Headline Artikel   2021/05/31 17:7 WIB

Perubahan Iklim: 'Jika Terus Tak Peduli dengan Lingkungan', Apakah Kehidupan di Bumi akan Segera Punah?

Perubahan Iklim: 'Jika Terus Tak Peduli dengan Lingkungan', Apakah Kehidupan di Bumi akan Segera Punah?
"Jika kita terus berperilaku seperti ini, kita mungkin tidak akan bertahan lama'.

KECENDERUNGAN konsumsi manusia yang tampaknya tak pernah terpuaskan sedang mengubah planet dan kehidupan kita. Namun, dapatkah kita mengubah perilaku? Di antara banyak risiko bencana global yang diketahui manusia, beberapa sering tampil dalam film-film. Dampak asteroid, letusan gunung berapi, dan perubahan iklim semuanya sering jadi tema film Hollywood.

Kejadian seperti itu telah menimbulkan kerugian yang menghancurkan pada kehidupan planet kita di masa lalu. Namun, yang tidak diketahui banyak orang, ancaman global baru yang mampu menghancurkan kehidupan itu muncul dalam bayang-bayang kehidupan kita sehari-hari. Bencana masa kini didorong oleh keinginan besar manusia untuk konsumsi, dan secara paradoks, itu adalah konsekuensi dari kehidupan manusia itu sendiri.

Lihat saja ke sekeliling - Anda dikelilingi oleh benda-benda material - entah barang itu benar-benar Anda butuhkan atau tidak. Untuk setiap barang yang kita gunakan ini, ada konsekuensi global yang berkembang, yang perlahan-lahan melucuti kesehatan emosional manusia, menguras sumber daya Bumi, dan merusak habitat planet kita. Jika dibiarkan, apakah ada risiko bahwa konsumsi manusia pada akhirnya dapat mengubah Bumi menjadi dunia yang tidak bisa dihuni? Apakah kita memiliki keinginan untuk berhenti sebelum terlambat?

Spesies kita menciptakan begitu banyak materi sehingga mengganggu ruang makhluk lain.
 

Massa antropogenik

Sebuah tim peneliti dari Weizmann Institute of Sciences, Israel, baru-baru ini menerbitkan sebuah penelitian yang membandingkan massa bangunan atau benda buatan manusia - alias massa antropogenik - dengan semua massa makhluk hidup lainnya, atau biomassa, di dunia. Mereka mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, apa yang dibuat manusia, melampaui massa makhluk hidup lainnya.

Studi Institut Weizmann memperkirakan bahwa rata-rata, setiap orang di dunia sekarang menghasilkan lebih banyak massa antropogenik daripada berat badannya setiap minggu. "Penemuan bahwa massa antropogenik - benda buatan manusia - sekarang seberat semua makhluk hidup, dan fakta bahwa massa itu terus menumpuk dengan cepat, memberikan perspektif lain yang jelas tentang bagaimana manusia sekarang menjadi pemain utama dalam membentuk wajah planet ini," kata Profesor Ron Milo, yang melakukan penelitian ini dirilis BBC menambahkan "Kehidupan di Bumi dipengaruhi secara kuantitatif oleh tindakan manusia."

Hasil penelitian ini tidak mengherankan bagi banyak orang yang menganggap bahwa manusia telah mengantarkan zaman geologi baru, yang disebut Antroposen - zaman manusia, istilah yang dipopulerkan oleh Peraih Nobel dan ahli kimia Paul Crutzen. Meskipun awal pasti dari era ini masih bisa diperdebatkan, tidak dapat disangkal bahwa manusia telah menjadi kekuatan dominan di planet ini, mengubah setiap bentuk kehidupan lainnya melalui tindakan kita.

Skala dan ukuran materi antropogenik mengkhawatirkan

Ambil contoh plastik - kelahiran era plastik modern baru terjadi pada tahun 1907, tetapi saat ini kita sudah memproduksi 300 juta ton plastik setiap tahun. Lebih jauh, kesadaran bahwa setelah air, beton adalah zat yang paling banyak digunakan di bumi, sulit dipahami. Teknik perekayasaan kebumian (geoengineering) besar-besaran yang diprakarsai oleh manusia mengalami peningkatan cepat, ketika bahan seperti beton tersedia secara luas.

Kedua bahan ini merupakan komponen utama dari pertumbuhan massa antropogenik. Bahkan petualangan manusia yang relatif baru dalam penjelajahan ruang angkasa, yang dimulai sekitar 60 tahun yang lalu, memicu masalah sampah luar angkasa yang membawa bencana. Bersamaan dengan ini, kita tak berdaya menghadapi es yang mencair di kutub dan suhu global yang semakin panas.

Deforestasi global telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir

Jadi, mengapa ini terjadi? Apakah manusia secara genetik cenderung materialistis sampai pada titik kehancuran kita sendiri? Apakah akumulasi materi antropogenik hanyalah ukuran dari tingkat pemusnahan manusia? Ataukah alam akan memperlengkapi manusia untuk mengatasi masalah ini? Ini adalah pertanyaan yang jawabannya sangat tidak pasti.
 

Seleksi alam

Meskipun ada bukti bahwa materialisme dipelajari dan dibentuk oleh budaya, ada beberapa yang berpendapat bahwa seleksi alam mungkin memengaruhi spesies kita dengan keinginan untuk mengumpulkan barang. Barang-barang dapat memberi kita rasa aman dan status, yang pasti memainkan peran yang lebih penting di awal sejarah manusia. Manusia telah dikondisikan untuk percaya bahwa menciptakan sesuatu yang baru adalah tujuan hidup yang bermakna.

Entah bagaimana, menciptakan barang baru telah menjadi kata yang suci dalam jiwa kolektif manusia. Hal ini disebut dalam cerita kuno hingga penelitian modern. Pada kitab suci Kristen misalnya, disebutkan, "Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan Bumi…"

Manusia dikondisikan untuk percaya bahwa menciptakan sesuatu yang baru adalah tujuan hidup yang bermakna dan satu-satunya cara untuk memajukan ambisi mereka. Namun, kita lupa memberi batas. Teka-teki ini juga belum bisa dipecahkan oleh sains. Mengandalkan solusi teknologi ramah lingkungan saja sudah salah karena fokusnya masih didasarkan pada hal-hal baru.

Sekalipun kita bisa mengganti semua kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik, misalnya, kota-kota di dunia sudah berjuang untuk membatasi ruang untuk mobil. Selain itu, kendaraan listrik juga meninggalkan jejak karbon akibat proses pembuatannya. "Akumulasi massa antropogenik terkait dengan perkembangan perkotaan, bersama dengan akibat lingkungan yang terkait," kata Emily Elhacham, salah satu penulis studi Weizmann Institute of Sciences.

"Saya berharap peningkatan kesadaran akan mendorong perubahan perilaku yang akan memungkinkan penemuan titik keseimbangan yang lebih baik. Setiap langkah ke arah ini akan memiliki efek positif."

Apa yang sehari-hari kita pakai ini menyumbang sekitar 3,7% dari emisi rumah kaca global dan diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2025. Sangat mungkin untuk mengurangi emisi dengan mengirim satu email yang lebih sedikit atau menghindari berbagi foto yang tidak perlu di media sosial. Ini mungkin tampak seperti pengurangan yang tidak signifikan dari satu individu, tetapi coba pikirkan jika miliaran tindakan kecil tersebut dilakukan banyak orang bersama-sama.

Perusahaan teknologi besar mengklaim mereka akan ramah lingkungan atau menetapkan tujuan untuk netralitas karbon, tetapi jarang mendorong orang untuk menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial atau memesan lebih sedikit produk. Sebaliknya, model periklanan dan pemasaran menyampaikan pesan kuat: ciptakan dan konsumsi lebih banyak. Materialisme yang irasional ini tertanam begitu dalam dengan tradisi dan simbol budaya juga. Di Amerika Serikat, Thanksgiving diikuti oleh karnaval lain yang disebut Black Friday. Selama perayaan ini, antrean panjang pelanggan datang ke mal dan sering terluka atau terinjak-injak karenanya.

Perusahaan teknologi besar mengklaim mereka akan ramah lingkungan atau menetapkan tujuan untuk netralitas karbon, tapi tetap mendorong konsumsi besar-besaran.

Berharap pada teknologi

Di era Antroposen, manusia mungkin merasa berhak untuk menggantungkan harapan pada teknologi untuk memperbaiki masalah apa pun, sehingga mereka dapat terus melakukan apa yang mereka lakukan. Untuk mengurangi plasik, misalnya, ada inovasi seperti cangkir kopi yang dapat terurai, tas yang bisa dipakai berulang kali, dan sedotan yang dapat digunakan kembali.

Namun, kita tetap memerlukan pendekatan keberlanjutan yang berbeda untuk mengatasi konsumerisme besar-besaran kita. Covid-19 telah mengingatkan kita tentang betapa rapuh dan tidak siapnya peradaban manusia. Pandemi juga mengajarkan kita bahwa perilaku manusia dapat dimodifikasi dengan tindakan kecil seperti memakai masker untuk mengurangi intensitas tragedi global.

Pendekatan pasif perkembangbiakan massa antropogenik bukan semata-mata karena kurangnya pengetahuan tentang dampaknya, tetapi secara umum juga berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk menepis fakta-fakta yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Manusia secara alami cenderung mengabaikan masalah yang nampak jauh dari kehidupan sehari-hari atau hal-hal yang mengurangi kenyamanan mereka.

Selain itu, manusia mungkin berpikir alam dapat melengkapi organisme untuk bertahan hidup, apa pun yang mereka lakukan. Memang benar bahwa evolusi gaya Darwin yang lambat dan bertahap melalui seleksi alam sering kali terjadi di lingkungan tertentu yang sangat tercemar. Pada 2016, tim ilmuwan di Jepang menemukan jenis bakteri dari fasilitas daur ulang botol yang dapat mengurai dan memetabolisme plastik.

Di sisi lain, temuan ini menunjukkan cara-cara manusia mengubah kehidupan di planet ini. Adaptasi organisme dalam menanggapi polutan merupakan fenomena yang kompleks. "Dalam jangka panjang, peningkatan massa antropogenik yang berkelanjutan akan menyebabkan hilangnya habitat melalui dislokasi fisik dan perubahan habitat, seperti kontaminasi polutan yang dihasilkan dari produksi dan pembuangan massa antropogenik," kata Alessandra Loria, ahli biologi di McGill University, Kanada, yang menjadi penulis utama studi ini.

Penelitian menunjukkan bahwa efek negatif yang disebabkan oleh polusi seringkali memburuk selama beberapa generasi, meskipun mekanisme penanggulangannya berbeda-beda pada setiap spesies. Menipisnya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati secara cepat bukanlah hal evolusioner normal yang terjadi di alam. Sementara beberapa spesies pasti dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan kita, manusia bukan lagi sekadar spesies yang mengikuti evolusi Darwin, tetapi kekuatan yang jauh lebih besar yang datang untuk mendorong evolusi di planet ini.

Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk sebagian besar spesies, adaptasi evolusioner tidak akan cukup cepat untuk menahan efek perubahan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Dan spesies kita sendiri tidak terkecuali. Meskipun tidak ada bukti bahwa kita akan menghancurkan diri kita sendiri, ada indikasi yang jelas bahwa kita mengabaikan dampak yang mungkin terjadi.

Misalnya, beberapa kepunahan massal dalam sejarah bumi terkait dengan pengasaman lautan. Lautan menyerap sekitar 30% karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer, yang pada gilirannya meningkatkan keasaman laut. Lautan mungkin menjadi lebih asam, lebih cepat 300 juta tahun terakhir, terutama karena aktivitas manusia. "Kehidupan manusia akan terpengaruh secara negatif karena hilangnya banyak manfaat keanekaragaman hayati," kata Loria.

'Kalah dalam perlombaan evolusi'

Sejak revolusi pertanian pertama, manusia telah mengurangi separuh biomassa tanaman.

Dampak manusia terhadap planet ini jauh lebih dalam daripada jejak karbon atau pemanasan global. Efek materi antropogenik akan mengambil alih identitas Bumi dan kehidupannya. Menghadapi hal ini, manusia mungkin kalah dalam perlombaan evolusi. Menghilangkan bahan seperti beton atau plastik atau menggantinya dengan alternatif, tidak akan mengatasi masalah mendasar, yakni sikap manusia dan nafsu materialisme manusia yang tinggi.

Di sinilah tepatnya materialisme dapat dengan mulus berubah menjadi faktor risiko yang tidak diketahui dalam bencana global. Dengan tidak adanya perisai evolusi yang sepenuhnya aman, kita dapat bergantung pada kecerdasan kita untuk bertahan hidup. Namun demikian, seperti yang dikatakan Abraham Loeb, profesor sains di Universitas Harvard dan astronom yang mencari peradaban kosmik yang mati, "tanda kecerdasan adalah kemampuan untuk mempromosikan masa depan yang lebih baik dan jika kita terus berperilaku seperti ini, kita mungkin tidak akan bertahan lama," katanya.

"Di sisi lain, tindakan kita bisa menjadi sumber kebanggaan bagi keturunan kita, jika mereka mempertahankan peradaban yang cukup cerdas untuk bertahan selama berabad-abad yang akan datang".

Kisah Bhasmasura dalam Mitologi Hindu menawarkan paralel yang menakutkan terkait dampak materialisme. Sebagai pemuja Dewa Siwa, Bhasmasura mendapat anugerah dari Siwa, yang membuatnya mampu untuk mengubah siapa pun menjadi abu hanya dengan sentuhan di kepala. Segera setelah mendapatkan kemampuan magis ini, dia mencoba mengujinya pada Siwa sendiri. Siwa berhasil melarikan diri, lanjut ceritanya. Tetapi manusia mungkin tidak cukup beruntung untuk melarikan diri dari tindakan mereka sendiri. Kecuali, kita bisa menawarkan visi berbeda yang berakar pada pengurangan konsumsi. (*)

Tags : Perubahan iklim, Lingkungan, Tak Peduli dengan Lingkungan, Ancaman Kehidupan di Bumi,