Headline Sorotan   2024/01/05 16:0 WIB

'Tawa Pengusaha Diatas Penderitaan Petani Sawit' yang Terkuak di Bumi Melayu, Gubri: 'Saya Perintahkan Satgas Seluas-luasnya Usut dan Periksa PT SIR'

'Tawa Pengusaha Diatas Penderitaan Petani Sawit' yang Terkuak di Bumi Melayu, Gubri: 'Saya Perintahkan Satgas Seluas-luasnya Usut dan Periksa PT SIR'
Ilustrasi tawa gelak dan senang pengusaha lihat penderitaan petani sawit terkuak di Bumi Melayu Riau.

"Gemuruh getaran semangat suara demo masyarakat atas tindakan kesewenang-wenangan pengusaha yang terus berjanji dibalut kebohongan bahkan telah mengusik harta benda milik adat terus dikumandangkan, membuat pemerintah dan tokoh masyarakat bergerak untuk menuntaskan masalah"

udah jelas duduk persoalannya adalah konflik antara perusahaan sawit PT Surya Intisari Raya [SIR] dengan masyarakat pedesaan [Okura] yang kehilangan tanahnya akibat pelebaran atau perluasan perusahaan membuat protes dan penolakan selama tiga tahun terakhir.

"Protes meledak, penyebabnya karena konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak dan Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru, Riau."

Konflik antara PT SIR dengan masyarakat Tualang, Maredan, dan Okura akhirnya merebak.

"Perusahaan itu [PT SIR] diduga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merugikan hak hidup masyarakat di sekitar desa ini," kata para Aliansi Masyarakat Adat Riau yang melakukan aksi penolakan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) PT SIR sejak sepekan terakhir ini.

Tetapi Lembaga Melayu Riau [LMR], H. Darmawi Wardhana Zalik Aris menilai aksi tuntutan masyarakat Okura akhir-akhir ini lebih disebabkan adanya beberapa argumentasi bahwa pesatnya perluasan perkebunan sawit perusahaan membuat meluasnya konflik antara masyarakat pedesaan dan perusahaan sawit.

"Masyarakat pedesaan telah kehilangan lahan perkebunannya akibat ekspansi perusahaan sawit. Sebagai responnya, masyarakat pedesaan melakukan unjuk rasa, menegosiasi, bahkan terkadang tindakan kekerasan," ungkapnya.

Menurutnya, membuktikan bahwa perusahaan sawit selalu berhasil menguasai lahan pedesaan karena perusahaan sawit dan pemerintah bekerjasama dalam aturan formal dan hubungan informal, akibatnya masyarakat pedesaan hampir 'tidak mempunyai hak'.

"Meluasnya intrik antara bisnis dan politik sudah menggerogoti kebebasan warga dalam menyuarakan pendapat." 

"Masyarakat terjerat dalam 'perlawanan tanpa hak' tertentu, masyarakat tidak mengedepankan regulasi dan hak mereka, namun justru berfokus kepada negosiasi kepada perusahaan, dengan menjustifikasi bahwasannya tuntutan mereka mengikuti aturan sosial dan adat istiadat."

"Namun, praktiknya usaha negosiasi ini selalu berakhir gagal dalam mencapai tujuan awal. 'Perlawanan tanpa hak' ini belum memcapai hasil dalam perlawanan kolektif yang meluas pada perampasan hak," kata dia.

Pekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan [PT SIR] juga memiliki areal kebun sawit di kebun Sungai Lukut yang mempekerjakan puluhan petani dengan upah tidak wajar.

“Warga disini bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit ada sekitar dua puluh orang, tetapi kami hanya menerima upah yang tidak wajar, bahkan jauh dari UMR Kabupaten Siak,” kesal Hendra, pria asal pulau jawa itu.

Pernyataan kecewa terhadap perusahan yang beroperasional di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak dan Kecamatan Rumbai Pesisir itu juga disampaikan Kepala Dusun Suka Maju, Desa Maredan Barat, Suyoto.

"PT Surya Intisari Raya (SIR) kebun sungai lukut pekerjakan warga dengan upah yang tidak wajar bahkan jauh dari UMR (Upah Minimun Regional) Kabupaten Siak ini," sebutnya.

"Bayangkan saja, untuk penyemprotan dan memupuk, cuma di bayar dengan upah Rp24.000 per hektar, itupun informasinya mau dikurangi. Dalam sebulan mereka hanya menerima upah cuma diatas Rp. 1 juta an saja," kesalnya.

Meski digaji dengan upah yang sangat kecil, apabila ada tim pengawas dari Jakarta datang ke perkebunan, para pekerja disuruh mengakui kalau upah yang mereka terima sekitar Rp4 jutaan tiap bulannya.

"Kami berharap, dengan adanya pemberitaan ini pihak perusahaan bisa melek mata, dan mendapat teguran dari instansi terkait, saya bersedia dipanggil kapan saja untuk dimintai keterangan terkait ucapan saya ini," sebut Suyoto.

“Karena apa yang saya katakan ini semuanya fakta, saya hanya memperjuangkan hak warga saya,” tegasnya.

Kepada Kepala TU PT SIR Kebun Sungai Lukut, Gapotan Mulia Siregar, tak menapik pernyataan tersebut.

“Iya benar itu, memang demikian adanya," kata dia menjawab.

Ia menjelaskan, sebelumnya pihak perusahaan dan pekerja melakukan kesepakatan sebelum diterbitkan SPK (Surat Perintah Kerja).

"Dan pembayaran rutin setiap akhir bulan kita bayarkan, sesuai hasil kerja yang dilaporkan setiap hari," pungkasnya.

Lain lagi disebutkan Dr Adolf Bastian M.Pd, Direktur Pascasarjana Unilak, mengungkapkan dukungannya terhadap kebijakan Gubernur Riau (Gubri) untuk menyelesaikan kasus sesegera mungkin.

Ia menyebut tindakan tegas sebagai wujud kepedulian Gubernur terhadap masalah ini, dinilainya bahwa upaya sebelumnya untuk memediasi masalah dengan melibatkan PT SIR dan masyarakat tidak berhasil.

"Langkah Gubernur Riau untuk mempertemukan PT SIR dengan masyarakat merupakan langkah tepat, namun pihak PT SIR tidak mengindahkannya. Tentu ini menjadi persoalan yang berlarut-larut," ungkap Adolf yang juga Ketua PGRI Riau ini.

Petani sawit Okura berjuang mendapatkan kebun plasma 20% dari PT Surya Intisari Raya.

Adolf menyoroti ketidakhadiran PT SIR dalam rapat sebelumnya yang diinisiasi oleh Gubernur. Ini membuat Gubernur membentuk tim khusus untuk menangani perpanjangan HGU PT SIR.

Adolf menyatakan bahwa sikap arogan dan kesombongan PT SIR terhadap otoritas gubernur tidak bisa diterima.

"PT SIR mempertontonkan kesombongan dan arogansinya di Bumi Lancang Kuning, tidak menghargai gubernur sebagai pimpinan tertinggi di Riau," tambah Adolf.

Adolf mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung upaya tegas dan terukur Gubernur dalam menyelesaikan konflik ini.

Ia menekankan pentingnya mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, serta menjaga iklim investasi di Riau.

Sebagai akademisi Riau, Adolf menyoroti permasalahan serupa di daerah tersebut, termasuk dampak pencemaran lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat.

Ia menekankan perlunya dukungan semua pihak untuk menyelesaikan konflik ini dengan bijaksana.

"Tentunya kita siap mendukung apapun kebijakan yang dilakukan oleh Gubri atas persoalan yang terjadi antara PT SIR dan masyarakat tempatan di sekitar perusahaan beroperasi," tambah Adolf. 

'Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung'

Atas ketidakinginan PT SIR yang diminta Pemprov Riau untuk membahas soal HGU maupun kehadirannya berbisnis di bumi Melayu Riau membuat Lembaga Adat Melayu Riau [LAMR] Riau juga angkat bicara.

Ketua umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (Ketum MKA-LAMR), Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf, dengan tegas mengungkapkan pendapatnya mengenai konflik yang terjadi antara PT SIR dan masyarakat Okura.

Menurut Marjohan upaya penyelesaian konflik ini seharusnya dapat dilakukan dengan cara yang lebih elegan.

Namun, sayangnya, semua upaya tersebut masih belum menemukan titik terang karena pihak manajemen PT SIR dengan tidak menghadiri pertemuan dengan Gubernur Riau dan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat Okura yang selama ini merasa tidak mendapatkan perhatian dari PT SIR.

"Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika pihak-pihak yang terlibat sudah dipanggil untuk klarifikasi. Namun, terlepas dari itu semua, tampaknya pihak PT SIR malah terlihat seolah tidak peduli dengan upaya penyelesaian yang diusulkan," kata Datuk Seri Marjohan, Sabtu (30/12/2023).

"Dalam ungkapan adat, "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", seharusnya pihak PT SIR menghormati aturan-aturan yang seharusnya dipatuhi," serunya.

Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf juga mengakui bahwa Riau menghadapi cukup banyak kasus sengketa serupa.

Untuk mengatasi hal ini, di tingkat provinsi telah terbentuk Tim Percepatan Terpadu yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah.

"Tim berfokus dalam menangani dan mempercepat penyelesaian konflik-konflik sengketa yang terjadi."

"Bahkan, tim tersebut sudah melaporkan kasus-kasus yang terjadi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Namun, saat ini proses penyelesaian masih dalam tahap berproses," imbuhnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konflik antara PT SIR dan masyarakat Okura adalah salah satu dari banyak kasus sengketa yang terjadi di Riau.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap belum menemukan titik terang yang memuaskan.

"Di saat yang sama, kitapun mengakui bahwa proses penyelesaian konflik tidaklah mudah dan membutuhkan waktu. Namun, penting bagi semua pihak terkait untuk tetap berkomitmen dalam mencari solusi yang adil dan membawa keberlanjutan serta kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat," pungkasnya. 

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melakukan pertemuan dengan Aliansi Masyarakat Adat Melayu Riau dan Tropika Riau terkait dengan konflik perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT SIR, Rabu 27 Desember 2023 di Ruang Rapat Kenanga, Kantor Gubernur Riau, Pekanbaru.

Jalan menuju perkebunan kelapa sawit PT SIR.

Namun pertemuan yang langsung dipimpin Gubernur Riau (Gubri) Edy Natar Nasution, tidak dihadiri manajemen PT SIR. Padahal sebelumnya Pemprov sudah mengirimkan undangan kepada semua pihak terkait.

Tetapi Darmawi Wardhana kembali menjelaskan soal yang sering terjadi kasus-kasus seperti itu terus dialami masyarakat sama saja seperti kehampaan hak.

Masyarakat vs Perusahaan Sawit, selalu menyajikan beberapa argumentasi mengenai konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat. Adapun argumen utama yang sering disajikan biasanya seperti:

  1. Kekosongan hak merupakan masalah utama konflik antara masyarakat pedesaan dengan perusahaan sawit.
  2. Ekspansi perkebunan sawit yang dinilai berkembang secara pesat telah menyebabkan terjadinya pengungsian masyarakat lokal dan hilangnya penghidupan mereka.
  3. Kebijakan dan peraturan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan perusahaan kelapa sawit dibandingkan hak masyarakat lokal.
  4. Konflik yang terjadi di perusahaan sawit dan masyarakat bukan hanya merupakan permasalahan lokal namun merupakan bagian dari permasalahan global berupa produksi minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan dan tidak adil.

"Jadi ini perlu dipertegas bahwa banyak perusahaan mempraktikan rent seeking untuk kepentingan pribadi dan sudah jelas menyengsarakan masyarakat yang bekerja untuk mereka," sebutnya.

Hal ini, menurutnya, sangat relate dengan kasus sawit di tanah air.

Bagaimana tidak, kata dia lagi, harga sawit tidak sepadan dengan kerja keras para petani sawit, harga pupuk, racun rumput, vitamin sawit, belum lagi biaya untuk transport megangkut buah sawit ke peron [tepat penimbangan sawit], bahkan masih banyak penderitaan petani sawit lainnya. Diatas penderitaan petani ada "Perusahaan" yang sedang duduk manis dimeja kerjanya yang rapih.

Apa kata Humas PT Surya Intisari Raya?

Humas PT Surya Intisari Raya [SIR] Perawang, Thomas sepertinya tidak ingin lebih banyak berkomentar soal tuntutan masyarakat desa.

Dengan singkat Ia pun mengatakan, perusahan tidak pernah menghambat pemerintah untuk melakukan pembangunan.

Namun Camat Tualang Kabupaten Siak, Zalik Efendi juga menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap perusahaan yang selalu mengundang konflik degan masyarakat.

"Kemarin begitu juga, ada pembangunan jalan yang masuk wilayah dan lokasi perusahaan. Pada hal sebelumnya sudah dibuat kesepakatan antara Bupati Siak dengan perusahan yang dituangkan melalui surat [terkait jalan itu]. Namun surat itu pun belum sampai ke kecamatan maupun kabupaten," kata Zalik.

"Kami menunggu pihak kabupaten soal pembangunan jalan itu. Pemerintah kecamatan sudah menghubungi pemkab, namun surat dari perusahan itu juga belum sampai ke kabupaten. Surat itu akan difotokopi dan akan disebarkan sama kita," ungkapnya.

Mengapa penderitaan begitu keras terjadi pada masyarakat?

Banyak anak-anak petani yang rela ikut bekerja di kebun sawit demi membantu orangtuanya karna harga sawit menurun. Tetapi menyikapi ini, apakah perusahaan memberikan jaminan kesehatan kepada petani sawit?

Apakah perusahaan memberikan jaminan pendidikan bagi anak-anak petani sawit mulai dari SD sampai SMA atau kuliah?

"Banyak praktik dilapangan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan. Ini sudah terjadi di masyarakat daerah perkebunan sawit," kata Darmawi Wardhana lagi.

"Jadi misalnya saja, kasus terbaru di Riau ini seperti, konflik terjadi antara sekelompok besar warga Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Kecamatan Rumbai Timur, Pekanbaru yang menuntut kebun plasma seluas 20% dari luasan kebun PT SIR juga tidak terlepas dugaan adanya praktek 'rent seeking' di level top-down baik pemerintah daerah maupun pusat," ungkapnya.

Kasus terkait tuntutan dari regulasi No.11/2020, tentang omnibus law, PP No.26/2020 sektor Pertanian dan Permentan No.18/2021 dimana mengatur terkait fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas kebun yang diusahakan.

Jadi LMR melihat bahwa masyarakat belum terpenuhi haknya sesuai dengan regulasi terkait dan Peraturan Pemerintah terkait memberikan fasilitas pembangunan kebun warga seluas 20% dari luas kebun yang diusahakan oleh PT SIR.

Tetapi melalui Aliansi Masyarakat Adat Melayu Riau sudah menyampaikan dan menyerahkan surat pada Kakanwil BPN Riau, bahwa masyarakat menolak terhadap perpanjangan izin Hak Guna Usaha [HGU] PT SIR yang diketahui akan berakhir pada Desember 2024.

Namun keluhan masyarakat belum juga teratasi, dari pihak pemerintahan pun tidak merespon dengan cepat terkait hak warganya dan memilih bungkam serta memilih posisi aman dari konflik.

Darmawi Wardhana balik menjelaskan dan lebih setuju kalau masalah ini penuh diartikan apa yang dimaksud kehampaan hak itu.

Konflik kelapa sawit akan semakin lebih sulit lagi, kata dia, dikarenakan terdapat actor tambahan dalam kesenjangan hak masyarakat, yakni peron kelapa sawit.

Dimana pemilik peron kerap kali tidak bertanggung jawab dengan harga TBS [tandan buah segar] karena studi empiric dilapangan peron satu dengan lainnya tidak sama harganya, terdapat harga yang sangat murah sekali.

LLMB Pekanbaru dukung Gubri buat tim khusus masalah PT Surya Intisari Raya dengan masyarakat Okura.

"Bukan hanya harga TBS saja, masyarakat yang mempunyai lahan sawit sering mengeluhkan kebun mereka yang rusak akibat transportasi milik peron yang selalu melawati kebun mereka tanpa izin, sehingga banyak jalur sawit yang rusak dan susah untuk mereka perbaiki," kata Darmawi.

Dia menyarankan, pemerintah dan jajaran actor politik yang tidak mampu dan tak bisa netral terhadap rakyat, tidak bisa memenuhi hak rakyat sebagai manusia, lebih baik di awal pertemuan dengan masyarakat membuat persetujuan dalam jangka sekian bulan permasalahan kelapa sawit sudah ada kemajuan.

"Karena saya juga yakin mengatasi konflik kelapa sawit akan membutuhkan waktu yang lama, maka dari itu dibuatlah regulasi yang pro rakyat, transparansi, akuntabilitas serta hukum yang bersifat absolut tidak bisa dirubah-rubah sesuai keinginan pemerintah dan perusahaan," sebutnya.

Carut marut kebun sawit perusahaan

Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat di Riau menyimpan berbagai konflik agraria bagai 'bara terpendam' antara masyarakat perdesaan dan perusahaan sawit.

Menurut Darmawi Wardhana, konflik ini timbul dan semakin meluas karena praktek 'rent seeking' yang melibatkan birokrat, pengusaha dan politisi guna memonopoli keuntungan secara ilegal dengan memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki.

Bara konflik yang terjadi antara sekelompok besar masyarakat Okura yang menuntut kebun plasma seluas 20 persen dari luasan kebun PT SIR juga tidak terlepas dugaan adanya praktik 'rent seeking' di level birokrasi daerah hingga pusat.

Kenyataan pahit dari hubungan informal persekutukan tersebut bagaimana mengaburkan hak-hak masyarakat di sekitar perusahaan hingga membuatnya nyaris ‘hampa hak’ [rightless].

Pihak pejabat Kanwil BPN Provinsi Riau menyatakan jika syarat perpanjangan HGU PT SIR sudah terpenuhi, dan sudah diteruskan ke pusat.

Sementara pihak pejabat Dinas Perkebunan Provinsi Riau dan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru yang menyikapi bahwa Perpanjangan Sertipikat HGU PT SIR bukan wilayah tanggung jawab mereka.

Perilaku kedua institusi ini menunjukan ketidakberpihakan birokrasi dengan tuntutan masyarakat sekitar perusahaan, yang kemudian disikapi masyarakat dengan turun ke jalan menyuarakan tuntutanya.

"Mayoritas masyarakat menuntut Plasma 20 persen, ada sebanyak 442 kepala keluarga [KK] dari 520 [KK] masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi Okura menuntut realisasi kebun plasma sebesar 20 persen dari luasan HGU PT SIR," jelas Darmawi.

"Jika tuntutan masyarakat ini tidak dipenuhi konsekuensinya mereka akan menolak perpanjangan sertipikat HGU PT SIR."

Sebelumnya, dua desa [Maredan Barat dan Tualang] di kabupaten Siak juga menyatakan bergabung dengan saudaranya di Kelurahan Tebing Tinggi Okura yang akan menggelar unjukrasa ke Dinas Perkebunan Provinsi Riau pasca unjukrasa ke Kanwil BPN Provinsi Riau beberapa waktu lalu.

Dalam selebaran yang beredar, ribuan masyarakat tiga desa, Okura-Tualang dan Maredan Barat sepakat akan menggelar aksi unjukrasa ke Dinas Perkebunan Provinsi Riau yang rencananya digelar pada Rabu 27 September 2023 dengan agenda menuntut HGU 20 persen PT SIR.

Tanpa diduga, sehari sebelum rencana aksi akan digelar agenda pun berubah menjadi rapat audiensi antara perwakilan tiga desa dengan kepala dinas Perkebunan Provinsi Riau dan jajarannya yang difasilitasi oleh Subdit Intelkam Polda Riau.

Pasal kontradiktif

Dalam rapat audiensi yang dipimpin langsung Kepala Dinas Perkebunan provinsi Riau Zulfadli, terungkap adanya 'pasal karet' yang sangat kontradiktif dengan tuntutan masyarakat soal pembangunan kebun plasma 20 persen dari luasan HGU PT SIR.

Sepintas masyarakat merasa punya harapan dengan kemunculan Permentan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.

Namun tanpa mereka sadari masyarakat terjebak di Pasal 43 Permentan 18/2021 tersebut, bahwa kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan.

Hal ini diungkapkan Dr. Ir. Sri Ambar Kusumawati, M.Si Kabid Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Provinsi Riau pada saat menyanggah pendapat Ketua Pemuda Tebing Tinggi Okura, Deni Afriadi yang berkesimpulan bahwa hukumnya wajib melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perusahaan tanpa menyetakan 'ekor kalajengking' di Pasal 43 Permentan nomor 18 tahun 2021 tersebut.

"Coba dibaca seluruh isi Pasal 43 Permentan nomor 18 tahun 2021 tersebut, bahwa fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013," ujar Sri Ambar.

"Nah kalau kita simak pada pasal 60 Permentan Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tersebut dinyatakan bahwa kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 'tidak berlaku' untuk Perusahaan Perkebunan yang memperoleh izin usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007," tegas Sri Ambar, Rabu (27/9).

"Sementara IUP PT SIR ini Tahun 2000, jadi tidak berlaku kewajiban itu, hanya diwajibkan melakukan kegiatan usaha produktif sesuai kondisi masyarakat setempat," imbuhnya.

Ambar menilai perusahaan sudah ada itikad baik dengan membentuk koperasi membantu UKM setempat.

"Dan dulu itu saat koperasi terbentuk juga sudah ada MoU dengan Lurah lama, pak Burhan," tutur Ambar tanpa memperlihatkan berkas MoU tersebut.

Warga Okura desak PT Surya Intisari Raya bagikan kebun sawit.

Sementara, mantan Lurah Tebing Tinggi Okura, Burhan yang kami klarifikasi beberapa waktu lalu terkait isu MoU yang ditanda tangani bersama PT SIR, Burhan bersumpah tak pernah melakukan itu, dan tak pernah menerima sepeser pun dari PT SIR.

"Saya capek ditanyai wartawan terkait MoU yang saya sendiri tak pernah tau. Saya bersumpah tak pernah menanda tangani perjanjian dengan PT.SIR. Kita cuma diminta bangunkan koperasi, dan lebih jelasnya tanyakan kepada pak Sarbaini," ungkap Burhan yang mengaku ingin tenang mengisi pensiun.

Dalam rapat audiensi tersebut, Kepala Dinas Perkebunan provinsi Riau, Zulfadli mengatakan bahwa pihaknya belum menerima berkas CPCL yang seharusnya ditanda-tangani kepala daerah yang dalam hal ini Walikota atau bupati.

"Semestinya siapa calon penerima dan calon lokasi [CPCL] dibuat oleh pihak kelurahan atau desa, yang selanjutnya di SK-kan oleh kepala daerahnya, dan kami belum menerima itu," ungkap Zulfadli.Zulfadli juga mengajak para perwakilan masyarakat tersebut untuk membicarakan lagi hal ini di ruang kerjanya sehabis rapat.

"Jadi nanti jangan pulang dulu, kita lanjutkan membahasnya di ruang kerja saya," ajak Zulfadli dengan rayuan pulau kelapanya.

Meski dikatakan menimbang bahwa dengan adanya perkembangan tuntutan pembangunan perkebunan, dan memperhatikan asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan tidak sesuai dan perlu ditinjau kembali;

Maka lahirlah Permentan pengganti Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Perkebunan yang kami nilai permentan 'terkotor' karena sarat kepentingan dan keberpihakan pada pengusaha perkebunan.

Tidak cuma diacak-acak, bahkan beberapa pasal di Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 juga telah dihapus oleh dua permentan lainnya, diantaranya Permentan Nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 Tentang Perubahan Atas Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang menghapus pasal 13, 14, dan 49, serta Permentan Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Begitu pula dengan pasal 60 dan pasal 61 yang terang-terangan menghapus kewajiban perusahaan tertentu dalam melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.

"Pasal 60 dan 61 ini patut diduga pasal 'pesanan' yang merugikan masyarakat di satu pihak dan melepaskan tanggung jawab perusahaan dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.Kotornya Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 dimulai pada pasal 15 yang menyelipkan kata 'memfasilitasi', padahal di pasal 11 angka (1) permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 dengan tegas memerintahkan; "Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% [dua puluh per seratus] dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan" tanpa ada kata memfasilitasi atau fasilitasi yang maknanya jadi liar kemana-mana.

Bahwa tugas 'memfasilitasi' selama ini erat kaitannya dengan tugas pokok dan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik guna melayani rakyat.

Namun dengan licik 'mafia regulasi' mengaburkan kewajiban perusahaan membangun kebun masyarakat menjadi memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Demikian pula dengan pasal 60 dan 61 yang bahkan menghapus kewajiban PT.SIR memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Diduga, hal ini kemudian yang melatar-belakangi oknum pejabat di lingkungan Dinas Perkebunan provinsi Riau lebih memilih bungkam di posisi aman dari konflik.

Pejabat demikian selalu gesit melayani perusahaan perkebunan yang nota bene pemberi 'siraman', namun alergi dan berusaha buang badan saat harus berhadapan dengan masyarakat lokal, walau setiap bulan ia mencicipi uang rakyat sejak SK PNS diterimanya.

Celakanya lagi, agar 'siraman terus datang 'berember-ember' oknum mafia regulasi hingga detik ini tetap gigih mengunci Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan tetap berlaku, walau sepatutnya sudah tidak relevan dengan dinamika sejak terbitnya Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

'PT SIR bikin geram'

Gubernur Riau [Gubri] Edy Afrizal Natar Nasution tak bisa menyembunyikan kegeramannya ketika mengetahui pihak perusahaan PT SIR dalam rapat [Audiensi] yang digelar di ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau, pada Rabu 27 Desember 2023 lalu tidak hadir. 

Rapat yang dipimpin mantan Danrem ini menyikapi Surat dari Aliansi Masyarakat Melayu Riau dan dari Tropika  mengenai Konflik Perpanjangan Hak Guna Usaha [HGU] PT SIR. 

"Hari ini saya sebagai gubernur akan menyelesaikan masalah ini. Tapi kalau sebagai seorang gubernur saja yang mimpin terus tak ada yang datang [PT SIR] maunya apa," kata Edy dengan kesal. 

Ia menegaskan, bahwa saat ini dirinya adalah Gubernur Riau. Namun sangat disayangkan, ketika diundang untuk menyelesaikan permasalahan HGU lahan yang ditolak warga tempatan, pihak perusahaan justru terkesan tidak mengindahkan, tidak hadir tanpa alasan.

Edy Natar menganggap PT SIR tidak mempunyai itikad baik menyelesaikan persoalan. 

"Yang memimpin ini Gubernur Riau lho, orang nomor satu di Riau. Kalau orang nomor satu mau menyelesaikan sementara dia tidak datang berarti tak ada keinginan mau menyelesaikan," tegas Edy. 

Edy Natar memperingatkan perusahaan agar tidak main-main dengannya, apalagi  izin HGU PT SIR akan segera berakhir. 

"Jangan main-main. Dia bisa main-main, tapi dengan Edy Natar jangan coba-coba. Kalau kata saya tak perpanjang nanti usahanya berarti ilegal," sergah Edy lagi. 

Terkait masa berlaku PT SIR, sempat ditanyakan Edy Natar kepada kepada Kadis Perkebunan Provinsi Riau Zulfadli. Dijelaskan Zulfadli bahwa HGU berakhir pada 2024 mendatang. 

Mendengar penjelasan ini, Edy pun menitip pesan jangan diperpanjang izin HGU PT SIR. 

"Mau siapapun di belakangnya, mau hantu beliau atau siapa saya tak peduli," ungkap Edy. 

Pemprov Riau memberikan respon tegas terhadap kasus PT SIR dengan membentuk tim satuan tugas [Satgas] Internal Terpadu, terkait perusahaan telah menekankan kehendak sepihak dengan melakukan konflik sosial [sengketa lahan] terhadap masyarakat Tualang, Maredan, dan Okura.

"Arogansi PT SIR yang telah menekan penduduk setempat karena sengketa lahan buat panik semua pihak."

"Sekarang tim sudah dibentuk dan ketuanya kepala dinas perkebunan riau [syahrial abdi]," kata Gubri Edy Natar didepan media.

Gubernur Riau, Edy Natar Nasution menegaskan komitmennya dengan memerintahkan pembentukan tim tersebut yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, Syahrial Abdi.

Tanpa memberikan target waktu tertentu, Gubernur memberikan kewenangan luas kepada tim satgas untuk mendalami kasus tersebut.

"Kita beri tim seluas-luasnya [mendalami persoalan PT SIR], tetapi dengan waktu sesingkat-singkatnya. Saya tidak mau membatasi dengan target, sehingga nanti kerja tim satgas tidak maksimal," ujarnya.

Gubri menjelaskan, pembentukan tim gabungan ini bertujuan mendalami aspek-aspek yang dianggap sebagai masalah oleh masyarakat, terutama terkait hak 20 persen. Proses ini juga diharapkan dapat menjadi mediasi untuk mencegah konflik.

"Sebenarnya yang kita lakukan ini dengan mengundang mereka [PT SIR] itu dalam rangka mempermudah semua pihak [perusahaan dan masyarakat]. Karena pada dasarnya pemerintah ini menjadi wasit [penengah] supaya tidak terjadi konflik," tegasnya.

"Yang pada akhirnya nanti kita berharap dengan duduk bersama-sama, perusahaan bisa tenang menjalankan kerjanya dan masyarakat juga jelas mendapatkan apa yang menjadi haknya," ucapnya.

Sebelumnya, Gubri telah meminta pembentukan tim gabungan dengan menerbitkan surat tugas dan menyurati sektor Disbun.

Tim satgas diharapkan dapat melakukan pendalaman menyeluruh terkait luas lahan, hak masyarakat, kewajiban perusahaan terhadap lingkungan, dan aspek-aspek lainnya yang memerlukan perhatian.

Menurut Gubri, persoalan itu agar dapat segera menyelesaikan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan PT SIR dan menekankan perlu hadirnya Satgas Terpadu Internal yang dibentuk Pemprov Riau.

"Kita mendorong pekerjaan ini dapat berjalan efektif dan memastikan semua pihak terlibat dapat mencapai kesepakatan, melengkapi data dari dua kabupaten/kota yakni siak dan pekanbaru, yang menjadi wilayah kerja PT SIR," ungkap Gubri usai melakukan pertemuan internal, Senin 1 Januari 2024 di kediaman dinasnya.

Satgas juga diinstruksikan untuk mempelajari dengan seksama Perpres Nomor 88 Tahun 2017, dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria sebagai panduan dalam penyelesaian sengketa.

"Makanya negara berhak hadir dalam melaksanakan reforma agraria, terhadap lahan perkebunan sawit PT SIR, sesuai dengan perundang-undangan berlaku," ujarnya.

"Dan untuk perusahaan diingatkan untuk memberikan sebagian lahan perkebunannya kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan yang ada," tegasnya.

Lebih lanjut, Edy mencermati pentingnya peran pemerintah sebagai 'wasit' atau penengah dalam komunikasi antara masyarakat dan perusahaan ditekankan.

"Akan tetapi sayangnya, ketika pemerintah, bahkan saya sendiri ingin hadir mengambil alih untuk membantu, justru tak berjalan dengan baik, karena tidak ada itikad baik dari perusahaan. Itulah dasarnya mengapa tim ini dibentuk," terangnya.

Ditegaskannya, isu utama yang harus diselesaikan adalah tuntutan masyarakat terkait 20 persen hak mereka, yang dianggap sebagai hal yang tak bisa ditawar.

"Jika perusahaan menyadari kewajibannya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat, masalah seperti ini tidak akan terjadi," imbuhnya.

Pengolahan CPO pabrik kelapa sawit PT SIR di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak.

Di sisi lain, ia juga menuntut pendalaman secara cermat terkait jumlah Hak Guna Usaha [HGU] PT SIR yang sah dan lahan lain yang diduga ilegal. Dan seluruh kerugian yang muncul dari praktik tersebut harus dihitung dengan teliti.

Tidak itu saja, dalam kesempatan itu, Gubernur Riau juga menekankan bahwa aksi nyata lebih penting daripada kata-kata.

"Jangan banyak bicara di lapangan. Segala hambatan yang muncul dalam penyelesaian konflik ini segera dilaporkan. Saya yang bertanggungjawab," tukasnya.

Bukan tanpa alasan Gubri, Edy Natar Nasution kecewa lantaran PT SIR tidak memenuhi undangan yang telah dikirimkan Pemerintah Provinsi [Pemprov] Riau.

Adapun undangan yang dimaksud yakni pertemuan antara Aliansi Masyarakat Adat [AMA] Melayu Riau, Tropika Riau, dan Pemprov Riau yang membahas tentang konflik perpanjangan HGU PT SIR yang pertemuan itu berlangsung di Ruang Rapat Kenanga Kantor Gubernur Riau, Rabu 27 Desember 2023 lalu. Namun PT SIR yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang lahannya berada di Kabupaten Siak, yang meliputi Tualang dan Maredan Barat dan di Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Pekanbaru ini dinilai memang terkesan pembangkang. (*)

Tags : pt surya intisari raya, perusahaan kebun sawit, riau, pt sir di sorot, hgu pt sir terancam diperpanjang, gubri kecewa dengan pt sir, gubri usut pt sir, sorot, riaupagi,