Headline Artikel   2020/10/03 13:42 WIB

Indonesia Peringkat Tujuh Penghasil Emas Terbesar Dunia

Indonesia Peringkat Tujuh Penghasil Emas Terbesar Dunia
Pandemi Covid-19 telah meningkatkan minat berinvestasi emas.

BULAN lalu, harga emas terbang ke rekor tertinggi, mencapai hingga Rp30 juta (US$2.000) per ons (troy ounce - sama dengan 31 gram). Kenaikan harga itu salah satu penyebab utamanya karena permainan para pedagang emas dan permintaan yang tinggi, tapi di balik itu, muncul pertanyaan tentang berapa sisa pasokan logam mulia itu di bumi dan kapan akan habis.

Emas menjadi buruan masyarakat karena dapat dijadikan sebagai investasi, simbol status ekonomi, dan komponen utama produk elektronik. Tapi jumlah emas di dunia terbatas, dan pada akhirnya akan datang satu saat ketika tidak ada lagi emas yang tersisa untuk ditambang. Beberapa ahli berbicara tentang apakah dunia telah mencapai puncak produksi emas - diukur dengan jumlah terbanyak emas yang pernah ditambang dalam satu tahun - atau tidak. Hal itu ditunjukan dengan mulai menurunnya tren produksi emas dunia.

Contohnya, pada tahun 2019, produksi tambang emas dunia turun 1% menjadi 3.531 ton dibandingkan tahun 2018, menurut Dewan Emas Dunia. Penurunan produksi tahunan ini yang pertama sejak 2008. "Pertumbuhan pasokan tambang mungkin melambat atau sedikit menurun di tahun mendatang, karena cadangan yang ada habis, dan penemuan besar baru semakin sulit, namun anggapan bahwa produksi telah mencapai puncak mungkin masih sedikit prematur," kata Hannah Brandstaetter, juru bicara Dewan Emas Dunia dirilis BBC News Indonesia.

Bahkan ketika puncak emas terjadi, para ahli mengatakan tahun-tahun setelah itu tidak mungkin terjadi penurunan dramatis dalam produksi. Sebaliknya, penurunan produksi bisa dilihat secara bertahap dalam beberapa dekade. "Produksi tambang memiliki garis datar, dan kemungkinan besar akan menurun, tetapi tidak secara dramatis," tambah Ross Norman dirilis MetalsDaily.com.

Jadi berapa yang tersisa?

Perusahaan pertambangan memperkirakan volume emas yang tersisa di bumi dengan dua cara. Satu, cadangan - yaitu emas yang ditambang saat ini, dan dinilai sesuai harga emas terkini. Dua, sumber daya - yaitu emas yang berpotensi menjadi ekonomis untuk ditambang setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, atau pada tingkat harga yang lebih tinggi. Volume cadangan emas dapat dihitung lebih akurat daripada sumber daya, meskipun tetap bukan tugas yang mudah.

Stok cadangan emas di bawah tanah saat ini diperkirakan sekitar 50.000 ton, menurut Survei Geologi Amerika Serikat. Sebagai perbandingan, sekitar 190.000 ton emas telah ditambang secara total, meskipun perkiraannya bervariasi. Berdasarkan angka kasar ini, ada sekitar 20% yang masih bisa ditambang. Tapi ini adalah target yang bergerak. Teknologi baru memungkinkan untuk mengekstraksi beberapa cadangan yang diketahui yang saat ini tidak ekonomis untuk diakses. Inovasi terbaru seperti penggunaan "big data, AI, and smart data mining" berpotensi dapat mengoptimalkan proses dan menurunkan biaya. Robotika sudah digunakan di beberapa lokasi, dan diharapkan semakin menjadi teknologi standar dalam eksplorasi tambang.

Sumber-sumber terbesar

Sumber emas terbesar dalam sejarah adalah Witwatersrand Basin di Afrika Selatan. Witwatersrand menyumbang sekitar 30% dari semua emas yang pernah ditambang. Sumber utama emas lainnya termasuk tambang Mponeng yang sangat dalam di Afrika Selatan, tambang Super Pit dan Newmont Boddington di Australia, Tambang Grasberg Indonesia, dan tambang di Nevada, AS.

Indonesia berada di posisi ke tujuh penghasil emas dunia, tambang terbesar emas Indonesia berada di Papua. China saat ini adalah penambang emas terbesar di dunia, ketika Kanada, Rusia, dan Peru juga merupakan produsen utama. Dalam hal perusahaan, Nevada Gold Mines yang dimiliki mayoritas oleh Barrick Gold adalah kompleks penambangan emas tunggal terbesar di dunia, yang memproduksi hingga 3,5 juta ons setahun. Meskipun tambang-tambang emas baru masih ditemukan, lokasi yang menyimpa emas secara besar menjadi semakin langka, kata para ahli. Akibatnya, sebagian besar produksi emas saat ini berasal dari tambang tua yang telah digunakan selama beberapa dekade.

Semakin sulit untuk menambang?

Proses penambangan skala besar membutuhkan modal yang mahal, menggunakan banyak mesin-mesin berat dan keahlian untuk menambang area yang luas di dalam maupun di bawah permukaan tanah. Saat ini, sekitar 60% operasi penambangan dunia adalah tambang permukaan, sedangkan sisanya adalah tambang bawah tanah. "Penambangan semakin sulit karena banyak tambang besar, berbiaya rendah, dan tua seperti di Afrika Selatan, cadangannya hampir habis," tambah Norman.

"Tambang emas China, di sisi lain, jauh lebih kecil, dan tapi memiliki biaya yang lebih tinggi". Tinggal sedikit wilayah di bumi yang belum dijelajahi dan tersisa bagi penambangan emas, meskipun mungkin yang paling menjanjikan ada di daerah yang tidak stabil - daerah konflik, perang- seperti di Afrika Barat.

Rekor tertinggi

Meskipun harga emas mencapai rekor tertinggi di bulan Agustus lalu, tidak berarti memunculkan terjadinya peningkatan produksi penambangan emas. Faktanya, perubahan produksi tambang emas seringkali memperlambat perubahan harga emas yang sangat signifikan. "Mengingat skala operasi yang terlibat, perlu waktu untuk mengubah rencana tambang sebagai respons terhadap perubahan faktor eksternal, seperti harga emas," tambah Brandstaetter.

Di tambah lagi, pembatasan Covid-19 membuat aktivitas pertambangan menjadi terganggu karena beberapa lokasi ditutup sepenuhnya atau sebagian untuk menekan penyebaran virus corona. Kenaikan harga emas di saat pandemi terjadi karena para investor memandang logam mulia ini sebagai aset yang lebih aman di tengah ketidakpastian ekonomi. Ternyata, selain di permukaan dan dalam bumi, sumber daya emas juga tersimpan di bulan. Namun, biaya menambang dan mengangkutnya kembali ke bumi jauh lebih tinggi daripada nilai emas itu sendiri. "Meskipun ada, tidak akan pernah bermakna secara ekonomi untuk menambangnya," kata pakar luar angkasa Sinead O'Sullivan.

"Anda akan kehilangan uang dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menambangnya daripada yang akan Anda peroleh dengan menjualnya."

Demikian pula, ada beberapa endapan emas yang diketahui di Antartika yang mungkin tidak pernah ekonomis untuk ditambang, karena kondisi cuaca benua yang ekstrem. Emas juga tersebar di sepanjang dasar laut, tetapi juga dianggap tidak ekonomis untuk ditambang. Satu faktor yang dimiliki emas adalah, tidak seperti sumber daya tak terbarukan lainnya seperti minyak, emas dapat didaur ulang. Jadi kita tidak akan pernah kehabisan emas, bahkan ketika tidak ada lagi yang bisa ditambang.

Emas dalam jumlah besar juga digunakan untuk produk elektronik sekali pakai, seperti ponsel. Jumlah emas di ponsel rata-rata bernilai beberapa puluh hingga ratusan ribu Rupiah. Upaya mendaur ulang emas dari limbah elektronik ini sudah dilakukan dan berjalan dengan baik. (*)

Tags : Penghasil Emas, Indonesia Penghasil Emas Terbesar Dunia, Indoensia Peringkat Tujuh ,