Nusantara   2023/05/20 10:10 WIB

Peremajaan Sawit Rakyat Terus Digulirkan, Apkasindo: 'Terkesan Lambat yang Masih Dihadapkan Soal Administrasi - Sinkronisasi'

Peremajaan Sawit Rakyat Terus Digulirkan, Apkasindo: 'Terkesan Lambat yang Masih Dihadapkan Soal Administrasi - Sinkronisasi'
Dr. Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP, CAPO

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Petani kelapa sawit berharap ada keseriusan pemerintah demi tercapainya target keberlanjutan dalam pengembangan sawit nasional.

Selama ini, upaya menuju hal itu, termasuk lewat peremajaan sawit rakyat, kerap terkendala, seperti persoalan administrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas kementerian yang diharapkan dapat berjalan.

Bagi petani sawit, yang utama saat ini ialah replanting (peremajaan) beserta sarana dan prasaran; keberlanjutan; serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

Mengenai replanting lewat program peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sangatlah lambat, baru 22 persen.

”Namun, bukan karena harga tandan buah segar naik. Masalanya, petani yang mengajukan tak bisa ikut karena ada dalam kawasan hutan,” kata Dr. Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dalam pembicaraannya, Sabtu.

Terkait persoalan administrasi lahan ini, Gulat berharap pemerintah, baik Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Pertanahan Nasional bersinergi.

Dengan demikian, berbagai permasalahan terkait lahan tersebut dapat teratasi sehingga pengembangan sawit rakyat bisa berkelanjutan.

Sementara itu, mengenai sarana dan prasarana, Gulat berharap peran lebih BPDPKS.

”Sejak 2016 selalu dianggarkan, tetapi baru pada 2021 cair, itu pun hanya Rp 1,4 miliar. Selama ini, BPDPKS selalu mengatakan hanya menjadi juru bayar berdasarkan rekomendasi teknis dari Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian,” ujarnya.

Mengenai Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), menurut Gulat, selama ini juga kerap bermasalah.

Petani wajib ISPO, dengan batas pada 2025. Ini sudah di depan mata, tetapi masih kerap bermasalah dalam tata kelola pengurusannya.

Menurut dia, menuju keberlanjutan, bukan hanya dengan mendorong petani bersertifikat (ISPO).

”Namun, bantu petani dengan melengkapi persyaratan menuju ISPO. Dalam UU Cipta Kerja, petani-petani agar mengukur di dalam kawasan hutan. Namun, itu berbayar. Bisa mencapai Rp 400.000 per hektar. Petani tidak ada uang,” kata Gulat.

Gulat mengemukakan, segala urusan terkait keberlanjutan kelapa sawit mestinya bisa tertangani dengan baik oleh pemerintah.

Ia kecewa karena posisi Dirjen Perkebunan Sawit definitif kosong sudah sekitar setahun. ”Padahal, sekarang perekonomian ini dari perkebunan, sawit. Komoditas ini harus lebih diperhatikan,” ucapnya.

Di tengah harapan akan keseriusan pemerintah dalam pembenahan tata kelola perkebunan sawit, DPR dan Kementan belum sepenuhnya bersepakat terkait Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

Pada Permentan tersebut, terdapat perubahan mengenai bentuk peremajaan kelapa sawit dengan pola kemitraan yang dikelola BPDPKS.

Dengan adanya peraturan itu, kelompok tani bisa langsung mengajukan pengusulan peremajaan kelapa sawit langsung ke BPDPKS, dengan pelibatan mitra surveyor. Dengan aturan itu, rekomendasi teknis dari Ditjen Perkebunan Kementan tidak lagi diperlukan.

Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono mengatakan, peraturan itu hanya menambah jalur baru. Namun, pedoman dari Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian tetap diberlakukan.

”Dengan kemitraan tersebut, kami masih tetap memberi rambu-rambu pedoman teknis. Mereka (BPDPKS) ingin percepatan, tetapi kami pun bertahan (tetap menggunakan rekomendasi teknis). Namun, keputusan komite pengarah (BPDPKS) akhirnya seperti itu untuk akselerasi. Namun, itu tetap di bawah pedoman teknis tetap di bawah Ditjen Perkebunan,” ujarnya.

Mendengar penjelasan itu, Ketua Komisi IV dari Fraksi PDI-P, Sudin, menduga bahwa selama ini keberadaan Ditjen Perkebunan justru menghambat dalam percepatan PSR. Namun, ia tetap menekankan bahwa Ditjen Perkebunan tetap diperlukan dalam mengeluarkan rekomendasi teknis karena lebih paham situasi di lapangan.

”Yang paling mengerti teknis adalah Kementan, dalam hal ini Ditjen Perkebunan. (Rapat sebelumnya) Menteri Pertanian pun sudah memutuskan akan membereskan (evaluasi peraturan untuk dicabut). Dua bulan lagi kita lihat saja,” ujar Sudin.

Dalam simpulan rapat pada Senin, disebutkan Komisi IV DPR meminta Kementan dalam waktu 2 bulan untuk mencabut Permentan Nomor 3 Tahun 2022. Ketentuan pun agar dikembalikan lagi pada peraturan menteri pertanian sebelumnya.

Dalam beberapa rapat terakhir, sejumlah anggota DPR, termasuk Komisi XI, juga menyoroti timpangnya insentif antara peremajaan sawit dan insentif untuk biodiesel. Padahal, program peremajaan sawit sangat terkait dengan kesejahteraan petani sawit di Indonesia.

Berdasarkan data BPDPKS, pada 2021, insentif untuk peremajaan sawit Rp 1,34 triliun atau menurun dibanding realisasi di 2020 yang sebesar Rp 2,7 triliun. Sementara itu, insentif biodiesel pada 2021 sebesar Rp 51,9 triliun, melonjak dari tahun sebelumnya Rp 28 triliun. (*)

Tags : ekonomi, kelapa sawit, fenomena, petani kelapa sawit, sawit rakyat, petani sawit, peremajaan kelapa sawit, psr,