Sorotan   2024/04/03 22:29 WIB

Tambang Timah Hancurkan Lingkungan Juga Timbulkan Kerugian Negara, Mengapa Baru Terungkap dan Bagaimana Dampaknya?

Tambang Timah Hancurkan Lingkungan Juga Timbulkan Kerugian Negara, Mengapa Baru Terungkap dan Bagaimana Dampaknya?
Tambang timah selain timbulkan kerugian negara juga hancurkan lingkungan.

"Korupsi tambang timah timbulkan kerugian negara Rp271 triliun yang memiliki dampak pada lingkungan buat ribuan izin tambang di Indonesia jadi diblokir"

ekitar 5.587 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Minerba di Indonesia akan diblokir lantaran izin pertambangannya di wilayah konsesi sudah kadaluwarsa, namun aktivis dan pengamat menilai semestinya dibarengi juga dengan pencabutan izin dan penegakkan hukum.

Pakar administrasi pertambangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ima Mayasary, menegaskan langkah yang diambil sejauh ini tak cukup tegas menindak perusahaan tambang nakal.

"Nggak ada mekanisme bagaimana caranya menghentikan mereka karena ketika izinnya sudah habis lalu kemudian tetap menambang berarti pemerintah dirugikan (dan) itu malah jadi perbuatan pidana karena menambang tanpa izin," ujar Ima Mayasary.

Perlunya tindakan lanjutan juga diharapkah oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Merah Johansyah, yang mencurigai pemblokiran malah akan menghentikan upaya hukum terhadap izin-izin tambang yang bermasalah.

"Pemblokiran hanya mencoba membatasi atau membatasi aktivitasnya. Secara hukum, ada dua hal yang mestinya dilakukan. Pertama, pencabutan izin tambang yang bermasalah. Kedua, penyelidikan potensi pidananya karena ada unsur-unsur indikasi pidana di situ," ujar Merah.

Ia mencontohkan izin-izin tambang yang terbit di kawasan hutan konservasi, yang seharusnya tidak sekedar diblokir izinnya namun juga dicabut dan diproses serta dilakukan penyelidikan indikasi pidananya.

"Karena kalau izin tambang di kawasan hutan konservasi otomatis dia terlibat dalam pidana kehutanan," tegasnya.

"Dalam UU Kehutanan, kawasan hutan konservasi tidak boleh diterbitkan izin, tinggal diselidiki secara disengaja atau tidak," sebutnya.

Dari 5.587 IUP yang bersamalah itu, sebanyak 3.078 IUP Minerba akan berakhir surat keputusannya pada 31 Desember 2016 dan 2.509 IUP yang berstatus non-clear and clean (CnC), yang menandakan perusahaan tidak bermasalah secara administrasi serta bebas tunggakan finansial kepada negara.

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, kekisruhan IUP juga disebabkan oleh data yang tak terintegrasi satu sama lain, baik itu data pertambangan, perusahaan, dan pemilik terdaftar (beneficial ownersip)-nya.

"Selanjutnya kami akan bakukan data satu peta informasi, kami keroyok untuk membenahi ini," kata Pahala dalam siaran pers.

Rugi Rp 4,3 triliun dari IUP bermasalah

Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, menuturkan ada tagihan pendapatan negara bukan pajak sebesar Rp 4,3 triliun yang masih belum dibayar dari IUP yang berstatus non-CnC.

"Totalnya selama ini yang ditunggak kerugian negara itu 4,3 triliun, yang terkait dari pemblokiran. Kenapa ini diblokir ya karena dianggap merugikan negara Rp 4,3 triliun," kata dia.

Sementara pemerintah menyebut klarifikasi tunggakan masih akan diselesaikan bersama dengan perusahaan bersangkutan.

Walau perusahaan sudah tidak beroperasi, tetap saja tidak akan mengugurkan kewajibannya sedangkan untuk perusahaan yang berganti nama guna menghindari kewajiban, maka akan dilacak siapa pemilik terdaftarnya.

Aspek keselamatan rakyat dan ekosistem diabaikan.

Menurut Merah, upaya penertiban yang dilakukan pemerintah hanya sekedar 'merapikan, menertbikan izin tambang demi pendapatan negara'.

Semestinya, pemerintah bisa lebih tegas menindak dengan mencabut izin perusahaan, lantaran selain merusak lingkungan, kebanyakan dari wilayah pertambangan tersebut berada di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi.

JATAM juga mencatat sudah 44% luas daratan dan kepulauan Indonesia itu dikapling oleh pertambangan.

"Kami meminta pemerintah lebih menekankan aspek lingkungan hidup dan ekosistem. Sehingga pemblokiran tidak cukup, harus dengan penghentian izin tambang baru dan pencabutan izin tambang di sejumlah kawasan ekosistem penting tadi," ungkapnya. 

Berdasar catatan JATAM, ada 3,7 juta hektar tambang masuk di kawasan hutan lindung dan ada 793.000 hektar yang masuk kawasan hutan konservasi dari data IUP yang diblokir tersebut.

"Kalau memang dia demi keselamatan manusia, keselamatan rakyat, demi keselamatan lingkungan hidup dan ekosistem, mestinya yang dicabut izin tambang di kawasan-kawasan penting ini.

"Tidak boleh ada izin tambang di kawasan hutan primer, di kawasan ekosistem gambut, di kawasan kaarst, pulau-pulau kecil. Itu mestinya bagian dari yang diblokir," imbuhnya.

Terparah di Kaltim dan Kalsel

Juru kampanya Urban dan Energi dari lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan, Walhi, Dwi Sawung menambahkan kerusakan lingkungan parah akibat dari pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, dan Riau.

Kerusakan ekosistem tidak hanya terjadi di pertambangan batubara, namun juga pertambangan mineral yang lain, seperti nikel, pasir, batu dan emas.

"Memang di pertambangan mineral lain ada juga, tapi persentasenya memang lebih kecil dibanding batubara karena izin minerba memang lebih banyak di batubara," kata dia.

"Paling parah di Kaltim, di Kalimantan Selatan juga parah. Itu kelihatan banget di Kaltim dan Kalsel," imbuhnya.

Kalimantan Selatan bahkan tercatat sebagai provinsi dengan jumlah IUP bermasalah terbanyak, yakni 343 IUP non-CnC.

Belum lagi, kerusakan lingkungan akibat pertambangan rakyat yang nota bene kebanyakan dari mereka tak berizin.

"Pertambangan rakyat yang paling parah itu di Maluku, di Gunung Botak misalnya. Di Palu paling parah juga. Karena dia pakai merkuri. Itu parah banget, sampai kalau kita periksa darah penduduk di sekitar aliran sungai itu darahnya mengandung merkuri," ungkap Dwi.

Lalu, apa langkah selanjutnya?

Usai rapat koordinasi yang digelar Rabu (06/12) lalu Deputi Pencegahan KPK, Pahala, menyebut ada lima kesimpulan yang akan ditindaklanjuti.

Pertama, penataan IUP akan diselesaikan berbasis propinsi dengan rekomendasi IUP yang sudah terlambat akan diselesaikan oleh tim bersama.

Berdasarkan catatan yang ada, rekomendasi IUP yang sudah terlambat sebanyak 130 di Kalimantan Selatan, 8 di Aceh, dan 17 di Jawa Barat.

Kedua, bagi perusahaan yang izinnya sudah habis dan non-CnC, per akhir bulan maka secara serentak akan dihentikan pelayanan ekspor impornya oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. 

Selanjutnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Bagi entitas yang bermasalah atau ada kewajiban, kedua direktorat ini akan saling berbagi informasi.

Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan turun ke propinsi untuk menyelesaikan IUP yang non CnC, tumpang tindih, atau sengketa.

Pakar administrasi pertambangan Ima Mayasary berpendapat upaya lintas sektor ini dilakukan untuk mengurai sengkarut di sektor pertambangan.

Maka dari itu, dilakukan pemblokiran terhadap badan hukum dari usaha pertambangan tersebut.

"Kalau diblokir badan hukumnya berarti dia badan hukumnya mati, tidak bergerak. Ini bisa meredam dia melakukan penjualan dan kontrak karena badan hukumnya sudah diblok," jelas Ima.

"Artinya dia tidak bisa malukan aktivitas apapun kecuali dia malah tambah nekad lagi untuk melaksanakan segala sesuatunya padahal badan hukumnya sudah mati."

Bereskan IUP bermasalah yang masih aktif

Berdasar data dari Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini terdapat 9.353 IUP dengan 9.074 IUP yang masuk di database Ditjen Minerba.

Dari angka tersebut, 6.565 IUP dinyatakan lolos syarat CnC, sementara sisanya sebanyak 2.509 IUP masuk kategori non-CnC.

Dengan demikian, jumlah IUP yang masih aktif melakukan kegiatan pertambangan sebanyak 3.487 IUP.

Sedangkan dari IUP yang bermasalah, 664 diantaranya masih aktif melakukan kegiatan pertambangan.

"Kalau berakhir jangka waktunya saya rasa nggak perlu lagi ada instrumen karena sudah expired, sudah selesai. Tapi yang masalah justru di IUP yang non-CnC ini, karena mereka belum habis jangka waktunya, tapi mereka kan statusnya non-CnC. Itu harus diselesaikan pemerintah," ujar Ima.

Terkait perusahaan tambang yang bermasalah namun masih beroperasi, Dwi Sawung dari Walhi mendesak semestinya izinnya dicabut dan tidak boleh dilelang lagi.

"Nanti kalau dilelang lagi sama saja ujung-ujungnya. Kan sebetulnya ada keuntungan tambang ketika dia beroperasi kemarin-kemarin, nah itu kalau bisa ditarik lagi, dikembalikan ke negara," kata dia.

Kendati begitu, Dwi menuturkan perusahaan yang lolos syarat CnC tidak menjamin perusahaan tersebut tidak bermasalah.

"CnC berarti secara administratif dia benar, tapi di lapangan dia bermasalah atau tidak kan belum tentu juga ya. Karena ada yang CnC ternyata ujung-ujungnya ada kasus korupsi,"

Seperti yang terjadi pada kasus korupsi yang melibatkan Bupati Konawe Utara dan Gubernur Sulawesi Tenggara.

Keduanya diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam memberikan izin pertambangan di wilayah Kabupaten Konawe Utara.

"Itu padahal CnC statusnya, tapi kena juga. Jadi tidak menjamin juga kalau status CnC itu berarti dia tidak bermasalah.

Bupate Konawe Utara, Sulawesi Utara, Aswad Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Oktober lalu.

Ia diduga menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi terkait pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi, eksploitasi, serta izin operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014. 

Tambang batu dan pasir bikin 'sesak napas warga'

Lain lagi pertambangan di Sulawesi Tengah. Truk-truk pengangkut material saban hari keluar masuk kawasan tambang batu dan pasir atau juga disebut galian C di wilayah Pegunungan Gawalise menuju pesisir Teluk Palu.

Material berupa bebatuan yang diangkut truk-truk tersebut kemudian diproses melalui mesin penghancur batu untuk dijadikan kerikil, batu sedang maupun abu batu.

Batu-batu yang sudah dihancurkan kemudian dimuat ke tongkang untuk selanjutnya dikirim ke daerah pemesan seperti Samarinda, Balikpapan, Berau, Tarakan hingga Papua Barat.

Ada sekitar 12 perusahaan tambang di Pegunungan Gawalise, tepatnya di Kelurahan Watusampu dan Buluri dengan luas konsesi mencapai 10 hektare untuk masing-masing perusahaan.

Maraknya aktivitas perusahaan tambang batu dan pasir inilah yang kemudian menjadi soal.

Banyak warga mengeluh dan merasa terganggu lantaran debu batu beterbangan ke permukiman seiring dengan aktivitas tambang yang berlangsung setiap hari sejak pukul 06.30 sampai 16.00 Wita.

Bahkan, jika pekerja tambang lembur, aktivitas berlanjut hingga pukul 18.00 Wita.

Walau begitu bukan berarti warga tak pernah protes. Astuti, misalnya, pernah mendatangi lokasi tambang bersama sejumlah ibu.

“Kita sudah nekat, biasa cuma tiga orang kita menutup jalan. Nanti mereka menyiram jalan (agar debu tidak beterbangan) baru kita buka itu palang,” kata Astuti.

Dampak pada kesehatan

Dampak buruk yang ditimbulkan dari aktivitas tambang sudah dirasakan warga di sekitar lokasi tambang.

Menurut penanggungjawab Puskesmas Kelurahan Watusampu, Hamidah, tercatat pasien yang datang berobat dengan keluhan sesak nafas pada 2014 lalu mencapai 500 hingga 600 orang.

“Kalau untuk 2015 ini belum kita rekap, tapi rata-rata tiap bulannya itu ada sekitar 20 hingga 40 orang yang berobat ke sini dengan keluhan batuk ataupun sesak napas. Tidak pernah dibawah 20 orang,” kata Hamidah.

Selain infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA, penyakit lain yang banyak diderita warga ialah gatal-gatal. Menurut Hamidah, warga kerap menutup sirkulasi udara di dalam ruangan untuk mencegah debu masuk rumah.

Akibatnya, ruangan menjadi lembab sehingga memudahkan kutu berkembang biak.

Kondisi lingkungan dan kesehatan ini menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sulteng.

Organisasi pegiat lingkungan itu menilai kerusakan lingkungan di wilayah Kelurahan Buluri dan Watusampu berada dalam skala masif.

Kondisi ini ditengarai mempercepat kerusakan ekosistem, yang dapat ditandai dengan pengecilan debit sumber air.

Abdul Haris, dari Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi, mengatakan kerusakan lingkungan itu tidak akan terjadi apabila praktik pertambangan di Kelurahan Buluri dan Watusampu diatur dalam tata ruang kota.

Masalahnya, pemerintah Kota Palu tidak menetapkan wilayah pertambangan di kedua kelurahan tersebut.

“Di wilayah itu tidak ditetapkan sebgai wilayah pertambangan. Padahal kalau mengacu pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa sebelum memberikan izin usaha pertambangan, pemerintah daerah harus menetapkan dulu wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP,” kata Abdul Haris.

"Kalau kita lihat dalam Perda Kota Palu Nomor 16 tahun 2011 wilayah pertambangan itu tidak diatur," sambungnya.

Solusi

Sorotan Walhi soal perizinan tambang di Kelurahan Buluri dan Watusampu ditepis Ketua Asosiasi Perusahaan Tambang Kota Palu, Made Wenten.

Menurutnya, perusahaan yang beroperasi di wilayah tambang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan yang diperpanjang setiap lima tahun.

Lagipula, kata Kepala Dinas energi dan sumber daya mineral Kota Palu Muslimin Malappa, semua perusahaan tambang sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

“Jadi semua perusahaan-perusahaan tambang yang masuk di situ harus melewati apa yang namanya sosialisasi. Tidak ada yang langsung jadi. Pada saat sosialisasi masyarakat mendukung dan berikan peluang untuk masuk," kata Muslimin.

"Nah, sekarang dimana semrawutnya dengan masyarakat? Buktinya masyarakat itu bisa hidup di situ, makan di situ. Kira-kira bagaimana kalau kita hentikan, itu masyarakat mau makan apa?”, tanyanya.

Bagaimanapun, baik pengusaha tambang maupun pemerintah Kota Palu belum punya solusi atas dampak aktivitas pertambangan terhadap kesehatan warga.

Dengan nada setengah berkelakar, Samsiar, seorang ibu tiga anak dari Kelurahan Watusampu, menuturkan kondisi keluarganya dan masyarakat sekitar lokasi tambang.

“Ya sehat-sehat, biar makan abu,” kata Samsiar, seorang warga Watusampu, seraya tertawa. "Kalau sakit kan ada BPJS,” tambahnya.

Korupsi tambang timah timbulkan kerugian 

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di lahan milik PT Timah, yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara hingga Rp271 triliun, belum menyentuh "pemain utama".

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengeklaim dirinya memiliki cukup bukti untuk membuka keterlibatan seorang pengusaha berinisial RBS sebagai terduga official benefit atau penikmat utama keuntungan dari tambang ilegal tersebut.

Dalam perkembangan terbaru, Kejaksaan Agung memeriksa sosok yang diduga RBS yakni Robert Bonosusatya karena dianggap terkait dengan PT Refined Bangka Tin.

Setelah diperiksa selama 13 jam, Robert bungkam ketika ditanya soal keterkaitannya dengan perusahaan itu maupun tersangka Harvey Moeis.

Direktur Penyidik pada Jampidsus Kejagung, Kuntadi, berkata belum ada alat bukti yang cukup untuk mengaitkan hal tersebut.

Sementara itu, LSM lingkungan Walhi Bangka Belitung menilai kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah itu lebih besar dari Rp271 triliun karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem di pesisir dan laut.

Kejaksaan Agung periksa saksi RBS

Penyidik Kejaksaan Agung kembali memeriksa saksi yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha PT Timah yakni Robert Bonosusatya pada Senin (02/04).

Dalam perkara ini, penyidik menduga Robert terkait dengan PT Refined Bangka Tin.

Perusahaan ini sebelumnya disebut oleh Kejagung diwakili oleh Harvey Moeis untuk mengakomodasi tambang ilegal di lahan milik PT Timah.

Suami dari aktris Sandra Dewi tersebut dilaporkan menghubungi pejabat PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan memintanya agar menerima kegiatan pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Robert diperiksa penyidik selama 13 jam. Tapi begitu keluar dari gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), dia bungkam saat ditanya soal keterkaitannya dengan PT Refined Bangka Tin maupun Harvey Moeis.

Dia malah meminta wartawan menanyakan hal itu kepada penyidik.

"Silakan ke penyidik ya," katanya seperti dilansir Kompas.id.

Siapa RBS dan bagaimana rekam jejaknya?

Sebelum Robert Bonosusatya diperiksa Kejagung, LSM Masyarakat Antikorupsi Indonesia telah melayangkan somasi terbuka ke Kejaksaan agar segera menetapkan tersangka terhadap sosok berinisial RBS terkait perkara korupsi tambang timah ilegal di lahan milik PT Timah.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut RBS adalah aktor utama dan penikmat uang hasil korupsi yang merugikan perekonomian negara hingga Rp271 triliun.

Sebab klaimnya, RBS merupakan orang yang mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah.

"RBS adalah terduga official benefit (penikmat utama keuntungan dan pemilik sesungguhnya) dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal," ujar Boyamin.

"Sehingga semestinya RBS dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang guna merampas seluruh hartanya."

Boyamin mengaku memiliki dokumen yang bisa membuktikan bahwa RBS merupakan pemilik saham terbesar di PT Refined Bangka Tin, bukan Harvey Moeis seperti yang selama ini digembar-gemborkan.

Kendati, katanya, RBS dan Harvey sesungguhnya sudah menjadi rekan bisnis di perusahaan tambang lainnya di Kalimantan.

"RBS itu bosnya dari bos. Saham dia paling besar. Saya paham RBS orang kayak apa dan sepak terjangnya," sebut Boyamin.

Itu mengapa Boyamin mendesak Kejaksaan segera menetapkan RBS sebagai tersangka dalam waktu satu bulan. Sebab jika tidak, MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan.

Di sidang praperadilan itu, dia bakal membuka dokumen-dokumen yang menguatkan dugaannya tersebut. Termasuk dokumen perusahaan tambang yang menunjukkan ada hubungan bisnis antara RBS dengan Harvey Moeis di Kalimantan.

Dalam perkara di Bangka Belitung, Boyamin menyebut Harvey Moeis hanya "kaki tangan" RBS.

"Kalau nanti Kejaksaan menilai tidak cukup bukti [menetapkan RBS tersangka], kita akan buka di sidang praperadilan biar fair. Di situ bisa saling memberikan data, berargumen antara saya dan penyidiknya."

Kata dia, somasi ini dilayangkan supaya pengungkapan kasusnya lebih serius dan menyeret para "pemain utama".

"Karena saya mengikuti kasus ini, saya pantau dan ingin penyidik menangkap penerima keuntungan yang paling ujung."

Apa tanggapan Kejaksaan?

Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, mengatakan pemeriksaan terhadap RBS dilakukan bukan atas desakan siapapun, tetapi untuk kepentingan penyidik.

Namun demikian berdasarkan hasil pemeriksaan RBS yang berlangsung kemarin, penyidik katanya masih mendalami kaitan Robert dengan PT Refined Bangka Tin.

Meski Robert disebut sebagai pemilik perusahaan, akan tetapi yang bersangkutan sama sekali tidak tercatat sebagai komisaris direksi di dalamnya.

"Sepanjang tidak ada alat bukti yang cukup, tentu saja kita tidak akan [mengaitkannya] demikian. Yang jelas kami melihat ada urgensi yang perlu kami klarifikasi kepada yang bersangkutan untuk membuat terang peristiwa pidana ini," ujar Kuntadi seperti dilansir Kompas.id.

Sejauh ini, penyidik Kejagung telah memeriksa 172 orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di tambang milik PT Timah tahun 2015-2022.

Penyidik juga telah menetapkan 15 orang tersangka dugaan korupsi serta satu orang tersangka kasus perintangan penyidikan dalam perkara yang berkaitan dengan tata kelola tambang timah tersebut.

Adapun crazy rich Pantai Indak Kapuk, Helena Lim, ditetapkan sebagai tersangka ke-15 atas perannya sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE).

Sehari setelahnya, pengusaha Harvey Moeis menjadi tersangka ke-16 dalam kasus tersebut.

Apa peran Harvey Moeis?

Kejaksaan menyebut Harvey Moeis merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin sekitar tahun 2018-2019.

Harvey disebut menghubungi Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias Riza yang sudah menjadi tersangka, dengan maksud mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Dalam beberapa kali komunikasi, keduanya sepakat untuk bekerja sama dalam kegiatan penambangan ilegal yang "disamarkan" lewat sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.

Setelah itu Harvey menghubungi beberapa perusahaan pengolahan timah atau smelter agar ikut serta dalam pemrosesan timah.

"HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP (Venus Inti Perkasa), PT SPS, dan PT TIN (Tinindo Inter Nusa)," jelas Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.

Harvey kemudian diduga meminta sejumlah perusahaan pengelolaan timah untuk menyetorkan sebagian keuntungan dari kegiatan penambangan timah ilegal dengan dalih sebagai pembayaran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Uang itu dikirim lewat PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang dimiliki Helena Lim.

Menurut Kuntadi, Harvey tidak tercantum sebagai pengurus di PT Refined Bangka Tin. Dia juga tidak merinci mengenai pengurus ataupun pemilik perusahaan tersebut.

Atas perbuatan tersebut, penyidik menjerat Harvey dengan sangkaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Harvey langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Berapa kerugian perekonomian negara dari tambang ilegal?

Kejaksaan Agung menyebut kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah mencapai Rp271 triliun.

Kerugian perekonomian itu terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan di kawasan hutan dan non-hutan.

Termasuk juga kerugian ekonomi lingkungan dan biaya pemulihan lingkungan.

"Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar," ujar Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.

Gara-gara lubang tambang, 15 orang meninggal

Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah.

Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas.

Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.

"Kami mendorong negara juga mengakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut, karena lanskap Bangka Belitung tidak bisa dipisahkan dari daratan dan lautan. Ruang hidup masyarakat Babel di wilayah laut dan darat," ujar Ahmad Subhan Hafiz, Senin (01/04).

"Dan Walhi melihat angka Rp271 triliun itu bisa lebih besar karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta meninggalnya belasan orang."

Merujuk pada data Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare.

Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan.

Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan.

Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga.

"Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023," jelasnya.

"Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare."

Gara-gara lubang tambang itu, tercatat ada 21 kasus tenggelam.

Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.

Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang itu juga memicu sumber penyakit baru - entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi.

Dan, yang tak kalah mengerikan katanya, menimbulkan bencana kekeringan.

"Pada tahun 2023 kemarin kami mengalami bencana kekeringan. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya."

Akibat tambang, ribuan hektare terumbu karang mati

Ahmad Subhan berkata, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan. Namun merambah ke wilayah pesisir dan laut lantaran "di darat sudah tidak mendukung lagi alias habis".

Padahal di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, harapan masyarakat bertumpu pada lautan di Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6,5 juta hektare.

Akan tetapi, kata dia, kapal-kapal ponton isap produksi atau TI Rajuk yang dipakai untuk penambangan timah ilegal memenuhi pesisir Babel.

"Masalahnya adalah IUP di wilayah laut Babel sangat luas dan ini jadi problem baru karena tata ruang di sini lebih banyak mengakomodir tambang di laut," ungkapnya.

Walhi Bangka Belitung menduga kuat timah yang ditambang dari wilayah pesisir dan laut ditampung oleh perusahaan pengolahan atau smelter ilegal yang kini ditangani Kejaksaan Agung.

Karena mustahil hasil tambang timah ilegal itu diserahkan pada perusahaan smelter berizin.

Atas dasar itulah, dia meminta Kejaksaan Agung turut melacak aliran timah ilegal dari hulu hingga ke hilirnya.

"Harus dilacak kemana aliran timah tadi, apakah PT Timah terlibat menampung timah ilegal dari pesisir?"

Dalam aktivitasnya, kapal-kapal ponton isap produksi ini juga memicu konflik dengan nelayan. Pasalnya hasil tangkapan para nelayan makin menurun akibat pencemaran limbah tambang.

Sebab tak cuma mencemari, penambangan timah yang dilakukan dengan cara menyedot pasir laut membuat terumbu karang hancur dan mati.

"Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut."

Catatan Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare.

Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.

Imbas lain dari tambang timah di pesisir dan laut, juga menambah konflik buaya dengan manusia.

Sepanjang tahun 2021 sampai 2023, klaim Walhi, ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.

Walhi: Pemerintah harus moratorium tambang di Babel

Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang Babel berpotensi mengalami krisis ekologi.

Sebab data tampung dan daya dukung lingkungan di Babel sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, tambang pasir kuarsa, dan perkebunan kelapa sawit.

Dengan begitu, Walhi Babel mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut.

Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.

Pengamatannya sejauh ini banyak wilayah adat yang hilang -baik laut dan darat- akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan mengeyampingkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.

"Yang terpenting juga, izin-izin yang sudah ada direview kembali, dievaluasi karena merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat serta memicu konflik". (*)

Tags : korupsi tambang timah, tambang timah timbulkan kerugian negara, dampak lingkungan tambang timah, bisnis, ekonomi, kejahatan, hukum, korupsi, lingkungan, alam,