"Ramadan dua tahun lalu, sebagian besar masjid di Indonesia ditutup demi menghindari penularan Covid-19"
amadan tahun ini, segalanya berubah 'normal'. Beberapa masjid yang dua tahun lalu ditutup kini sudah dibuka kembali. Belasan orang duduk bersila, berdempetan, sebagian besar tidak bermasker, dan beberapa terlihat takzim menyimak seseorang melafalkan ayat-ayat al-Quran.
Seperti pada Masjid An Nur, Pekanbaru, awal Ramadan lalu — Masjid ditengah permukiman penduduk yang mayoritas berpenduduk muslim lokasinya tak jauh untuk ditempuh oleh warganya.
Sore itu, dinaungi langit yang perlahan-lahan berubah menjadi lembayung, dan dibingkai padatnya rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung pencakar langit, warga menunggu waktu buka puasa.
Di hadapan mereka, ada penganan ringan yang dibungkus plastik dan segelas air putih — takjil, begitu sebutannya. Terdengar pula celotehan anak-anak yang seperti menemukan kegembiraan saat Ramadan tiba.
Sajian itu disiapkan oleh panitia yang khusus dibentuk oleh pengurus masjid untuk menyambut Ramadan.
Dan seiring jarum jam mendekati pukul enam sore, jumlah orang-orang yang hendak berbuka — dan salat maghrib, tentu saja — makin bertambah.
Salah-seorang di antara mereka adalah pria bernama Edi Saputra. Usianya sekitar 30 tahunan.
Edi — sapaannya — berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat, dan sudah lima tahun merantau di Kota Pekanbaru.
Dia bekerja membuka dagangan usaha grosir kerudung di Pasar Ramayana Jalan Jenderal Sudirman.
Sebelum pandemi Covid, Edi rajin beribadah di masjid ini selama Ramadan. Saat itu dia mengontrak rumah yang kecil di Sepuataran Jalan Hangtuah yang dekat dengan masjid itu.
Tetapi semuanya berubah saat virus itu merajalela sekitar dua tahun silam. Usahanya yang ada di komplek gedung Ramayana tempatnya bekerja pun terdampak dan beberapa toko dan masjid-masjid ditutup.
Dia pun dipaksa untuk tetap mencari uang untuk rumah kontrakan dan berusaha memahami larangan pemerintah untuk beribadah ke masjid.
Namun petang itu, Edi tak kuasa menutupi rasa girangnya. Dia bercerita omset penjualan kerudung miliknya mulai naik perlahan.
Lebih dari itu Edi mengaku mulai merasakan atmosfir Ramadan tanpa dibayangi-bayangi hantu Covid. Contohnya, ya, dia bisa ikut berbuka bersama di masjid itu.
Sebagai anak rantau, kerinduannya kepada keluarga dan suasana Ramadan di kampung jalanan, seperti terbalaskan, dengan beraktivitas di masjid.
"Kalau di rumah kontrakan, kan rasanya sepi sepi ya. Enggak ada keluarga di sini," katanya.
"Kalau di sini (Masjid), terasa ramainya. Dapat ibadah salatnya, juga dapat rindu rumahnya."
Apa yang terjadi pada Edi, agaknya, menggambarkan secara umum respon umat Islam ketika larangan beribadah di masjid dicabut seiring menurunnya kasus Covid-19.
Seperti apa perbedaan dua tahun lalu dan sekarang?
Inilah yang melatari kita untuk mengetahui secara langsung seperti apa suasana buka puasa bersama dan salat maghrib berjamaah di Masjid An Nur yang merupakan Masjid besar kebanggan masyarakat Riau, sore itu.
Dua tahun lalu pada akhir April, saat Ramadan, saya mendatangi masjid ini. Ketika itu kawasan Kota Pekanbaru masuk Zona Merah, dan semua masjid harus ditutup untuk mencegah penularan Covid.
Pintu gerbang masjid ditutup dan ada pengumuman pelarangan beribadah ke masjid. Satpam yang berjaga juga harus bertanya apa maksud kedatangan setiap orang.
"Saat itu semua orang harus menggunakan masker. Semua yang bekerja disini juga mewanti-wanti supaya menaati protokol kesehatan," kata Pengurus dan Humas Masjid An Nur Pekanbaru Muhammad Adin.
"Tahun lalu misalnya semua agenda Ramadan yang sudah disiapkan dibatalkan semua," sambungnya.
'Dulu kita saling curiga'
Pertama-tama Pengurus dan Humas Masjid An Nur Pekanbaru Muhammad Adin menjelaskan situasi masjid ditutup saat itu.
"Itu pasti [ada perasaan was-was]. Kita semua khawatir," ungkap Muhammad Adin lagi.
"Kita saling curiga," jelasnya lebih lanjut. Dia kemudian teringat ketika ada salah seorang jemaah masjid yang terpapar, dia dan rekan-rekannya sempat menghindarinya.
"Saking takutnya," Adin mengutarakannya sambil senyum. Jarak waktu dan situasi saat ini yang mendekati normal, agaknya, membuatnya leluasa menertawakan diri sendiri.
Kini, situasinya jauh berbeda. "Sekarang hampir 80% sudah kayak sebelum pandemi," katanya. Selain buka bersama, masjid ini sudah menggelar tarawih.
"Sudah mendekati normal," tambahnya.
Tetapi sebagian jamaah ada yang mengenakan masker dan ada yang tidak, jadi tidak ada lagi jarak saat salat maghrib.
'Kita serahkan kepada Allah...'
Apakah tidak khawatir ada penularan? "Enggak juga, Insya Allah. Kita serahkan kepada Allah," jawabnya.
"Tapi ikhtiar tetap ada. Terapkan cuci tangan, pakai masker. Cuma saat ini sudah berkurang [yang mengenakan masker]," Adin menambahkan.
Jika dua tahun lalu, pihak masjid mengharuskan penggunaan masker, kini tanggung jawab itu ada pada masing-masing, katanya.
Situasi serba longgar, seperti yang tergambar saat buka puasa dan salat magrib di Masjid An Nur, juga terlihat di beberapa masjid lainnya di kawasan Kota Pekanbaru.
Salah-satunya adalah masjid kuno dan bersejarah, yakni Masjid Raya Pekanbaru, yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari pusat keramaian Pasar Ramayana.
Ketika jarum jam menunjuk sekitar pukul empat sore, terlihat puluhan orang beristirahat — berselonjor — di ruangan dalam masjid yang berkarpet itu.
'Sekarang situasinya sudah normal'
Arnita Kamal, salah-seorang pengurus Masjid Raya Pekanbaru itu, mengaku pihaknya tidak lagi bisa memaksa jamaahnya untuk menjaga jarak atau mengenakan masker.
Alasannya, situasi sekarang "sudah bisa dikatakan normal". Itulah sebabnya, pihaknya tidak lagi menerapkan jaga jarak saat salat berjamaah, misalnya.
Meskipun demikian, pengelola masjid tetap menyediakan sabun untuk mencuci tangan di tempat wudu. "Tapi tidak semua jamaah mau melakukannya."
"Itu kembali kepada kesadaran masing-masing. Kami juga tak bisa memaksa jemaah untuk bermasker.
"Tapi kita tetap waspada. Saya juga pakai masker kalau berada di kerumunan di luar," akunya awal April lalu.
Seperti apa situasi Masjid Raya Pekanbaru saat Covid 'menggila'?
Pada akhir April 2020, Masjid Raya Pekanbaru, pintu gerbangnya ditutup. Mereka tidak menggelar salat jamaah untuk umum saat itu.
Saat itu, Walikota Pekanbaru Dr H Firdaus ST MT memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga akhir Mei 2020.
Dalam pasal 11 disebutkan kegiatan ibadah di masjid dihentikan dan warga diminta salat di rumah untuk menghentikan penyebaran wabah virus Corona.
Kawasan Kota Pekanbaru ketika itu masuk kategori zona merah. Di wilayah itu, sampai pertengahan April 2020, beberapa warga ada yang pasien positif virus Corona.
Selagi diberlakukan kebijakan penutupan masjid, ada cerita sebagian umat Islam menolaknya.
Mereka kemudian berusaha mencari masjid lain yang memilih buka. "Ada warga sekitar yang meminta kita menggelar ibadah salat berjamaah," kata Kamal mengenang.
Di sinilah, seperti yang dilakukan pemimpin masjid lainnya, berusaha mencari jawaban yang tepat agar alasan penutupan masjid dapat diterima.
'Masjidil Haram saja ditutup, mengapa di sini tak ditutup?'
"Masjidil Haram saja bisa ditutup, kenapa di sini tidak bisa ditutup," Kamal mengulangi lagi argumennya.
Diakuinya ada yang bisa menerima dan ada pula yang menolak.
"Kisah warga yang berkukuh menolak penutupan masjid itu saya dapatkan salah-seorang jamaah Masjid ini," sebutnya.
'Covid hampir merenggut nyawa saya'
Seorang warga Kota Pekanbaru Roni yang mengaku sempat menderita Covid dapat memahami penutupan Masjid kala itu. Dia sejak awal meyakini Covid itu ada dan menular. Keyakinannya tidak luntur apalagi dia kemudian terpapar.
"Hampir merenggut nyawa saya. Alhamdulillah dapat melawan [Covid]," Roni bercerita dalam logat bahasa Minangnya yang kental.
"Jangan macem-macem lah. Saya yakin ada [virus Corona], karena saya merasakan. Saya jadi korbannya." kata Pria 52 tahun ini lalu tertawa getir.
'Karpet sudah digelar dan tak ada jarak'
Kini semuanya sudah berubah. Karpet pun sudah digelar seperti sedia kala, dan "salat jamaahnya tidak ada jarak lagi," ungkap Roni lagi yang kelahiran 1969, yang rajin melakukan ibadah di Masjid Raya Pekanbaru itu.
Seperti di Masjid Raya Pekanbaru, Aldo dan kawan-kawannya sore itu sedang menyiapkan penganan dan minuman untuk buka bersama.
"Situasinya normal, mirip seperti Ramadan 2019 dan tahun-tahun sebelumnya," tambah Aldo. "Saya sangat bersyukur, karena suasana Ramadannya terasa lagi."
Kebijakan Aldo dkk melonggarkan aktivitas di Masjid didasarkan kebijakan pemerintah yang secara umum telah mengurangi pembatasan.
Dia juga terus memantau data penurunan kasus Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia.
"Itu sudah cukup untuk dijadikan pegangan untuk melakukan ibadah Ramadan secara normal," katanya.
Itulah sebabnya, Aldo yang salah satu jemaah di masjid Raya mengaku saat ini tidak terlalu khawatir terhadap kemungkinan ada penularan di setiap kegiatan ibadah di masjid. Apalagi vaksinasi terus digencarkan, ujarnya.
"Mungkin masih ada beberapa yang positif [terpapar], cuma enggak parah seperti tahun-tahun sebelumnya," tandasnya.
Di Kota Pekanbaru, saat ini berlaku Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level dua, hingga April 2022 ini.
Merujuk pada aturan itu, masjid dibolehkan menggelar ibadah dengan dibatasi maksimal 75% orang.
Para pengelolanya juga diharapkan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Kembali lagi seperti disebutkan Aldo, yang ditemui di sela-sela buka puasa di Masjid Raya Pekanbaru, awal April lalu.
Aldo yang mengenakan masker dan menyadari, meski situasinya sudah mendekati normal, dia harus tetap waspada.
Dia tetap khawatir akan ada lagi gelombang baru Covid jika warga atau dirinya lengah.
"Semoga enggak ada gelombang baru [Covid]," ujarnya.
Jadi kembali seperti yang dialami Edi Saputra usaha grosir kerudung di Pasar Ramayana Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru ini, dia sendiri masih mengingat apa yang dialaminya saat pandemi Covid berada di fase puncaknya, yaitu ekonominya yang "hancur-hancuran" dan "serba minus". (*)
Tags : Islam, Muslim, Virus Corona, Ramadan, Kesehatan, Agama, Sorotan, Beribadah di Masjid, Penularan Covid-19 Membayang-bayangi di Masjid,