Headline Sorotan   2022/07/07 13:52 WIB

Harga Cabai Meroket yang Saingi Harga Daging Sapi, 'Selalu buat Alasan Kenaikan karena Hujan'

 Harga Cabai Meroket yang Saingi Harga Daging Sapi, 'Selalu buat Alasan Kenaikan karena Hujan'


"Dibalik harga cabai yang meroket karena hujan selalu dijadikan alasan hingga simerah menyaingi harga daging sapi"

ujan selalu dijadikan alasan ketika harga cabai melambung tinggi, bahkan saat menembus Rp100.000, menyaingi harga daging sapi. Namun, petani dan pelaku usaha mengungkapkan faktor lain di balik kegagalan panen yang menyebabkan stok cabai berkurang, hingga memicu kenaikan harga.

Cabai berwarna kehitaman menumpuk di atas terpal di kawasan Kebun Porang, Bogor, Jawa Barat. Pada awal Juni lalu, kebun ini ramai diberitakan karena mengalami gagal panen di saat harga cabai tengah melambung.

"Ini baru dipetik kemarin," kata Abdul Haris, salah satu petani yang menangani tanaman cabai di kebun tersebut.

Haris belum memetik semua cabainya. Cabai-cabai berwarna kehitaman masih terlihat di antara yang masih hijau.

Tanaman cabai di Kebun Porang terserang patek. Penyakit ini disebabkan jamur yang biasanya menyasar buah cabai.

Jamur-jamur itu berkembang di lingkungan yang lembab, yang sering ditemui pada musim hujan. Ini merupakan salah satu alasan mengapa pemerintah kerap menyalahkan musim hujan ketika harga cabai melonjak dan para petani gagal panen.

Serangan patek membuat sekitar 4.000 dari 11.000 tanaman cabai di Kebun Porang harus dicabut. Padahal pohon-pohon itu baru saja ditanam awal tahun ini. Baru tiga bulan lalu tanda-tanda serangan patek itu muncul dan terlihat di Kebun Porang.

"Bandingkan saja, yang sebelumnya kita bisa sekali panen itu 200 kilogram, sekarang cuma dapat 10 kilogram, 8 kilogram, sudah berapa persen jauhnya?" ujar Haris menceritakan kerugiannya. 

Tidak banyak yang bisa Haris lakukan untuk menyelamatkan ribuan tanaman cabai lainnya, selain memetik cabai yang terkena patek dan memisahkannya dengan yang masih sehat, serta memberikan obat dan pupuk.

Namun, kesulitan lainnya muncul. Harga pupuk, kata Haris, juga terus mengalami kenaikan.

"Dari dua bulan yang lalu, terus seminggu yang lalu naik lagi. Pupuk NPK itu biasanya saya beli Rp18.000, sekarang Rp22.000 per kilogram. Sudah naik lagi, sedangkan hasil panen begini," kata Haris pertengahan Juni lalu.

Kegagalan panen Haris dan rekan-rekan yang mengelola kebun di Bogor itu justru berbanding terbalik dengan ucapan beberapa pihak yang mengatakan para petani cabai mendapatkan keuntungan ketika harga cabai naik, menyaingi harga daging sapi.

'Masa kita menyalahkan alam'

Tidak hanya di Bogor, gagal panen juga dialami para petani cabai di Kediri. Di daerah Kediri Timur, Heru, seorang buruh tani, mengatakan kegagalan panen di daerahnya mencapai 80%.

Namun, Heru tidak setuju dengan pemerintah yang menyalahkan musim hujan semata sebagai penyebab kegagalan panen. Alasannya, musim hujan adalah faktor yang muncul setiap tahun.

"Masa menyalahkan alam? Kan enggak lucu," kata Heru yang kemudian tertawa.

"Dari situ kita seharusnya belajar. Yang jelas faktornya bukan itu saja. Alam kalau berubah, pasti ada jalan keluar," ujarnya.

Kegagalan panen bukan hanya disebabkan faktor iklim, menurut Heru. Dia mengungkap petani juga mengalami kesulitan dalam proses produksi karena maraknya peredaran bibit palsu yang membuat tanaman cabai tidak tumbuh secara sempurna.

Selain itu, para petani juga kesulitan mendapatkan obat-obatan dan pupuk karena harganya naik. Sementara itu, untuk mendapatkan pupuk subsidi, Heru dan rekan-rekannya kesulitan karena harus mengikuti banyak persyaratan.

"Kalau obatnya, bibitnya sudah palsu, pupuknya sudah enggak ada, mau ke mana lagi nasib petani. Efeknya, petani tidak bisa menjangkau harga obat yang mahal, akhirnya kurang merawat tanaman," kata Heru.

Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI) Muhammad Qomarunnajmi mengatakan petani bisa mendapatkan pupuk subsidi, asalkan tergabung dalam kelompok tani dan memiliki kartu tani.

Masalahnya, menurut dia, tidak semua petani bisa memenuhi syarat itu.

"Yang sering tidak masuk ke dalam poktan (kelompok tani) itu petani penyewa atau penggarap, yang bukan KTP domisili di daerah garapannya," kata Qomarunnajmi seperti dirilis BBC News Indonesia.

Menanggapi keluhan petani, Kementerian Pertanian menyebut para petani harus melapor kepada mereka jika mengetahui ada bibit palsu.

"Kalau ada bibit palsu, laporkan. Masalah pupuk bukan 100% di Kementerian Pertanian. Kan ada di industri pupuknya," kata Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto.

Dia berkata, dinas pertanian bisa mendata para petani yang membutuhkan bibit, sesuai dengan mekanisme yang ada, dengan terlebih dahulu memiliki gabungan kelompok tani. 

Panen dan stok terganggu, harga naik

Gagal panen yang dialami banyak petani cabai membuat produksi mereka menurun, sehingga berakibat pada berkurangnya jumlah pasokan cabai di pasar. Sesuai mekanisme pasar, hal itu kemudian membuat harga naik.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan, menyebut gangguan pasokan terjadi di Tuban, Blitar, dan Kediri, Jawa Tengah. Padahal kota-kota itu termasuk ke dalam sentra produksi cabai.

Menurut Oke, selain kondisi alam, perubahan harga pada sarana produksi, seperti pestisida dan pupuk, juga mempengaruhi jumlah pasokan di pasar.

"Memang yang saat ini terganggu adalah cabai dan bawang merah karena pasokan normalnya saja di pasar induk sudah turun. Ini memang ada gangguan dari musim, terus biaya produksi yang tinggi, dan ada penyakit," kata Oke.

Oke memastikan ketersediaan stok cabai saat ini masih dalam status aman. Dia berjanji lembaganya akan berupaya menurunkan harga cabai, setidaknya pada Juli ini.

"Beberapa hal yang sudah kita lakukan: mengidentifikasi potensi produksi dan sebaran distribusi sentra produksi cabai," ujar Oke.

"Menurut perkiraan kami, mudah-mudahan masa panen raya Juli-September akan segera menurunkan harga," ucapnya.
Kenaikan harga wajar

Lonjakan harga cabai sampai menembus Rp100.000 per kilogram, bukan hanya terjadi pada Juni tahun ini, dan berlanjut sampai Juli, menjelang Idul Adha. Akhir tahun lalu, harga cabai juga tembus Rp100.000 per kilogram.

Awal 2020, tepatnya di bulan Februari, harga cabai juga tembus Rp100.000 per kilogram.

Harga cabai yang meroket musiman itu sampai dianggap wajar karena terjadi setiap tahun. Tapi, benarkah itu wajar?

Adi, yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam perdagangan cabai di beberapa pasar induk di Jawa, mengatakan kenaikan harga cabai sebenarnya wajar, bahkan bisa terjadi setiap hari dan setiap jam.

Pemicunya, kata dia, adalah sifat cabai yang mudah rusak sehingga mengalami penyusutan dalam proses distribusinya.

Adi berkata, faktor lainnya adalah mata rantai yang panjang sebelum cabai sampai ke konsumen. Rantai pasok disebutnya mempengaruhi harga karena setiap pihak mencari laba, terutama ketika petani tidak menjual hasil panennya sendiri.

Biasanya hasil cabai yang dipanen petani, kata Adi, dijual ke tengkulak atau broker. Tengkulak lalu menjualnya ke pihak pengirim.

Dari para pengirim, cabai-cabai itu dijual ke penerima, yang biasanya merupakan pedagang di pasar induk.

Dari tangan pedagang pasar lokal, cabai juga bisa dibeli tengkulak lokal, yang kemudian dijual eceran di warung atau pedagang yang lebih kecil, hingga akhirnya sampai pada pembeli terakhir, salah satunya untuk keperluan rumah tangga.

"Kalau fluktuatifnya dinamis per hari, itu wajar. Tapi kalau sudah berkepanjangan, sampai berminggu-minggu, sebulan atau apa, di situlah dibutuhkan regulasi," kata Adi.
Regulasi untuk cegah harga melambung tinggi

Adi berkata, selama ini sistem transaksi perdagangan cabai di pasar berlangsung bebas, dengan empat sistem transaksi yang digunakan masing-masing pihak.

Hal itu dinilai Adi menimbulkan kekacauan, apalagi ketika harga cabai sedang turun drastis. Dengan situasi seperti itu, Adi menyebut pemerintah melakukan "pembiaran".

"Kalau pembiaran, akhirnya di setiap titik, ketika terjadi lonjakan harga, para pihak berusaha mengambil untung sebanyak-banyaknya," kata Adi.

"Mereka membayangkan, 'kerugian saya juga sebanyak-banyaknya kok. Giliran harga tinggi, saya pasang setinggi-tingginya. Giliran murah saja harganya semau gue, sampai enggak laku'. Akhirnya ada kecenderungan menang-kalah."

Oleh sebab itulah, Adi beranggapan, butuh aturan main yang sama di pasar sehingga tidak ada lagi perbedaan sistem transaksi. Dia berharap pemerintah bisa membuat sebuah regulasi yang menguntungkan semua pihak dalam mata rantai perdagangan cabai.

Adi menyayangkan, selama ini pemerintah hanya bertindak ketika konsumen mengeluhkan harga yang terlalu tinggi. Dari situ, pemerintah disebutnya melakukan operasi pasar yang cenderung merugikan pedagang.

Sebaliknya, ketika harga cabai jatuh, Adi menuding tidak ada satupun pihak yang membantu petani.

"Pemerintah itu harus hadir dalam titik-titik seperti itu, mengatur semua alur mata rantai, memberi kenyamanan bersama.

"Kalau di sisi petani, bagaimana ketika harganya di bawah biaya operasional? Apa tindakan riil yang dilakukan di sana?

Menanggapi tuntutan agar pemerintah membuat regulasi untuk mengendalikan rantai pasok dan harga cabai, Kementerian Perdagangan sudah ada lembaga baru yang akan fokus pada persoalan tersebut.

"Yang selama ini ditangani pejabat setingkat direktur di Kemendag, Kementan, sekarang didelegasikan ke Badan Pangan Nasional," kata Oke Nurwan.

"Pemerintah menganggap ini penting sehingga pengaturannya dari hulu sampai ke hilir akan diatur Badan Pangan Nasional, termasuk ketersedian stok," ucapnya.

Untuk kenaikan harga cabai yang terjadi sejak Juni, Badan Pangan Nasional, yang baru dibentuk pada 2021 lalu, mengklaim sudah melakukan beberapa upaya untuk mengintervensi harga cabai, termasuk mengamankan pasokan jelang Idul Adha akhir pekan ini.

Dalam keterangan pers, sejak tiga minggu lalu Badan Pangan Nasional menyebut telah memfasilitasi distribusi cabai di wilayah yang surplus ke wilayah yang mengalami defisit pasokan agar memastikan stabilisasi stok cabai. (*)

Tags : Ekonomi, Inflasi, Perdagangan, Bisnis,