Sorotan   2020/12/03 16:38 WIB

Para Kandidat Kampanye Ditengah Pandemi, ‘Was-was Terhadap Covid'

Para Kandidat Kampanye Ditengah Pandemi, ‘Was-was Terhadap Covid'

"Pilkada 2020 merupakan pemilihan politik pertama di Indonesia yang digelar pada masa pandemi, para kandidat menghadapi dilema"

ara kandidat disatu sisi menciptakan kerumunan massa guna meraih dukungan namun berisiko membuat klaster penyebaran Covid-19 atau kehilangan potensi suara. Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] mencatat pelanggaran protokol kesehatan dalam pilkada terus terjadi. Namun, sanksinya sebatas administrasi: diberi peringatan hingga pembubaran.

Dari hal ini, harus ada harga yang dibayar. Ahli epidemiologi mengatakan pilkada yang berlangsung di 270 daerah di seluruh Indonesia kemungkinan akan membebani daerah dengan peningkatan kasus Covid-19. Awan hitam menggelayut di langit pesisir utara Kota Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu] Riau di pagi itu. Di kediaman Ridwan, 60 tahun, menatap seng-seng atap rumahnya yang sudah bolong dan berkarat. "Ini bocor kalau hujan sudah datang," katanya saat ditanya riaupagi.com.

Di Kota Rengat, Inhu, para kandidat kepala daerah meyakini kampanye tatap muka lebih efektif meskipun tidak meninggalkan kampanye daring. Namun Ridwan mengaku setiap musim pemilu kepala daerah tiba, dia biasa dikunjungi tim kampanye beberapa hari menjelang pemungutan suara, dengan pembagian uang dan barang-barang kebutuhan lainnya. 

Ridwan menuturkan pengalamannya saat pilkada Inhu [2015] lalu. "Biasa didatangi. Ini sarung pemberian pilkada. Lama ini. Kalau tak salah ini (pilkada) bupati," kata Ridwan sambil mengangkat kain sarungnya. Lewat kampanye tatap muka, dia mengaku lebih bisa mengenali wajah calon-calon kepala daerahnya. Mantan nelayan dan sekarang ambil upahan sebagai pekerja dodos sawit milik orang lain yang didampingi isterinya itu mengatakan akan menerima semua pemberian dari calon kepala daerah. Tapi ketika sudah masuk ke dalam tempat pemungutan suara, maka Ridwan mengutarakan "batin yang menentukan".

Namun, beberapa pekan menjelang pemungutan suara untuk Bupati Inhu pada 9 Desember 2020 mendatang, Ridwan mengaku belum ada satu pun tim kampanye kandidat yang datang ke rumahnya. "Belum ada. Tidak perlu saya bohong. Tidak ada," katanya.

Sejauh ini, Ridwan dan Sinah [istrinya] belum menentukan pilihan. Bahkan masih pikir-pikir untuk datang ke TPS di tengah pandemi virus corona. "Belum tahu," katanya.

Warga Inhu lainnya, Zaenal [45] tahun di Sibrida, mengaku tidak begitu kenal dengan calon Bupati Inhu yang akan bersaing nanti. "Kalau secara keseluruhan tidak terlalu hapal," katanya.

Korban PHK di masa pandemi seperti Ridwan ini mengaku mengenali wajah-wajah calon bupati Inhu lewat media sosial, saat acara debat. Tapi untuk visi dan misi, dia mengaku "tidak terlalu paham". Ridwan berniat menggunakan hak pilihnya nanti. Tapi masih belum menjatuhkan pilihan dari para kandidat yang berlaga.

Lesunya partisipasi publik di pilkada 2020

Di pusat Kota Rengat, sejumlah warga mengaku lebih mengenal calon Bupati Inhu lewat baliho di jalan-jalan, dan kehadiran mereka langsung ke rumah-rumah warga, meskipun sebagian menyarankan agar kampanye dilakukan secara daring untuk menekan penyebaran virus corona. "Karena masih pandemi, dan memang masih diterapkan social distancing, lebih bagus online saja dulu, biar covid-nya juga tidak menyebar, dari pada offline terjadi kerumunan," kata Fendri, seorang mahasiswi.

Di tempat terpisah, warga Kota Rengat lainnya, Badri, 40 tahun, menggambarkan kekhawatirannya tentang kerumunan yang akan terjadi saat pemungutan suara berlangsung. "Khawatir itu kan namanya Pilkada sebelum-sebelumnya kan pasti banyak kerumunan, tapi sekarang lagi ada pandemi, takutnya kerumunan dibatasi, nantinya ada bentrok atau proses pilkada kurang (maksimal), tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Badri.

Kegelisahan, ketidaktahuan, keragu-raguan dan kecemasan warga Inhu terkait pilkada di tengah pandemi Covid-19 menjadi sekelumit gambaran partisipasi masyarakat dalam pilkada. Sejumlah lembaga survei meneropong akan terjadi penurunan tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak suaranya dalam Pilkada serentak 2020 ini. Jajak pendapat serupa juga dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia. Dari jajak pendapat yang dilakukan 24-30 September 2020, menunjukkan hanya 43,9% masyarakat yang kemungkinan besar datang ke TPS. Sisanya menyatakan sangat kecil dan kecil kemungkinan untuk datang ke TPS.

Seperti dikatakan Lembaga Melayu Riau [LMR], H Darmawi Aris SE menyebutkan salah satu survei menunjukkan untuk Pemilu dan Demokrasi, sejumlah hasil jajak pendapat ini menunjukkan pilkada bukan lah prioritas masyarakat. "Karena ada pandemi ini, pilkada akhirnya bukan menjadi prioritasnya masyarakat, yang jadi prioritas itu ya soal kesehatan, soal ekonomi, soal Pendidikan, jadi, ya masyarakat merasa pilkada itu nomor sekian sekarang," kata Darmawi - sapaan nama yang dipanggil seharian, Rabu (2/12).

Pada pilkada serentak 2015 tercatat tingkat partisipasi masyarakat sebesar 69,14%, dan pilkada serentak 2017 naik menjadi 73,25%. Di tengah pandemi, KPU menargetkan partisipasi Pilkada 2020 sebesar 77,5%. Namun, target ini dinilai terlalu ambisius karena menurut Darmawi, ada kekhawatiran masyarakat terkait protokol kesehatan yang diabaikan oleh peserta dan penyelenggara pemilu. "Nanti kalau berpartisipasi, datang ke TPS tertular virus atau nggak. Karena di TPS kan itu ada maksimal 500 orang. Bisa ada penumpukan massa, nanti aman atau tidak. Itu beberapa hal yang membuat partisipasi masyarakat bisa menurun," katanya.

Seperti apa strategi para kandidat?

Pemilihan Bupati dan Walikota di 9 daerah adalah hajatan demokrasi daerah di tengah pandemi Covid-19. Pasangan calon yang akan berlaga kali ini berbeda dari pilkada sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] Riau pun memprediksikan beberapa pemilu daerah terpanas dengan Indeks Kerawanan Pemilu [IKP]. Berdasarkan catatan Bawaslu, wilayah-wilayah yang ditempatkan pada 'level 6' ini memiliki kerawanan pelanggaran pemilu seperti intimidasi, perusakan fasilitas publik, unjuk rasa, bias penyelenggara pemilu, politik uang, konflik kekerasan antar pedukung, hingga posisi ASN/Polri/TNI yang berpihak pada pasangan calon tertentu.

Di tengah proyeksi menurunnya tingkat partisipasi publik dan kerasnya persaingan, dari pasangan calon harus berpikir keras dalam mendulang suara. Hal ini karena cara kampanye di saat pandemi berbeda dengan pilkada sebelum-sebelumnya. Selama 20 hari masa kampanye pemilihan kepala daerah [Pilkada] di sembilan daerah di Provinsi Riau, Badan Pengawas Pemilihan Umum [Bawaslu] menemukan 23 pelanggaran dan diproses.

Masa kampanye yang dimulai sejak 26 September 2020 lalu, pasangan calon bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota telah melakukan kampanye sebanyak 1.071. "Dari 1.071 kampanye, terdapat 23 pelanggaran yang dilakukan pasang calon kepala daerah," ujar Ketua Bawaslu Riau Rusidi Rusdan, Sabtu [17/10/2020] lalu.

Ia memaparkan, sanksi pembubaran kampanye bertambah tiga kasus dari 10 hari pertama menjadi lima kasus. Penambahan kasus pelanggaran kampanye terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kecamatan Bagan Sinembah, Kecamatan Pujud, dan Kecamatan Tanah Putih. "Hasil pengawasan kami di 10 hari kedua kampanye ini, ada 3 kegiatan kampanye yang dibubarkan di Kabupaten Rokan Hilir karena tidak memiliki STTP," kata Rusidi. 

Untuk penyebaran bahan kampanye, Bawaslu belum menemukan bahan kampanye baru yang disebarkan paslon. Masih sama seperti sebelumnya, yakni pakaian, penutup kepala, masker, stiker, hand sanitizer, kalender dan kartu nama. Dari catatan kegiatan kampanye seluruh Riau, jumlah pertemuan terbatas atau tatap muka tertingggi di Kota Dumai, sebanyak 262 kampanye. Sedangkan pelaksanaan kampanye terendah berada di Kabupaten Kuantan Singingi dengan jumlah sebanyak 43 kampanye. Sementara itu, total alat peraga kampanye [APK] yang terpasang setelah penertiban yang dilakukan Bawaslu, masih tercatat 1.485 buah. Jumlah terbanyak berada di Kabupaten Bengkalis dengan total 1.260 APK, dan yang terkecil berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti dan Rokan Hulu dengan nol APK. "Sedangkan penyebaran bahan kampanye, Bawaslu se-Riau mencatat ada 14.268. Di mana jumlah terbanyak penyebaran bahan kampanye berada di Kabupaten Rokan Hilir, yakni sebanyak 13.357, terkecil berada di Kabupaten Meranti dengan nol bahan kampanye," sebut Rusidi. 

Untuk kampanye dalam bentuk daring tercatat sebanyak lima kali yang dilaksanakan di Kota Dumai, sedangkan untuk delapan kabupaten lainnya belum ditemukan kampanye daring. Catatan yang menggembirakan, sampai 20 hari kampanye belum ada pelanggaran berupa penyalahgunaan program dan anggaran pemerintah daerah. Terkait dengan penyebaran virus Covid-19, selama 20 hari masa kampanye dibandingkan pada 10 hari sebelumnya masa kampanye terdapat peningkatan sebanyak 17 kasus atau orang, yakni dari 628 orang sebelum masa kampanye menjadi 645 orang setelah 20 hari masa kampanye.

Adapun 23 pelanggaran yang diproses oleh Bawaslu seluruh Riau meliputi dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara [ASN], dugaan pelanggaran administrasi, serta dugaan pelanggaran pidana. Dengan rincian, di Kabupaten Rokan Hilir 1 pelanggaran yakni pelanggaran netralitas ASN. Di Kabupaten Siak 2 Pelanggaran yaitu, 1 pelanggaran administrasi, dan 1 lagi pelanggaran netralitas ASN. Kemudian, Kabupaten Pelalawan ada 3 pelanggaran, yakni 1 dugaan pelanggaran politik uang, 2 pelanggaran netralitas ASN, di mana dugaan pelanggaran berupa unggahan di akun resmi Pemerintah Daerah (Pemda) yang menandai salah satu pasangan calon. Hal tersebut diduga dilakukan oleh pejabat ASN di lingkungan Pemda Kabupaten Pelalawan. Lalu di Kabupaten Kepulauan Meranti, terdapat 2 pelanggaran netralitas ASN, dan 1 pelanggaran lainnya. Untuk Kota Dumai, terdapat 3 pelanggaran netralitas ASN, dan 1 pelanggaran lainnya. Di Kabupaten Kuantan Singingi terdapat 2 pelanggaran netralitas ASN dalam bentuk unggahan yang dibuat oleh kaur pemerintah, dan adanya anggota BPD yang memberikan izin kedainya atau warungnya dijadikan posko salah satu pasangan calon.

Di Kabupaten Indragiri Hulu, terdapat 8 pelanggaran, yakni 5 pelanggaran kampanye tanpa STTP, dan 3 pelanggaran kampanye di luar ruangan. Rusidi Rusdan berjanji akan memproses seluruh pelanggaran tersebut sampai tuntas. Apabila akibat dari pelanggaran itu terdapat sanksi pembatalan terhadap paslon, Bawaslu akan merekomendasikannya ke KPU agar dilakukan diskualifikasi calon.

Berdasarkan Peraturan KPU [PKPU] No.13/2020, para kandidat didorong untuk berkampanye secara daring, tapi jika terpaksa melakukan tatap muka harus mengikuti protokol kesehatan. Pertemuan tatap muka dibatasi maksimal 50 orang dengan ketentuan penjaga jarak satu meter. Selain itu, seluruh peserta yang hadir wajib menggunakan masker, dan penyelenggara acara menyediakan sarana sanitasi.

Calon Wakil Bupati Bengkalis, Bagus Santoso dihubungi lewat WA nya mengaku, melakukan kombinasi kampanye daring dengan tatap muka. Caranya, tim kampanye nomor urut 3 ini menyediakan perangkat panggilan video di sejumlah titik kumpul warga. Dari situ, warga yang sudah berkumpul bisa mendengarkan kampanye. "Sarana dan prasarananya memang harus kami siapkan, seperti screen-nya, projector-nya, speaker-nya. Ini yang kami buat, supaya kami mampu menyerap atau mendekati pemilih kami di masa pandemi ini," kata Bagus sapaannya.

Namun, kampanye tatap muka juga tetap dilakukan. "Bahwa kita turun kampanye offline iya, tetap jalan, sampai 7-8 titik per hari."

Sementara itu, calon Bupati Bengkalis DR Indra Gunawan Eet nomor urut 4, mengaku juga menggunakan kampanye daring sekaligus tatap muka. Namun, kata Eet sapaan Indera Gunawan Eet, "Kampanye offline sentuh hati, orang perlu tatap muka... Orang perlu sentuh tangan."

Saat sedang berkampanye tatap muka dengan warga di Duri Ia berjalan kaki di perkampungan, ia dikelilingi para pendukungnya. Tantangannya adalah menghindari kerumunan dari para pendukung saat itu. "Semua orang mau ketemu, padahal waktu sudah sempit. Jadi nggak bisa berbagi. Karena orang tetap mau bertemu, mau tetap foto bersama. Foto secara online itu tidak afdal. Sehingga orang mau berfoto langsung," kata Eet dihubungi melalui WA nya.

Calon dari Partai Golkar ini juga menggunakan jaket berbahan antiair yang ia yakini bisa menekan risiko penyebaran Covid-19 saat berkampanye tatap muka. "Sehingga kami sengaja, membuat jaket seperti ini. Jaket ini kan sebenarnya waterproof [antiair], sehingga sentuhan itu tidak menyebabkan.. lebih hygiene [higienis] lah," katanya.

Ia mengaku kampanye tatap muka lebih efektif dibandingkan daring. "Karena ada human touch di situ," katanya.

Menurutnya, sekarang ini belum IT minded semua orang. Masyarakat menengah ke bawah itu mengedepankan sentuhan-sentuhan yang sifatnya personal. Mereka bisa bertatap muka melihat langsung, sekaligus membangun komitmen-komitmen secara langsung," kata Eet.

Strategi yang digunakan untuk penerapan protokol kesehatan, Eet mengatakan tim-nya datang terlebih dahulu ke lapangan untuk mensosialisasikannya. "Ada tim advance yang mengurus duluan, yang memberi edukasi duluan, terutama meminta tolong jangan sampai ada anak-anak yang masuk di area kampanye, tolong supaya tidak lebih dari 50 orang," katanya. 

Bagaimana penegakan hukum protokol kesehatan di masa pilkada?

Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] mencatat pelanggaran protokol kesehatan sebanyak 23 pelanggaran dan diproses. Pelanggaran protokol kesehatan tersebut langsung diberikan peringatan kepada peserta yang melanggar. "Bawaslu menerbitkan surat peringatan dan melakukan pembubaran terhadap kegiatan. Pembubaran dilakukan oleh Bawaslu dan bekerja sama dengan Satpol PP maupun kepolisian," kata Ketua Bawaslu Riau Rusidi Rusdan dalam keterangan kepada media.

"Ketika mereka masih di luar, itu Bawaslu tidak bisa masuk ke sana, yang dilakukan tim mengaawasi kampanyenya," katanya.

Menurutnya itu menjadi tanggung jawab Kepolisian dan Satpol PP untuk memproses secara hukum pelanggaran protokol kesehatan. "Bisa polisi bisa Satpol PP, karena Covid ini diatur juga di Perda dan Pergub," kata Rusdi.

Sebaliknya, Mabes Polri mengatakan kerumunan yang terjadi saat tahapan Pilkada 2020 merupakan wewenang Bawaslu. "Jangan samakan kasusnya. Ini kan ceritanya sekarang masalah apa, pentahapan (pendaftaran pilkada). Itu kan urusannya pilkada, ada siapa pengawasnya, (Bawaslu) iya. Jadi prosesnya kan ada, undang-undangnya kan ada, peraturan kan ada," kata Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono pada media.

Berdasarkan UU Karantina Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular, siapa pun yang menghalangi upaya penanggulangan suatu wabah diancam pidana enam bulan hingga satu tahun penjara.

Akan ada harga yang harus dibayar

Menurut Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, pesta demokrasi tingkat daerah pada Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] serentak Tahun 2020 masa pandemi Covid-19 Satgas Penanganan Covid-19 minta semua pihak untuk tetap mengutamakan pencegahan penularan. "Pastikan tidak terjadi penumpukan dan kerumunan di TPS [tempat pemungutan suara]. Bagi masyarakat, mohon perhatikan jarak aman saat mengantri di dalam dan diluar TPS," pinta Prof Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Kantor Presiden, Kamis [26/11] lalu yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden. 

Masyarakat diminta tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Dalam menyalurkan suaranya TPS kela masyarakat tetap tertib dan mematuhi aturan yang diarahkan petugas TPS. Para penyelenggara Pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah [KPUD], Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] daerah ataupun tim pasangan calon, dapat membantu dalam mencegah penularan Covid-19. Caranya dengan tidak mengundang kerumunan dan menjadi contoh bagi para pemilihnya. Hal ini juga berlaku bagi para petugas penyelenggara Pilkada yang berada di TPS-TPS kelak. "Mari kita semarakkan pesta demokrasi ini dengan aman, serta tetap mengutamakan protokol kesehatan di setiap sendinya," pesan Wiku.

Prof Wiku Adisasmito minta, seluruh kandidat jangan sampai melanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada di wilayahnya. "Karena ada batasnya, tidak boleh terjadi kerumunan. Bahkan, tidak boleh lebih dari 5 orang pada saat terjadi debat, nah itu tak bisa dihindarkan," kata Wiku Adisasmito.

Sejauh ini, Ia mengaku belum melihat peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan disumbang dari tahapan pilkada. Namun, melihat kondisi di lapangan terkait dengan kampanye tatap muka, ia khawatir ini akan menjadi beban daerah. "Kalau penularan terjadi semakin tinggi di kabupaten/Kota, itu artinya kasus ini bisa saja akan meledak. Kalau kasus kasus kami meledak, itu artinya beban untuk daerah yang menyelenggarakan Pilkada," katanya. (rp.sdp/*)

Tags : Para Kandidat Kampanye, Pilkada 2020 di Riau, Covid-19, Protokol Kesehatan,