Nusantara   2021/06/09 14:56 WIB

Sultan Banjar Minta 'Simbol Berlian yang Dirampas' Belanda Harus Dikembalikan

Sultan Banjar Minta 'Simbol Berlian yang Dirampas' Belanda Harus Dikembalikan

NUSANTARA - Sampai kini Raja Belanda belum mengembalikan berlian sebagai simbol kesultanan Banjar dan diminta mengembalikan ke Banjarmasin.

Sultan Banjar meminta berlian Banjarmasin, 'jarahan perang' yang disimpan di satu museum di Belanda dikembalikan. 'Jika bertemu, saya akan minta semua barang kesultanan di Belanda," kata Sultan Banjar Haji Khairul Saleh Al Mu'Tashim yang dirilis BBC News Indonesia.

Berlian yang saat ini dipamerkan di Rijksmuseum di Belanda, merupakan saksi "sejarah gelap, kekerasan pada zaman kolonial," menurut sejarawan dan kurator. Berlian 80 karat, "jarahan perang" hampir 160 tahun lalu, sempat diberikan kepada Raja Willem III pada tahun 1862 sebagai hadiah. Intan ini disebut oleh seorang menteri Belanda pada sekitar tahun 1900an sebagai "benda jelek dan kotor", karena tak pernah berhasil dijual akibat biaya pengolahan yang sangat mahal saat itu.

Kesultanan Banjar menyebut "simbol kesultanan yang dirampas" Belanda ini harus kembali ke tanah Banjar. "Jika bertemu Raja Belanda, saya akan minta semua barang kesultanan yang ada di Belanda," kata Khairul Saleh, penerus Kesultanan Banjar, yang diberi gelar 'Sultan'.  Raja Belanda, Willem Alexander berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Rabu (10/03). Dalam pertemuan ini, Raja Willem menyerahkan secara resmi keris Diponegoro, salah satu artefak dari ribuan yang ada di Belanda.

Pemerintah Indonesia dan Belanda sendiri saat ini tengah melakukan riset terkait benda-benda bersejarah yang ada di museum Belanda dan museum Eropa lain, termasuk berlian ini, di tengah wacana pengembalian berbagai artefak lainnya. Ketika diselusuri asal usul berlian Sultan Adam Al-Watsiq Billah yang berkuasa pada 1786-1857 serta cerita gelap - kekerasan perang zaman kolonial - di balik permata ini.

Sultan Khairul Saleh mengatakan jika berlian dikembalikan pada kesultanan, ia akan menggunakannya untuk kesejahteraan masyarakat.

Di satu ruangan di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, berlian Banjarmasin diletakkan di tengah, dengan sejumlah artefak lain dari Indonesia. Pada satu sore di minggu pertama Maret, sekitar satu jam sebelum museum tutup, setidaknya ada 10 orang dalam waktu 15 menit menatap dan membaca keterangan tentang berlian ini. Di ruangan "Dutch East Indies" ini juga dipajang artefak dari Lombok yang disebutkan dibawa oleh tentara Belanda setelah menaklukkan kerajaan di sana pada 1894, sebanyak 230 kilogram emas, 7.000 perak dan permata yang tak terhitung jumlahnya.

Ada juga sejumlah meriam yang disebutkan dibawa "setelah Perang Jawa pada 1825-1830." Nasib berlian Banjarmasin sendiri setelah dibawa ke Belanda pada abad ke-19 dulu tak berjalan mulus. Setelah ditolak Raja Willem III karena biaya pengolahan yang tinggi, berlian ini disimpan di gudang dan akhirnya diserahkan ke Rijksmuseum sebagai "milik pemerintahan kolonial" pada 1902. Kondisi ini yang disebut seorang menteri saat itu sebagai "benda jelek dan kotor," yang ingin dibuangnya.

Di museum terbesar di Belanda ini, berlian Banjarmasin ini juga sempat puluhan tahun tersimpan di gudang sampai akhirnya dipajang lagi pada 2013 dan menjadi "36 karat" dari yang semula "80 karat". Keterangan resmi saat ini tertulis, "Berlian ini adalah jarahan perang. Berlian ini dulu dimiliki oleh Panembahan Adam, Sultan Banjarmasin (Kalimantan)."

"Setelah kematian sultan, Belanda ikut campur dalam perang suksesi kesultanan. Pada tahun 1859, tentara Belanda menguasai Banjarmasin dengan kekerasan dan menghapuskan kesultanan."

Tulisan "jarahan perang" di keterangan baru tercantum dalam beberapa tahun terakhir. Seorang sejarawan Belanda, Caroline Drieenhuizen mengatakan pada tahun 2017, keterangan tentang berlian ini tertulis, "Setelah ada masalah terkait suksesi, Belanda memutuskan untuk menghentikan kesultanan. Berlian ditetapkan sebagai milik negara Belanda.

Keterangan, yang menurut Caroline, tidak menyertakan apa yang terjadi di Borneo saat itu. "Menurut saya masih ada mentalitas kolonial. Orang di Belanda menulis sejarah berdasarkan perspektif mereka dan itu harus berubah karena ada sejarah Indonesia di balik itu," kata Caroline. Namun ia menyatakan beberapa tahun belakangan ini ada perubahan dengan dilakukan riset oleh berbagai museum, termasuk Rijksmuseum, terkait sejarah artefak-artefak Indonesia.

Kurator Rijksmuseum, Harm Stevens, mengatakan pihak museum "terbuka dengan semua masukan" dan terbuka dengan diubahnya keterangan terkait berlian. "Museum selalu terbuka dengan berbagai usulan. Perubahan ini adalah upaya untuk membuka sisi gelap dari benda ini untuk ditunjukkan ke pengunjung. Dan sisi gelap ini adalah tanggung jawab dari pemerintah Belanda." kata Harm.

Simbol [Berlian] Kesultanan Banjar dirampas Belanda.

Ia mengatakan maksud "kekerasan" yang tercantum di keterangan berlian adalah perang yang terjadi dan berujung pada berakhirnya kesultanan dan dibawanya pusaka-pusaka kesultanan kembali ke Belanda. "Maksud kekerasan di sini adalah apa yang berlangsung di Banjarmasin, yang merupakan bagian dari kolonisasi. Setiap tahun, ekspedisi militer dikirim pada abad ke-19 dari Batavia ke semua tempat untuk perang di sejumlah tempat tertentu," kata Harm.

"Saya rasa banyak yang terbunuh. Dalam buku sejarah Belanda disebut sebagai Perang Banjarmasin. Jadi di balik berlian indah yang berkilau ini ada cerita perang...saksi sejarah gelap...Di sisi lain penting pula untuk menekankan apa artinya bagi Sultan Banjarmasin, tempat asal berlian ini," tambahnya.

Harm mengatakan riset terkait berlian dan artefak-artefak Indonesia lain masih berlangsung, termasuk melibatkan kurator dari Indonesia. Namun ia menyebutkan urusan penyerahan kembali ke Indonesia akan diputuskan pemerintah. Tetapi sejarawan Caroline Drieenhuizen menyebut peninggalan bersejarah ini - seperti halnya keris Pangeran Diponegoro perlu dikembalikan. "Kita harus tahu seluruh cerita di balik ini dan tidak tepat berlian ini ada di museum di sini. Berlian diambil secara paksa, dan saya rasa harus dikembalikan," kata Caroline.

"Itu hak kami dan kami ingin itu kembali"

Kesultanan Banjarmasin, yang kembali didirikan di tahun 2010 di bawah pimpinan Khairul Saleh, mantan bupati Banjar yang kini menjabat sebagai anggota DPR, mengklaim sudah pernah meminta Belanda mengembalikan berlian itu. Kesultanan itu sendiri tidak didirikan sebagai simbol kekuasaan, namun sebagai upaya melestarikan kebudayaan Banjarmasin. 

Ahmad Fikri Hadin, perwakilan dan kerabat Kesultanan Banjar yang diberi gelar 'Datuk', mengatakan kesultanan pernah melakukan lobi ke museum di Belanda untuk pengembalian berlian juga barang-barang bersejarah lainnya ke kesultanan Banjar. Namun, kata Ahmad, permintaan itu belum dikabulkan karena saat ini secara resmi Kesultanan Banjar, sebagai pusat kekuasaan, sudah tidak ada. "Itu tidak bisa karena dulu itu adalah milik kesultanan Banjar yang mana statusnya adalah sebuah negara. Sementara kan sekarang ini negara Banjar sudah tidak ada lagi," ujar Ahmad. 

Upaya surat-menyurat, menurut keterangan pihak kesultanan juga sudah pernah dilakukan tapi tidak membuahkan hasil. Namun, menurutnya, berlian itu tetap harus dikembalikan ke Banjar karena benda itu bisa menggambarkan kejayaan tanah itu di masa lalu. "Mungkin kalau kita gali lagi tanah di sini, jarang sekali menemukan (intan seperti) itu. Jadi kepemilikan itu salah satu tanda kemakmuran dari kesultanan Banjar tempo dulu. Jadi betapa wah nya saat bagaimana utusan Belanda pada pertama kali mendatangi kesultanan Banjar melihat kemewahan-kemewahan yang ada di kesultanan Banjar," kata Ahmad.

"Bukan mewah untuk riya atau menunjukkan kesombongan. Tapi memang tanah-tanah yang ada di wilayah kesultanan Banjar menghasilkan kekayaan alam yang sangat banyak."

Tanpa ada sisa bekas kesultanan di tanah Banjar, yang dihancurkan Belanda, Ahmad menilai barang itu perlu dikembalikan. "Karena itu hak kerajaan Banjar...Maknanya, tidak hanya bagi Banjarmasin, tapi suku Banjar pada umumnya... Juga kita ingin menunjukkan secara de facto dan de jure wilayah kekuasaan kerajaan Banjar itu memang ada," ujarnya. 

Kemegahan kesultanan Banjar pernah digambarkan Johannes Paravicini, utusan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang diurus ke Banjarmasin pada pertengahan abad ke 18. Ia mengatakan ia disambut musik merdu kala memasuki gedung kesultanan, yang digambarkannya, memiliki dinding dan lantai yang ditutup permadani keemasan. Kesultanan di Kayu Tangi, Martapura, itu pun memiliki piring, mangkok, hingga tempat meludah dari emas, ujarnya. "Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan," ujar Paravicini.

"Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias, dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas..."

Pengalaman Paravinici tertulis dalam buku karangan Idwar Saleh 'Banjarmasin, Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin Posisi, Fungsi, dan Artinya dalam Sejarah Indonesia dalam Abad 17'. Sejak abad-ke 17, sejarawan Banjarmasin Ahmad Barjie mengatakan, Kalimantan Selatan merupakan penghasil lada yang besar, juga penghasil emas dan berlian, maka Kesultanan Banjarmasin itu sangat kaya.

Namun, kini, sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banjarmasin tidak lagi nampak setelah perang berkepanjangan antara Belanda dan masyarakat Banjar. Di tahun 1612, armada Belanda menyerang Kesultanan Banjar di Kuin dengan serangan meriam, ujar sejarawan Ahmad Barjie. Peristiwa itu membuat kesultanan berpindah lokasi ke Martapura lalu ke sejumlah lokasi lainnya hingga dibubarkan sepihak oleh Belanda di tahun 1860. 

Konflik itu pun meruncing menjadi perang di tahun 1859-1906 (yang menurut versi Belanda hanya berlangsung hingga 1859-1860, saat kesultanan dibubarkan). Peperangan berkepanjangan itu mengubah kehidupan sosial di daerah itu, ujar sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur. "Perang Banjar tentunya banyak menguras tenaga, kemudian juga banyak menyebabkan kelumpuhan di bidang ekonomi karena perang mereka tidak bisa lagi bertani, mengembangkan perkebunan, dan sebagainya," ujarnya.

"Belum lagi setelah Belanda berkuasa memenangi perang Banjar banyak menarik pajak. Pajak-pajak besar dari masyarakat yang mengakibatkan kesengsaraan di masyarakat."

Kalau kembali, mau diapakan?

Mansyur yang juga penulis buku 'Bandjarmasin Tempo Doeloe: Sketsa Kecil dari Bingkai Masa Lalu', mengaitkan barang itu dengan identitas masyarakat Banjarmasin. "Barang-barang itu paling tidak menjadi sesuatu yang monumental bagi kami, sesuatu kenangan barang berharga yang mungkin nilainya sangat besar," kata Mansyur.

"Yang paling penting generasi muda bisa melihat dan memiliki identitas dengan melihat barang-barang pada masa lalu."

Sementara, melalui sambungan telepon, Sultan Khairul Saleh mengatakan jika berlian dikembalikan pada kesultanan, ia akan menggunakannya untuk kesejahteraan masyarakat. "Termasuk harta, termasuk berlian, kita bisa menjadikan berlian tersebut bisa kita amankan, bisa kita jadikan uang, uangnya bisa kita gunakan untuk kesehatan, pendidikan," ujarnya.

"Artinya untuk kepentingan masyarakat Banjar"

Ia sendiri mengestimasi harga berlian itu mencapai miliaran rupiah. Apakah ada yang mau membeli berlian semahal itu? "Kalau yang mau beli, banyak kali yang mau beli ya...". Harus dikembalikan ke siapa?

Sultan Khairul Saleh mengatakan berlian itu sudah seharusnya dikembalikan ke Kesultanan Banjarmasin, bukan ke pemerintah pusat. "Itu bukan milik pemerintah Indonesia. Itu milik kerajaan Banjar. Jangan lah, jangan sampai di pemerintah Indonesia. Jangan sampai salah, untuk apa diserahkan ke pemerintah Indonesia? Hak kerajaan itu," kata Khairul.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, sudah beberapa kali berkomunikasi dengan pengurus sejumlah museum di Belanda untuk membicarakan masalah pengembalian itu. Ia mengatakan, kepada siapa benda-benda bersejarah harus dikembalikan akan dibicarakan kemudian hari. "Ini kan isu penting karena benda itu boleh dibilang, bisa saja misalnya diperoleh dari penduduk, dari kesultanan yang sekarang sudah tidak ada. Kalau ke dia dikembalikan ke Indonesia tentu akan pertanyaan kepada siapa," ujar Hilmar.

"Karena mungkin ahli warisnya sudah, mungkin nggak bisa dilacak, atau bahkan kita enggak bisa mengenali secara persis benda ini sesungguhnya milik perorangan atau bukan. Kalau tidak dikembalikan kepada ahli waris, maka dikembalikan kepada negara," ujarnya.

Ia mengatakan, pengembalian benda bersejarah, seperti berlian itu, harus didahului dengan penyelidikan atas asal usul benda itu, atau yang disebutnya provenance research, sebuah tahapan yang sedang dilakukan kedua negara. Penyelidikan itu, katanya, diperlukan untuk melihat apakah benda itu diperoleh Belanda dengan cara yang pantas. "Pantas' di sini misalnya, bisa saja penduduk dulu memberikan hadiah kepada pemerintah kolonial di masa itu atau si orang yang bersangkutan membeli dari masyarakat sehingga dia bisa dibilang dengan cara yang pantas," ujar Hilmar.

Hal itu dikonfirmasi Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, yang mengatakan riset asal usul masih dilakukan. "Ini bukannya tentang 'ini berasal dari Indonesia, jadi silahkan Anda bisa memilikinya'. Sangat penting Indonesia untuk menyampaikan barang-barang apa saja yang mereka inginkan untuk koleksi mereka," ujarnya.

Monumen Perang Banjar

Selain berlian ini, pemerintah Indonesia, kata Hilmar Farid, berharap Belanda dapat mengembalikan sejumlah barang lain, seperti bendera-bendera yang digunakan dalam perang menghadapi Belanda. "Jadi, dari barang-barang seperti ini bisa lebih mudah mungkin kita tetapkan statusnya, tapi nilai nominalnya mungkin tidak seberapa. Tapi nilai sejarahnya karena terkait sejarah identitas dari masyarakat yang bersangkutan saya kira sangat sangat signifikan," katanya. (*)

Tags : Sultan Banjar Haji Khairul Saleh Al Mu'Tashim, Simbol Kesultanan Banjar Dirampas Belanda, Berlian Banjar Dirampas Belanda,