Headline Daik Lingga   2022/05/16 21:59 WIB

Usai Covid-19, Kisah Sebuah Desa di Lingga yang 'Berupaya Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi'

Usai Covid-19, Kisah Sebuah Desa di Lingga yang 'Berupaya Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi'
Misran, Kepala Desa (Kades) Kuala Raya

DAIK LINGGA - Usai Covid-19, kisah sebuah desa di Kabupaten Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan kembali bertani tanam timun, kacang panjang, terong, dan cabai.

Sebuah Desa Kuala Raya yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Kecamatan Dabo Singkep, terus bangkit dari keterpurukan ekonomi. Desa itu berada di pesisir di Dabo Singkep bagian timur laut, jauh dari pusat pariwisata di Daik Lingga.

Desa Kuala Raya dihuni penduduk Melayu 75 persen, juga terdapat suku Batak, China, Bugis, Jawa. Desa ini kedatangan ratusan warga yang merantau dari berbagai daerah setelah sektor pariwisata terpuruk akibat pandemi Covid-19. 

"Aktifitas warga nelayan terlihat di kelong bilis, setengah kilometer dari desa mereka sudah menyibukkan diri," kata Misran, Kepala Desa (Kades) Kuala Raya yang dihubungi melalui What Sapp (WA), Senin (16/5/2022) malam tadi ini.

Kepala Desa, Misran kemudian mengajak warganya untuk kembali bertani bercocok tanam berbagai bidang yang selama ini ditinggalkan lantaran pariwisata lebih menggiurkan.

Warga menjemur ikan bilis

Dari Kota Dabo Singkep perlu waktu sekitar 35 menit dengan kendaraan bermotor menuju desa ini. "Itu pun melalui jalan naik turun dan berliku-liku," kata Misran.

Pada musim kemarau seperti saat ini, tanah-tanah di desa ini terlihat kering. Kebun-kebun tak terurus meski di dalamnya berisi aneka tanaman, seperti mangga, kelapa, Jambu mete, dan tanaman keras lainnya.

Di antara beragam tanaman tersebut, Kades Misran berambisi mengubah Covid-19 sebagai momentum.

"Pandemi ini menjadi momentum untuk melihat apa yang kita miliki tetapi selama ini kita abaikan," kata dia yang melaporkan tadi malam.

Sumber daya terabaikan di desa yang dimaksud Misran adalah lahan-lahan pertanian di desa yang ditinggal begitu saja oleh sebagian besar warga selain karena Covid-19 juga karena tergiur dengan uang dari sektor pariwisata.

Tercatat sekitar 40% dari 300 kepala keluarga (KK) warga desa memilih merantau untuk bekerja di bidangnya masing-masing.

"Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia dan membuat sektor pariwisata di desa terpuruk sejak pada Maret 2020, ratusan warga desa yang dulu merantau untuk bekerja, sekarang kembali ke kampung halaman dan menganggur."

Tetapi seperti disebutkan, Amir (60) seorang pemuda yang kini tinggal di Kota Daik yang sudah lama bekerja merantau ke Malaysia khususnya di bidang Pariwisata dan terakhir bekerja mengelola sebidang tanah berkebun di Kampung Cenut mengakui pendapatan per bulannya naik turun.

"Kalau dulu saya bekerja di Malaysia rata-rata berkisar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta pada saat musim puncak turis. "Itu belum termasuk tip dari tamu," katanya.

Bagi Amir yang hidup sendiri di Malaysia mengaku pendapatan itu lebih dari cukup. Dia bahkan bisa membangun rumah di kampung halamannya di Lingga.

Amir merantau ke Malaysia lebih lama, sejak 25 tahun lalu. Meskipun akhirnya balik kampung, bapak dua anak ini masih kembali sesekali ke Malaysia, kawasan sibuk yang penuh dengan restoran, kafe, hotel, toko suvenir, dan aneka fasilitas pariwisata lain.

Tetapi kembali disebutkan Misran, Kades Kuala Raya, begitu pandemi menghantam desanya dan meruntuhkan pilar utama ekonomi pulau yaitu pendapatan para pekerja di sektor nelayan ini pun berduyun-duyun kembali ke desa.

"Sekarang pendapatan nol, untuk makan saja kurang. Usai Covid-19, anggaran pun belum diketok palu," kata Misran menggambar situasi sekarang.

Misran mengaku selama dua hingga tiga bulan pertama banyak warga dilingkungan kampungnya merasa stres. "Mungkin karena dompet terus kering," katanya dalam logat bahasa Melayu. Artinya dompet tak lagi terisi.

Ikan bilis (teri)

Jadi tak hanya Amir, warga Kampung Cenut, Daik Lingga yang mengalami hal sama. Ada sekitar puluhan orang lain dari Desa Kuala Raya yang kini kembali ke desanya karena pandemi.

"Lebih dari separuh perekonomian di desa bergantung langsung pada pertanian, sedangkan selebihnya terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan mencari ikan," kata Misran.

Sumber pangan

Persoalannya kemudian mereka yang kembali ke kampung tersebut ternyata tidak bisa diakomodasi begitu saja oleh pemerintah melalui skema bantuan-bantuan yang ada.

Sebagian besar terhambat masalah teknis. Contohnya, mereka tidak punya pekerjaan tetap sebelumnya sehingga tak memiliki bukti surat PHK sebagai syarat mendapatkan bantuan.

Contoh lain, mereka tidak masuk kategori miskin sesuai kriteria pemerintah, tetapi saat ini sudah tak punya pekerjaan. "Mereka terpaksa hidup dari tabungan dan pinjaman," kata Misran menggambarkan.

Misran kemudian berpikir lebih panjang, bagaimana jika pandemi ini tidak selesai dalam waktu dekat?

Karena itulah, dia pun membuat skema baru dengan mengajak para warganya kembali bertani guna menyediakan sumber pangan.

"Karena orang akan kembali ke kebutuhan dasar. Pangan akan jadi masalah serius. Bukan soal pasokan, tetapi kemampuan membeli. Karena itu paling realistis adalah menyediakan sumber pangan," kata jembolan Jurnalis ini.

Mereka yang semula sudah lama tak bertani dia ajak untuk mengolah tanah, membuat bedengan, menyemai bibit, merawat tanaman, sampai memanen hasilnya.

Sejak sekitar April 2020 lalu, dia mengajak warganya untuk membuka dan mengelola lahan milik warga yang tidak diolah.

Di sana mereka menanam sayur-sayuran, seperti terong, tomat, cabai, kacang panjang, dan lain-lain. "Nanti setelah berhasil di satu lokasi, mereka kemudian bisa mengembangkan ke lokasi lain," ungkapnya.

Rencananya, modal pembuatan kebun itu dari Anggaran Dana Desa (ADD). Sejauh ini, menurut Misran. "Ini baru permulaan," katanya.

Andalkan pertanian

Meskipun baru permulaan, kebun-kebun pertanian itu sudah membantu warga desa yang terdampak pandemi.

Misran juga mengaku sempat stres pada bulan-bulan awal melihat desanya, sekarang merasa lebih percaya diri.

"Percaya ndak percaya, harus percaya diri. Karena untuk di kampung, sekarang mengandalkan hidup dari bertani juga menjanjikan," katanya.

Kelong tempat penangkapan ikan bilis

Dia mengaku harus belajar lagi sebelum memutuskan warganya bertani kembali. Apalagi, dia mengatakan juga tidak mungkin hanya bergantung di sektor pariwisata.

"Kita tidak bisa mengharapkan pariwisata saja. Kalau ditunggu-tunggu, harapan itu tidak pasti. Lebih baik bertani," katanya.

Warga harus bisa merasa terbiasa dengan kondisi sekarang meskipun pendapatannya tidak banyak.

"Pendapatan sedikit pun sekarang sudah cukup. Kalau dulu memang banyak dari sektor wisata, tapi banyak juga kebutuhan," lanjutnya.

Mungkin bagi warga lain, kembali ke pertanian juga mengubah kebiasaan buruk mereka ketika uang mudah didapatkan saat bekerja di pariwisata.

"Lumayanlah. Sekarang warga ada tambahan untuk makan. Tidak sampai terjerumus untuk hal-hal tak berguna," kata Misran.

Perubahan desa, tak hanya menggantungkan sektor wisata

Misran punya ide dan gagasan untuk membangun desa kelahirannya. Itu sebabnya dia memilih untuk membangkitkan kembali desanya pada pertanian.

Dia punya ide untuk mengembalikan pertanian sebagai sumber pendapatan utama desa sebagaimana pernah terjadi pada dekade sebelumnya (1980-an hingga 1990-an). Kala itu, buah-buahan juga bisa menjadi sumber pendapatan utama warga desa.

Pertanian makin meredup di desa ini setelah terjadi serangan Covid-19. Pada saat yang sama, pariwisata terus tergerus oleh waktu, sehingga banyak orang tak tergoda dengan berbagai titik lokasi pulau yang menjadi objek wisata, termasuk di Desa Kuala Raya.

Secara umum, pilar ekonomi di desa juga berubah. Dari semula bergantung pada wisata kini secara perlahan ke pertanian. 

Misran ingin menjadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum. Dia punya alasan. Pertama, katanya, tiada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Kalau toh pandemi berakhir, pariwisata tidak serta merta kembali normal.

"Turis pun mungkin dibatasi dan orang-orang juga bisa bisa bekerja kembali," lanjutnya.

Ketika pariwisata belum kembali normal, pendapatan dan daya beli warga juga menurun. "Di balik daya beli turun, kita tetap perlu makan. Pertanian jawabannya," ujar Misran.

Karena itu Misran berharap apa yang dia lakukan juga bisa dilakukan di skala lebih luas. Tidak hanya di desa, tetapi juga oleh pemerintah daerah.

Dia berharap pemerintah daerah tidak hanya fokus untuk membuka kembali pariwisata di tengah kasus Covid-19 yang terus naik, tetapi juga memberikan perhatian pada pertanian.

"Membuka pariwisata itu untuk mendorong ekonomi juga, tetapi jangan lupa pariwisata kita juga tidak sedang baik-baik saja," katanya.

Misran, Kades Kuala Raya melakukan rapat dengan staf.  

Tak kalah pentingnya, lanjut Misran, adalah menggeser model pariwisata dari pariwisata massal ke pariwisata berkualitas. Inilah yang sudah dicoba diterapkan di tingkat desa. "Tetapi ada baiknya dibuat pariwisata alternatif berbasis potensi desa, seperti pertanian," sebutnya.

Sejak Februari 2020 lalu, Desa Kuala Raya, Kecamatan Singkep Barat membuka tembok pariwisata desa yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

"Mereka mengajak turis treking menelusuri desa dan melihat keseharian warga, termasuk saat bertani di kebun."

"Pariwisata juga bukan hal buruk. Bahkan baik sekali. Dia juga sudah mempercepat kualitas hidup masyarakat, tetapi bukan berarti membiarkan satu pilar ini yang mendominasi ekonomi kita. Perlu dibangun sektor-sektor lain, seperti pertanian, UMKM, dan SDM," tegasnya. (*)

Tags : Usai Covid-19, Desa Kuala Raya, Kisah Sebuah Desa di Kabupaten Daik Lingga, Kepulauan Riau, Desa Kuala Raya Berupaya Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi,