Headline Korupsi   2022/01/28 17:47 WIB

KPK Belum Bisa Tangkap Buronan yang Lari ke Singapura, Karena 'Perjanjian Ekstradisinya Masih Diratifikasi'

KPK Belum Bisa Tangkap Buronan yang Lari ke Singapura, Karena 'Perjanjian Ekstradisinya Masih Diratifikasi'
Maria Pauline Lumowa, buronan tersangka kasus pembobolan bank BNI senilai Rp1,7 triliun, dipulangkan dari Serbia.

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa tangkap buronan yang lari ke Singapura, karena perjanjian ekstradisinya masih diratifikasi oleh pihak DPR RI.

Upaya untuk memulangkan tersangka koruptor yang lari ke Singapura sekarang terbuka lebar menyusul perjanjian ekstradisi, namun untuk menjadi kenyataan masih menunggu ratifikasi DPR.

Dan menurut pakar hukum, ratifikasi dari DPR bisa memakan waktu beberapa tahun. Paling cepat mungkin sekitar satu tahun. Seorang anggota DPR Komisi I yang membidangi uruasan luar negeri mengatakan, pihaknya masih akan mengkaji perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang diteken awal pekan ini.

KPK sendiri sudah memastikan, ekstradisi para koruptor dari Singapura belum bisa dieksekusi. Meski begitu, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan dirinya menyambut baik perjanjian ekstradisi RI-Singapura. "Ini sangat positif [bagi] pemerintah ke depannya, ini adalah legalitas [bagi upaya memulangkan para tersangka koruptor]," kata Yudi Purnomo dirilis BBC News Indonesia.

Ekstradisi adalah penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitas suatu negara kepada negara lain yang diatur dalam perjanjian antara kedua negara yang bersangkutan. 

Beberapa kali menangani kasus korupsi di Indonesia yang saksi atau tersangkanya berada di Singapura "sangat-sangat berat", jelas mantan ketua wadah pegawai KPK ini.

Yudi bersama tim hanya bisa mengandalkan "pertemanan baik" dengan KPK Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB).

"Mereka [CPIB] welcome, ketika kita datang ke sana. Kemudian mereka memfasilitasi, misalnya saya memberikan saksi dan sebagainya, tetapi hanya sebatas itu."

"Ketika kita memeriksa orang [tersangka atau saksi] di sana, ya harus sukarela dari orang tersebut untuk datang misalnya ke CPIB," tambah Yudi.

Selain itu, para penyidik KPK juga hanya bisa melihat para tersangka berkeliaran di Singapura, meski mereka "melakukan kejahatan di negara kita".

Awal pekan ini, pemerintah Indonesia-Singapura meneken perjanjian ekstradisi, yang diklaim telah diupayakan sejak 1998.

Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

Belum bisa dieksekusi

Namun, KPK memastikan perjanjian ekstradisi antara Singapura-Indonesia masih belum bisa diterapkan karena harus mendapat pengesahan dari DPR.

Dengan demikian lembaga antirasuah itu belum bisa bergerak langsung menangkap buronan korupsi di Singapura.

"Ya, dia sebagai sebuah instrumen hukum, itu belum sah berlaku, sampai kemudian diratifikasi oleh DPR," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron kepada BBC News Indonesia.

Lebih lanjut, Ghufron menjelaskan, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional oleh DPR akan diturunkan melalui produk undang undang.

"Maka perjanjian pemerintah dengan pemerintah, untuk kemudian berlaku sebagai UU, harus disahkan dalam fórum atau majelis DPR," katanya.

Singapura disebut sejumlah kalangan sebagai tempat persinggahan para koruptor yang melarikan diri dari jerat hukum di Indonesia. 

Hal ini berdasarkan sejumlah kasus di mana pelakunya sempat ke negara tersebut setelah ditetapkan sebagai tersangka atau divonis kasus korupsi.

Misalnya, Djoko Tjandra dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Gayus Tambunan pada kasus mafia pajak, M. Nazaruddin buronan korupsi wisma atlet, Nunun Nurbaeti yang tersangkut suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia, dan Mauria Pauline Lumowa yang pernah membobol kas BNI sebesar Rp1,7 triliun.

Tersangka korupsi lain yang belum ditangkap dan diduga masih berada di Singapura di antaranya Paulus Tanos (korupsi e-KTP) dan Bambang Sutrisno yang telah divonis dalam kasus korupsi BLBI.

'Apa iya selugu itu Singapura?' 

Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri, Effendi Simbolon mengatakan masih akan mendalami isi perjanjian antara pemerintah Indonesia-Singapura.

"Senin (31/01), kami ada rapat kerja dengan Menlu [Menteri Luar Negeri Retno Marsudi]. Kita juga ingin mendapat penjelasan juga, seluas-luasnya, resmi dari pemerintah," kata anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Effendi kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/01).

Effendi masih sangsi perjanjian ekstradisi yang diikuti dengan kesepakatan kawasan informasi penerbangan (flight information region/FIR) kedua negara, benar-benar akan menguntungkan Indonesia. 

"Apa iya selugu itu Singapura? Sepertinya mereka kayak negara yang dengan pasrah, lepas pengusahaan, flight information region yang dari zaman ke zaman mereka kuasai kan," katanya.

Hal senada diungkapkan anggota komisi I DPR dari fraksi PKS, Sukamta. Ia akan melakukan pencermatan atas kesepakatan perjanjian kerjasama pertahanan keamanan yang juga menjadi agenda dalam pertemuan di Pulau Bintan tersebut.

"Kami mendengar dalam kesepakatan kerja sama Singapura mengajukan hak menggelar latihan tempur di perairan Indonesia dan juga latihan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Tentu ini perlu dicermati terkait potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia," katanya.

Seperti diketahui, ratifikasi RUU perjanjian ekstradisi yang disepakati pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2007 dengan Singapura, pernah gagal. Saat itu, DPR menolak perjanjian yang diikuti dengan kerjasama pertahanan keamanan yang dianggap bisa menjadi ancaman kedaulatan Indonesia.

Bagaimanapun Sukamta meyakini ratifikasi perjanjian ekstradisi dan kerjasama lainnya dengan Singapura di era Joko Widodo akan berjalan mulus.

"Saat ini hampir semua RUU usulan pemerintah diamini dan disetujui DPR. Namun demikian tentu pencermatan atas pasal-pasal perjanjian penting untuk dilakukan," katanya.
Adu cepat dengan koruptor

Saat ini pemerintah dan DPR harus berpacu dengan waktu untuk segera menangkap para koruptor yang menjadi sasaran penegak hukum. Jika kalah cepat, maka "para koruptor kita masih bisa berleha-leha di luar negeri," kata Pakar Hukum Internasional, Teuku Rezasyah.

Ia memperkirakan ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan selesai paling cepat satu tahun ke depan.

"Paket ekstradisi, pertahanan, dan FIR ini akan melibatkan komisi-komisi dalam DPR. Semoga mereka itu tidak terkendala dengan pemilu, dengan pilpres, pilkada serentak 2024," kata Rezasyah kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/01).

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya persiapan teknis untuk menyambut pelaksanaan ekstradisi dengan Singapura. Seperti pembuatan "big data intelijen" yang memuat semua informasi terkait dengan kasus kejahatan keuangan yang ada di Indonesia dan Singapura.

Kata Rezasyah, ekstradisi bukan hanya upaya untuk menangkap koruptor, tapi bagaimana bisa memboyong aset dan uang hasil korupsi yang diamankan di Singapura ke Indonesia.

"Tapi yang namanya duit itu kan enggak mengenal paspor. Duit itu bisa lari ke mana pun, karena para pelaku kejahatan keuangan itu, biasanya punya paspor yang kedua," kata Rezasyah.

Sambil menunggu ratifikasi perjanjian ekstradisi oleh DPR, ia menyerukan agar pemerintah membuat pernyataan ke Singapura untuk menahan koruptor yang masih buron, dan membekukan aset mereka.

"Jangan sampai keputusan yang dibuat di Riau itu hanya sebatas statement, ini akan mencederai presiden juga," kata Rezasyah. (*)

Tags : Ekonomi, Hukum, Indonesia, Korupsi, Singapura,