Nasional   2022/11/03 20:52 WIB

BPOM Diminta Usut Penyebab Gangguan Ginjal Akut, ‘Tidak Hanya Cuci Tangan’

BPOM Diminta Usut Penyebab Gangguan Ginjal Akut, ‘Tidak Hanya Cuci Tangan’
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menindak tiga perusahaan farmasi yang menggunakan bahan baku mengandung etilen glikol dan dietilen glikol pada obat yang diproduksi.

JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan pemerintah diminta turut bertanggung jawab dan “tidak cuci tangan” atas temuan kandungan zat berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam bahan baku obat sirop yang diduga kuat memicu kasus gangguan ginjal akut.

Julius Ibrani dari Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menilai BPOM "seolah lepas tangan" sebagai pihak yang paling berwenang mengawasi dan memastikan obat yang dikonsumsi masyarakat aman.

“Saya melihatnya itu upaya cuci tangan, menyalahkan swasta meskipun swasta juga patut bertanggung jawab, tetapi izin obat itu bukan menyangkut satu pihak saja, dia tidak lahir dari tangan swasta sendiri,” kata Julius dirilis BBC News Indonesia.

Dalam konferensi pers pada Senin 31 Oktober 2022 kemarin, BPOM memberi sanksi terhadap tiga perusahaan farmasi, lalu menyatakan bahwa ketiganya "patut diduga melakukan tindak pidana" karena menggunakan bahan baku obat yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas.

Namun, dua dari tiga perusahaan itu mengaku "tidak tahu" soal kandungan zat toksik tersebut dalam bahan baku yang mereka gunakan.

Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Doktor Marchaban, mengatakan temuan ini merupakan kombinasi dari industri farmasi yang tidak disiplin mengontrol kualitas bahan baku serta BPOM "yang tidak pernah melakukan surveilans" terhadap cemaran EG dan DEG.

"BPOM bisa tidak menunjukkan surveilans mereka? Kapan terakhir dicek? Kalau semua dilakukan, mestinya tidak terjadi apa-apa," tutur Marchaban.

Sebelumnya, menurut keterangan Kepala BPOM Penny Lukito, tiga perusahaan farmasi itu yakni PT Universal Pharmaceutical, PT Afi Farma, dan PT Yarindo Farmatama.

Hasil uji BPOM membuktikan bahwa ketiga perusahaan itu menggunakan bahan baku obat “yang tidak memenuhi syarat” dengan kandungan EG dan DEG “berkali-kali lipat” di atas ambang batas yang semestinya hanya 0,1 miligram per milimeter.

Sejauh ini, ada enam obat yang disebut BPOM masuk dalam kategori itu, yakni Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Sirop, Unibebi Demam Drops produksi Universal Pharmaceutical Industries; Flurin DMP produksi Yarindo Farmatama; serta Paracetamol sirup dan paracetamol drops produksi Afi Farma.

“Melihat konsentrasi kadar EG dan DEG yang sangat tinggi, bukan hanya pencemaran, tapi dari bahan bakunya sudah mengandung bahan EG dan DEG. Bukan pencemaran lagi, racun yang sudah memenuhi bahan baku,” kata Penny yang juga menyebut bahwa kejahatan obat dan makanan adalah “kejahatan kemanusiaan”.

Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Pipit Rismanto ,berjanji akan “menginvestigasi secara komprehensif” dan menelusuri siapa saja pihak yang bertanggung jawab.

Meski telah menemukan unsur pidana dalam kasus ini, polisi masih belum menetapkan tersangka dan “akan melakukan gelar perkara secepatnya”.

Sebanyak 269 kasus gangguan ginjal akut telah ditemukan di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 27 Oktober 2022.

Dari jumlah itu, sebanyak 157 pasien di antaranya meninggal dunia.

Kasus gangguan ginjal akut itu diduga kuat terkait dengan kandungan EG dan DEG dalam obat sirop anak-anak.

Perusahaan farmasi ‘merasa dikorbankan’

Hermansyah Hutagalung, kuasa hukum dari PT Universal Pharmaceutical Industries mengaku pihaknya “merasa dikorbankan” dalam pengusutan proses pidana kasus ini.

Menurut Hermansyah, bahan baku yang oleh BPOM disebut mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas, dijamin oleh distributor mereka, PT Logicom, sebagai “bahan yang tidak tercemar”.

Bahan baku itu diklaim memiliki sertifikat analisis yang menerangkan kandungan EG dan DEG sebesar 0,08%.

“Apalagi dalam ketentuannya belum ada peraturan khusus yang menerangkan wajib memeriksa kandungan EG dan DEG, terlebih kami juga tidak punya alat untuk memeriksa unsur itu,” kata  Hermansyah.

“Kami tidak layak disalahkan. Kejadian ini seharusnya dianggap sebagai bencana yang perlu dikaji mendalam agar jadi pembelajaran dan tidak terkesan memaksakan kami sebagai pihak yang harus dipersalahkan,” lanjut dia.

PT Universal Pharmaceutical Industries pun telah melaporkan distributor mereka ke Polda Sumatera Utara pada Jumat (28/10) lalu.

Secara terpisah, PT Yarindo Farmatama mengklaim tidak menggunakan kedua zat toksik itu di dalam produknya.

“Sebagai pihak yang dirugikan, kami juga ingin mencari fakta penyebab tercemarnya bahan baku obat tersebut, sehingga semua perusahaan farmasi Indonesia tidak menjadi korban," jelas Manager Bidang Hukum PT Yarindo Farmatama, Vitalis Jebarus, seperti dikutip kantor berita Antara.

Sementara itu, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan bahwa industri farmasi “harus memvalidasi bahkan menguji sendiri” bahan tambahan di setiap bahan baku yang mereka beli dari distributor.

“Bahkan sebelumnya mereka harus inspeksi, datang sendiri ke pemasoknya. Benar nggak distributornya punya CDOB [cara distribusi obat yang baik]?” tutur Penny.

Industri juga wajib mengontrol kualitas bahan baku, memastikan bahan yang digunakan merupakan standar farmasi (bukan standar industri), serta memastikan tidak ada pencemaran.

Dalam kasus ini, Penny menyatakan perusahaan terbukti mengganti suplai bahan baku mereka, namun tidak melaporkannya kepada BPOM.

“Kesalahannya sudah terbukti di sini. Kalau ada kondisi mereka harus mengganti, harus dilaporkan ke BPOM dan mendapat izin, diverifikasi lagi oleh BPOM. Itu tidak dilakukan dalam hal ini,” kata Penny.

Penny juga menyebut bahwa ketiga perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana ini “memiliki rekam jejak melakukan banyak pelanggaran”.

Akan tetapi, Penny tidak menampik ada kekosongan dalam sistem pengawasan, salah satunya terkait kontrol terhadap bahan baku dari luar negeri yang di luar kendali BPOM.

“Jadi tidak ada pemeriksaan di awal melalui SKI [Surat Keterangan Impor] BPOM dan itu permasalahan yang akan kita benahi dikaitkan dengan sistem jaminan keamanan mutu. Gap-nya perlu kita perbaiki,” ujar Penny.

'Tidak pernah surveilans'

Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Doktor Marchaban, menilai kasus ini membuktikan belum efektifnya pengawasan BPOM setelah obat beredar di masyarakat (post-market).

BPOM, kata dia, tidak pernah melakukan surveilans secara spesifik terhadap cemaran EG dan DEG dalam obat yang beredar sampai kasus ini terjadi.

Hal itu terbukti setelah salah satu petinggi BPOM, kata Marchaban, mengakui dalam sebuah sesi diskusi bahwa lembaga itu tidak memiliki baku pembanding (reference standard) dari EG dan DEG yang diperlukan dalam metode pengujian zat toksik tersebut.

“Tidak ada reference standard, baik itu di Badan POM dan industri. Bagaimana menganalisis EG dan DEG yang tidak boleh lebih dari 0,1 miligram itu kalau tidak punya reference standard?” tanya Marchaban.

Menurut Marchaban, uji kimiawi terhadap bahan dengan kadar yang sangat kecil seperti cemaran EG dan DEG memang berbiaya mahal.

Namun, mengingat standar ambang batas itu tercantum dalam Farmakope Indonesia, maka pengujiannya semestinya “wajib dilakukan”.

“Semestinya apa yang disebutkan dibatasi oleh Farmakope itu harus dicek. Memang alatnya mahal, tetapi apa tidak bisa Balai Besar POM yang ada di kota-kota besar melakukannya? Kalau industri eggak punya [alatnya], wong syaratnya harus menyatakan produk itu harus memenuhi persyaratan,” jelas Marchaban.

Di sisi lain, industri farmasi dia duga juga tidak disiplin mengontrol cemaran dalam bahan baku, terutama ketika mengganti penyuplai bahan baku yang semestinya mereka laporkan kepada BPOM.

Itu menunjukkan bahwa standar yang tercantum dalam cara pembuatan obat yang baik (CPOB) tidak diterapkan dengan baik, kata Marchaban.

“Oke kalau seandainya betul kesalahan terletak di industri farmasi. Tapi kemudian siapa sih yang mengawasinya? Pengawasnya kan Badan POM. Mengapa memberikan izin edar kalau sesuatu yang dilakukan industri farmasi belum lengkap? Saya kira BPOM harus bertanggung jawab,” tutur Marchaban.

Oleh sebab itu, Marchaban mengatakan ke depannya perlu ada perbaikan pada sistem pengujian terhadap cemaran bahan kimiawi ini.

Masalah sistemik, pertanggungjawaban 'harus menyeluruh'

Julius Ibrani dari PBHI mengatakan bahwa lolosnya obat sirop yang mengandung EG dan DEG merupakan “masalah sistemik”, sehingga pertanggungjawabannya juga harus menyeluruh oleh lembaga-lembaga negara terkait, mulai dari BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Perindustrian.

“Memang negara ini tidak punya campur tangan untuk izin edar segala macam? Negara punya kewenangan mulai dari bahan yang diimpor, produksinya, komposisinya itu ada di negara. Betul yang memproduksi adalah swasta, tapi dia kan diperiksa. Kalau nggak diperiksa di situ lah letak kelalaiannya,” jelas Julius.

“Ini bukan obat ilegal, tapi obat yang terdaftar dan dijual di apotek. Seharusnya kan ada fungsi pengawasan,” lanjut dia.

PBHI mendesak Presiden Joko Widodo bertindak atas apa yang dia gambarkan sebagai “kelalaian” lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait.

Namun sejauh ini, Julius menilai sikap para pejabat cenderung “cuci tangan” dan “buang badan”.

Dia juga meragukan perbaikan sistemik dapat dilakukan apabila penindakan hanya fokus pada sektor industri.

"Seharusnya [pejabat-pejabat terkait] dicopot dulu. Kalau mereka disuruh memeriksa diri sendiri, jelas akan terjadi konflik kepentingan," kata Julius.

Selain pertanggungjawaban pidana yang sedang berproses, Julius juga menilai perlu ada pertanggung jawaban secara perdata yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak korban mulai dari pengobatan, fasilitas kesehatan, hingga kompensasi bagi keluarga korban yang meninggal.

Sejauh ini, PBHI telah dihubungi oleh sejumlah keluarga korban untuk berkonsultasi terkait hak-hak yang bisa mereka tuntut kepada negara hingga perlindungan terhadap keluarga korban yang menurut Julius “belum ada kejelasan dari pemerintah”.

Ada peluang aduan itu akan dilanjutkan dengan langkah hukum seperti gugatan perwakilan kelompok (class action).

Ubah bahan baku tanpa melapor

Sebelumnya diberitakan, Penny menyatakan menemukan bukti bahwa ketiga perusahaan farmasi mengubah bahan baku propilen glikol dan sumber pemasoknya.

Pada obat yang diproduksi PT Yarindo Farmatama, bahan baku propilen glikol yang digunakan mengandung etilen glikol sebesar 48 miligram per mililiter.

“Di mana syaratnya kurang dari 0,1 miligram per militer. Bayangkan berapa kali lipat itu, hampir 100 kalinya,” tutur Penny.

Penny mengatakan kesalahan PT Yarindo Farmatama adalah tidak melaporkannya kepada BPOM, tidak melakukan kualifikasi pemasok bahan baku, serta tidak menguji bahan baku yang digunakan.

Cemaran itu ditemukan BPOM setelah melakukan pengujian acak terhadap sampel obat sirop yang beredar.

Sedangkan lima obat bermasalah dari dua perusahaan lainnya, terdeteksi karena masuk dalam daftar 102 obat yang dirilis Kementerian Kesehatan setelah ditemukan di rumah-rumah pasien gagal ginjal.

Atas temuan itu, Penny menyatakan perusahaan-perusahaan farmasi itu diduga telah memproduksi, mengedarkan, serta memperdagangkan  obat yang “tidak memenuhi standar atau persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu” dan terancam pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Saya juga mendiskusikan terkait kausalitasnya, kalau terbukti [terkait] dengan kematian [pasien gagal ginjal akut], tentu nanti akan ada ancaman lain,” jelas Penny.

Meskipun, Penny menambahkan, sampai saat ini belum ada kesimpulan bahwa seluruh fatalitas dalam kasus gangguan ginjal akut disebabkan oleh EG dan DEG dalam obat sirop.

BPOM juga menyatakan telah memberi sanksi administrasi terhadap perusahaan-perusahaan itu berupa penghentian produksi dan distribusi, penarikan produk, serta pemusnahan.

Atas pelanggaran ketentuan terhadap persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB), BPOM telah mencabut sertifikat CPOB dari PT Yarindo Pharmatama dan Universal Pharmaceutical.

Sedangkan terhadap PT Afi Pharma, BPOM menyatakan telah menahan peredaran seluruh produk obat cair anak-anak dari perusahaan ini.

“Akan segera dikenakan tindakan sanksi administrasi dan sanksi pidana akan diproses dalam hal ini,” kata Penny.

Dengan penarikan CPOB itu, maka perusahaan farmasi tidak bisa lagi memproduksi obat tersebut.

Usut produsen bahan baku

BPOM mengatakan akan menelusuri sumber bahan baku yang didapat oleh ketiga perusahaan farmasi itu.

Sejauh ini, PT Yarindo dan PT  Universal Pharmaceutical membeli bahan baku yang mengandung EG dan DEG itu dari Dow Chemical Thailand melalui perusahaan distributor.

“Nanti kami cari keterkatiannya. Juga melihat aspek legalitasnya, apakah ada unsur pemalsuan [bahan baku] karena ini menyangkut satu industri farmasi produsen produk-produk kimia, cukup tinggi kan, cukup berkompeten,” kata Penny.

BPOM telah mengamankan setidaknya 64 drum bahan baku propilen glikol yang diproduksi oleh Dow Chemical Thailand dari 12 batch berbeda untuk terus diuji dan membuktikan kandungan EG dan DEG di dalamnya.

Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Tertentu Polri, Brigjen Pipit, mengatakan kasus ini tidak akan hanya diusut dari sisi produksi, namun juga dari sisi perlindungan konsumen, hingga legalitas impor bahan bakunya.

Dia menjanjikan investigasi akan dilakukan "secara komprehensif".

"Masalah penanggung jawab, kalau masalah produksi, korporasi yang melakukan produksi harus bertanggung jawaban. Kalau perorangan, kita akan minta pertanggungjawaban perorangan. Kalau ada yang lain-lain, kita akan telusuri bersama," tutur Pipit. (*)

Tags : Obat, Hukum, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan,