Headline Sorotan   2022/07/01 13:2 WIB

Penyaluran Subsidi BBM MyPertamina 'Berpotensi Blunder', Masih 'Banyak Masyarakat Belum Siap dan Tak Punya Smartphone'

Penyaluran Subsidi BBM MyPertamina 'Berpotensi Blunder', Masih 'Banyak Masyarakat Belum Siap dan Tak Punya Smartphone'

"Penerapan sistem pendaftaran online dan aplikasi ponsel seperti MyPertamina demi mengontrol penyaluran BBM bersubsidi dinilai pengamat energi sebagai kebijakan yang berpotensi blunder"

engamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Riadhi, sebagai "kebijakan yang berpotensi blunder" dan justru mempersulit masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki akses internet.

Pertamina mulai membuka uji coba pendaftaran melalui situs dan aplikasi MyPertamina di 11 kabupaten dan kota pada Jumat 1 Juli 2022 sebagai langkah awal untuk mendata masyarakat yang berhak menerima BBM bersubsidi.

Pertamina juga akan menyiapkan pusat pendaftaran di sejumlah SPBU untuk mengakomodasi masyarakat yang tidak memiliki akses internet.

Pembatasan dengan instrumen baru ini dilakukan ketika beban biaya subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah Indonesia membengkak hingga Rp520 triliun, nilai subsidi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia, akibat melonjaknya harga minyak dunia.

Sementara itu, konsumsi BBM bersubsidi terancam melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah. Namun, mayoritas penikmatnya justru berasal dari masyarakat yang mampu secara ekonomi.

Sebelumnya, Bank Dunia melalui laporan Indonesia Economic Prospect edisi Juni 2022 menyebutkan bahwa Indonesia perlu menyesuaikan harga BBM di dalam negeri karena subsidi yang ditanggung pemerintah lebih banyak dinikmati kalangan menengah ke atas.

Menurut Bank Dunia, penghapusan subsidi akan menghemat 1% dari PDB Indonesia, dan untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah bisa dilakukan lewat penambahan bantuan sosial.

Fahmy mengatakan penerapan sistem berbasis digital justru berpotensi menjauhkan masyarakat miskin tanpa akses internet dari kesempatan untuk mengakses BBM bersubsidi, padahal merekalah yang menjadi sasaran utama dalam program ini.

"Konsumen yang berhak [menerima subsidi] tidak semua memiliki gawai, maka ada kemungkinan justru masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi tidak bisa membeli Pertalite. Ini kan ironis," kata Fahmy Riadhi seperti dilansir BBC News Indonesia.

Di satu sisi, Fahmy mengatakan pembatasan akses terhadap BBM bersubsidi memang perlu dilakukan demi menjaga keuangan negara, apalagi di tengah tingginya disparitas harga di konsumen dengan acuan harga di tingkat global.

Namun, pemerintah perlu memikirkan skema yang lebih sederhana tanpa mengesampingkan kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki akses itu.

Apa antisipasi Pertamina? 

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan bahwa pihaknya akan menyiapkan pusat pendaftaran di sejumlah SPBU untuk mengakomodasi masyarakat yang tidak memiliki akses internet.

Langkah ini juga dinilai lebih masuk akal ketimbang menerapkan skema pembatasan lain, seperti menetapkan skema dua harga.

"Dalam diskusi publik manapun ketika ada dua harga tapi barangnya sama akan lebih sulit dikontrol, penggunaan QR code ini kami menilai adalah yang benar-benar bisa mencatat dengan baik siapa saja yang menggunakan BBM subsidi," papar Irto.

Pengamat dari Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai kebijakan ini adalah langkah awal untuk mengubah pola subsidi BBM yang selama ini berbasis barang, menjadi berbasis orang sehingga diharapkan bisa lebih tepat sasaran.

Kebijakan ini juga dia nilai sebagai strategi pemerintah untuk menghindari kenaikan harga BBM yang berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat.

"Yang jadi masalah, ini sudah memasuki tahun-tahun politik, apakah pemerintah mau memberlakukan kebijakan yang tidak populis? Apakah pemerintah siap dengan isu sosial kalau menaikkan BBM bersubsidi? Kan sepertinya tidak," papar Mamit.

Masyarakat kelas bawah 'belum siap'

Sebagai seorang sopir angkutan kota (angkot) di Kota Manado, Sulawesi Utara, Latinggasa Lapoasa, 53 tahun, mengaku resah dengan kewajiban mendaftarkan diri melalui situs maupun aplikasi milik Pertamina.

Latinggasa merupakan salah satu potret warga yang berhak menerima subsidi, namun tidak memiliki akses internet.

Dia tidak memiliki ponsel pintar, apalagi perangkat komputer. Komunikasi jarak jauh biasanya dia lakukan dengan ponsel yang hanya bisa digunakan untuk fitur telepon dan pesan singkat.

Oleh sebab itu, ketika mendengar rencana pemerintah membuka pendaftaran berbasis digital itu, Latinggasa mengaku bingung bagaimana dia memenuhi kebutuhan BBM-nya untuk mencari nafkah.

"Kalau seperti itu tidak bagus, tidak ada handphone lagi kendalanya. Mau beli handphone pun tidak ada uang. [Komputer] tidak ada, jadi saya merasa sulit," ujar Latinggasa.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Jootye Rynhard Rumansa, yang merupakan seorang pedagang berskala kecil di Manado.

Sama seperti Latinggasa, Jootye juga tidak memiliki akses ke internet. Sebab Jootye merasa kemampuan ekonominya juga tidak mumpuni untuk bisa membeli paket data internet.

"Memang ini satu kebijakan yang oke bagi pemerintah, tapi bagi masyarakat kecil agak mengganggu, apalagi tidak semua punya android dan pandai menggunakannya," ujar Jootye.

"Mungkin sistem begini untuk kedepannya baik, karena sudah zaman makin berkembang. Tapi, masyarakat kelas bawah belum siap," lanjut dia.

Selain itu, hingga satu hari sebelum pendaftaran dibuka di Kota Manado, Jootye mengaku belum mendapatkan cukup informasi dan sosialisasi terkait sistem baru itu.
Timbul masalah baru

Fahmy Riadhi dari UGM menilai bahwa penggunaan instrumen berbasis digital untuk pendataan seperti situs dan aplikasi MyPertamina "berpotensi blunder" dan "akan menimbulkan masalah baru".

Salah satu di antaranya, dapat memicu antrean di SPBU karena prosedur pembeli harus memindai lebih dulu.

Selain itu, tidak seluruh konsumen dan SPBU di Indonesia terhubung dengan internet. Data Asosiasi Penyedia Internet Indonesia (APJII) yang dirilis pada 2022 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 23% masyarakat Indonesia yang sama sekali belum mendapat akses internet.

Menurut Fahmy, orang-orang yang belum memiliki akses internet itu kemungkinan besar juga adalah orang-orang yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

"Yang memverifikasi data Pertamina, hasil verifikasi diberitahu melalui email, semua berbasis IT, padahal konsumen Pertalite dan solar yang iliterasi digital masih banyak juga," papar Fahmy.

"Nanti kalau tidak bisa mendaftar dia tidak bisa beli Pertalite dan solar, padahal harusnya yang beli itu berhak. Ini kan ironis, seharusnya kembalikan ke tujuan pembatasannya itu kan agar subsidinya tepat sasaran," kata Fahmy.

Fahmy menilai pemerintah seharusnya membuat kriteria yang lebih mudah untuk menetapkan penerima Pertalite dan solar bersubsidi, misalnya berlaku untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum.

Dihubungi terpisah, Mamit Setiawan mengingatkan Pertamina untuk memastikan infrastruktur telekomunikasi di lapangan mendukung penerapan kebijakan ini, sehingga seluruh masyarakat yang berhak tidak kesulitan mengakses BBM bersubsidi.

"Bisa dicari solusinya misalnya dengan sistem jemput bola sehingga masyarakat yang kesulitan bisa mendaftar di SPBU yang ada wifi dan ada petugas yang membantu registrasi," tutur Mamit.

Langkah awal ubah pola subsidi

Mamit Setiawan dari Energy Watch mengatakan pembatasan akses BBM bersubsidi "sangat dibutuhkan" agar tidak terlalu membebani keuangan negara.

Sebab pola subsidi di Indonesia selama ini "perlu direformasi" karena berlaku pada barang, bukan pada orang, sehingga tidak tepat sasaran.

Pendataan terhadap konsumen seperti ini, kata dia, diharapkan bisa menggambarkan siapa saja masyarakat yang sebetulnya membutuhkan BBM bersubsidi. Dengan demikian, penyalurannya dapat dikontrol dengan lebih baik.

Mamit menilai kebijakan itu sebagai langkah awal yang baik untuk memperbaiki tata kelola subsidi energi jangka panjang.

Untuk jangka pendek, Mamit menilai penyesuaian harga BBM bersubsidi tetap perlu dilakukan mengingat disparitas harga di konsumen dengan harga keekonomiannya sudah terlalu tinggi.

"Misalnya solar bersubsidi dengan harga sekitar Rp5.000-an itu sebetulnya sudah nggak sehat dan rawan penyelewengan," kata Mamit.

Namun langkah itu sepertinya enggan diambil pemerintah karena "ongkos sosial dan politiknya terlalu mahal".

Mengapa kebijakan ini diberlakukan?

Pertamina Patra Niaga memaparkan bahwa kebijakan ini dilakukan karena tren konsumsi BBM bersubsidi, baik Pertalite maupun solar, berpotensi melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah hingga akhir tahun mendatang.

Menurut catatan Pertamina Patra Niaga, realisasi penyaluran pertalite bersubsidi bisa mencapai 28 juta kiloliter hingga akhir tahun, padahal kuota yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR hanya 23,05 juta kilo liter.

"Hingga year to date, realisasi Pertalite itu telah melebihi kuota sebesar 23%," papar Irto Ginting melalui konferensi pers.

Kondisi serupa juga terjadi pada solar bersubsidi, di mana realisasinya bisa mencapai 17,2 juta kiloliter hingga akhir tahun, padahal kuota subsidinya hanya 14,91 juta.

Kondisi itu membuat pemerintah harus menanggung beban subsidi energi sebesar Rp520 triliun karena semakin tingginya selisih harga yang dikenakan pada konsumen dengan acuan harga minyak dunia yang terus meroket.

Dengan beban finansial yang berat itu, Irto mengatakan bahwa 80% dari total konsumsi BBM bersubsidi justru dinikmati oleh kalangan yang mampu secara ekonomi. Sedangkan 40% masyarakat yang masuk kategori menengah ke bawah hanya menikmati sekitar 20% dari total konsumsi BBM.

Belum lagi, kata Irto, penyelewengan pemanfaatan BBM bersubsidi yang kerap terjadi di lapangan.

Seperti apa mekanismenya?

Irto mengatakan masyarakat perlu mendaftar melalui situs https://subsiditepat.mypertamina.id/ dan mengisi data pribadi serta data kendaraan.

Setelah itu pengguna akan mendapatkan kode QR. Kode QR ini yang harus ditunjukkan oleh konsumen ketika mengisi BBM, sehingga kendaraan yang diisi harus sesuai dengan yang terdata.

Tetapi Irto menegaskan bahwa untuk menunjukkan kode QR itu tidak wajib menggunakan aplikasi MyPertamina.

"Pembayaran juga tidak wajib menggunakan aplikasi MyPertamina, tapi kalau mau pakai aplikasi juga boleh. Nanti akan kita sosialisasikan," kata Irto.

Terkait masyarakat yang tidak memiliki akses internet, Irto menyatakan bahwa akan ada sejumlah SPBU yang bisa menjadi tempat pendaftaran untuk masyarakat dengan didampingi petugas.

Selain itu, Irto juga mengatakan bahwa yang berlaku mulai Jumat (01/07) adalah proses pendaftarannya, sedangkan proses pembelian yang menggunakan kode QR belum berlaku. Uji coba juga baru berlaku bagi kendaraan roda empat, sehingga pengguna kendaraan roda dua belum perlu mendaftar.

Pertamina rencananya akan mengevaluasi sistem pendaftaran ini setelah sebulan diuji coba.

Sedangkan kriteria masyarakat yang berhak menerima Pertalite bersubsidi masih disusun dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2019.

Namun Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengatakan salah satu kriteria penerima yang berhak adalah kendaraan dengan kapasitas di bawah 2.000 cc.

Bagaimana kalau tidak punya smartphone?

Kebijakan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dengan menggunakan aplikasi digital MyPertamina dikritisi pengamat energi dan lembaga konsumen karena bakal merugikan kelompok masyarakat miskin sebagai pihak yang berhak menerima subsidi.

Sebab mayoritas masyarakat miskin masih banyak yang tidak memiliki ponsel pintar alias 'smartphone'.

Karena itulah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyarankan pemerintah agar penggunaan aplikasi hanya untuk pendataan, bukan pembelian.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, mengatakan penggunaan aplikasi My Pertamina untuk pembelian BBM bersubsidi ditujukan agar penyaluran subsidi tepat sasaran.

Adapun masyarakat yang tidak memiliki aplikasi My Pertamina bisa mendaftar melalui laman https://subsiditepat.mypertamina.id/.

Mulai 1 Juli 2022 masyarakat diminta membuat akun dan mendaftarkan diri ke laman MyPertamina untuk membeli BBM bersubsidi.

Langkah ini ditempuh untuk memastikan penyaluran Pertalite dan Solar tepat sasaran dan kuota yang sudah ditetapkan pemerintah tiap tahun tidak jebol.

Nantinya pemilik kendaraan roda empat dengan mesin di bawah 2.000 cc harus terlebih dahulu mendaftar melalui laman https://subsiditepat.mypertamina.id lalu diverifikasi.

"Sementara untuk roda empat ke atas (roda dua belum)," ujar Irto Ginting.

Untuk pembayaran, Pertamina mengharuskan konsumen menggunakan uang elektronik yang ada di beberapa aplikasi atau bank.

Karena masih uji coba, kebijakan ini baru berlaku di 11 kota seperti Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Manado, Kota Yogyakarta dan Kota Sukabumi.

Seorang warga di Kota Padang, Melati, mengaku sudah memahami tata cara pembelian BBM subsidi yang baru. Tapi ia sedikit khawatir jika yang membeli adalah orang tua.

"Kalau buat saya pakai aplikasi seperti ini mudah. Tapi bagi orang tua kayaknya akan kesulitan karena mereka ini tidak melek teknologi," ujar Melati.

Kekhawatiran yang sama juga dikatakan John Nedi.

"Untuk masyarakat perkotaan, sudah biasa membayar non-tunai. Cuma persoalannya bagaimana di masyarakat kelas bawah yang gagap teknologi? Karena nggak semuanya melek teknologi dan punya smartphone yang mendukung sistem ini."

Asisten pengawas SPBU Jati di Kota Padang, Muhamad Fadil, mengatakan pihaknya sudah lama menerapkan pembelian BBM dengan aplikasi MyPertamina.

Sehingga dia menjamin tidak akan mengalami kendala ketika dilakukan uji coba pada 1 Juli nanti.

Namun begitu pemilik kendaraan yang menggunakan aplikasi ini tidak banyak. Perkiraannya dalam sehari tidak lebih dari lima orang.

"Pembeli yang pakai aplikasi ada motor dan mobil. Sehari paling lima."

YLKI usul agar aplikasi MyPertamina jadi alat pendataan

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, mengamini keresahan masyarakat itu.

Kata dia, masyarakat yang tinggal di pedalaman dan jauh dari jangkauan internet bakal kesulitan menerapkan kebijakan ini. Padahal mereka termasuk pihak yang berhak menerima BBM bersubsidi.

"Kendalanya soal literasi digital, jangkauan jaringan internet, dan apakah semua masyarakat punya smartphone dan paket data internet untuk bisa menggunakan aplikasi itu?" tutur Sudaryatmo.

Kalau tujuan Pertamina supaya penerima BBM subsidi tepat sasaran dan kuota BBM subsidi tidak jebol, maka YLKI mengusulkan agar aplikasi MyPertamina cukup dijadikan alat pendataan, bukan pembelian.

Sebab yang menjadi akar masalah selama bertahun-tahun adalah penyaluran BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.

Studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM di Indonesia tidak tepat sasaran.

Data itu kemudian diperkuat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2020 yang menemukan 80% konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati masyarakat mampu.

Catatan pemerintah pula, penyaluran BBM subsidi jenis Pertalite per Februari 2022 sudah melebihi kuota yakni sebesar 4,258 juta kilo liter.

Untuk bahan bakar jenis solar, pemakaiannya juga mengalami kenaikan. Per April 2022 sudah melebihi 12% dari kuota yang sudah ditetapkan.

"YLKI mengusulkan aplikasi ini sebagai akses untuk mendaftar saja. Jadi yang penting orang dapat BBM subsidi punya barcode dan ditunjukkan ke petugas SPBU."

"Dengan barcode nanti petugas cek data pemilik kendaraan di komputernya dengan fisik kendaraan apakah cocok atau tidak. Kalau tidak, ditolak."

"Bayarnya nggak perlu pakai uang elektronik. Bisa tunai."

Adapun bagi masyarakat yang tidak memiliki smartphone, SPBU bisa memfasilitasi proses pendaftaran.

Sehingga menurut Sudaryatmo, cara itu lebih masuk akal karena sejalan dengan tujuan utama Pertamina.

"Ini lebih ke soal pendataan penerima BBM subsidi."

Bagaimana tanggapan Pertamina?

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, mengatakan penggunaan aplikasi My Pertamina untuk pembelian BBM bersubsidi ditujukan agar penyaluran subsidi tepat sasaran.

Kata dia, Pertalite dan Solar masih banyak dipakai pemilik mobil mewah. 

"Inilah yang kami harapkan, Pertamina dapat mengenali siapa saja konsumen Pertalite dan Solar, sehingga bisa menjadi acuan dalam membuat program ataupun kebijakan terkait subsidi energi bersama pemerintah sekaligus melindungi masyarakat yang saat ini berhak menikmati bahan bakar bersubsidi," kata Alfian dalam siaran pers Senin (27/6).

Alfian juga menjelaskan masyarakat yang tidak memiliki aplikasi My Pertamina bisa mendaftar melalui laman https://subsiditepat.mypertamina.id/ untuk kemudian menunggu apakah kendaraan dan identitasnya terkonfirmasi sebagai pengguna yang terdaftar.

Pengguna yang sudah mendaftar, nantinya akan mendapatkan notifikasi melalui surat elektronik yang didaftarkan.

"Pengguna terdaftar akan mendapatkan kode QR khusus yang menunjukkan bahwa data mereka telah cocok dan dapat membeli Pertalite dan Solar."

Jika seluruh data cocok, Pertamina menjamin konsumen bisa melakukan transaksi di SPBU dan semua transaksi itu akan tercatat secara digital. (*)

Tags : Minyak gas, Ekonomi, Aplikasi, Energi, Indonesia, Telepon selular dan telepon pintar, Kemiskinan, Sorotan,