Headline Sorotan   2021/09/09 17:50 WIB

Persoalan Mental Murid Selama Sekolah di Rumah, Mulai dari 'Stres, Mudah Marah, Hingga Dugaan Bunuh Diri'

Persoalan Mental Murid Selama Sekolah di Rumah, Mulai dari 'Stres, Mudah Marah, Hingga Dugaan Bunuh Diri'
Situasi belajar tatap muka di sekolah. Hingga saat ini, masih banyak sekolah yang menerapkan belajar jarak jauh karena pandemi Covid-19. (FOTO ANTARA)

"Bosan, kesepian, hingga stres dirasakan sejumlah pelajar selama proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pada kasus-kasus ekstrem, depresi anak selama pandemi diduga berujung pada kasus bunuh diri, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)"

agi Lia, 16, siswa kelas XI di sekolah swasta di Gowa, Sulawesi Selatan, tak banyak yang diingatnya dari hari terakhirnya bersekolah secara tatap muka pada Maret tahun lalu. "Seingatku, terakhir sekolah nggak ada ji yang berkesan. Cuma ke sekolah, belajar sampai sore tanpa pegang handphone, terus pulang sekolah barengan sama teman," kata Lia.

Sebagaimana anak seusianya, Lia sempat merasa senang bahwa sekolah diliburkan, meski juga merasa was-was. "Besoknya baru dapat notif WA (WhatsApp) dari guru kalau sekolah diliburkan dua minggu. Lebih ke khawatir soalnya awal corona pada panik, tapi senang juga karena libur dua minggu nggak ada tugas-tugas. Eh… tau-taunya setahun liburnya."

Kini, hari-hari biasa di sekolah pun terasa begitu berharga baginya, yang hampir setahun ini harus belajar jarak jauh. "Banyak yang dikangenin. Kangen masa-masa kerja kelompok di kelas, berorganisasi, kangen juga jam istirahat, ke kantin, nyanyi-nyanyi bareng."

Lia, yang bergabung dengan English Club di sekolah mengatakan sering merasa sedih, kesepian, dan putus asa karena harus belajar sendiri di rumah. Menggunakan kata yang sering digunakan kaum Z, ia menggambarkan perasaannya "random banget".  Membangkitkan semangat belajar juga menjadi tantangan sendiri. "Soal merasa stres kadang ada, sampai down, bahkan sampe pasrah, sudah nggak mau kerjain apa-apa. Nilai anjlok pun nggak peduli lagi. Padahal, sebelum pandemi, ada tugas dikit aja langsung kerjain. Jujur, tingkat kemalasanku meningkat. Kalau sudah stres, seharian nggak kerjain apa-apa. Walau begitu, alhamdulillah sampai sekarang nilaiku aman. Walau kebanyakan [tugas dikumpulkan] sudah lewat tenggat," ujarnya.

'Emosi naik turun'

Lia bukan satu-satunya pelajar yang terdampak akibat pandemi Covid-19. Menurut survei yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu, sebanyak 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa "kenormalan baru".

Data yang diambil dengan mensurvei anak-anak di 34 provinsi itu juga menunjukkan presentasi anak perempuan, dengan gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi, lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Gejala emosi yang paling banyak dirasakan responden adalah sedih dan mudah marah.  Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia responden, kemungkinan mengalami gejala depresi semakin tinggi.

Sebanyak 93% yang menunjukkan gejala depresi berada pada rentang 14-18 tahun, sementara 7% di rentang usia 10-13 tahun. Desy Lekahena, seorang ibu dari putri yang berusia 12 tahun di Masohi, Maluku Tengah, memperhatikan perubahan pada anaknya sejak ia belajar daring di rumah. "Saya lihat dia sudah bosan, dia sampai bilang 'ayo ma, keluar jalan-jalan'. Saya cuma kasih pengertian kondisi kayak gini belum bisa bersosialisasi. Jadi sangat prihatin meliat kondisi anak saya," ujarnya.

"Mungkin karena kurang bersosialisasi, terkurung di rumah, kadang-kadang dia jadi temperamen karena ada tekanan belajar. Emosi naik turun, nggak seperti pas dia aktif di sekolah," kata Desy.

Sementara, di Kabupaten Sinjai, Kamal, ayah seorang anak laki-laki berusia 13 tahun mengatakan anaknya sering mengeluh dan bertanya kapan sekolah akan dibuka. "Pernah dia menyampaikan ke kami selaku orang tua, kapan sih sekolahnya itu dibuka karena [dia bilang] kalau pembelajaran internet seperti ini susah, apalagi jaringan susah," ujar Kamal dirilis BBC News Indonesia.

Pasalnya untuk belajar, puteranya itu harus mendaki ke puncak sekitar 200 meter dari rumah untuk mencari jaringan internet yang bagus. Kamal mengaku prihatin dengan kondisi ini karena ia melihat semangat belajar anaknya yang menurun. "Kondisi sekarang memang agak memprihatinkan, mempengaruhi mental anak," tambah Kemal.

Kasus kematian anak selama PJJ

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah kasus kematian yang diduga terkait dengan depresi anak selama pembelajaran jarak jauh. Pada November tahun 2020, KPAI mencatat ada seorang siswa kelas 12 di sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang, yang dirawat di salah satu rumah sakit, lalu dirujuk ke RSJ Grogol, Jakarta Barat, karena diduga mengalami depresi. 

Menurut pernyataan KPAI, keluarga menduga anak itu depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19. KPAI juga mencatat seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan, dan seorang siswa MTs di Tarakan, Kalimantan Utara, yang bunuh diri karena diduga depresi selama pembelajaran jarak jauh. Terkait kasus siswa Mts Alkhairaat Tarakan yang bunuh diri pada bulan Oktober 2020, polisi mengatakan siswa yang disebut pendiam itu pernah mengeluh karena banyak tugas dari sekolah, sebagaimana dirilis Antara.

Namun, kemudian pihak sekolah membantah tugas menjadi alasan anak itu bunuh diri. Kepala Mts Alkhairaat Tarakan, Mahmud Shaleh, mengatakan siswa itu bunuh diri karena "alasan keluarga", yakni ia sempat dimarahi ibunya karena terlalu sering bermain gim daring dan menonton animasi selama pembelajaran jarak jauh. Ibunya pun sempat mengancam akan meninggalkannya. "Kalau sekolah fleksibel. Kalau tugas-tugas bebas saja [kapan dikumpulkan] selama pandemi," kata Mahmud.

Terkait kasus di Gowa, meski sebelumnya polisi menduga motif bunuh diri adalah terkait dengan pembelajaran daring, dinas pendidikan setempat kemudian membantah dan menduga adanya motif percintaan, seperti dirilis Kompas.com.

Meski dibantah, komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan bahwa faktor bunuh diri seorang anak "tidak pernah tunggal". "Kasus bunuh diri ini memang dibantah-bantah. Walau dibantah, sebenarnya kan ada indikator PJJ menjadi penyebab," kata Retno.

Ia juga menyayangkan kasus bunuh diri anak seringkali dianggap hanya masalah anak bersangkutan. "Ketika mengatasi masalah psikologis anak, perlu diingat tidak semua anak sama. Ada anak-anak yang bisa melewati, ada yang tak bisa memecahkan masalah yang ada. "Saya menganggap jangan-jangan yang punya gangguan kesehatan mental itu silent (diam) dan nggak ketahuan, jangan-jangan ini masalah gunung es." 

Ia mengatakan ketika belajar di rumah, anak-anak dibatasi secara sosial, padahal sebagai anak mereka perlu untuk bermain dan belajar. Kondisi itu, yang diperparah faktor lain, seperti ketidakmampuan anak mengikuti pelajaran, hingga kondisi ekonomi keluarga yang sulit karena pandemi Covid-19, membuat beberapa anak mencari pelarian. Bagi yang mampu, mereka bisa saja mencari pelarian ke gim-gim daring, hal yang disebut Retno bisa berujung pada 'kecanduan'.

Sementara, ada anak yang mengambil jalan untuk menyakiti diri sendiri, yakni dengan melakukan bunuh diri. "Satu anak meninggal gara-gara PJJ itu sudah masalah, apalagi lebih dari satu," ujarnya menambahkan sangat penting bagi guru-guru bimbingan konseling di sekolah untuk aktif memantau kesehatan mental anak-anak selama pandemi.

Pentingnya teman sebaya

Mengomentari tentang dampak psikologis remaja saat belajar di rumah, psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf mengutip teori psikososial yang mengatakan bahwa bagi kalangan remaja, yang paling bermakna bukanlah orang tua, melainkan peers (teman sebaya). "Saat ini dia (anak remaja) dipaksa untuk bertumbuh tidak sesuai dengan teori psikososial, jadi bisa dibayangkan. Dia tidak mengalami proses yang normal itu tadi," kata Nova. 

Untuk menghadapi itu, Nova mengatakan orang tua perlu untuk memahami generasi Z dengan karakter mereka, di antaranya yang sangat aktif di media sosial. Menurut Nova, orang tua juga perlu membuka ruang komunikasi dengan anak. "Ditanya anak maunya apa. Tidak bisa lagi mendikte. Anak sekarang tak bisa lagi didikte," kata Nova.

Jika melihat perubahan perilaku anak, Nova juga menyarankan orang tua tak menyangkal, tapi mencari bantuan profesional. Untuk bantuan konsultasi, ia mengatakan orang tua bisa mencoba layanan yang disediakan gratis oleh Kemenkes yakni Sehat Pedia. Orang tua, katanya, bisa juga memanfaatkan layanan kesehatan jiwa yang disediakan BPJS.

Apa dampak jangka panjang bagi anak?

Pengajar di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Dr. Endang Widyorini, mengatakan dalam jangka panjang, anak dan remaja bisa kehilangan keahlian-keahlian bersosialisasi karena sudah hampir setahun belajar di rumah. "Ini termasuk bagaimana pengelolaan emosi, juga hubungan lawan jenis. Ini tidak harus artinya dalam hal pacaran. Tapi menjalin hubungan itu pasti berbeda jika dibandingkan dengan yang sejenis. Itu nggak ada kesempatan. Ini suatu kerugian untuk mereka," kata Endang.

Endang mengatakannya ke depannya dampak pada masing-masing anak akan sangat bergantung pada kemampuan adaptasi mereka. Sementara itu, ia menyarankan sekolah-sekolah untuk membuat tugas kelompok demi menjaga interaksi sosial anak. "Meski secara daring, setidaknya mereka bertatap muka dengan temannya. Memang tidak sempurna, tapi setidaknya mereka berinteraksi dengan teman-temannya," ujar Endang. 

Kembali ke Lia, siswi kelas XI di Gowa, Sulawesi Selatan, ia mengatakan sangat berharap pandemi cepat berlalu sehingga bisa kembali sekolah. Untuk sementara waktu, ia mengatakan berupaya menjaga kondisi mentalnya dengan menjalankan hobi dan melalui kebosanan. "Jadi cara saya saya ngilangin stres itu dengan ambil metime, dengan dengerin lagu-lagu, nonton drakor (drama Korea), dan sesekali keluar main dengan temen, tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan," katanya. (*)

Tags : Kaum muda, Kesehatan mental, Virus Corona ,