Sorotan   2021/09/22 13:55 WIB

Kisah Guru di Natuna, yang 'Mendatangi Rumah Murid-muridnya tak Punya Gawai dan Sulit Akses Internet'

Kisah Guru di Natuna, yang 'Mendatangi Rumah Murid-muridnya tak Punya Gawai dan Sulit Akses Internet'

"Pandemi corona mendorong pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, juga melalui siaran TVRI maupun jaringan internet. Namun, realitanya, tidak semua siswa mampu melakukan PJJ, terutama yang tinggal di daerah terpencil dan belum memiliki gawai, bahkan tidak terjangkau sinyal televisi"

arum jam menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Efa Salfawi memacu sepeda motornya membelah ladang dan hutan dan terkadang lautan. Tas yang dibawa Efa penuh berisi kertas-kertas fotokopi buku pelajaran sekolah serta sejumlah masker yang hendak dibagikan ke murid-muridnya.

Efa adalah seorang guru di tingkat Sekolah Menengah Atas [SMA], di Kelurahan Serasan Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau [Kepri]. Kelurahan Serasan sendiri dipisahkan lautan menuju ibu kota Kabupaten Natuna dengan durasi tempuh dua hingga tiga hari. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan. 

Di tengah pandemi corona, Efa berinisiatif mendatangi rumah murid-muridnya, walau pemerintah sudah memutuskan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh secara daring serta melalui siaran televisi, namun yang menjadi kendala bagi guru-guru di lokasi terpencil siaran TVRI sendiri sulit terjangkau, malah sebaliknya siaraan televisi luar negeri Malaysia justru yang didapat.

Menurutnya, sebagian besar muridnya tidak memiliki gawai. Sementara, pembelajaran melalui TVRI sulit diakses karena sinyal televisi hanya bisa ditangkap menggunakan antena parabola yang harganya cukup mahal. "Secara daring anak-anak nggak mungkin [melakoni PJJ]). Ada juga (gawai) yang dipunyai orang tuanya sebagian, tapi kan belum semuanya. Ada informasi pembelajaran bisa dilihat di TVRI, tapi di daerah nggak semuanya bisa masuk channel TVRI-nya," ungkapnya.

Efa mengaku bahwa sebagai wali kelas, dirinya bertanggung jawab menuntaskan pembelajaran bagi puluhan siswanya. "Di semester dua lalu misalnya masih tertunda tiga tema pembelajaran lagi," kata Efa lagi yang dikontak melalui ponselnya yang terkadang mati hidup.

Insiatif mengajar dari rumah ke rumah

Setiap pagi, pukul 07.00 WIB, Efa memacu sepeda motornya, bukan ke sekolah tempat ia mengajar, tapi ke rumah murid-muridnya. Total ada 45 muridnya yang tinggal di kampung berbeda, yang harus ia kunjungi dalam sepekan. Efa juga membaginya dalam enam hari. Satu hari, satu kampung.

Siswa yang berada dalam satu kampung yang sama dikumpulkan di satu rumah salah seorang siswa atau mencari tempat lain yang memungkinkan, untuk belajar bersama. Ini siasat Efa agar menghemat waktu. Setiap hari, Efa menghabiskan waktu hingga lima jam untuk mengajar dari rumah ke rumah ini. Jalan ke rumah-rumah muridnya bisa dilalui sepeda motor dengan jarak terjauh sekitar empat kilometer.

Sesampainya di tempat yang dituju, Efa selalu menekankan jaga jarak kepada murid-muridnya. "Saya pembelajarannya tetap jaga jarak. Makanya saya suka di rumah siapa yang kebetulan mencukupi, atau kalau ada rumah kosong atau pun masjid. Lokasinya seperti itu. Misalkan anak ada lima orang, itu bisa diatur posisinya tidak berdekatan," tuturnya.

Awalnya, Efa harus merogoh kocek sendiri untuk uang membeli bensin dan fotokopi materi pembelajaran. "Alhamdulillah yang tadinya fotokopi materi, dana operasional, dan sebagainya saya gunakan uang sendiri, [sekarang] karena mungkin pihak sekolah juga tahu sehingga ada penggantian," ungkap pria 50 tahun ini.

Salah satu materi yang diajarkan Efa adalah mengenai virus corona. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengintruksikan sekolah untuk menyampaikan materi tentang corona. Namun sayangnya, contoh dan anjuran penggunaan masker tidak bisa selalu disampaikan karena kelangkaan barang itu di wilayahnya. "Saya memberi pemahaman anak tentang wabah ini, tapi waktu pembelajaran minggu pertama, jangan untuk anak, misalnya masker, untuk saya sendiri tidak tersedia. Saya juga mau beli pribadi tidak ada," ujar dia.

Efa mengaku bersikap realistis mengenai target pembelajaran. Apalagi, sebentar lagi tahun ajaran akan berakhir. "Nggak mungkin (target pembelajaran) tercapai. Masih ada tiga tema lagi (yang harus diajarkan). Satu tema satu buku. Tidak mungkin diajarkan dengan situasi dan waktu seperti ini. Tapi saya cari mata pelajaran yang materinya belum sama sekali diajarkan."

Target kurikulum

Inisiatif Efa mendapat apresiasi dari Dinas Pendidikan Natuna. "Baik sekali. Jadi beliau berinisiatif untuk door to door mengatasi belajar yang terhambat," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Natuna, Suherman yang mengaku telah memberikan fasilitas fotokopi materi pembelajaran dan uang transportasi bagi guru-guru yang mau melakukan pengajaran door to door usai menggelar Rapat Koordinasi Bidang Pendidikan di Hotel Natuna, Ranai.

Kegiatan Rapat Koordinasi itu berlangsung selama lima hari diikuti oleh 153 orang peserta yang terdiri dari Kepala Sekolah Tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah dari 15 Kecamatan, yang tujuan pelaksanaan rakor untuk menyatukan pandangan dan penyebaran informasi, terkait pelaksanaan kebijakan pendidikan, demi mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas, berkarakter dan berakhlak mulia.

Namun meski diakui cara Efa lebih efektif, tapi menurut Suherman, tidak semua guru di sekolah melakukan metode yang sama. Guru yang lain, kata Suherman, tetap melakukan tugas mengajar, namun dengan teknik dan cara yang berbeda. Semisal, memberikan tugas kepada muridnya melalui orang tua. Suherman tidak mengkhawatirkan target kurikulum yang gagal dicapai di masa pandemi ini, mengingat cara pembelajaran yang tidak seragam dan penuh keterbatasan.

Ia berpatokan pada kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghilangkan target kurikulum di masa pandemi Covid 19. "Kalau sekarang tidak ada target kurikulum. Kalau ada target kurikulum nanti harus semua (sekolah) kan. Menurut mendikbud juga, pembelajaran tidak harus punya target untuk menuntaskan kurikulum, tapi hanya supaya anak berusaha untuk belajar, tapi tidak dibatasi harus tuntas (kurikulum)," ujar Suherman.

Pada 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan surat edaran tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid-19. Dalam surat edaran itu, Nadiem mengeluarkan beberapa poin kebijakan, antara lain pembatalan ujian nasional, kelulusan, dan kenaikan kelas. Nadiem juga menegaskan agar pihak sekolah tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh. "Baik ujian sekolah maupun ujian akhir semester dirancang untuk mendorong aktivitas belajar yang bermakna, dan tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh," sebut Nadiem dalam siaran pers di situs Kemendikbud.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Natuna, Bedawi menyetujui arahan dari Kemendikbud dan dinas pendidikan daerah agar pembelajaran lebih difokuskan pada tema Covid 19.

"Kalau kita mengejar target kurikulum seperti pada umumnya, menurut saya gak akan terkejar dan tidak pas timing-nya," kata Bedawi usai dalam sesi pegelaran upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 sekaligus peringatan Hari Guru Nasional 2021 tingkat Kabupaten Natuna yang saban tahun diperingati itu.

Fasilitas tidak merata

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, tingkat penetrasi internet di perdesaan rata-rata 51.91%, di perkotaan pun rata-rata 78,08%. Kepemilikan komputer, yang menjadi media penting untuk pembelajaran, sangat rendah. Di pedesaan sebanyak 9.93%, sedangkan di perkotaan sebanyak 28,43%. Kemendikbud menyadari pembelajaran tidak akan optimal lantaran fasilitas yang tidak merata.

"Memang tidak semua daerah punya akses smartphone ataupun koneksi internet yang baik. Jadi ini merupakan suatu hal yang menantang. Tetapi kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kerja sama ke depan memastikan sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran daring," ungkap Nadiem dalam siaran persnya, akhir Maret lalu.

Pemerintah menyiasatinya dengan menyediakan siaran PJJ di TVRI dan RRI, tapi itu pun belum menjangkau sejumlah daerah. Di Kabupaten Natuna, fasilitas komunikasi sudah memadai tapi tidak didaerah-daerah terpencil. "Kalau di Natuna untuk menangkap sinyal televisi ada yang berbayar. Jadi, banyak sekali kendala yang terjadi untuk pembelajaran jarak jauh ini. Makanya, bisa dipahami ada teman-teman guru yang kemudian melakukan pembelajaran door to door," kata Asisten Administrasi Umum Setda Kabupaten Natuna, Hikmatul Arif saat usai menggelar Konfrensi IV PGRI Kabupaten Natuna di Aula Syamsul Hilal tahun lalu.

Hikmatul Arif juga berharap, PGRI ke depan semakin produktif dalam menyikapi aspirasi. Sekaligus menjadi jembatan koordinasi bagi para guru dengan pemerintah. “Segala potensi yang dimiliki PGRI harus mendukung terciptanya generasi muda yang berkarakter berwawasan dan berbudaya,” ujarnya.

Tetapi seperti dialami Efa hanya bisa bersikap pasrah. "Situasinya tidak memungkinkan. Kalau mau siaran TVRI ada di Serasan maupun hingga pelosok desa lainnya, itu perlu proses, perlu teknologi, tidak bisa mendadak begitu. Itu kan pembangunannya berskala besar, jadi tidak bisa mendadak diadakan. Sulit juga minta solusi ke pemerintah kan semuanya juga sedang kesulitan, ya kan?," ungkap Efa. (rp.sdp/*)

Tags : Virus Corona, Pendidikan, Anak-anak, Sorotan, Kesehatan, Guru Terpencil di Serasan Natuna, Tenaga Pendidik Ditengah Pandemi,