Sorotan   2020/10/03 13:2 WIB

Puncak Gelombang Pertama Covid-19 yang Tak Berujung 

Puncak Gelombang Pertama Covid-19 yang Tak Berujung 
Satgas gabungan memberi hukuman push-up kepada warga yang tidak memakai masker. (Foto. ANTARA)

"Jumlah kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia "sangat mungkin" mencapai dua juta orang sebelum vaksin digunakan secara efektif dan meluas"

umlah kematian dapat menembus angka yang lebih tinggi tanpa aksi internasional yang terkoordinasi. Berdasarkan angka yang dihimpun Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat, jumlah kematian akibat Covid-19 per Sabtu (26/09) mencapai 985.748 orang. Adapun jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia hingga Jumat (25/09) telah mencapai 10.218 orang.

Jumlah ini tercapai sembilan bulan setelah wabah bermula di Wuhan, China. Penularan virus corona terus meningkat. Jumlahnya menembus 32 juta kasus di seluruh dunia. Sejauh ini, Amerika Serikat, India, dan Brasil mencatat kasus terbanyak. Jika digabungkan, kasus di ketiga negara tersebut mencapai 15 juta kasus. Namun, akhir-akhir terjadi peningkatan penularan di Eropa sehingga banyak kalangan menyerukan karantina nasional seperti yang pernah diterapkan pada gelombang pertama. "Secara keseluruhan di kawasan sangat besar ini kami menyaksikan peningkatan penyakit yang mengkhawatirkan," kata Mike Ryan, kepala Kedaruratan WHO yang juga dibenarkan Dr Ryan, merujuk pertambahan kasus di Eropa.

Mike Ryan juga mendesak masyarakat Eropa merenungkan apakah mereka telah menempuh langkah-langkah yang cukup untuk menghindari karantina wilayah atau lockdown. Dia mempertanyakah apakah semua opsi telah diterapkan, seperti melakukan tes dan melacak kontak, karantina, isolasi, penjarakan sosial, memakai masker, serta mencuci tangan.

Ditanya apakah mungkin dua juta orang meninggal dunia sebelum vaksin tersedia, Dr Ryan menjawab: "Bukan tidak mungkin." Namun, tambahnya, rata-rata kematian menurun seiring dengan membaiknya langkah pengobatan pasien. Bagaimanapun, pengobatan yang baik dan vaksin yang efektif mungkin tidak cukup untuk mencegah angka kematian mencapai dua juta, katanya. "Apakah kita siap untuk melakukan apa yang harus dilakukan untuk menghindari angka itu?" tanya Dr Ryan, seraya menyeru kepada semua negara untuk mengerahkan upaya demi mengendalikan penyebaran Covid-19. Kecuali kita melakukan semua hal, jumlah yang Anda bicarakan itu bukan hanya bisa terbayangkan, namun sayangnya dan sedihnya, sangat mungkin terjadi."

Mengapa protokol kesehatan sulit dipatuhi?

Gelombang pertama penyebaran virus corona tidak menunjukkan akhir. Penyebabnya karena masyarakat kurang disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan serta akibat dari relaksasi pembatasan sosial yang terlalu dini, kata peneliti dari Institut Teknologi Bandung. Peningkatan kasus tersebut menurut Pengurus Pusat Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia menyebabkan rumah sakit mengalami kelebihan kapasitas, dari ambang batas maksimal 65% menjadi kini mencapai 85%.

Kurang taatnya masyarakat menjalankan protokol kesehatan disebabkan empat hal yaitu, keterbatasan pengetahuan, tidak ada pengalaman dan pengelihatan, serta penyebaran berita bohong, kata pengamat sosial dari Universitas Indonesia. Pemerintah bertindak cepat dengan mengerahkan pemerintah daerah untuk memberikan hukuman tegas kepada masyarakat yang melanggar, mulai dari sanksi teguran, administratif hingga sosial yang tercantum dalam peraturan kepala daerah (perkada).

Puncak gelombang pertama yang tak berujung

Sejak diumumkan pertama kali kasus virus corona di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada Maret lalu, penyebaran kasus virus corona tidak menunjukkan penurunan hingga kini. Bahkan, Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, belum bisa melihat kapan puncak dan ujung dari penyebaran gelombang pertama. "Nilai reproduksi harian masih di atas satu, tingkat okupasi rumah sakit tinggi, dan belum ada penurunan kasus dua minggu berturut-turut. Sekarang asupan data sudah tiga ribuan per hari dan jika semakin besar maka akan semakin lama puncaknya," kata Nuning dirilis BBC News Indonesia, Rabu (16/09).

Tingkat penyebaran yang masih tinggi disebabkan kontak yang masif dan jumlah penduduk yang besar. "Masyarakat kurang disiplin, ditambah lagi, masih dalam intervensi mitigasi dan kasus naik tapi relaksasi pembatasan sosial sudah dilakukan," katanya.

Berdasarkan data dari Pusat Eropa Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (European Centre for Disease Prevention and Control), Indonesia merupakan salah satu negara bersama dengan Argentina, Irak dan Ukraina yang terus mengalami peningkatan kasus per hari sejak dari akhir Februari hingga 13 September lalu. Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki angka kematian tertinggi yaitu 9.100 orang dan total kasus konfirmasi positif mencapai 228.993 per data Rabu (16/09).

Sebelumnya pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo memprediksi puncak kasus virus corona terjadi pada Agustus hingga September. Prediksi juga dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang menganalisis puncak jatuh pada akhir Juni hingga Juli. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga memperkirakan puncak pandemi akan dimulai pada awal Mei dan berakhir awal Juni. Namun prediksi tersebut meleset dan ujung puncak virus corona belum terlihat.

Penyebab terus meningkatnya kasus virus corona karena ketidakpatuhan masyarakat menjalani protokol kesehatan. Lantas, mengapa masyarakat tidak patuh? Terdapat empat alasan yang disampaikan pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati. "Pertama adalah tidak punya pengetahuan tentang Covid, dan kedua, tidak punya pengalaman. Berbeda dengan demam berdarah, campak dan malaria yang mana semua orang tahu tentang penyakit itu dan punya pengalaman baik untuk dirinya sendiri, saudara atau koleganya," kata Devie.

Ketiga adalah penglihatan. Menurut Devie, masyarakat tidak melihat secara langsung seberapa berbahaya Covid-19 karena yang disodorkan berupa angka dan ucapan. "Secara umum, Covid tidak ada yang melihat, yang masyarakat tahu hanya angka bertambah dan jarang sekali orang punya pengalaman langsung melihat dan menceritakanya," tambah Devie.

Terakhir adalah faktor penyebaran berita bohong yang viral di media sosial, mengatakan virus corona adalah konspirasi, senjata biologis, ulah kelompok dan ras tertentu. "Keempat alasan ini berkelindan yang membuat masyarakat, tidak mengenal kalangan baik berpendidikan atau tidak, kaya atau miskin, tidak meyakini virus corona yang akhirnya mereka sembrono, tidak taat protokol kesehatan," katanya.

Rumah sakit kelebihan kapasitas

Penambahan kasus akibat ketidakpatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan berdampak langsung pada peningkatan okupansi rumah sakit (RS). "Kapasitas 65% saja sudah warning, tapi sekarang sudah 85% overcapacity yang berdampak pada mutu layanan," kata pengurus Pusat Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (Permapkin) Hermawan Saputra.

Hermawan menyebut, di Indonesia terdapat sekitar 3.000 RS yang mana sekitar 1.000 berada di Jabodetabek, atau 2.000 RS ada di Pulau Jawa. Tingkat okupansi merujuk pada fasilitas seperti ruang isolasi dan ruang ICU (Intensive Care Unit) di sebuah rumah sakit yang merawat pasien corona dengan gejala sedang hingga berat. Selain kelebihan kapasitas, menurut data Ikatan Dokter Indonesia, 115 dokter meninggal dunia akibat pandemi Covid-19.

Apa solusinya? 

Peneliti ITB Nuning, pengurus Permapkin Hermawan, dan pengamat Devie berpendapat, solusi atas penambahan kasus berujung pada satu kesimpulan yaitu pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat mulai dari level keluarga untuk mengubah perilaku. "Cuma satu yaitu laksanakan protokol kesehatan yang sangat ketat dengan mengubah perilaku di mulai dari satuan terkecil yaitu keluarga karena menunggu vaksi butuh waktu panjang dan tidak bisa masif," kata Nuning. 

"Solusinya adalah community-based fighting initiative, atau perang akar rumput melawan Covid. Contoh, kalau mulai dari keluarga, RT, dan kampung ada kesadaran kolektif menegakan protokol kesehatan dan menyediakan tempat isolasi mandiri, tidak ada stigmatisasi, kebutuhan pokok dipenuhi, menjaga kebersihan bersama maka akan sangat terminimalisir kematian dan pasien di RS," kata Hermawan.

"Pertama adalah sosialisasi tiada henti dan tidak pernah bosan. Kedua, edukasi tokoh publik, karena karakter masyarakat patron-klien, untuk memberikan info benar dan positif kepada pengikutnya. Ketiga, demonstrasi simbolik seperti menunjukan peti, baju APD, dll di tempat umum untuk meningkatkan sense of crisis yang telah memudar, dan terakhir adalah terus melakukan isolasi bagi yang positif," kata Devie.

Dari sosialisasi hingga penegakan hukum

Staf khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga mengatakan pemerintah telah melakukan beragam upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menjalankan protokol kesehatan. "Membuat buku panduan dan dibagikan ke seluruh daerah, lalu gerakan pembagian masker, dan September ini, strateginya adalah Mendagri menginstruksikan jajaranya untuk mendesak seluruh pemda mengeluarkan peraturan kepala daerah (perkada) tentang penegakan hukum protokol kesehatan. "Perkada itu mengatur tentang penegakan hukum displin pencegahan penyebaran Covid-19, seperti kewajiban pakai masker, larangan kerumunan, jaga jarak, dan penerapan protokol sektoral seperti di pasar, dan diikuti sanksi sosial bila dilanggar sesuai local wisdom di daerah seperti membersihkan jalan, push up, menyanyikan Indonesia Raya, sanksi administratif," kata Kastorius.

Saat ini, seluruh provinsi telah mengeluarkan perkada, dan hampir seluruh pemerintah kota/kabupaten juga mengeluarkan peraturan ini. "Targetnya nanti hari Jumat depan, seluruh daerah telah melaksanakan rapat koordinasi [rakor] bersama untuk sosialisasi isi perkada itu untuk kemudian segera diterapkan. Langsung jalan setiap hari mereka patroli, menyisir tempat-tempat kerumunan, lalu lintas, siapa tidak pakai masker akan dihukum sesuai perkada itu, ini sebagai metode efek jera agar pelan-pelan masyarakat menaati protokol kesehatan dan diharapkan entry point perubahan perilaku di masyarakat," kata Kastorius.

Biaya perawatan pasien ditanggung pemerintah

Sementara Juru Bicara Satgas Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menegaskan biaya perawatan pasien Covid-19 di tanggung pemerintah. Hal itu disampaikan Prof Wiku guna menghindari kesalahpahaman di masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) RI No.HK.01/07/MENKES/446/2020, tentang petunjuk teknis klaim penggantian biaya pelayanan pasien infeksi emerging dapat di klaim ke Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. 

"Klaim pembiayaan tersebut berlaku bagi pasien yang dirawat di rumah sakit yang melakukan pelayanan penyakit infeksi emerging (PEI) tertentu. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan di atas, maka klaim pembiayaan bisa diberikan kepada rumah sakit yang melakukan pelayanan PIE tertentu. Termasuk di dalamnya adalah rumah sakit lapangan atau rumah sakit darurat yang didirikan di lokasi tertentu selama kondisi darurat dan masa tanggap darurat bencana,” jelas Prof Wiku, Jumat (2/10). 

Prof Wiku menyampaikan, dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.HK.01.07/Menkes 446/2020 juga diatur secara rinci pelayanan yang dibiayai pemerintah terkait dengan perawatan pasien Covid-19. Komponen pelayanan kesehatan yang dibiayai pemerintah meliputi administrasi pelayanan, akomodasi (kamar dan pelayanan di ruang gawat darurat, ruang rawat inap, ruang perawatan intensif, dan ruang isolasi), jasa dokter, tindakan di ruangan, pemakaian ventilator, pemeriksaan penunjang, diagnostik (laboratorium dan radiologi sesuai dengan indikasi medis), bahan medis habis pakai, obat-obatan, alat kesehatan termasuk penggunaan APD di ruangan, ambulans rujukan, pemulasaraan jenazah dan pelayanan kesehatan lain sesuai indikasi medis.

Selain itu, bagi pasien suspek, probable atau konfirmasi Covid-19 dapat dilakukan alih rawat non isolasi, dengan kondisi sudah memenuhi kriteria selesai isolasi, tetapi masih memerlukan perawatan lanjutan untuk kondisi tertentu yang terkait dengan komorbid atau penyakit penyerta, co-insidens dan komplikasi dengan pembiayaanya dijamin oleh JKN atau asuransi kesehatan lain. Berdasarkan hasil pantauan di lapangan, Satgas Penanganan Covid-19 masih mendapati beberapa laporan kasus dimana pasien mempertanyakan soal tagihan biaya Rumah Sakit. Menurut dia, pertanyaan tersebut wajar, mengingat pemerintah sebelumnya telah menegaskan pembiayaan Covid-19 ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. "Jangan sampai ada rumah sakit yang merekomendasikan perawatan di luar standar yang ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena itu dihimbau seluruh rumah sakit untuk mengevaluasi pelayanan yang dilakukan selama ini dengan merujuk kepada algoritma tatalaksana Covi-19 yang telah disetujui oleh Kementerian Kesehatan dan disusun oleh lima perhimpunan profesi dokter di Indonesia yaitu PDPI, PAPDI, IDAI, PERDATIN dan PERKI," pesannya.

Satgas, dikatakan dia, yakin mayoritas rumah sakit di Indonesia telah berusaha maksimal untuk memberikan layanan terbaik di masa pandemi ini. Akan tetapi, bagi rumah sakit yang belum sepenuhnya mengikuti tata laksana pelayanan Covid-19, pihaknya mengimbau untuk mengevaluasi cara kerja agar tidak berujung membebani pasien dengan pembiayaan-pembiayaan yang tidak seharusnya ditagihkan. "Sudah seharusnya rumah sakit dan dibantu oleh pemerintah dapat memberikan rasa aman bagi para pasien agar tidak muncul keraguan untuk melakukan perawatan yang dibutuhkan di saat-saat sulit seperti ini," pungkasnya. 

Satgas Covid-19 sendiri menghimbau agar masyarakat Indonesia tidak khawatir soal pembiayaan Covid-19. Dimanapun rumah sakitnya, baik rumah sakit pemerintah ataupun swasta, selama dalam rangka penanganan Covid-19 biaya akan sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah. "Biaya perawatan yang seluruhnya ditanggung oleh pemerintah merupakan komitmen pemerintah dalam membantu meringankan beban pasien Covid-19 di Indonesia sehingga mereka dapat memperoleh layanan kesehatan yang sesuai standar. Inilah wujud kehadiran negara bagi masyarakat di tengah pandemi," tuntasnya. (*)

Tags : Covid-19, Protokol Kesehatan, Puncak Gelombang Covid-19,