Nusantara   2021/10/09 14:25 WIB

Pembangkit Listrik Nuklir akan Dibangun di Kalimantan Barat, Jadi 'Mengular Penolakan'

Pembangkit Listrik Nuklir akan Dibangun di Kalimantan Barat, Jadi 'Mengular Penolakan'
Pembangkit listrik tenaga nuklir Metsamor membutuhkan sedikit tenaga kerja. Hanya 900 orang di kota itu yang bekerja di situs tersebut. (Foto. Getty Images)

NUSANTARA - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, disebut akan menjadi fasilitas setrum tenaga nuklir pertama dengan skala komersial di Asia Tenggara.

Meski hingga saat ini studi tapak dan uji kelayakan sedang berlangsung, peneliti senior di Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkata, kemungkinan besar hasil studi menyatakan wilayah itu layak dibangun PLTN. Akan tetapi kelompok penolak dan pengamat energi berpendapat, Indonesia tidak membutuhkan pembangkit listrik bertenaga nuklir. 

Mendengar kata nuklir, pikiran Muhamad Agam langsung tertuju pada Chernobyl dan Fukushima. Dua bencana pembangkit listrik tenaga nuklir terparah yang pernah terjadi. dan dua malapetaka itu melepaskan radiasi mematikan. Pada tahun-tahun setelahnya paparan radiasi itu dikaitkan dengan melonjaknya kasus penyakit kanker di Ukraina pada orang-orang yang terkontaminasi. "Kami jelas tidak setuju [dibangun PLTN] karena kami berpikir jangka panjang. Berkaca pada kecelakaan pembangkit di Chernobyl dan Fukushima," tegas Agam dirilis BBC News Indonesia.

Tak cuma Agam yang terang-terangan menolak, tapi juga mayoritas komunitas Melayu yang tinggal di pesisir Pantai Gosong, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Sebab jika proyek setrum bertenaga nuklir pertama berskala komersial di Indonesia tersebut didirikan, maka besar kemungkinan Agam dan ratusan keluarga nelayan tergusur. "Jarak rumah saya ke lokasi calon tapak PLTN tidak jauh. Saya ada kerabat nelayan, kalau [PLTN] dibangun, mata pencaharian mereka terputus karena area tangkapan berkurang."

Bagi Agam, manfaat pembangkit listrik tenaga nuklir tak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung masyarakat. Belum lagi ancaman perampasan tanah dan kriminalisasi.

Mengapa pilihan PLTN di Bengkayang?

Rencana pembangunan pembangkit listrik dari nuklir menjadi isu panas di Kabupaten Bengkayang, sejak April 2021. Kala itu Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengundang sejumlah tokoh dari tiga kelompok masyarakat terbesar di Bengkayang; Dayak, Melayu, Tionghoa untuk menyosialisasikan penelitian lembaga itu atas calon tapak dan kelayakan PLTN.

Pihak lain yang diajak bertemu antara lain kepala desa, camat, Majelis Ulama Indonesia Bengkayang, Forum Kerukunan Umat Beragama Singkawang, dan perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia. Peneliti senior di Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) — dulu disebut Batan —, Djarot Sulistio berkata riset atas calon tapak dan kelayakan berjalan sejak 2020 hingga 2022. Di situ mereka bakal meneliti kestabilan tanah, akses lokasi, termasuk dari sisi ekonomi.

Karena penelitian berlangsung lama, maka sudah pasti mencuri perhatian warga sekitar. Itu mengapa Batan, sambung Djarot menggelar pertemuan.  "Studi kelayakan ini biasanya menimbulkan tanda tanya di masyarakat, jadi harus dijelaskan," ujar Djarot.

Tapi mengapa di Bengkayang, Djarot mengatakan keputusan itu tak lepas dari "sentimen impor listrik dari Malaysia". Impor listrik ini sudah berlangsung sejak 2016 yang dialirkan ke enam kota dan kabupaten di Kalimantan Barat, yakni Pontianak, Menpawah, Bengkayang, Singkawang, Sambas, dan Kubu Raya.

Dulu, sebelum ada impor setrum, byarpet jadi hal rutin. Pemadaman terjadi dua kali sehari selama dua jam. Soal krisis listrik ini juga diakui oleh seorang warga, Niko Andasputra. "Sebentar-sebentar mati, tiap jam mati, hahaha..." kata Nico mengenang.

Pertimbangan lain, pada 2019 jajak pendapat yang dilakukan Batan dengan menggandeng Badan Pusat Statistik dan lembaga survei menyebutkan 87% masyarakat Kalimantan Barat setuju atas pembangunan PLTN. "Dan dukungan dari kepala daerah sehingga membuat mereka sangat ingin punya PLTN," imbuh Djarot.

Lebih dari itu, Kalimantan tidak masuk dalam ring of fire atau zona di mana terdapat banyak aktivitas vulkanik, selain potensi terjadi tsunami rendah. Karena itulah bekas Kepala Batan ini yakin hasil penelitian mengatakan di Bengkayang cocok didirikan pembangkit listrik bertenaga nuklir.  "Jadi kalau pendapat saya pribadi, kemungkinan besar hasil studinya layak," kata Djarot yakin.

Jika uji tapak dan kelayakan sejalan dengan prediksi Djarot, maka tahap selanjutnya memilih teknologi reaktor yang akan dipakai untuk diajukan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Selanjutnya dibawa ke meja presiden untuk diputuskan: apakah go nuklir atau tidak!

PLTN komersial pertama di Asia Tenggara

Djarot mengakui ongkos membuat satu pembangkit listrik tenaga nuklir bisa tiga kali lipat lebih mahal dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara atau sekitar Rp69 miliar. Dan, butuh waktu setidaknya 10 tahun untuk membangun PLTN. Daya dari pembangkit itu pun, menurut Djarot, bisa mencapai 1.400 megawatt. Tapi untuk jangka pendek, daya yang dihasilkan berkisar antara 200 hingga 300 megawatt.

Dia juga menegaskan, bahan bakar uranium untuk pembangkit ini tidak akan diambil dari Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, seperti yang pernah disampaikan Gubernur Sutarmidji. "Kalau toh kita mau eksploitasi uranium, kita harus lakukan pengayakan uranium di luar negeri. Sementara hingga saat ini, kita belum pernah melakukan ekploitasi secara komersial," jelasnya. 

Proyek yang ditargetkan beroperasi pada 2034 ini akan menjadi fasilitas setrum tenaga nuklir pertama skala komersial di Asia Tenggara, setelah Vietnam batal membangun PLTN. Adapun PLTN milik Filipina yang dibangun pada 1984 untuk kebutuhan skala komersial, hingga kini tidak jelas nasibnya. "Dari sisi organisasi dan penguatan inftrastruktur, Indonesia memang lebih maju. Studi kelayakan dilakukan terbuka dan digelar jajak pendapat. Itu yang belum dilakukan Filipina."

Apakah sudah saatnya Indonesia membuat PLTN?

Kehadiran PLTN, kata anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya, sudah masuk dalam Grand Strategi Energi Nasional — yakni pembangkit nuklir sebagai pilihan terakhir jika pembangkit dari energi baru dan terbarukan lainnya mengalami kendala. Dan pada tahun 2040 atau 2045, PLTN diharapkan menjaga keandalan sistem distribusi tenaga listrik. GSEN itu, sambungnya telah dipresentasikan ke Presiden dan "disetujui".

Tapi lebih dari itu, karena pemerintah Indonesia ingin mencapai target nol emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris pada 2016 lalu, maka salah satu caranya dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. "Kalau masuk dalam strategi net zero emission kemungkinan masuknya PLTN besar," sambungnya.

"Pada 2060 target [kapasitas listrik] PLTN sebesar 35 gigawatt."

Karena itulah Dewan Energi Nasional "mempersilakan" Kabupaten Bengkayang membuat PLTN. Namun demikian pengamat energi dan kelistrikan dari Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa tegas mengatakan "Indonesia tidak membutuhkan PLTN".

Menurut Fabby, ada risiko keselamatan, keamanan, dan ekonomi jika pemerintah nekad membangun pembangkit dari nuklir. Selain itu, hingga kini belum ada "persetujuan dari masyarakat" untuk mendirikan PLTN. "Karena risiko PLTN bukan hanya pada gempa atau tsunami. Ada risiko lain yang berasal dari teknologinya sendiri. Salah satu faktor risiko PLTN justru faktor human error," terang Fabby Tumiwa.

"Pengalaman selama ini di negara maju tanpa ada subsidi besar-besaran dari pemerintah, PLTN enggak akan bisa dibangun. Seperti teknologi PLTN generasi tiga plus di Inggris atau Uni Emirat Arab, itu semua membutuhkan dukungan subsidi besar-besaran dan harga listrik yang mahal."

Menurut dia, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan pembangkit dari energi terbarukan dikombinasikan dengan teknologi penyimpan energi. Penggabungan itu dimaksudkan Fabby untuk menyanggah kalangan pendukung PLTN bahwa pembangkit dari tenaga air, angin atau surya tidak stabil akibat ketergantungan pada kondisi cuaca.

Ia mencontohkan Australia yang telah 100% memanfaatkan energi terbarukan yakni pembangkit listrik tenaga angin dan surya sejak 2020 tanpa ada pemadaman. "Kombinasi pembangkit listrik tenaga surya PLTS atau PLTA ditambah dengan storage system, itu jauh lebih murah daripada PLTN dan lebih aman. Jadi enggak ada risiko reaktor bocor, enggak ada masalah limbah, enggak ada masalah keamanan."

Khusus untuk Kalimantan, jelasnya, ada potensi pembangkit listrik tenaga air yang bisa dikembangkan. Tapi sayangnya energi baru terbarukan tidak pernah mau dioptimalkan karena "kepentingan pengusaha batu bara". Hatari, seorang nelayan di Kabupaten Bengkayang, meminta pemerintah daerah memanfaatkan potensi energi terbarukan yang ada di Kalimantan untuk dijadikan pembangkit listrik. Bagi dia, sungai-sungai yang ada di provinsi ini bisa digunakan sebagai pembangkit listrik bertenaga air. "Berdayakan di situ, jangan kembangkan ke yang lain," kata dia.

Begitu pula yang diharapkan Muhamad Agam, warga komunitas Melayu. "Di Bengkayang banyak sumber air. Kami sempat berpikir kenapa tidak dimanfaatkan jadi PLTA". (*)

Tags : Ekonomi, Nuklir, Indonesia, Kesehatan, Lingkungan,