Headline Sorotan   2021/07/23 16:51 WIB

'Pukulan Terberat Sistem Kesehatan Nasional', Faskes Kolaps dan Nakes Kewalahan-Kelelahan

'Pukulan Terberat Sistem Kesehatan Nasional', Faskes Kolaps dan Nakes Kewalahan-Kelelahan
Seorang relawan beristirahat setelah bersama dua orang rekannya membawa petih jenazah seorang warga kota Bogor yang meninggal akibat Covid, Kamis (08/07).

"Pukulan terberat sistem kesehatan nasional, kini fasilitas kesehatan [Faskes] banyak yang kolaps dan tenaga kesehatan kewalahan yang akhirnya kelelahan berujung meninggal"

aringan Nakes Indonesia mengatakan perekrutan sukarelawan di tengah kolapsnya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang kewalahan dan kelelahan, sebagai sesuatu yang tidak logis. Sebelum pandemi, rasio tenaga medis di Indonesia juga sudah dalam posisi timpang. Kementerian kesehatan tengah berupaya merekrut ribuan dokter dan perawat tambahan dalam kondisi penularan yang masih terus meningkat.

Jaringan Nakes Indonesia juga menyebut banyaknya kolega yang terinfeksi dan meninggal merupakan pukulan terberat pada sistem layanan kesehatan dalam pandemi Covid setahun terakhir ini. Sementara itu, lonjakan kasus dan antrean pasien di berbagai fasilitas kesehatan masih terus terjadi. Salah seorang dokter di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta Pusat, Amara - yang meminta nama aslinya disamarkan - tengah mempertimbangkan untuk rehat menjadi sukarelawan nakes.
Nakes

Ia mengaku lelah, sejak Juli 2020 lalu bergelut dengan pasien Covid-19 nyaris tanpa istirahat, kecuali ketika karantina. Selain itu risiko relawan nakes kian tinggi dan itu membuat orang tuanya berat mengizinkan untuk melanjutkan masa tugas. "Ada rasa capek, memang ada karantina, tapi bagaimana ya. Kalaupun lanjut, saya harus izin orang tua apakah diizinin atau enggak. Kasus sekarang, banyak nakes yang positif, itu membuat orang tua khawatir. Dulu juga khawatir, tapi sekarang makin ngeri karena nakes banyak yang kena," ungkap Amara dirilis BBC News Indonesia, Kamis (22/07).

"Kedua juga, karena sudah setahun, orang tua bilang, 'Cukuplah jadi relawan, mungkin bisa cari pekerjaan tetap lainnya'", imbuh dia lagi menirukan.

Meski sesungguhnya, keputusan itu berat dan dilematis bagi Amara. Sebab di sisi lain ia mengetahui kawan-kawannya di Wisma Atlet pun sedang kelimpungan menangani pasien. Ia menggambarkan, sebelumnya di satu tower 32 lantai dengan setiap lantai minimal merawat 50 pasien, ada sepuluh dokter yang berjaga. Tapi kini, hanya tersisa dua dokter. "Saya sebenarnya juga kasihan sama relawan yang lagi tugas sekarang. Karena saya tahu bagaimana beratnya tugas mereka," aku dokter usia 29 tahun tersebut.

"Sedikit tenaga, beban kerjanya banyak. Kalau dengan kondisi sekarang, pasti capek sekali dengan tim yang seperti itu," tambah dia lagi.

Keterbatasan tenaga bukan saja dialami nakes di fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah, melainkan juga di rumah sakit swasta. Timothy, dokter di rumah sakit swasta di Bogor, Jawa Barat mengaku kewalahan menangani pasien Covid-19. Pasalnya rekan sejawatnya banyak yang terpapar Covid-19. Alhasil, tenaga pun terbatas.

Itu sebab, dokter usia 27 tahun ini mengaku belum berniat mendaftar menjadi relawan nakes. "Kalau saya saat ini akan stay di tempat saya dulu, karena di sini kami juga kekurangan tenaga. Saya enggak bisa menjanjikan [mendaftar relawan nakes] juga, kecuali memang urgent dan memang diwajibkan ya," tutur Timothy.

"Tapi kalau misalnya untuk kondisi sekarang, saya rasa di rumah sakit swasta pun kami kewalahan dengan jumlah dokter yang saat ini, dan banyak dari teman saya yang terpapar. Jadi kami gantian back up satu sama lain," terang dia lagi.

Kemenkes gencar rekrut sukarelawan nakes

Kekurangan tenaga kesehatan menyusul lonjakan kasus dua bulan terakhir ini sebelumnya diutarakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ia membeberkan "ada gap 3.000 dokter" dan 16 ribu hingga 20 ribu perawat. "Dalam rangka menambah tempat tidur rumah sakit, kita membutuhkan juga tenaga perawat dan dokter. Kita menyadari ada dokter dan perawat terkena Covid-19 dan harus isolasi mandiri," tutur Budi dalam konferensi pers usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo yang ditayangkan melalui YouTube Sekretariat Presiden, Senin (12/07).

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono menyebut ada lebih dari 3.000 orang yang mendaftar sebagai relawan nakes Covid-19 hingga pengujung Juni 2021 dan akan terus diseleksi. Di luar itu, kata dia, masih dibutuhkan 705 relawan nakes seiring penambahan tempat tidur ruang perawatan dan menggantikan nakes yang terinfeksi maupun meninggal.

Untuk mengatasi kekurangan nakes, Kementerian Kesehatan pada 19 Juli 2021 kembali mengumumkan pendaftaran lowongan relawan untuk mengatasi kekurangan nakes. Sejumlah kriteria yang dibutuhkan mulai dari dokter spesialis, dokter umum, perawat, ahli teknologi laboratorium medik, bidan hingga epidemiolog. Sukarelawan nakes ditawarkan menerima insentif mulai dari Rp15 juta per bulan untuk dokter spesialis, Rp10 juta per bulan untuk dokter umum, Rp7,5 juta untuk perawat dan bidan, serta Rp5 juta per bulan untuk tenaga kesehatan lainnya.

Tapi kondisi di lapangan, insentif bagi relawan nakes itu sering kali tersendat. Jaringan Nakes Indonesia sejak September 2020 hingga Juli 2021 menerima pengaduan 1.069 nakes dari 150 faskes. Ratusan faskes itu tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Aduan terbanyak masuk dari DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan, Jawa Tengah.

Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Jawa Timur, Sri Suhardiningsih dalam kesempatan lain, mengungkap seretnya pencairan insentif itu jadi salah satu faktor alotnya menambah relawan nakes. "Insentif yang sulit dicairkan membuat relawan enggan menjadi tenaga tambahan," kata Sri dalam siaran pers "Seruan Tenaga Kesehatan: Alarm dari Benteng Terakhir". Meskipun, Sri menekankan, penambahan relawan nakes sesungguhnya percuma jika penanganan pandemi di hulu tidak berjalan baik.

Senada ditegaskan Koordinator Jaringan Nakes Indonesia, Fentia Budiman yang menyebut bahwa langkah pemerintah merekrut relawan nakes untuk mengatasi krisis ini sebagai kebijakan yang 'tidak logis'. Apalagi bila mengingat, rasio tenaga kesehatan di Indonesia sejak sebelum pandemi pun tergolong tak memadai. "Ini hal yang paling mendasar. Jadi bagaimana mungkin kita memanggil orang, tapi sebenarnya orang yang kita panggil itu tidak ada, jarang banget. Ini yang jadi faktor paling mendasar [sulitnya merekrut relawan nakes], kita harus membuka mata bahwa ini kolaps banget ni di Indonesia, tenaga kesehatan kita terbatas banget," kata Fentia.

"Kami dari jaringan nakes merasa bahwa akan sangat tidak logis ketika pemerintah merekrut tenaga medis dalam kondisi nakes kita stagnan banget. Dan kita sebenarnya enggak punya lagi tambahan-tambahan tenaga medis," tukas dia lagi.

Bila bertolok pada data World Bank 2010-2017 saja, rasio dokter Indonesia ada di posisi kedua terendah di Asia Tenggara dengan perbandingan 4 dokter melayani 10.000 jiwa. Meski begitu Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengklaim saat ini tenaga dokter di Indonesia masih mencukupi untuk penanganan pandemi. Asalkan, menurut Ketua Tim Mitigasi IDI Aidb Khumaidi dilakukan pemetaan kebutuhan masing-masing daerah dan kualifikasi.

Pasalnya ia memaparkan, saat ini ada 3.320 dokter yang baru lulus, 10.000 orang pasca-internship dan 3.000 orang retaker. "Tinggal nanti pemberdayaannya, bagaimana mengalokasikannya. Nanti kami harus data juga, apakah teman-teman dokter yang baru itu sudah divaksin atau belum. Kalau belum, pasti akan divaksin sebelum booster," tutur Adib dalam diskusi "Kondisi Dokter dan Strategi Mitigasi Risiko Mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan" secara daring pada Minggu (19/07).

"Sampai sekarang pun kalau bisa saya katakan, kita belum butuh dokter dari luar negeri. Kita masih mampu," tukas dia lagi.

Terlepas dari jumlah tenaga kesehatan yang sejak mula tak memadai, Fentia mengingatkan, alih-alih membebankan penanganan pandemi di pundak nakes lewat perekrutan, lebih baik pemerintah mendengarkan para ahli dan mendasarkan kebijakan penanganan pandemi pada sains. "Misalnya, kalaupun PPKM, maka harus dilakukan secara ketat. Prokes juga harus ketat. Jangan karena ada proses vaksinasi maka tesnya diturunkan. Jangan," urai perawat yang kini bertugas sebagai relawan nakes di rumah sakit DKI Jakarta.

Selain memperbaiki kebijakan di hulu demi meringankan beban fasilitas kesehatan dan nakes, Fentia meminta pemerintah memastikan jaminan perlindungan baik kesehatan maupun kesejahteraan bagi rekan-rekannya. Meski bukan faktor utama, tapi ia tak menampik ketidakpastian perlindungan tersebut membuat sebagian rekannya urung mendaftar sebagai relawan nakes dan memilih jalan lain. "Ada yang seperti itu, 'buat apa kemudian saya mempertaruhkan nyawa toh meski bisa melayani banyak orang tapi akhirnya saya harus meninggal dalam keadaan saya tidak diperhatikan oleh negara. Padahal sebenarnya [insentif dan perlindungan] itu hak kita," beber Fentia.

Ia pun menggambarkan, melejitnya pasien sedangkan jumlah nakes kian terbatas - akibat terinfeksi hingga meninggal terpapar Covid-19 - membuat beban pasukan di garda terdepan penanganan pandemi ini kian berlipat. Para relawan nakes acapkali mengerjakan peran ganda, tak hanya menangani pasien tapi juga memastikan program vaksinasi mencapai target, katanya.

Sekalipun diwarnai pelbagai problem, Fentia memilih tetap bertahan sebagai relawan nakes. Ia ingin menepati komitmen kemanusiaan dan menjalani janji profesinya sebagai perawat. "Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang merawat, sementara kan rekan-rekan sejawat kita juga sudah banyak yang 'pergi', jadi kayak, sedih banget gitu kalau pasien-pasien ini juga meninggal tanpa penanganan," ucap dia.

"Meskipun dengan berbagai masalah dalam sistem layanan kesehatan - saya yang pernah diberhentikan dan dipecat sebagai relawan di Wisma Atlet -tapi itu tidak membuat saya down dan saya mundur dalam pelayanan kesehatan di masa pandemi ini," pungkas Fentia.

Pilihan bertahan meski di tengah centang perenang penanganan pandemi Covid-19 juga ditempuh oleh relawan nakes lain, Ika Dewi Maharani. Perawat yang kini bertugas di RSKD Duren Sawit, Jakarta Timur tersebut menceritakan beratnya situasi layanan kesehatan. Pasien terus berdatangan dan menunggu giliran perawatan, tapi tenaga kesehatan terbatas.

Ia mencontohkan, ruang tunggu IGD rumah sakitnya bisa berisi 150 hingga 180 orang yang menunggu giliran mendapat tempat tidur ruang perawatan isolasi Covid-19. Sedangkan ruang perawatan intensif ICU yang hanya ada tiga selalu penuh terisi dengan antrean tunggu hingga 200 pasien. Itu sebab, Ika yang menjadi relawan sejak April 2020 lalu tersebut tak sampai hati meninggalkan rekan sesama nakes, terlebih para pasiennya. "Kalau insentif penundaan, pasti. Cuma akan dibayarkan, iya. Cuma kami nggak masalahin insentif atau bagaimananya, yang penting pasien itu tertangani. Coba andai kata kalau pasien itu keluarga kamu, apa iya kamu akan menyerah? Kan enggak. Anggaplah pasien itu semuanya keluarga kamu," ungkap Ika.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan angka positif Covid-19 di Indonesia mencapai 3.033.339 orang dengan 18,5 persen di antaranya merupakan kasus aktif. Itu artinya masih ada 561.384 pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan baik isolasi mandiri maupun di rumah sakit. Sedangkan tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 justru berkurang. Sebagian terinfeksi Covid-19 dan harus dirawat, sebagian lainnya berpulang. Data yang dihimpun koalisi sipil LaporCovid-19 mencatat ada 1.486 tenaga kesehatan yang meninggal hingga Kamis 22 Juli 2021. Sebanyak 545 orang di antaranya dokter, 475 perawat, 239 bidan, dan 227 orang adalah tenaga kesehatan lainnya. (*)

Tags : Sistem Kesehatan Nasional, Faskes Kolaps, Nakes Kewalahan-Kelelahan, Covid-19, Tangani Wabah Virus Corona,