Politik   2023/09/21 16:57 WIB

Sejumlah Bacapres Jawab Pertanyaan dengan Bertanya Balik, 'yang Dinilai Sebagai Cara untuk Mengelak'

Sejumlah Bacapres Jawab Pertanyaan dengan Bertanya Balik, 'yang Dinilai Sebagai Cara untuk Mengelak'
Ganjar Prabowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

JAKARTA - Cara sejumlah bakal calon presiden (bacapres) menjawab pertanyaan dengan bertanya balik, dinilai sebagai "cara untuk mengelak" ketika menghadapi topik yang sulit, sensitif dan berpotensi merendahkan kredibilitas mereka, kata pakar komunikasi politik Lely Arrianie.

Yang terbaru, bakal capres dari PDIP, Ganjar Pranowo, justru bertanya balik ketika dia ditanya oleh seorang mahasiswa apakah dia “petugas rakyat atau petugas partai”, dalam kuliah kebangsaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada Senin (18/9).

Ganjar bukan satu-satunya. Bakal capres dari Koalisi Persatuan untuk Perubahan, Anies Baswedan, juga pernah bertanya balik ketika ditanya apakah akan melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) atau tidak.

Adapun bakal capres Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, bertanya balik ketika ditanya wartawan mengenai responsnya soal manuver Muhaimin Iskandar yang menjadi bakal cawapres Anies Baswedan, awal September 2023.

Seorang konsultan politik yang pernah bekerja untuk sejumlah calon kepala daerah –dan menolak namanya disebutkan—mengatakan cara bertanya balik kepada penanya terkadang direkomendasikan kepada kandidat untuk menghadapi isu-isu sensitif.

“Untuk isu-isu sensitif, biasanya, lebih baik dijawab dengan cara yang nggak biasa kalau jawabannya belum ada, ya biasanya pasti modelnya begitu karena jawabannya belum ada,” jelasnya.

“Bisa dengan nanya balik, ‘Menurut kamu gimana? Menurut pandangan kamu seperti apa?’ Biasanya jawabannya berputar. Kalau politisi jawabannya gamang, seperti itu,” sambungnya.

Dalam Kuliah Kebangsaan di UI, seorang mahasiswa bernama Naufal bertanya kepada Ganjar, "Jika Bapak terpilih sebagai presiden RI ke-8, apakah Bapak tetap dengan prinsip 'tuanku ya rakyat, gubernur hanya mandat' dan tidak menjadi boneka Megawati?”

"Apakah Bapak tetap menjadi petugas rakyat atau petugas partai?" tambahnya.

Ganjar kemudian justru bertanya balik kepada Naufal.

"Naufal, kamu mengikuti saya selama 10 tahun jadi gubernur?"

Naufal lalu menjawab bahwa dia “mengikuti” Ganjar sebagai gubernur.

“Oke, saya petugas siapa?”

Situasi kemudian hening sesaat.

Ganjar tidak langsung menjawab dengan tegas. Menurutnya, generasi muda berada dalam ketakutan akan masa depan dan "tidak perlu takut soal cap petugas partai".

Dia kemudian mengatakan bahwa dirinya adalah kader partai ketika tidak menjabat sebagai kepala daerah.

"Saya kader partai, tapi presiden bukan, gubernur bukan, itulah melayani. Jadi kita bisa membedakan, ketika kita sudah berada di dalam jabatan, apa yang kita lakukan," ujarnya.

"Kalau Anda riset soal saya, apa yang saya lakukan, adakah kemudian saya hanya berpihak pada partai saya? Mungkin nyaris Anda tidak akan pernah menemukan itu," sambung Ganjar.

Naufal sempat menegaskan lagi pertanyaannya.

"Berarti Bapak komitmen tidak disetir partai tapi rakyat?" tanya Naufal.

"Simpan saja Naufal, kalau aku bicara itu kan next, kalau itu next Naufal, kamu paling, 'Ah, habis ini ya nggak tahu'. Tapi saya minta kamu lihat 10 tahun saya, 10 tahun bukan waktu pendek, dan 10 tahun itu artinya saya terpilih dua kali," tutur Ganjar.

Pada momen lain, Anies Baswedan juga pernah melakukan hal serupa ketika ditanya soal sikapnya terkait proyek IKN dalam Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) XVI pada pertengahan Juli lalu.

"Saya melihat, kalau ini (IKN) rencana yang baik, ya pasti jalan terus," kata Anies.

“Tapi bila ini (IKN) ada masalah...saya kadang-kadang heran, kenapa sering ditanyakan ya? Apa ada masalah, ya, sebetulnya? Kok saya tak ditanya bagaimana dengan pangan murah, bagaimana dengan subsidi BBM. Kok selalu IKN yang ditanyakan? Apa sesungguhnya dalam alam bawah sadar kita ada pertanyaan? Cukup sampai di situ jawaban saya,” lanjutnya.

Bertanya balik juga pernah dilakukan Prabowo Subianto saat ditanya mengenai deklarasi pasangan bakal capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Muhaimin sebenarnya merupakan mitra koalisi Prabowo sejak satu tahun lalu.

Namun, PKB menyatakan Muhaimin telah menerima pinangan sebagai cawapres Anies.

Saat ditanya soal manuver pria yang akrab disapa Cak Imin itu, Prabowo justru bertanya balik kepada wartawan: "Disuruh siapa kamu (tanya seperti itu)?" kata Prabowo kepada wartawan di Jakarta, 2 September lalu.

Seorang konsultan politik --yang menolak namanya disebutkan--mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa strategi komunikasi setiap kandidat presiden maupun kepala daerah telah disiapkan.

Ada tim pemantau yang memonitor media sosial dan menyoroti isu-isu yang sering muncul. Isu-isu itu lalu diolah dalam bentuk daftar pertanyaan yang kerap ditanyakan (frequently asked questions/FAQ).

"Biasanya para kandidat itu sudah punya FAQ untuk setiap isu yang ada, tapi kadang namanya manusia, ketika ada pertanyaan spontan akan bingung menjawab apa," kata dia.

"Dalam posisi seperti itu, yang keluar adalah karakter dari si kandidat. Ada yang meledak-ledak, berputar, atau membalikkan pertanyaan," sambungnya.

Untuk pertanyaan-pertanyaan sensitif yang belum ada jawabannya, ada masanya tim konsultan menyarankan untuk menjawab dengan cara itu.

"Tapi sangat jarang untuk kami bilang, 'Tanya balik saja pak' karena biasanya sudah ada di FAQ," ujarnya.

Bahkan, ada pula yang menggunakan strategi komunikasi seperti itu karena belum menentukan sikap, dan masih ingin menunggu mana yang akan lebih menguntungkan mereka secara politik.

Menurut pakar komunikasi politik, Lely Arrianie, strategi bertanya balik biasanya muncul ketika seorang politisi menghadapi pertanyaan yang “berpotensi merendahkan kapasitas mereka” atau “menodai citra ideal” yang berupaya dibangun.

“Mereka akan mengelak dan menjaga kredibilitas mereka,” kata Lely.

Salah satu alasannya, biasanya, karena belum memiliki jawaban yang dirasa tepat atau menguntungkan untuk langkah politik mereka.

Lely mengatakan strategi seperti itu tentu memiliki dampak terhadap komunikasi yang berupaya dibangun, terutama terkait visi dan misi kandidat kepala daerah.

“Diskusi itu menjadi semacam seremonial saja, karena upaya untuk menggali, memahami, dan melihat kemampuan mereka ketika menjadi pemimpin, itu tidak tergali,” kata Lely.

Pada akhirnya, Lely menilai si politisi lah yang diuntungkan oleh ruang komunikasi yang tak tergali dengan dalam itu. (*)

Tags : Politik, Prabowo Subianto, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024,