Politik   2024/02/14 23:23 WIB

Anies, Prabowo, dan Ganjar Perebutkan Suara Nahdlatul Ulama, Pengamat: 'Bertarung Ketat karena Polarisasi yang Tajam'

Anies, Prabowo, dan Ganjar Perebutkan Suara Nahdlatul Ulama, Pengamat: 'Bertarung Ketat karena Polarisasi yang Tajam'
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan di Stadion Gelora Bung Karno dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-73 Nahdlatul Ulama (NU) 27 Januari 2019.

JAKARTA - Siapakah calon presiden yang akan dipilih masyarakat berlatar Nahdlatul Ulama (NU) di Pulau Madura? Sulit menjawabnya, kata pengamat.

Kubu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo harus bertarung ketat karena polarisasi yang tajam di antara ratusan pesantren dan para kiai karismatik.

Ainul Yaqin, 22 tahun, rajin memelototi debat calon presiden dan wakilnya di layar kaca selama berpekan-pekan. Hasilnya? Ainul kini sudah bulat untuk mencoblos calon idamannya — dia menyebut namanya, tentu saja.

"Saya terkesan," ujarnya, saat ditanya, kenapa dia memilih sang calon. Namun demikian, Ainul bakal mengubah pilihannya jika kiai atau pimpinan pesantren tempatnya menimba ilmu, memiliki pandangan lain.

"Semisal dari pesantren itu ada [perintah memilih calon tertentu], ada kemungkinan berubah. Karena lebih ikut guru [kiai]," kata Ainul, didepan media, Minggu (11/02).

Ainul adalah santri di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Palengaan, Pamekasan, Madura. Dia sendiri berasal dari Kota Sumenep.

Belum jelas seperti apa sikap politik sang kiai, tetapi tak semua santri di sana akan bersikap seperti Ainul. Coba dengarkan pandangan Abdullah, 23 tahun.

Walaupun 'nyantri' di sana, Abdullah mengaku tetap mencoblos sesuai pilihan hatinya dan siap "berbeda pendapat" dengan pilihan sang kiai.

"Meskipun guru [kiai] lebih condong kepada nomor urut 01, 02, atau 03. Tapi saya tetap memilih sesuai dengan [keinginan] diri sendiri," ujar sang santri, yang juga tercatat sebagai mahasiswa Institut Agama Islam (IAI) Al-Khairat Pamekasan, Madura.

Bukan rahasia lagi, Madura adalah salah satu lumbung suara Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur. Pemilih berlatar nahdliyin disebut cukup dominan di pulau itu, yang ditandai antara lain kehadiran pesantren-pesantren tradisional di sana.

Masing-masing kubu capres tentu menyadari lumbung suara menggiurkan seperti itu. Kesadaran seperti ini jelas terlihat dari pilihan kubu Anies, Prabowo dan Ganjar untuk memilih sosok yang 'berlatar' NU untuk mendongkrak suara.

Lihatlah sosok cawapres Muhaimin Iskandar yang dipilih untuk mendampingi capres Anies Baswedan. Dia adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang 'identik' dengan NU.

Dari kubu capres Prabowo Subianto sejak awal berusaha meyakinkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa agar bergabung dalam barisannya. Khofifah adalah politikus PKB sekaligus berlatar NU. Kelak dia akhirnya bergabung dalam kubu Prabowo. 

Lalu, siapa yang tidak tahu Mahfud MD, 'putra daerah' dan dikenal sebagai sosok berlatar NU kultural — dia tak pernah duduk di struktur organisasi NU. Strategi kubu Ganjar membidik pria kelahiran Sampang, Madura itu, tentu dilatari hal itu.

'Semakin besar pesantrennya, kian banyak suara yang diandalkan'

Tentu saja, salah-satu strategi mendulang suara massa nahdliyin adalah melalui pemimpin informal yang kharismatis dan dihormati di Pulau Madura, yaitu kiai atau pemimpin pesantren, kata pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam.

Surokim menyebut, keberadaan tokoh NU dan pimpinan pesantren menjadi penentu bagi masyarakat Madura dalam memilih capres dan cawapres.

"Santri pasti tetap akan tawaduk kepada kiainya, asal pesantren tetap menjadi rujukan. Kian besar pesantrennya, kian banyak pemilih yang bisa diandalkan," jelasnya.

Sebagian peneliti menyebut masyarakat Madura identik dengan nilai-nilai religiusitas. Indikasinya, biasanya, dikaitkan dengan banyaknya pesantren yang tersebar di empat kabupaten di pulau itu. 

Bahkan, di Kabupaten Pamekasan saja, nyaris di semua kecamatan berdiri setidaknya satu pesantren dengan jumlah santri mulai dari ratusan hingga ribuan.

Pesantren-pesantren tersebut dipimpin kiai 'karismatik' dan suaranya didengar oleh santri dan masyarakat di sekitarnya. Kenyataan ini, tentu saja, cukup menggiurkan di mata kubu masing-masing capres.

Itulah sebabnya, tim pemenangan kubu Anies-Muhaimin di Madura mengaku berupaya merangkul mereka.

Sekretaris tim pemenangan daerah (TPD) Anies-Muhaimin Pamekasan, Mohammad Alim, mengklaim sudah mendapatkan dukungan dari sejumlah pondok pesantren besar di Pamekasan.

"Masyarakat Madura itu, lebih-lebih Pamekasan, adalah masyarakat paternalistik, di mana posisi para tokoh ulama, tokoh agama, kiai dan habaib itu menjadi pemegang kunci buat keberhasilan kampanye," kata Mohammad Alim.

Dengan mendapat dukungan dari pesantren besar, mereka meyakini bahwa Anies-Muhaimin akan mendapat banyak suara di Pamekasan.

"Saya kira masyarakat dan umumnya santri akan takzim kepada para ulama dan masyaikh, apalagi ini memilih pemimpin," ucap Alim.

Secara terpisah, ketua tim pemenangan daerah (TPD) Prabowo-Gibran di Kabupaten Sampang, KH. Mohammad Bin Muafi Zaini mengakui sosok kiai dan pemimpin pesantren sangat penting dalam menggaet suara.

"Saya melihat memang banyaknya tokoh agama yang bergabung di 02 ini, tentunya, menjadi sebuah tambahan energi buat kami," klaim pria yang akrab disapa Ra Mamak ini.

Namun demikian, politisi Partai Golkar ini tidak sepakat bila pihaknya disebut sengaja merangkul pesantren untuk mencari dukungan. Lagi-lagi dia mengeklaim, bahwa para kiai justru hadir untuk menyokong calon mereka, karena "memiliki kesamaan visi dan punya keterikatan secara emosional".

"Kita enggak bisa bilang kemudian karena hanya didatangi terus kemudian kiainya ikut. Mereka ikut dulu, baru didatangi," ujarnya.

Adapun Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pamekasan, Nadi Mulyadi mengatakan, tim pemenangan daerah (TPD) Ganjar-Mahfud di Pamekasan "tidak mau menyeret pesantren ke pusaran politik praktis". Dia mengeklaim pihaknya ingin pesantren tetap menjadi "suar bagi masyarakat".

Kendati demikian, mereka tetap melakukan pendekatan kepada kalangan NU kultural, karena dianggapnya "lebih kuat dan menguntungkan".

"Keuntungannya sangat jelas mereka tidak hanya menghibahkan dirinya sendiri, tapi paling tidak menghibahkan keluarganya, tetangganya, saudaranya dan khalayak yang ada, dan di situ akan bisa dikonversi dengan elektoral untuk Ganjar-Mahfud maupun di Pamekasan," ucap Nadi.

Latar belakang cawapres Mahfud MD yang merupakan kader NU diklaim Nadi bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat di Kabupaten Pamekasan untuk memilih paslon nomor urut 03.

"Prof. Mahfud sendiri adalah kader NU maka di situ akan menjadi magnet tersendiri bagi nahdliyin untuk menjatuhkan pilihannya kepada Prof Mahfud. Apalagi mayoritas di Pamekasan itu adalah kaum nahdliyin," lanjut calon anggota DPRD Kabupaten Pamekasan ini.

Pengamat politik Surokim tidak heran bila tim sukses dari masing-masing pasangan capres dan cawapres berusaha mendekati dan mencari dukungan pesantren dan tokoh-tokoh NU di Madura.

Sebab, dukungan kiai dan pesantren bisa dikonversi menjadi suara yang riil, katanya.

"Untuk mendapatkan suara, wajar [merangkul pesantren]. Gimana caranya mendapat suara lebih pasti dengan jumlah pesantren yang luar biasa. Itu satu-satunya jalan tol atau jalan pintas yang bisa dilakukan," papar Surokim.

Mengapa kiai dan pesantren di Madura berpolitik?

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Fudhola' Barurambat Timur di Pamekasan, KH. Fadholi Moh. Ruham merupakan salah satu kiai di Madura yang terjun ke dunia politik.

Dia merupakan perintis dan pernah menjadi Ketua DPC PKB Pamekasan.

Fadholi juga pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRD Kabupaten Pamekasan hingga menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Sampai saat ini, dia juga masih terlibat aktif di dunia politik terutama dalam setiap momen pemilihan umum.

Ditemui di kediamannya pada Sabtu (10/02), Fadholi mengatakan bahwa terjun ke dunia politik merupakan kewajiban sebagai warga negara. 

Berpolitik juga disebutnya bisa menjadi "jalan dakwah dalam memperjuangkan agama Islam demi mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan kriteria".

"Jadi bernegara berarti kita harus berpolitik, kenapa? Agama itu mengatur segala aspek kehidupan manusia, apalagi politik," jelas Fadholi.

Ia juga menepis kekhawatiran pesantren akan 'terkotak-kotak' dengan banyaknya kiai yang terjun ke dunia politik.

Menurutnya, hubungan antar pesantren di Madura tidak mudah digoyahkan hanya karena perbedaan pandangan dalam berpolitik dan mendukung calon tertentu.

Pada Pemilu 2024, Fadholi secara terang-terangan mendukung Anies-Muhaimin dan ikut hadir ketika mantan Gubernur DKI Jakarta melakukan kampanye di Pamekasan, akhir Januari lalu.

Pada Pilpres sebelumnya, Fadholi merupakan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Fadholi mengungkapkan alasan memilih Anies-Muhaimin. Selain alasan rekam jejak pasangan tersebut, latar belakang NU juga menjadi pertimbangannya.

"Ukhuwah nahdliyah itu pertimbangan utama, karena bagaimanapun pemilihan di Indonesia karena anggota NU itu mayoritas di republik kita ini, maka sudah barang tentu pemilih itu yang menjadi sasaran dari para calon adalah pemilih yang berlatar belakang atau orang NU," jelasnya.

Mantan A'wan Syuriyah PCNU Pamekasan ini berpandangan bahwa Muhaimin Iskandar sudah tidak perlu diragukan ke-NU-annya karena berasal dari keluarga besar Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Apalagi Muhaimin merupakan ketua umum PKB yang notabene lahir dari rahim NU.

"Pak Muhaimin Iskandar jelas santri bahkan putra kiai dan PKB itu memang dibentuk oleh NU, terlepas dari sejarah perkembangannya," tegas Fadholi.

Tak hanya di kalangan kiai sepuh, sejumlah lora atau gus — putra dari keluarga kiai — di Madura juga aktif berpolitik dan tidak segan-segan mengungkap pilihan politiknya ke publik.

Seperti yang diperlihatkan Gus Rahmatullah, putra dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Ilyasy Tambelangan, Sampang.

Gus Rahmatullah merupakan pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Dia memilih Menteri Pertahanan tersebut karena dinilai paham dengan "geopolitik dunia dan mampu menjaga kedaulatan Indonesia" dari berbagai ancaman. Prabowo juga disebutnya "sosok pemimpin yang berani dan punya nyali".

Terkait latar belakang Prabowo-Gibran yang bukan kader NU, tidak mengurangi kesungguhan Gus Rahmat.

Yang penting, menurutnya, dia senapas dengan perjuangan dan cita-cita NU dalam konteks menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.

"Berkaitan apakah harus NU, perlu digaris bawahi bahwa politik NU adalah politik kebangsaan, bagaimana terciptanya kemaslahatan untuk bangsa dan negara, tidak harus kader NU.

"Dan Prabowo adalah sosok yang sangat dekat bahkan akrab dengan beberapa petinggi NU dan pemangku pondok pesantren," kata dia.

Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Jungcangcang Pamekasan, RPA Wazirul Jihad juga contoh lain dari kiai yang terjun ke dunia politik.

Saat ini, Wazir tercatat sebagai Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Pamekasan, salah satu partai pengusung Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024.

Selain mendukung Ganjar-Mahfud di pemilihan presiden kali ini, Wazir juga ikut bertarung dalam perebutan kursi DPRD Kabupaten Pamekasan. 

Dia juga terjun ke dunia politik karena menganggap itu sebagai sebuah tanggung jawab untuk ikut mengambil peran di dalam pemerintahan.

"Kita beragama, karena kita hidup di negara yang dibangun partai politik sehingga kami pun mempunyai tanggung jawab untuk membangun pemerintahan ini secara politik," kata Wazir.

Caleg dari daerah pemilihan satu Pamekasan ini mengakui bahwa kiai atau pimpinan pesantren di Madura memiliki 'privilege' untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat meski itu bukan jaminan bisa dikonversi menjadi suara.

"Masyarakat Pamekasan itu masih paternalistik, masih banyak mengikuti arah dan dawuh dari para kiai," lanjutnya.

Pengamat politik Surokim menilai kiai terjun ke dunia politik merupakan sesuatu yang lazim di Madura. Bahkan banyak kiai atau putranya yang berbondong-bondong masuk partai.

"Bahkan lora-lora itu sekarang makin intens, lora-lora itu tidak hanya menjadi kandidat atau ikut partai tertentu misal PKB atau PPP. Itu kan tersebar di hampir semua partai," jelas Surokim.

Apa keuntungan pesantren ikut berpolitik?

Banyaknya kiai di Madura yang ikut berpolitik, menurut Surokim, karena faktor "tuntutan zaman". Menurutnya, pimpinan pesantren tidak perlu menjauhi kekuasan.

"Eranya sekarang sudah berubah, tuntutan zaman juga sudah berubah. Pesantren juga butuh relasi dengan pemerintah," ucap Surokim.

Pertanyaannya kemudian, apakah pesantren mendapat keuntungan dengan mendukung capres tertentu?

Pengasuh Pondok Pesantren Al Fudhola', Fadholi Moh. Ruham menegaskan bahwa mendukung Anies-Muhaimin di Pemilu 2024 bukan untuk mengharapkan keuntungan pribadi, alih-alih mendapat bantuan ketika calonnya menang. Justru kiai harus ikut berkorban, katanya.

"Mendukung capres itu adalah perjuangan, perjuangan bukan mengharapkan dari perjuangan itu sesuatu, tapi justru kami berkorban, namanya berjuang harus berkorban, pengorbanan kami macam-macam sesuai dengan kemampuan kami," katanya

"Jadi tidak ada yang kami harapkan dalam hal duniawi, hanya kami berjuang untuk agama, karena kami berpendapat bahwa agama penting untuk dipelihara, termasuk nimbrung dalam perpolitikan Indonesia," tegasnya.

Senada dengan Fadholi, Gus Rahmatullah yang merupakan salah satu pengasuh Ponpes Al-Ilyasy juga menegaskan bahwa tidak ada motif lain di balik keputusannya terjun ke dunia politik dan mendukung Prabowo-Gibran.

"Kami dalam menjatuhkan pilihan pertimbangannya bukan karena ada pengaruhnya atau tidak ke daerah atau golongan tertentu, tapi murni demi kemajuan bangsa dan Indonesia. Tentu juga harus senapas dengan perjuangan dan cita-cita NU dalam konteks menjaga NKRI dan Pancasila," jelasnya.

Ketua TKD Prabowo-Gibran di Kabupaten Sampang, KH. Mohammad Bin Muafi Zaini atau Ra Mamak mengatakan bahwa "tidak ada pendekatan transaksional" yang dilakukan untuk menggaet dukungan pesantren.

Para pimpinan pesantren biasanya telah menyatakan dukungan terlebih dahulu sebelum didatangi dan didekati oleh tim sukses Prabowo-Gibran di Kabupaten Sampang.

"Bukan kemudian karena didatangi memilih 02, itu kan terlihat seperti transaksional akhirnya, dan saya tidak sepakat karena transaksi di sini tidak ada," tegasnya.

Siapa yang paling berpeluang menang di Madura?

Dewi Mustika Arum, 19 tahun, termasuk pemilih pemula yang akan akan ikut menyemarakkan pesta demokrasi Pemilu 2024. Ditemui saat duduk santai di Taman Arek Lancor, pelajar di SMAN 1 Pamekasan ini menyatakan akan mendukung Prabowo-Gibran.

"Menurut saya beliau (Prabowo) memikirkan nasib rakyat dan bertanggung jawab," jelas perempuan asal Kecamatan Galis, Pamekasan.

Sementara Ali (24) warga Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar Pamekasan memilih untuk merahasiakan capres pilihannya di Pilpres 2024. 

"Tentu kalau dalam persoalan presiden, yang menjadi kriteria adalah mereka yang memiliki kecakapan dalam berpikir, dalam bertindak," kata alumnus IAIN Madura tersebut.

Dewi dan Ali tak menampik bahwa kiai dan pesantren ikut berpengaruh dalam keputusannya memilih calon presiden, selain orang tua dan tokoh masyarakat yang menjadi panutannya.

Pada Pilpres 2024, TPD Anies-Muhaimin sesumbar bisa menang mutlak. Antusiasme masyarakat saat kampanye Anies Baswedan di Pamekasan pada akhir Januari lalu serta dukungan dari pesantren yang memberikan rasa optimisme.

"Kami bisa menguasai optimis 85 persen AMIN menang di Pamekasan," kata Sekretaris TPD Anies-Muhaimin, Mohammad Alim.

Alim juga mengklaim ada pergeseran peta dukungan dari Pilpres 2019. Karena pesantren yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto lima tahun lalu, akhirnya menjadi bagian dari pendukung Anies-Muhaimin.

Sementara Ketua TKD Prabowo-Gibran Kabupaten Sampang, KH. Mohammad Bin Muafi Zaini alias Ra Mamak punya keyakinan bisa mengulang kesuksesan Prabowo Subianto pada Pilpres 2019.

Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Sandiaga Uno mampu menang mutlak dari pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin dengan perolehan suara 75 persen.

Menurut Ra Mamak, upaya TKD Prabowo-Gibran Sampang untuk memenangkan Prabowo-Gibran tidak terlalu berat. Pihaknya hanya menjalankan strategi yang hampir sama dengan Pemilu 2019.

"Fatwa kiai yang 2019 kita pakai lagi untuk memenangkan Prabowo, segmen yang waktu itu memenangkan Pak Prabowo kita pakai lagi " jelas Ra Mamak.

"Saya melihat 70 sekian persen di 2019 itu adalah modal besar buat kami untuk mendulang kemenangan Pak Prabowo," tegasnya.

Sementara TPN Ganjar-Mahfud Pamekasan optimistis bisa meraih suara hingga 30 persen pada Pilpres 2024.

Sekretaris DPC PDI Perjuangan Pamekasan, Nadi Mulyadi yakin perolehan suara pasangan nomor urut 03 bisa melampaui suara Jokowi-Ma'ruf yang mencapai 19 persen di Piplres 2019.

"Dengan munculnya tiga paslon ini ada semangat baru dan girah baru dan ada pergeseran-pergeseran pemilih yang tidak mau ke paslon yang lain akhirnya bergeser ke paslon 03," jelas Nadi.

"Kami optimis bahwa perolehan suara di Pamekasan lebih jauh meningkat dibandingkan tahun 2019. Kalau berbicara persentase kita punya persentase di survei internal untuk Pamekasan masih di angka 20 sampai 30 persen," klaimnya.

Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam menyebut persaingan dalam memperebutkan suara NU dan pesantren di Madura pada Pilpres 2024 cukup kompetitif. Salah satu faktornya karena polarisasi pesantren dan kiai.

"Ini yang membuat suara di Madura mungkin agak sulit diprediksi karena sebarannya tadi itu bisa jadi akan merata tergantung dari tokoh kiai mana yang mau disasar," jelas Surokim.

Ia mengakui patronase di Madura masih cukup kuat dan akan memengaruhi kecenderungan pemilih di 'pulau garam' untuk menentukan capres yang akan didukung.

"Mestinya kalau dalam pandangan saya pemilih Madura itu memperhatikan asal dari para kandidat, tapi pada akhirnya itu tidak menjadi faktor yang krusial juga terkait dengan keterpilihan Pak Mahfud di Madura. Lebih banyak mengandalkan pada patron-patron yang tersebar itu," tambah Surokim.

"Sekarang tergantung dari wilayahnya apa, kalau kita bicara wilayah Pamekasan, saya kira memang 01 lebih powerfull, tapi kalau wilayah Bangkalan saya kira 02, Sumenep 03, akhirnya tersebar seperti itu," tegasnya.

Bagaimanapun semua tergantung kepada calon pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari sanalah, kelak akan diketahui siapa pasangan capres-cawapres yang didukung warga NU di Madura. (*)

Tags : Islam, Muslim, Politik, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024 ,