Karier   2022/01/29 17:57 WIB

Pola Menggabungkan Kerja dari Kantor ke Rumah Melelahkan Secara Emosional

 Pola Menggabungkan Kerja dari Kantor ke Rumah Melelahkan Secara Emosional
Perusahaan masih berusaha menemukan cara terbaik dalam menerapkan sistem kerja dari kantor dan rumah secara bersamaan.

POLA menggabungkan kerja di kantor dan di luar kantor banyak dipuji sebagai gaya pekerjaan masa depan. Namun, pengaturan ini ternyata menimbulkan banyak tekanan yang baru bagi para pekerja.

Ketika Klara ditawari pola bekerja dari kantor dan tempat lain, dia pikir itu akan menjadi pilihan yang terbaik baginya.

Ia awalnya bergabung dengan sebuah perusahaan yang berbasis di London sebagai pegawai kontrak yang bekerja dari kantor penuh waktu.

Namun, pandemi Covid-19 memaksanya untuk bekerja dari rumah.

Bos Klara memperkenalkan kebijakan sistem kerja campuran ini pada September 2021, ketika pedoman pemerintah Inggris yang merekomendasikan kerja di rumah berakhir.

Berdasarkan peraturan itu, Selasa dan Kamis akan menjadi hari-hari kerja dari rumah, sementara sisanya dihabiskan di kantor.

"Memiliki pengaturan seperti ini secara permanen awalnya melegakan," kata Klara, yang nama belakangnya dirahasiakan demi keamanan pekerjaan.

"Setelah bertahun-tahun bekerja penuh waktu di kantor, rasanya seperti akhirnya saya memiliki kendali atas jadwal kerja saya dan kehidupan rumah yang sibuk."

Namun, setelah beberapa bulan berlalu, antusiasme kerja hibrida itu segera digantikan oleh kerumitan dan rutinitas sehari-hari yang merepotkan. 

"Saya merasa tenang dan fokus pada hari-hari saya bekerja dari rumah," kata Klara seperti dirilis BBC.

"Tetapi pada malam hari, saya selalu mengkhawatirkan harus kembali ke kantor besoknya: duduk di meja saya selama delapan jam sehari di kantor yang bising, menatap layar, menyesuaikan diri dengan situasi seperti sebelum Covid."

Klara merasa dia sekarang memiliki dua tempat kerja untuk dipertahankan - satu di kantor dan satu lagi di rumah.

"Ini melibatkan perencanaan dan rutinitas 'stop-start': membawa laptop saya ke dan dari kantor setiap hari, dan mengingat di mana saya menyimpan berbagai hal-hal penting yang berbeda," tambahnya.

"Secara psikologis, berpindah-pindah dan lingkungan yang berubah setiap hari sangat melelahkan. Perasaan tidak pernah tenang, stres, dan pola kerja produktif di rumah saya menjadi selalu terganggu," tuturnya.

Data yang muncul mulai mendukung bukti anekdotal semacam itu: banyak pekerja melaporkan bahwa sistem kerja ini menguras emosi.

Dalam studi global baru-baru ini oleh platform keterlibatan karyawan Tinypulse, lebih dari 80% atasan melaporkan bahwa pengaturan seperti itu melelahkan bagi karyawan.

Pekerja juga melaporkan kebijakan kerja ini lebih melelahkan secara emosional daripada pengaturan jarak jauh sepenuhnya. Dan yang memprihatinkan, juga lebih melelahkan dari kerja kantor penuh waktu.

Mengingat banyak perusahaan berencana menerapkan model kerja campuran secara permanen dan bahwa karyawan pada umumnya ingin pekan kerja mereka dihabiskan antara rumah dan kantor, angka tersebut menjadi sebuah peringatan.

Tapi apa yang membuat metode kerja ini sangat melelahkan secara emosional?

Dan bagaimana pekerja dan perusahaan dapat menghindari jebakan sehingga sistem itu bisa berjalan dengan baik?

Mengapa hibrida bisa melelahkan?

Karena pandemi telah berlarut-larut, dan kebiasaan kerja fleksibel para pekerja telah melekat pada rutinitas sehari-hari, kembalinya kerja penuh waktu ke kantor tampaknya merupakan sebuah peninggalan masa lalu.

Tetapi, saat beberapa perusahaan telah menerapkan kebijakan kerja dari mana saja, sebagian besar bisnis telah menerapkan kerja campuran, menyusul kembalinya aktivitas ke kantor dalam jumlah besar.

Secara teori, cara ini menawarkan kesepakatan terbaik untuk atasan dan para karyawan.

Ini menggabungkan pola pra-Covid-19 dari pekerjaan berbasis kantor dengan hari-hari kerja jarak jauh, dalam jadwal kerja yang memungkinkan kolaborasi langsung dan pembangunan tim, serta fleksibilitas yang lebih besar dan peluang untuk fokus bekerja dari rumah.

Ini awalnya tampak sama-sama menguntungkan bagi para pekerja. Dalam satu studi pada Mei 2021, 83% responden mengatakan mereka ingin melakukan cara kerja campuran setelah pandemi .

"Ada perasaan bahwa ini akan menjadi yang terbaik," kata Elora Voyles, psikolog organisasi industri dan ilmuwan manusia di Tinypulse, yang berbasis di California, AS.

"Untuk bos, itu berarti mereka mempertahankan rasa kontrol dan bahwa mereka dapat melihat pekerja mereka secara langsung. Bagi karyawan, ini menawarkan lebih banyak fleksibilitas daripada bekerja penuh waktu di kantor dan berarti mereka dapat bekerja dengan aman selama pandemi."

Namun, antusiasme terhadap kerja hibrida lambat laun memudar.

"Kami menemukan bahwa orang-orang kurang positif terhadap sistem kerja seperti ini pada 2021 seiring berjalannya waktu," jelas Voyles.

"Pada musim semi dan musim panas, banyak organisasi sangat tertarik untuk menerapkannya. Mereka menerapkan jadwal campuran bagi para karyawan, tetapi kemudian dengan cepat mengalami kesulitan."

Organisasi yang belum pernah menerapkan ini sebelumnya tiba-tiba membentuk kebijakan dengan cepat, seringkali tanpa berkonsultasi dengan karyawan.

Jadi, seperti dalam kasus Klara, pengaturan sebagian kantor, sebagian rumah diterapkan pada tenaga kerja.

Rasa optimisme di antara kalangan pekerja segera berubah menjadi kelelahan.

Dalam survei Tinypulse terhadap 100 pekerja global, 72% melaporkan kelelahan karena bekerja dari tempat yang berpindah-pindah. Ini hampir dua kali lipat dari persentase karyawan yang sepenuhnya bekerja jarak jauh dan juga lebih besar daripada mereka yang sepenuhnya bekerja di kantor.

Voyles mengatakan, ukuran sampel yang kecil mencerminkan tren yang lebih luas. Menurutnya, gangguan terhadap rutinitas harian karyawan, ditambah sistem kerja berpindah, dirasa sangat melelahkan oleh para pekerja.

"Rutinitas yang konsisten dan dapat diprediksi, dapat membantu orang mengatasi perasaan stres dan ketidakpastian, terutama selama pandemi," kata Voyles.

"Sistem kerja ini, bagaimanapun, membutuhkan perubahan yang sering pada kebiasaan sehari-hari itu. Pekerja harus terus-menerus mengubah keadaan, jadi sulit untuk menemukan rutinitas ketika jadwal Anda selalu keluar-masuk kantor," ucapnya.

Rutinitas yang konsisten dapat menjadi fondasi yang stabil, sementara mengukir kebiasaan sehari-hari yang baru, yang melibatkan jadwal yang kurang konsisten di antara tempat kerja, dapat mengurangi sumber daya kognitif.

"Pindah ke praktik kerja seperti ini berpotensi mengganggu rutinitas pekerjaan rumah seseorang," kata Gail Kinman, psikolog dan fellow dari British Psychological Society.

"Praktek ini belum menjadi kebiasaan sehingga membutuhkan energi, organisasi, dan perencanaan yang lebih besar. Anda harus membentuk strategi baru, misalnya pindah-pindah meja kantor dan perencanaan perjalanan, yang tidak akan Anda perlukan jika Anda benar-benar kerja dari rumah atau dari kantor," tuturnya.

Membawa banyak tugas bolak-balik secara fisik antara rumah dan kantor mungkin juga membawa dampak psikologis bagi sebagian orang.

Sebuah studi baru-baru ini menemukan 20% pekerja Inggris melaporkan kesulitan untuk berhenti bekerja dan merasa 'selalu aktif' kerja.

Mereka juga menemui kesulitan untuk beradaptasi dengan model kerja berpindah tempat dan batas-batas yang kurang jelas antara rumah dan pekerjaan. Ini disebut-sebut sebagai faktor utama yang menghambat mereka.

Menurut Kinman, cara kerja seperti ini juga dapat menimbulkan risiko kehadiran digital yang lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan jarak jauh yang menyiratkan kepercayaan pemberi kerja sejak awal.

"Jika atasan menjalankan praktik kerja campuran tanpa mempercayai pegawai mereka, itu bisa menjadi kurang bermakna.

"Pekerja akan merasakan tekanan untuk menunjukkan kepada bos mereka bahwa mereka tidak menyalahgunakan kesempatan dari bekerja dari rumah. Itu bisa menyebabkan terlalu banyak pekerjaan dan kelelahan, yang efeknya bisa menghancurkan, tetapi butuh waktu lama untuk terlihat dampaknya," kata dia.

Mendefinisikan cara kerja campuran

Bagi beberapa pekerja, rasa frustrasi dengan sistem kerja seperti ini mendorong ketertarikan mereka pada pekerjaan yang memungkinkan mereka mengendalikan jadwal mereka sepenuhnya.

"Saya awalnya berpikir sistem ini cocok untuk saya, tapi ternyata membagi waktu saya antara rumah dan tempat kerja sulit diterapkan," kata Klara, yang akan segera memulai pekerjaan baru yang dilakukan dari luar kantor.

"Menurut saya, kondisi kerja di kantor tidak menyenangkan. Anda dapat diganggu kapan saja.

"Semakin lama saya melakukannya, semakin saya merasa itu hanya rintangan tambahan untuk melakukan pekerjaan saya: dari perjalanan hingga mengetahui bahwa saya akan bekerja di tempat lain pada hari berikutnya. Itu dengan cepat menjadi merepotkan," katanya.

Namun, pengalaman Klara tidak berarti bahwa pekerja harus kembali ke meja kantor mereka lima hari seminggu atau mencari pekerjaan yang secara permanen jarak jauh.

Sistem kerja campuran seperti ini masih bisa menjadi suatu harmoni yang sempurna bagi pekerja, selama pimpinan perusahaan mereka melakukannya dengan benar.

"Kesalahan terjadi ketika jadwal kerja campuran didikte oleh atasan," jelas Voyles.

"Karyawan menerima jadwal pekan kerja yang tidak dapat mereka kendalikan."

Kinman mengatakan itu tergantung pada apa yang dimaksud organisasi dengan 'sistem kerja campuran'.

"Ini adalah definisi luas yang dapat ditafsirkan dalam banyak cara: dari pergi ke kantor tiga hari seminggu, hingga sebulan sekali. Ini masih bisa menjadi model kerja masa depan dan mewakili yang terbaik, tapi masih perlu disempurnakan."

Sistem kerja ini dapat berhasil ketika manajer dapat bernegosiasi dengan staf, kemungkinan bahkan pada tingkat individual, tentang bagaimana pengaturan bekerja yang paling baik untuk mereka.

"Kedua pihak - atasan dan karyawan - perlu menetapkan batasan," kata Voyles.

"Tetapi perlu ada otonomi bagi pekerja untuk mengatur jadwal mereka sendiri - fleksibilitas perlu ditentukan oleh individu, bukan bos."

Selain itu, pekerja dapat dibantu dengan dukungan kerja jarak jauh yang lebih kuat, membantu meringankan pergeseran psikologis antara kantor dan rumah.

"Sistem kerja ini menyangkut keadaan pikiran," kata Kinman.

"Ini adalah gagasan bahwa kita bergerak dan bekerja dengan mulus dari suatu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu, mekanisme harus ada untuk memastikan karyawan memiliki perangkat lunak dan alat kerja rumahan yang tepat."

Kinman mengatakan bahwa kita berada di tengah-tengah eksperimen kerja yang hebat: dia memperkirakan bahwa masalah pertumbuhan hibrida akan berlangsung selama bertahun-tahun.

"Saat ini, kita tahu lebih banyak tentang kerja jarak jauh penuh waktu melalui krisis kesehatan dibandingkan apa yang kita ketahui tentang kerja hibrida dalam jangka panjang," tambahnya.

Namun, jika pekerja diizinkan untuk memilih dan mengontrol pola kerja mereka, imbalannya dapat menguntungkan.

"Baik individu maupun organisasi mengeklaim bahwa mereka menginginkan sistem seperti ini," kata Kinman.

"Jadi, ada peluang besar untuk mengubah cara kita bekerja. Tapi itu harus lebih dari jam-jam yang ditetapkan bos - itu harus menjadi pola pikir yang menguntungkan untuk atasan dan karyawan". (*)

Tags : Kesehatan mental, Pekerjaan, Karir,