News   2023/10/07 21:35 WIB

Perubahan iklim: KNPI 'Gugat' Kapolda Riau - 'Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Buat Saya Sangat Cemas Tentang Masa Depan'

Perubahan iklim: KNPI 'Gugat' Kapolda Riau - 'Kebakaran Hutan dan Kabut Asap Buat Saya Sangat Cemas Tentang Masa Depan'
Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - "Yang saya rasakan adalah takut ... takut kabut asap seperti tempo hari itu [2015] yang sudah seperti kiamat," kata Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] I Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau ini dalam laporannya melalui Whats App [WA], Sabtu (7/10/2023).

Larshen Yunus, ketika dia terkenang gelombang panas ekstrem dan kebakaran yang melanda Riau pada 2015, semua orang khawatir dengan cemas sangat tinggi yang menyisakan penderitaan pada anak-anak dan orang tua [sesak nafas] juga mungkin sudah banyak yang berakhir nyawa melayang.

"Kebakaran hutan membuat saya sangat cemas tentang masa depan seperti apa yang akan saya jalani nanti, jika ini tidak segera ditangani."

Larshen yang juga Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana berusia 38 tahun itu, bersama keluarganya, dan adik perempuannya, istri dan kedua anaknya masih kecil kecil tinggal dirumah juga mengkhawatirkan kabut asap ini, sehingga dirinya juga mengajukan 'gugatan' terhadap pemerintah khususnya Kapolda Riau, termasuk seluruh anggota legislatif Riau.

Mereka menuding Provinsi yang dikerubungi kebun sawit tersebut tidak mengambil tindakan yang cukup terhadap perubahan iklim dan gagal mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencapai target Perjanjian Paris yang membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, "itu inti pokok masalahnya," sebutnya.

Sebelumnya, kata dia, Komitmen Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo M.Si terkait Penanganan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) bahkan sudah terlontar didepan publik, 'tetapi kami kembali mempertanyakan komitmen ini," katanya.

Menurutnya, wilayah Provinsi Riau sendiri bencana tersebut sudah seperti musim-musiman.

Padahal, dalam beberapa kesempatan Kapolri tegaskan, bahwa akan ada sanksi berat berupa pencopotan maupun non job bagi para Kasatwil yang daerahnya terbukti kembali terjadi Karhutla.

"Untuk Riau sendiri, semenjak Mapolda dipimpin oleh Irjen Pol Mohd Iqbal S.IK MH, mayoritas hanya berkutat pada kegiatan seremonial dan pencitraan saja. Jadi buktikan ini bisa selesai," ungkapnya.

Sosok Kapolda Riau, Irjen Pol M Iqbal baru-baru ini ditabalkan sebagai Datuk oleh Tokoh Masyarakat Melayu Riau, spanduk dan papan balihonya juga tersebar luas disentaro bumi lancang kuning. Tetapi satu sisi, aspek penegakan hukum justru terlihat mundur, terutama terkait dengan Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) yakni berkaitan dengan pencegahan Karhutla di seluruh Wilayah Provinsi Riau.

"Ini akibat kurang tegasnya Aparat Penegak Hukum (APH) bahkan cenderung memble, para mafia hutan ataupun lahan tak khawatir lagi dengan membuka akses kebunnya melalui cara-cara membakar," katanya.

"Pelaku seperti itu baiknya ditangkap, jangan dibiarkan," harapnya. 

Kondisi asap sudah mengancam kesehatan masyarakat, jadi salah satu dampaknya, betapa lemahnya sistem penegakan hukum di Riau.

"Ada 12 Kabupaten Kota di Riau. Semuanya ada Mapolsek, Mapolres hingga Mapolda. Kalau APH kita tegas dan ber-integritas, maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi," dalam perkiraan Larshen Yunus.

"Coba Anda perhatikan saat ini, saya, istri, orang tua dan anak-anak saya yang masih kecil menjadi korban akibat berbahayanya polusi udara saat ini," katanya menggambarkan.

"Gumpalan asap sudah merebut hak saya dalam menghirup udara bersih dan sehat di Kota Pekanbaru ini. Pokoknya Wallahuallam Bissawab," ujarnya.

Pihaknya segera menyurati Mabes Polri. Agar kepemimpinan Irjen Pol M Iqbal sebagai Kapolda Riau segera di evaluasi total. 

"Sampai kapan kami hidup dengan asap beracun ini. Kami tagih janji bapak. Terhadap wilayah yang masih terdampak Karhutla, maka Kasatwilnya (Kapolda dan Kapolres) segera di copot," sebut Larshen Yunus yang terlihat sekujur tubuhnya sudah mulai berkeringat.

"Sekali lagi kami mohon pak Presiden, melalui bapak Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo M.Si, mari dan berkenanlah untuk menegur anak buahmu Jenderal."

"Jangan hanya mengumpulkan pundi-pundi. Sementara disatu sisi masih banyak pekerjaan yang belum siap, terutama dalam rangka memperbaiki tata kelola dan sektor di bidang kehutanan dan lingkungan hidup yang sehat dan asri," tuturnya.

Jadi kasus ini, sebutnya, merupakan kasus pertama yang Ia ajukan surat keberatan atas pencemaran udara yang nyaris menrengut dan mengancam keselamatan orang. Ia juga berencana menyurati keberatan ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) di Strasbourg, Prancis. 

"Jika gugatan mereka berhasil, itu akan memiliki konsekuensi yang mengikat secara hukum bagi pemerintah yang terlibat," kata dia. 

Ia berargumen bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Riau tiap tahun sejak 2012 itu adalah akibat langsung dari pemanasan global.

Mereka juga mengeklaim hak dasar mereka - termasuk hak untuk hidup, privasi, kelangsungan hidup keluarganya dan hak untuk bebas dari diskriminasi - dilanggar karena keengganan pemerintah untuk melawan perubahan iklim.

KNPI mengatakan bahwa mereka telah merasakan dampak yang signifikan, terutama karena suhu ekstrem di Riau yang memaksa mereka menghabiskan waktu di dalam rumah dan membatasi kemampuan mereka untuk tidur, berkonsentrasi, atau berolahraga.

Beberapa juga menderita kecemasan terkait lingkungan, alergi dan gangguan pernafasan termasuk asma.

Akan tetapi, tak satu pun para penggugat muda selama ini yang mencari kompensasi finansial. Mengingatkannya pada kebakaran hutan di Riau pada 2015 lalu [awan hitam pekat seakan kiamat kecil].

"Saya mau bumi lancang kuning yang hijau ini tanpa polusi. Saya mau sehat dan ini hak saya," kata Larshen lagi.

"Saya terlibat dalam kasus ini karena saya sangat khawatir dengan masa depan saya. Saya takut akan seperti apa tempat tinggal kami nantinya."

Larshen mengatakan masih merasa takut ketika dia mendengar helikopter terbang di atasnya, yang mengingatkannya pada petugas pemadam kebakaran pada tahun 2015, ketika lebih dari 202km persegi hutan di Riau hangus terbakar, dan abu dari kebakaran hutan berjatuhan di atas rumah bermil-mil jauhnya.

"Saya pikir ini sungguh luar biasa bagi saya untuk terlibat dalam kasus ini, karena memiliki hati nurani di usia saya," kata Larshen.

"Tetapi ini juga sangat mengkhawatirkan: Mengapa dia perlu memikirkan hal-hal ini? Dia mengkhawatir saudara dan famili lainnya yang masih kecil seharusnya bermain dengan teman-temannya dan menari mengikuti video TikTok."

Jadi Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana yang mewakili masyarakat itu diperkirakan akan berargumentasi di pengadilan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini akan membawa dunia menuju pemanasan global sebesar 3C pada akhir abad ini dan menuju kiamat.

"Ini adalah bencana pemanasan," kata dia lagi.

"Tanpa tindakan segera dari pemerintah, masyarakat yang ikut keberatan atas hak hidup yang terlibat dalam kasus ini akan menghadapi cuaca panas ekstrem yang tidak tertahankan yang akan membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mereka."

"Kami tahu bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk berbuat lebih banyak untuk menghentikan hal ini, namun mereka memilih untuk tidak bertindak," katanya.

Di media sosial bertebaran rasa kecemasan terkait iklim dan ketidakpuasan akan respons pemerintah dalam menangani perubahan iklim meluas di anak-anak dan remaja di seluruh sentaro bumi Melayu ini, yang berdampak pada aktivitas mereka sehari-hari.

Dalam tanggapannya baik secara terpisah maupun bersama terhadap kasus ini, pemerintah berargumentasi bahwa para penggugat belum cukup yakin bahwa mereka menderita akibat langsung dari perubahan iklim atau kebakaran hutan di Riau.

Jadi pemerintah saat ini mengeklaim tidak ada bukti yang menunjukkan perubahan iklim menimbulkan risiko langsung terhadap kehidupan dan kesehatan manusia, dan juga berpendapat bahwa kebijakan iklim berada di luar cakupan yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa.

Komisaris Dewan Hak Asasi Manusia Eropa, Dunja Mijatovic, yang terlibat dalam kasus ini sebagai pihak ketiga, mengatakan kasus ini berpotensi menentukan bagaimana negara mengatasi masalah iklim dan hak asasi manusia.

Jadi ini sebenarnya, kata Larshen Yunus, masih merupakan sebuah peringatan bagi negara-negara anggota, bagi organisasi-organisasi internasional, bagi kita semua yang mempunyai kesempatan khusus untuk menunjukkan bahwa kita peduli, dan ini bukan sekedar kata-kata di atas kertas. Ini bukan hanya berkata resolusi ini atau itu. Ini tentang mengubah kebijakan. (*)

Tags : Polusi, Perubahan iklim, Polusi udara, Anak-anak, Kesehatan, Lingkungan, News,