Headline Politik   2023/05/18 17:19 WIB

Warga Etnis Tionghoa juga Ikut Memilih Capres 2024, Wasekjen KNPI: 'Tetapi juga Memiliki Beragam Preferensi Politik'

Warga Etnis Tionghoa juga Ikut Memilih Capres 2024, Wasekjen KNPI: 'Tetapi juga Memiliki Beragam Preferensi Politik'
Seorang perempuan etnis Tionghoa Indonesia memasukkan suaranya di TPS pada babak akhir Pilakada 2017.

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Warga etnis Tionghoa juga ikut dukung dan memilih calon presiden (Capres) dalam pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ini.

Seperti pernyataan Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum (Ketum) Partai Parsatuan Indonesia (Perindo) - yang mengatakan bahwa Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) akan mendukung calon presiden yang dipilih Presiden Jokowi.

Soal pernyataan Ketum Perindo yang sempat menuai keritikan ini, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Larshen Yunus mengakui, pernyataan itu memang tidak mewakili masyarakat Tionghoa yang juga diketahui memiliki beragam preferensi politik.

Larshen Yunus 

Larshen Yunus menilai, PSMTI memiliki pengaruh besar di tengah kalangan warga etnis Tionghoa di Indonesia.

Pernyataan semacam itu disebutnya akan menimbulkan dampak signifikan terhadap para calon pemilih keturunan Tionghoa-Indonesia.

“Karena banyak yang kemudian simpatisan dan ikut dalam acara-acara mereka, tetapi kita berpendapat sebaliknya Perindo justru lebih baik memilih Prabowo Subianto," kata Larshen Yunus yang juga Ketua DPD KNPI Riau ini berpendapat, saat ngopi bersama di Afghan kuffi, Kamis (18/5) tadi.

Namun demikian, Ia menyadari tidak bisa dipastikan apakah masyarakat Tionghoa di Indonesia "akan mengikuti" langkah Hary Tanoesoedibjo.

"Karena orang Tionghoa sendiri kan dinamis, bercampur ya kan," katanya.

Larshen menjelaskan, sebagian besar warga Tionghoa ada juga cenderung memilih sosok pemimpin yang disebutnya dapat mengakomodir keberadaan warga etnis Tionghoa secara terbuka dan inklusif.

“Jadi yang saya lihat, mereka ingin politisi-politisi yang bisa membuka ruang yang menerima orang-orang Tionghoa. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh,” dalam penilaiannya itu.

Tetapi kembali saat Hary Tanoesoedibjo - selaku Dewan Kehormatan Senior PSMTI - bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin 15 Mei 2023 kemarin, dalam laporan mengatakan bahwa organisasi sosial yang menghimpun etnis Tionghoa itu mendukung pilihan calon presiden (capres) Jokowi.

Menjelang Pilpres 2024, katanya, mereka akan mendukung keputusan Jokowi tentang capres di Pilpres 2024.

"PSMTI juga menegaskan ingin sekali siapa pun nanti yang didukung oleh Pak Jokowi tentunya akan didukung juga oleh PSMTI."

"Intinya PSMTI menengaskan perlunya ada keberlanjutan, kontinuitas atas apa yang sudah dicapai oleh beliau," kata Hary kepada para wartawan, Senin (15/05).

Ia menjelaskan bahwa PSMTI ingin ada keberlanjutan pembangunan setelah era Jokowi.

Mereka ingin presiden berikutnya meneruskan pembangunan di bidang ekonomi dan politik, tambah Hary.

Meski begitu, Wakil Sekretaris Umum PSMTI, Ardi Susanto, membantah perkataan Hary Tanoe dan mengatakan pernyataannya itu tidak merepresentasikan pandangan PSMTI sebagai organisasi.

"Prinsipnya kita menentang segala bentuk eksploitasi politisasi identitas. Jadi kalau hal itu mengarah ke sana, ya tentu kita sangat tidak sepakat.

"Tidak sepakat dengan pendapat itu. Tetapi apakah itu betul-betul pendapat, Pak Hary Tanoe saya enggak mendengarkan jadi saya kurang tahu," ujar Ardi.

"Saya tidak pernah memberikan kuasa kepada dia untuk mewakili saya“

Warga Tionghoa ikut memilih Capres

Ketua Dewan Penasehat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Jusuf Hamka mengkritik pernyataan Hary Tanoe yang mengeklaim bahwa PSMTI mendukung capres pilihan Jokowi.

“Kalau memang benar yang dikatakan Hary Tanoe, saya orang Tionghoa, saya tidak pernah mengatakan begitu dan tidak pernah memberikan kuasa kepada dia untuk mewakili saya,“ kata Jusuf pada wartawan.

Menurut Jusuf, pernyataan itu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat etnis Tionghoa ke depannya.

Sebab, seringkali jika calon pemimpin yang dipilih membuat kesalahan selama rezimnya, maka masyarakat akan dengan cepat menyalahkan masyarakat Tionghoa yang dianggap mendukungnya saat Pemilu.

“Nanti misalnya zaman berubah, rezim berubah. Orang akan meminta pertanggung jawaban. Eh orang Tionghoa, kenapa lu dulu dukung seseorang, kan enggak boleh begini."

“Orang Tionghoa itu tidak boleh eksklusif lagi. Dia harus membaur di mana-mana. Dia harus ada di mana-mana. Enggak boleh mendukung satu pihak, apalagi declare,” jelas Jusuf.

Kembali seperti dalam penilaian Larshen Yunus yang menyebutkan bahwa publik non-Tionghoa pada umumnya memiliki kecenderungan untuk mengeneralisir preferensi politik warga etnis Tionghoa.

Ini disebutnya sudah terjadi sejak masa Orde Lama.

“Jadi memang Tionghoa selalu beragam. Tidak bisa dilihat bahwa ini satu kelompok yang selalu satu pandangannya,” kata Larshen.

'Sikap politik warga Tionghoa tidak ada yang seragam'

Larshen Yunus berpendapat, kalau sebaiknya Ketum Perindo justru lebih baik mengarahkan pemilihannya pada Prabowo Subianto.

Selain sudah banyak melintang di pemerintahan, Jabatan Menhankam dipundaknya membuktikan keberhasilannya di pemerintahan ini.

"Suara yang didulang Ketum Gerindra itu juga masih solid. Nantinya, beliau bisa dipasangkan bersama Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam RI) juga bisa dengan Dr. H. Mochamad Ridwan Kamil, S.T., M.U.D, Gubernur Jawa Barat (Jabar) atau berangkali dengan Dr. (H.C.) H. Erick Thohir, B.A., M.B.A., Menteri BUMN," kata Larshen menambahkan saat ini partisipasi warga etnis Tionghoa di dunia politik sudah semakin baik dan beragam.

Beberapa warga etnis Tionghoa mengantre untuk mencoblos di kotak suara pada Pilkada 2017.

Hal ini terbukti dengan keberadaan anggota-anggota beretnis Tionghoa di sebagian besar partai-partai politik, mulai dari Golkar, PPP, Nasdem hingga PDIP.

“Saya yakin tidak terjadi satu sikap politik yang seragam, dalam kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ini dinamis dari sikap politiknya bisa beragam bisa macam-macam,” tambahnya.

Meski begitu, ia mengatakan sampai saat ini belum pernah dilakukan survei yang mampu menganalisa preferensi politik warga etnis Tionghoa di Indonesia secara lengkap.

Lagipula, tambahnya, sampai sekarang masih menjadi perdebatan tentang berapa jumlah warga etnis Tionghoa di Indonesia.

“Jadi untuk nationwide itu susah, yang nationwide random ya. Tapi yang bisa kita lakukan itu coba melihat anggota-anggota organisasi. Tapi kalau dilakukan satu survei kepada anggota-anggota PSMTI saja, juga akan dikatakan bias,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Larshen, selama ini PSMTI selalu menyatakan dirinya sebagai paguyuban sosial, begitu juga PSMTI yang ada di Riau. Artinya, mereka tidak pernah melakukan kegiatan yang bersifat politik praktis ataupun memberi dukungan kepada pihak manapun.

“Karena dia tidak berani atau khawatir atau tidak mau dilihat sebagai sebuah organisasi politik. Jadi memang dari awal betul-betul menyatakan dirinya sebagai sebuah organisasi sosial dengan harapan, ya di dalamnya tidak berpolitik,” katanya.

Larshen menilai pernyataan Hary Tanoesoedibjo merupakan pendapat pribadi dan tidak merepresentasikan posisi resmi dari paguyuban tersebut.

Selain itu, kata Larshen, bahwa rata-rata warga etnis Tionghoa di Indonesia justru tidak memandang ras dalam menentukan pilihan politik.

Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, ia mengatakan bahwa banyak dari masyarakat etnis Tionghoa yang mendukung Jokowi dari Partai PDIP, bukan Prabowo yang berasal dari Partai Gerindra.

Padahal sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta,Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok -yang beretnis Tionghoa- merupakan politisi dari Gerindra.

“Ketika [Pemilu] 2019, Tionghoa justru berada di belakang Jokowi. Itu dalam pandangan saya suatu hal yang menarik. 2019 itu sangat mudah untuk dijelaskan, dalam pandangan saya, seperti ada kelanjutan dari kontestasi 2014-2017 di Pilkada DKI,“ ujarnya.

Ia menyebut bubarnya partai naungan etnis Tionghoa setelah era reformasi Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) akibat kekurangan suara, merupakan bukti bahwa warga etnis Tionghoa tidak selalu berpihak pada sesama etnis.

“Partai Tionghoa, partai Bhineka Tunggal Ika itu juga enggak bisa banyak dapat suara. Karena banyak Tionghoa yang justru tidak ke situ juga. Artinya memang sebetulnya, orang Tionghoa benar-benar beragam,“ kata Larshen.

Menurut dia, dari segi ideologi, masyarakat keturunan Tionghoa secara umum sebetulnya sedikit khawatir dengan siapapun politisi yang kemudian menggaung-gaungkan isu etnisitas. Sebab, mereka tidak menyukai adanya perlakuan berbeda karena etnis.

“Impian mereka kan sebetulnya satu diperlakukan betul-betul setara, sebagai bagian dari Indonesia yang utuh. Tidak lagi dipermasalahkan ketionghoa-annya dan sebagainya.

“Itu salah satu impian teman-teman Tionghoa dan diberi ruang yang sama untuk kemudian ikut berpartisipasi dalam politik di negeri ini,“ jelasnya.

Oleh karena itu, Larshen mengatakan seharusnya para politisi menjelang Pilpres berhenti berusaha menarik suara bulat dari warga etnis dengan alih-alih politik identitas. Kenyataannya, mereka dari dulu sampai sekarang sangat beragam.

Jadi dalam pandangannya, sebut Larshen Yunus lagi, politik itu sebaiknya tidak di-etnisitasi juga tidak bisa dikatakan satu kelompok etnis akan memiliki sebuah pilihan politik yang seragam. (*)

Tags : warga etnis tionghoa, warga tionghoa ikut memilih calon presiden, capres 2024, warga tionghoa memiliki beragam preferensi politik,