untuk berkontribusi dan tidak hanya di momentum itu saja. Secara rutin ada acara-acara di daerah dan bertemu dengan anak muda dan menggalang masukan mereka,” ujarnya. 

Anggota tim sukses Prabowo Subianto, Virgandhi Prayudantoro, mengatakan pemilih muda membutuhkan pemimpin yang memiliki visi-misi jelas dan berpihak pada kaum muda dalam memimpin negara.

“Jadi bukan menggunakan atribut-atribut seperti anak muda, tapi gagasan besar atau visi misinya yang berpihak pada anak muda. Dan itu sudah disiapkan, disebarkan, dipublikasikan dalam beberapa momen,” tutur Gandhi.

Sejauh ini, kata Gandhi, Prabowo sudah mengedepankan program-program yang mendukung kaum muda, contohnya pengembangan industri kreatif dan menyiapkan wadah bagi pemuda untuk lebih berkontribusi dalam politik.

“Momen dari anak muda yang baru sekarang mulai memilih, kita persiapkan di 2045. Program-programnya sudah kita canangkan saat ini dan bisa dijalankan secara berjenjang,” sebutnya. 

Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo, Arsjad Rasjid, mengungkapkan pemilih muda perlu sadar politik karena politik berpengaruh pada kehidupan mereka, terutama dalam pembentukan masa depan.

“Banyak juga yang sudah bilang 'oh gue nggak mau memilih, ah politik ngapain sih. Padahal, kami perlu mengedukasi generasi muda bahwa politik membentuk negara dan masa depan. Mereka harus peduli tentang politik,” ucapnya.

Ia mengatakan Ganjar memiliki kepribadian yang cocok dengan kaum muda. Tak hanya itu, ia juga memiliki putra bernama Alam yang merupakan seorang Gen Z, sehingga Ganjar pun menerima masukan dari anaknya dan teman-temannya.

“Kami sangat senang ketika dikritik. Kami mengundang dari semua sektor. Mulai dari yang muda-muda dan semua kita undang. Karena kita mau mendengar, supaya inklusif,” kata Arsjad. 

Di tengah hiruk-pikuk kontestasi politik yang semakin dekat dengan Pemilu 2024, Etta mengatakan ia dan teman-temannya belum merasakan “antusiasme” atau “tergiur untuk memilih” dalam pemilu.

Pasalnya, mereka masih merasa suara pemuda tidak didengar oleh para politisi.

“Padahal mau enggak mau pasti suara orang muda harus didengar. Karena zaman maju terus, dan semakin lama orang muda akan menjadi generasi tenaga kerja utama di negara ini. Jadi cepat atau lambat suara-suara itu bakal terdengar,” kata Etta.

Meski begitu, ia sendiri masih menaruh harapan suatu saat pemerintah memberi ruang bagi generasi muda dan kaum minoritas seperti dirinya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

“Ketika kita mengimplementasikan solusi untuk suatu minoritas, bisa jadi solusi itu juga menguntungkan bagi golongan-golongan lainnya. Jadi menurutku penting untuk memperhatikan minoritas dan juga orang muda,” tegas Etta. (*) 

Tags : Pemilu 2024, Pemuda Memegang Peran yang Krusial dalam Pemilu 2024, Suara Pemuda benar-benar Didengar Aspirasinya, Media sosial, Kaum muda, Politik, Indonesia,