Nasional   2024/04/10 23:44 WIB

Kelompok Pekerja Migran Indonesia Minta Pemerintah 'Membebaskan' dari Aturan Barang Bawaan Impor 

Kelompok Pekerja Migran Indonesia Minta Pemerintah 'Membebaskan' dari Aturan Barang Bawaan Impor 
Pekerja migran Indonesia dari Malaysia tiba di Surabaya pada tahun 2021. 

JAKARTA - Kelompok pekerja migran Indonesia meminta pemerintah "membebaskan" mereka dari peraturan pembatasan impor barang yang berlaku 10 Maret 2024 karena hanya menambah beban pekerja migran dan keluarganya.

Seorang buruh migran di Taipei, Tutik, bercerita empat kardus oleh-oleh yang dikirim sejak Februari lalu tertahan di gudang bea cukai Semarang, Jawa Tengah. Padahal isinya hanya barang bekas pemberian majikannya beserta beberapa makanan untuk hadiah Idulfitri keluarganya di Ngawi, Jawa Timur.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso, mengeklaim revisi Permendag nomor 36 tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor sudah memberikan kemudahan serta solusi yang adil dan efektif bagi pekerja migran Indonesia yang akan mengirimkan barangnya.

Menurutnya, barang dalam keadaan baru maupun tidak baru dengan jumlah tertentu akan dikecualikan dari kewajiban memiliki perizinan impor dari Kemendag.

Kendati demikian, ekonom dari INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai Permendag ini perlu direvisi karena dianggap "tidak mulus" ketika dijalankan di lapangan.

'Sakit rasanya diperlakukan begini, kami bukan maling'

Buruh migran Indonesia yang kini bekerja di Taipei, Tutik, terdengar jengkel gara-gara barang yang dia kirim sejak 5 Februari lalu tak kunjung sampai di rumahnya di Ngawi, Jawa Timur.

Padahal biasanya kiriman yang diangkut menggunakan jasa ekspedisi langganannya selalu tiba tidak lebih dari satu bulan.

Kali ini, kata Tutik, pihak ekspedisi mengatakan barang-barangnya yang dikemas sebanyak empat kardus tertahan di bea cukai Semarang tanpa alasan jelas.

"Saya cek di aplikasi ekspedisi tiba di pelabuhan 13 Maret 2024, sampai sekarang masih antre katanya di bea cukai," ujar Tutik seperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (08/04).

Empat kardus kirimannya itu terdiri dari dua kardus berukuran besar dan dua kardus kecil. Kata ibu tiga anak ini, tak ada yang spesial atau mahal di dalamnya. Kebanyakan adalah barang-barang bekas pemberian majikannya yang sudah meninggal di panti jompo.

Misalnya baju bekas, sandal bekas, dan tas bekas. Termasuk popok dewasa, susu, dan beberapa makanan ringan sebagai oleh-oleh lebaran.

"Enggak ada barang branded, tidak ada barang baru. Semuanya saya beli kadang sudah terpakai sekali atau dua kali, baru dikirim pulang. Intinya barang-barang bekas kita lah dan yang dikasih majikan."

"Itu pun baju-baju saya beli saat diskon, saya kumpulin dari jatah uang makan dari majikan. Saya beli mainan, anak minta coklat, suami minta dibelikan kopi."

Pekerja migran berusia 50 tahun ini mengaku tak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang menahan barang-barangnya tersebut.

Sebab semua barang itu dibeli dari hasil jerih payahnya bekerja selama sembilan tahun di Taipei.

Tutik mengaku merasa diperlakukan seperti pelaku kejahatan.

"Terus terang saya kecewa, kami di sini kondisinya susah, eh malah kena tahan. Ya Allah... Padahal cuma makanan buat Lebaran di rumah," ucapnya dengan nada geram.

"Sakit rasanya diperlakukan begini. Kami bukan maling, bukan koruptor, barang-barang itu bukan untuk diperjualbelikan. Saya kumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk menyenangkan keluarga."

Kini, Tutik mengatakan hanya bisa pasrah dengan nasib barang-barangnya. Pihak ekspedisi, kata dia, tak bisa memastikan kapan kirimannya lolos dari antrean bea cukai Semarang.

Dia sempat terpikir untuk menghubungi suaminya di Ngawi agar menjemput sendiri barang kirimannya. Pasalnya untuk mengirim dari Taipei ke Indonesia, dia harus membayar ongkos ekspedisi sekitar Rp3 juta.

Itu mengapa Tutik sangat berharap pemerintah tidak mempersulit barang-barang kiriman pekerja migran yang disebutnya tidak mahal tersebut.

"Dengan segala hormat kepada Presiden saya mohon jangan dipersulit untuk pengiriman barang-barang kami yang cuma baju bekas."

"Saya takut makanan-makanan itu bisa kedaluwarsa. Tolong bapak-bapak kami penyumbang devisa negara, bukan koruptor."

Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Sekar Bumi), Karsiwen, mengatakan apa yang dialami Tutik juga terjadi pada buruh migran lainnya di banyak negara.

Dari laporan yang dia terima, barang-barang yang dikirim sebelum revisi Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor itu diberlakukan pada 10 Maret lalu, terhambat di bea cukai.

Padahal harusnya diberikan jeda waktu bagi barang yang dikirim sebelum peraturan tersebut diterapkan.

Karena imbasnya, ada keluarga pekerja migran yang akhirnya terpaksa menebus beberapa barang kirimannya karena dianggap sebagai 'barang impor'.

"Aturan ini kan saklek banget, harusnya ada jeda waktu sosialisasi kepada teman-teman buruh yang sudah duluan mengirim barangnya. Nah ini kan tidak," kata Karsiwen, Senin (08/04).

Karsiwen memaparkan, Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai sebetulnya telah menggelar sosialisasi online dengan sejumlah kelompok buruh migran pada 22 Maret lalu.

Di situ, disampaikan bahwa ada pengecualian bebas izin impor terhadap barang kiriman pekerja migran Indonesia, seperti pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi dengan kondisi baru. Maksimal yang boleh dikirim sebanyak lima buah dan dalam kondisi tidak baru maksimal 15.

Barang tekstil sudah jadi lainnya yang dalam kondisi baru atau tidak baru, dibatasi lima.

Barang elektronik yang tidak termasuk telepon seluler, komputer genggam dan kimputer tablet dalam kondisi baru atau tidak baru maksimal dua.

Ada juga alas kaki dalam kondisi baru atau tidak baru dibatasi dua, kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga dalam kondisi baru atau tidak baru maksimal lima.

Lalu, mainan anak dalam kondisi baru atau tidak baru dibatasi empat.

Yang jadi masalah, kata Karsiwen, terhadap barang-barang yang jumlahnya melebihi batasan dikenakan pajak yang angkanya disebut 'tidak masuk akal'. Sebab barang-barang itu kebanyakan dibeli dengan harga diskon.

"Itu hitungan pajaknya bagaimana? Karena kadang ada barang yang beli diskonan dan pihak bea cukai mengecek harga dengan standar harga normal untuk menetapkan pajaknya."

"Kan jadi rancu kalau tidak ada proses interview saat mengecek barang-barang itu. Ini yang belum jelas."

"Kasihan keluarga penerima, dia terima paketan harus bayar sekian untuk ambil barang. Jadi beban ganda untuk pekerja migran dan keluarganya."

Bagi Karsiwen, kebijakan yang diberlakukan kepada pekerja migran ini bukanlah pengecualian seperti yang diklaim Kementerian Perdagangan, tapi sama seperti warga lainnya karena tetap ada batasan maksimum total barang yang dikirim ke Indonesia tak boleh lebih dari US$1.500 atau sekitar Rp23,8 juta.

Sementara untuk menaksir barang-barang kiriman para buruh migran tak lebih dari angka itu, dia mempertanyakan cara penghitungannya.

Karena lagi-lagi, barang yang dikirim kebanyakan dibeli ketika ada potongan harga alias diskon atau pemberian dari majikan. Mustahil, katanya, ada pekerja migran yang rela menghabiskan gajinya demi membeli barang mewah bermerek.

Belum lagi ongkos untuk pengiriman lewat ekspedisi terbilang mahal.

"Jadi janganlah mereka dicurigai kirim barang untuk dagangan atau jastip-jastip itu, karena ongkosnya tidak murah."

Karsiwen berharap pemerintah membebaskan sepenuhnya pekerja migran Indonesia dari peraturan yang disebutnya "ruwet" tersebut.

Kalaupun ada dugaan barang impor selundupan yang mengatasnamakan pekerja migran, bisa dicek ulang identitas pengirim dan penerimanya apakah betul-betul TKI atau bukan.

Adapun terhadap barang-barang yang dikirim sebelum Permendag diberlakukan agar dilepaskan dari gudang bea cukai.

"Jumlah buruh migran itu sembilan juta, ada yang bekerja di perkebunan dan tak tahu informasi ini, apakah tidak ada pengecualian?"

"Kami buruh migran mau lebaran, sudah keluarkan ongkos kirim eh barangnya ditahan sementara besok lebaran. Ujung-ujungnya barang itu ke mana dan untuk siapa? Kalau disuruh bayar pajak, enggak sanggup lah."

Mengapa Kemendag menetapkan aturan ini?

Pembatasan impor barang tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor yang direvisi menjadi Permendag nomor 3 tahun 2024.

Salah satu tujuan aturan ini adalah mengembalikan pengawasan sejumlah komoditas dari postborder atau diawasi setelah beredar di pasaran oleh kementerian/lembaga terkait menjadi border atau diawasi di perbatasan negara oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di pelabuhan atau bandara.

Intinya, aturan ini ingin menertibkan masuknya barang impor yang dijajakan kembali oleh pelaku jasa titip alias jastip seperti yang terjadi pada Februari 2024.

Kala itu Bea Cukai Soekarno-Hatta menemukan hampir satu ton atau sebanyak 2.564 buah roti milk bun yang viral dari Thailand masuk dalam barang bawaan penumpang yang melebihi batas.

Dari 33 penindakan terhadap barang bawaan penumpang di Bandara Soetta, ditaksir ribuan mik bun itu senilai Rp400 jutaan. Padahal setiap penumpang hanya dibatasi barang bawaan olahan pangan 5 kilogram.

Kalau melebihi batas dan tidak disertai izin dari Badan POM maka atas kelebihannya akan dilakukan penindakan.

Hingga akhirnya pada awal Maret lalu, milk bun tersebut dimusnahkan.

Barang bawaan apa saja yang dibatasi dari luar negeri?

  1. Makanan dan minuman bernilai paling tinggi US$1.500.
  2. telepon seluler, komputer genggam, dan komputer tablet paling banyak dua unit per orang dalam satu kedatangan selama jangka waktu satu tahun.
  3. Alas kaki paling banyak dua pasang per orang.
  4. Tas paling banyak dua buah per orang.
  5. Barang elektronik paling banyak lima unit dan dengan nilai paling tinggi US$1.500 per orang.
  6. Mainan bernilai paling tinggi US$1.500 per orang.
  7. Kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga paling banyak 20 buah per orang.
  8. Obat tradisional dan suplemen kesehatan bernilai paling tinggi US$1.500.
  9. Barang tekstil adi lainnya paling banyak lima potong per orang.
  10. Minuman beralkohol paling banyak 1 liter per orang.

Barang apa saja yang dibatasi lewat pos dari luar negeri?

  1. Tekstil dan produk tekstil batik bernilai paling tinggi US$1.500 per pengiriman.
  2. Pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi paling banyak lima potong per pengiriman.
  3. Tas paling banyak dua buah per pengiriman.
  4. Mainan bernilai paling tinggi US$1.500 per pengiriman.
  5. Kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga paling banyak 20 buah per pengiriman.
  6. Obat tradisional bernilai paling tinggi US$1.500 per pengiriman.

Apakah Permendag ini sudah tepat mencegah praktik jastip?

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai aturan Permendag soal pembatasan impor barang ini harus dikaji kembali.

Sebab sejak diberlakukan, banyak temuan masalah di tahap pelaksanaannya, seperti yang kini dialami pekerja migran Indonesia.

Menurut dia, pihak pelaksana yakni bea cukai harus memilah dengan benar dan teliti mana barang yang memang diperuntukkan untuk berbisnis dan mana yang untuk konsumsi pribadi.

Jangan sampai, tujuan semula yang ingin menghalau praktik jastip justru merugikan banyak orang pribadi.

"Karena dua hal ini memiliki garis yang samar. Kita harus jeli melihat praktik keduanya. Tentu yang perlu dilihat juga apakah sepadan kebijakan ini untuk menghalau bigger fish-nya?" ujarnya.

Jika pemerintah ingin menekan impor dan melindungi pelaku usaha dalam negeri, sambungnya, maka semestinya jangan hanya memperketat pengawasan di bandara atau pelabuhan resmi.

Tetapi harus memprioritaskan 'pelabuhan-pelabuhan tikus'.

"Pemerintah harusnya melihat, bisa jadi bigger fish malah tidak ditangkap terkait bagaimana praktik-praktik impor tekstil ilegal ini tidak masuk melalui border."

"Di sana, skalanya lebih besar daripada jastip. Ini yang patut dilihat dan diinvestigasi."

Meskipun begitu, pengamatannya Permendag ini cukup memberikan pertolongan kepada industri-industri tekstil yang selama ini babak belur digempur produk impor.

Namun ke depan, perlu juga diperhatikan apakah Permendag ini merugikan industri lain yang membutuhkan bahan baku impor.
Apa tanggapan Kemendag?

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso, mengeklaim Permendag yang diberlakukan 10 Maret 2024 tersebut telah memberikan kemudahan serta solusi yang adil dan efektif bagi pekerja migran Indonesia dari berbagai negara yang akan mengirimkan barang untuk keluarga mereka.

Relaksasi yang diatur di antaranya pengiriman beberapa kelompok barang tertentu dapat diimpor dalam keadaan baru maupun tidak baru dengan jumlah tertentu dan dikecualikan dari kewajiban memiliki perizinan impor dari Kemendag.

Permendag ini pun katanya, dapat menyelesaikan permasalahan barang kiriman pekerja migran Indonesia yang jumlahnya ratusan kontainer dan sempat tertahan di Desember tahun 2023.

"Permendag 36/2023 akan memberi kepastian aturan dalam hal impor barang kiriman PMI di masa mendatang," ujar Budi Santoso dalam keterangannya secara tertulis pada Minggu (07/04).

"Relaksasi dan kemudahan impor barang kiriman tersebut khusus diberikan kepada PMI untuk memberikan penghargaan kepada pekerja migran Indonesia sebagai pahlawan devisa," sambungnya.

Terlepas dari itu, dia menambahkan Kemendag menyebut tidak sendirian dalam menyusun Permendag 36/2023.

Kemendag melibatkan dan berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang dikoordinasikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Dia juga menegaskan, Kemendag bersama-sama dengan kementerian dan lembaga, termasuk BP2MI, menentukan kelompok barang tertentu serta jumlahnya yang dapat diimpor sebagai barang kiriman pekerja migran Indonesia dalam keadaan baru maupun tidak baru yang dikecualikan dari perizinan impor.

Ketentuan ini sudah mempertimbangkan seluruh aspek dan kepentingan yang terkait, antara lain, untuk meminimalisasi impor barang dalam keadaan tidak baru yang berpotensi membawa kuman dan penyakit yang akan mengganggu aspek keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia serta lingkungan hidup.

Selain itu, agar tidak mengganggu kinerja industri dalam negeri, khususnya sektor industri kecil menengah (IKM) padat karya yang sangat terdampak oleh banjirnya barang asal impor. (*)

Tags : Keuangan pribadi, Ekonomi, Pekerja migran, Hukum, Indonesia, Perdagangan,