Headline Sorotan   2020/10/22 14:28 WIB

Masyarakat Adat dan Perkebunan Sawit Mulai dapat Hidup Berdampingan

Masyarakat Adat dan Perkebunan Sawit Mulai dapat Hidup Berdampingan

"Masyarakat adat dan perkebunan sawit saat ini mulai dapat saling hidup berdampingan tanpa konflik lantaran keduanya sama-sama saling membutuhkan dalam rangka kegiatan pembangunan ekonomi di daerah" 

antan Wakil Ketua DPRD Riau, H Suryadi Khusaini S.Sos MM menilai kalau masyarakat adat sekarang ini dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan. Perkebunan pun dinilainya kini sudah dapat mensejahterakan dan lahan perkebunan sebagian besar dimiliki masyarakat termasuk masyarakat adat.

"Pemerintah memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan, tentu sesuai Inpres No.8/2018, Inpres No. 6/2019, dan Perpres No. 44/2020," kata tokoh Politikus dari PDIP yang pernah diangkat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Staf Khusus Bidang Swasembada Pangan untuk Riau ini dalam bincang bincangnya ngopi bersama dibilangan Radja Caffe Jalan Arifin Achmad Pekanbaru dengan riaupagi.com, Selasa (20/10/2020) kemarin. 

Diakui, luasnya kebun sawit dampak dan manfaat dari industri kelapa sawit maka keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan kelapa sawit adalah suatu kenyataan yang harus menjadi bagian bagi pengembangan praktik berkelanjutan. “Kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan tinggi produktivitas sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit, harus ada perubahan perspektif tidak sebatas melihat masalah. Tapi temukan solusi," ujarnya.

Menurutnya, perkebunan kelapa sawit dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Meski di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum. Misalnya yang pernah terjadi, ketika ada persoalan dengan masyarakat adat, terkadang perusahaan perkebunan di daerah tidak mendapatkan informasi dari pemerintah daerah bahwa lahan perkebunan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan adat. "Banyak perusahaan sawit di Riau belum mendapatkan informasi detil berkaitan peta hutan adat. Karena informasinya belum jelas terkait petanya hutan adatnya, maka belum bisa memberikan informasi secara mendetailnya," ujarnya.

Dia mengakui, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit juga berharap adanya jaminan kepastian berusaha dan perlindungan hukum berdasarkan regulasi. Dia menilai tidak ada perusahaan yang ingin memperuncing persoalan dengan masyarakat termasuk masyarakat adat. “Saat perusahaan sudah dapat izin dan melaksanakan kegiatan, tiba-tiba ada klaim dari masyarakat adat bahwa areal perusahaan menjadi wilayahnya. Hal ini membuat perusahaan tidak nyaman, karena setelah investasi keluar, lalu ada klaim," ujarnya.

Menurutnya, dalam beberapa kasus, klaim dari masyarakat adat tidak disertai legalitas dari pemerintah yang berwenang menetapkan Masyarakat Hukum Adat. Mantan Ketua DPD PDIP Riau ini setuju apabila kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapapun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Apalagi banyak pula masyarakat adat yang sebenarnya menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.

Namun menurutnya persoalan hutan adat dan perkebunan terjadi akibat ketidakjelasan regulasi. Dalam hal ini, Kementerian LHK tidak boleh bekerja sendiri akan tetapi harus melibatkan semua pihak termasuk pemerintah daerah dan Kementerian ATR/BPN. Salah satu aturan yang perlu dikritisi, kata dia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam aturan ini dibuat lima skema perhutanan sosial yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan. "Yang menjadi pertanyaan kenapa sawit dilarang dalam skema perhutanan sosial. Jadi, pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat dilarang menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya,” tanya dia.

Sementara berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, pemerintah sebaiknya melihat RUU ini lebih jeli karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat, karena mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga masuk sebagai klaim kawasan hutan oleh KLHK. "Jadi disini perlu dicermati lebih jeli sebab saat ini masyarakat adat telah diatur didalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan lintas sektoral. Sebaiknya regulasi yang ada dan terkait masyarakat adat yang tersebar tersebut, pemerintah mengharmoniskan peraturan hukum adat yang sudah ada. Tentu, apabila ada yang mengakui kelompok masyarakat adat, tidak bisa sebatas klaim semata karena harus ada pengakuan secara hukum berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/2012, Putusan MK No.31/2007 dan Putusan MK No.34/2011," jelasnya.

Untuk pengakuan masyarakat adat ini, menurut Suryadi Khusaini membutuhkan proses panjang karena melewati serangkaian tahapan syarat, seperti turun temurun hidup di wilayah tersebut, ada ikatan kuat terhadap leluhur, hubungan kuat dengan lingkungan hidup, dan adanya sistem nilai berbasis ekonomi, politik serta sosial. (rp.sdp/*)

Tags : Masyarakat Adat, Perkebunan Sawit, Riau, Hidup Berdampingan,