Linkungan   2021/11/01 21:24 WIB

Sawah 'Terasering' di Dataran Tinggi, Sudah 'Harmoni antara Manusia dengan Alam'

Sawah 'Terasering' di Dataran Tinggi, Sudah 'Harmoni antara Manusia dengan Alam'
Sistem terasering juga digunakan di beberapa negara Asia lain, termasuk di Indonesia.

LINGKUNGAN - Sawah terasering adalah persawahan di lahan miring yang dibuat bertingkat-tingkat dan biasanya ada di dataran tinggi. Seperti dipahat di pegunungan barat daya China, sawah berundak-undak terbentang seluas lebih dari 160 kilometer persegi. Ini adalah salah satu lanskap paling menakjubkan yang ada di dunia.

Tembok Raksasa China sering kali dikatakan sebagai satu-satunya objek buatan manusia yang tampak dari luar angkasa. Ini, tentu saja, tidak benar. Tembok yang sebagiannya mulai runtuh ini bahkan lebarnya tak lebih besar dari jalan raya.

Jika manusia ingin melihat keajaiban lanskap rekayasa yang bisa dilihat dengan mata telanjang dari orbit rendah, maka persawahan terasering - lahan miring yang dibuat bertingkat-tingkat untuk pertanian, berfungsi untuk mencegah longsor- Honghe Hani di China harus disertakan.

Beberapa negara Asia lain, seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina memiliki lanskap sawah terasering serupa. Apa yang istimewa dari sawah di Honghe Hani?

Dibuat di pegunungan yang terletak di Provinsi Yunnan, bagian barat daya China, sawah terasering — ratusan ribu jumlahnya — berundak seluas lebih dari 160 kilometer persegi, dan merupakan salah satu lanskap paling menakjubkan di Bumi.

Yang lebih mencengangkan, proyek membangun terasering ini adalah sesuatu yang dibuat antargenerasi oleh orang-orang Hani — satu dari 55 etnis minoritas yang diakui di China. Mereka merekayasa keadaan lingkungan pegunungan tempatnya bermukim menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi komunitas sekitar.

"Sejak zaman kuno, orang-orang Hani membangun parit dan kanal untuk mengalirkan mata air dari gunung dan hutan dan mengirigasi terasering," kata A Xiaoying, pemandu wisata di Yunnan dari perusahaan travel China Highlights seperti dirlis BBC.

"Jumlah parit yang dibutuhkan sangat banyak, dan membutuhkan tenaga manusia dan material yang besar. Jika dikerjakan secara individu, tidak akan ada yang mampu."
Sistem irigasi secara adil

Dipoles melalui proses percobaan dan pembelajaran dari kesalahan selama lebih dari satu milenium, teras sawah adalah contoh nyata kerja sama sebuah komunitas dengan alam, dengan penggunaan tanah yang diatur berdasarkan ketinggian ke berbagai zona ekologi berbeda.

Air hujan dan embun dari kabut gunung yang tebal ditampung di area yang tinggi di lereng, yang berguna untuk memperbarui air tanah.

Mata air disalurkan untuk irigasi; air di danau menguap membentuk awan; dan awan akan menjatuhkan air hujan di hutan. Siklus hidrologi ini akan terus berulang.

"Orang-orang Hani selalu hidup selaras dengan alam, membentuk kehidupan mereka dengan hutan di atas gunung, desa-desa di tengah-tengah, sawah terasering di bagian bawah, dan sistem pengairan seperti sungai mengalir melaluinya.

"Ini menciptakan ekosistem unik dari 'empat elemen' — hutan, desa, terasering, dan sistem air," kata A.

Strategi ini bukan hanya bermanfaat untuk memanen padi, tapi juga dalam semua hal, dari kayu, sayur-mayur, menanam buah, beternak bebek, budidaya ikan, dan mengumpulkan rempah untuk pengobatan tradisional.

Teras-teras sawah ini adalah gudang makanan bagi masyarakat Hani sepanjang tahun. "Air terus mengalir dari lanskap ini sepanjang waktu," ujar seorang ahli etnografi AS, Jim Goodman, yang juga penulis buku Yunnan: China South of the Clouds. Goodman telah berinteraksi dengan masyarakat kesukuan di area tersebut selama puluhan tahun.

"Kebanyakan sawah terasering di tempat lain tidak memiliki sistem itu. Jadi, ketika musim dingin tiba, di luar musim tanam padi, terasering Hani masih akan berguna untuk tempat ikan dan kodok, juga siput, atau binatang-binatang lain yang bisa mereka makan."

Konon, suku Hani pertama kali tiba di Pegunungan Ailao, dekat perbatasan modern Yunnan dengan Vietnam, di sekitar abad ke-3. Mereka bermigrasi ke arah selatan dari dataran tinggi Qinghai-Tibet yang keras, tandus, dan tak kenal ampun.

Mereka begitu terpikat dengan apa yang mereka temukan di pegunungan — tanah yang subur, iklim bersahabat, banyak curah hujan — maka mereka memutuskan untuk menetap.

Pemerataan pasokan, kata Goodman, adalah awal dari keberhasilan kelompok ini. "Orang-orang Hani membangun lanskap ini secara demokratis, menggunakan sistem kanal, pemisah, dan tanggul untuk memastikan air mengalir secara adil," katanya.

"Setiap desa memiliki 'penjaga air' yang ditunjuk secara resmi, yang memastikan air didistribusikan secara adil. Keluarga yang sawahnya berada di bagian bawah terasering mendapatkan air yang sama dengan keluarga yang sawahnya ada di bagian atas."

Dibangun dengan tangan dan kaki

Jika dilihat dari ketinggian, terasering berbentuk asimetris — sebagian besarnya seperti lapangan sepakbola, yang lain tidak lebih luas dari sepetak sawah kecil, dan dibatasi oleh dinding melengkung dari lumpur padat — tampak seperti teka-teki gambar maha besar.

Di musim dingin dan musim semi, teras-teras yang terisi air akan memantulkan cahaya ke angkasa, seperti jendela kaca yang berkilauan. Para petani Hani mulai 'memahat' terasering di masa Dinasti Tang (618-907 M), dan menurunkan ilmu ini hingga bergenerasi-generasi.

Sejak itu, sistem terasering ini dibangun, mulai dari lokasi-lokasi di dekat bantaran sungai di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, hingga lereng pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.800 meter di atas permukaan laut, termasuk para tanjakan dengan kemiringan tanah 70 derajat.

Seluruh sawah terasering ini dibangun dengan tangan, dan metode konstruksi yang dipakai hari ini sama dengan yang dipakai oleh nenek moyang orang Hani. "Anda tidak bisa membangun terasering dengan mesin," jelas Goodman.

"Anda tidak bisa memakai traktor atau mesin lain karena bentuk dan lokasinya."

Meskipun luasnya selalu bertambah setiap kali musim tanam tiba, karya seni raksasa masyarakat Hani ini tersembunyi dari mata dunia selama berabad-abad.

Orang asing pertama yang datang ke area ini pada 1890-an adalah Pangeran Henri dari Orléans yang memimpin ekspedisi Prancis dari Vietnam ke Yunnan, mencari hulu Sungai Irrawaddy yang membelah Burma.

"Perbukitan di sini ditutupi dua pertiga tingginya dengan sawah padi, lebih tinggi dari teras-terasnya. Di atasnya, air menetes dengan teratur, berkilauan seperti kaca tertimpa matahari," tulis Henri.

Ia menambahkan, "Metode irigasi ini seperti sebuah karya seni, semua tanggul dibuat dengan cara dilempar dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki."

Pada awal 20-an, Harry A Franck — penulis perjalanan terkenal dari Amerika — melewati Yunnan dari Vietnam. Dia memandangi lanskap terasering dari jendela kereta yang dinaikinya.

"Ada terasering di mana-mana, lebih curam daripada tangga, panjang, namun juga sempit dan tinggi. Pantulan bayangan pegunungan tampak di sawah-sawah yang baru ditanami," tulis Franck dalam bukunya, Roving Through Southern China (1925).

Namun kemudian, di 1930-an — saat perang antara China dan Jepang berkobar, diikuti oleh perang sipil dan revolusi, dan ditutupnya negara komunis baru di balik apa yang disebut sebagai "tirai bambu" — wilayah pegunungan ini tertutup dari orang asing.

China baru membuka diri lagi pada 80-an, namun tak banyak orang menaruh perhatian hingga pada tahun 2000-an, ketika pemerintah lokal bersikeras mendaftarkan sawah terasering ke Daftar Warisan Dunia UNESCO.

Ini akhirnya tercapai pada 2013. Badan PBB itu mengatakan, "Sistem pengolahan lahan yang tangguh di sawah terasering menunjukkan harmoni yang luar biasa antara manusia dengan lingkungan mereka, baik secara visual maupun ekologis."

Mahakarya ekologi

Dalam beberapa dekade terakhir, terus menyembunyikan keindahan lanskap seperti ini sangat sulit. Para fotografer, baik amatir maupun lokal, memenuhi lokasi sawah pada saat liburan Tahun Baru China pada akhir Januari hingga awal Februari.

Sawah berundak-undak ini terlihat paling fotogenik pada bulan-bulan antara November sampai April, ketika terasering yang tergenang air bak cermin yang memantulkan cahaya matahari.

Pemandangan desa-desa Suku Hani juga tak kalah indahnya. Rumah mereka terbuat dari batu bata dengan atap jerami yang berbentuk seperti jamur. Babi hitam berkeliaran dengan bebas, kerap kali diikuti oleh anak-anak babi yang lucu.

Desa Yuanyang, rumah bagi terasering ini, memiliki populasi sekitar 370 ribu orang, sekitar 90% di antaranya adalah Suku Hani.

Di hari pasar, orang-orang Hani akan berkumpul dengan mereka yang berasal dari suku-suku lain seperti Miao, Yao, Dai, Zhuang, dan Yi untuk saling bertukar hasil bumi, makan-minum, bergosip dan merokok dengan pipa bambu bersama.

Para perempuan akan mengenakan pakaian bordir warna-warni mereka, lengkap dengan perhiasan perak. Tak jauh dari kemeriahan pasar, sawah terasering menyediakan tempat untuk menyepi dan menyendiri.

Di masa ketika sumber daya alam semakin menciut setiap harinya, Goodman berkata Suku Hani bisa memberikan kita pelajaran tentang manajemen tanah, juga cara hidup secara harmoni dengan lingkungan. "Mereka bangga dengan capaian ini," ujarnya. "Mereka telah membangun sesuatu yang luar biasa dan mempertahankannya selama 1.300 tahun."

Dia menambahkan, "Tunjukkan kepada mereka foto orang Hani dengan berpakaian tradisional mereka, lengkap dengan perhiasanmya, dan mereka akan angkat bahu. "Tapi tunjukkan mereka foto sawah terasering, mereka akan tersenyum bahkan mengacungkan jempol". (*)

Tags : Sawah Terasering, Sawah di Dataran Tinggi, Sawah Terasering Sudah Harmoni antara Manusia dengan Alam,