Sorotan   2023/01/28 14:19 WIB

'Pelecehan Seksual Ketika Berhaji', Perlukah Pemisahan Perempuan dan Pria Saat Beribadah?

'Pelecehan Seksual Ketika Berhaji', Perlukah Pemisahan Perempuan dan Pria Saat Beribadah?

"Kesaksian jemaah perempuan korban pelecehan seksual saat haji dan umrah baik perempuan dari berbagai negara juga Indonesia terungkap"

elecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia (WNI) terhadap jemaah perempuan Lebanon di Mekkah turut menggemakan pengalaman traumatis serupa yang dialami sejumlah jemaah perempuan Indonesia saat menjalankan ibadah haji dan umrah.

WNI bernama Muhammad Said tersebut telah divonis dua tahun penjara oleh otoritas Arab Saudi, yang oleh cendekiawan Islam Lies Marcoes dianggap sebagai langkah yang “cukup baik”.

Namun, banyak korban pelecehan seksual di Tanah Suci disebut tidak pernah mendapat keadilan atas apa yang menimpa mereka. Salah satu penyebabnya, kejadian pelecehan itu sering kali dianggap "tidak mungkin terjadi karena berada di tempat suci” atau dinilai sebagai “karma atas perbuatan sendiri”.

Lies Marcoes meminta pemerintah Indonesia mengumpulkan data dan fakta yang dapat “membuka mata” soal betapa seriusnya isu ini, dan “tidak boleh menolak realita mengenai ini”.

Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, mengatakan jemaah yang mengalami pelecehan "dapat melapor ke aparat setempat".

Seperti yang dialami Bella dalam ingatannya terpantik kembali ke tahun 2013 silam ketika dia dilecehkan oleh seorang jemaah laki-laki usai salat di Masjidil Haram, Mekkah.

Perempuan berusia 30 tahun itu mengaku geram membaca sebuah cuitan pembelaan dari akun yang mengaku sebagai keluarga dari Muhammad Said.

Dia mencuit: “Logikanya jika beliau ingin melakukan hal itu, kenapa harus ke Tanah Suci sedangkan kami tahu di sana tempat beribadah”.

“Kalau ada yang bilang ‘ngapain juga di Tanah Suci melakukan pelecehan?', menurut saya pendapat itu nggak valid. Saya sendiri buktinya waktu di sana mengalami pelecehan,” kata Bella.

Pelecehan seks jemaah perempuan saat berhaji: mengapa bisa terjadi, apa yang bisa dilakukan?

Bella bukan satu-satunya yang mendapat pelecehan, begitpun Anggi (bukan nama sebenarnya), bahkan mengaku trauma kembali ke Tanah Suci karena mengalami tiga kali pelecehan ketika beribadah haji pada 2004 silam.

Sejumlah warganet pun turut membagikan pengalaman kelam mereka mengalami pelecehan seksual di Mekkah.

Namun dari munculnya pengakuan-pengakuan itu, Lies mengatakan belum ada yang bisa memastikan seberapa darurat sebenarnya pelecehan yang menimpa jemaah-jemaah perempuan.

Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah mengumpulkan fakta soal kasus dan pengalaman jemaah perempuan mengalami pelecehan seksual, sebagai acuan menyusun kebijakan yang tepat.

Pada 2018 lalu, tagar #MosqueMeToo menggemakan pelecehan seksual yang menimpa jemaah perempuan dari berbagai negara saat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Seorang perempuan asal Indonesia pun turut membagikan pengalaman buruknya terkait itu.

Namun sejak saat itu, Lies menilai tidak banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi itu, terutama dari dalam negeri.

Sementara itu, Konsul Jenderal RI di Jeddah Eko Hartono mengakui bahwa mereka tidak memiliki data yang akurat soal pelecehan seksual yang terjadi sepanjang penyelenggaraan haji dan umrah.

"Data yang akurat memang sulit kita punya karena seringkali tidak ada laporan. Pihak wanita biasanya enggan atau takut melapor," kata Eko melalui pesan singkat.

Dianggap ganjaran atas perbuatan sendiri

Bella baru saja selesai salat di Masjidil Haram bersama ibunya ketika dia harus melalui kerumunan jemaah pada 2013 lalu.

“Di situ pasti ada kondisi di mana kita mau nggak mau berhimpit-himpitan sama orang. Tapi waktu itu saya berpikir nggak mungkin dong di Tanah Suci ada yang aneh-aneh,” kata Bella.

“Waktu itu saya juga sama keluarga saya, ditambah lagi di sana pakai abaya kan. Makanya waktu jalan itu saya kaget kok ada yang meremas bokong saya dan itu bukan sekadar kesenggol."

Bella sempat terdiam, mencoba memproses apa yang baru dia alami dan  sampai akhirnya dia berani bereaksi.

“Saya melihat ke belakang dan melotot ke orang itu, dan dia [pelaku] malah senyum, ketawa seolah-olah dia bangga melakukan itu,” tutur Bella yang mengaku sampai saat ini masih mengingat jelas wajah orang yang melecehkannya.

Tetapi pada saat itu, Bella tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun karena khawatir apa yang dialaminya dianggap sebagai “ganjaran” atas apa yang dia perbuat.

“Karena waktu itu saya merasa kalau cerita atau lapor dilecehkan di Tanah Suci, malah dianggap ganjaran dan dituding ‘kamu buat dosa kali di Indonesia sampai kamu digituin sama orang’ atau keyakinan-keyakinan seperti itu,” tutur dia.

Trauma kembali ke Tanah Suci

Setelah mengalami tiga kali pelecehan saat beribadah haji di Mekkah pada 2004, Anggi mengaku trauma kembali ke Tanah Suci.

“Bahkan kalau pun ada pernyataan bahwa sudah ada perbaikan segala macam, tetap nggak ada keinginan [untuk kembali]. Memori buruk itu yang lebih kuat,” kata Anggi.

Salah satunya terjadi ketika seorang laki-laki meraba payudaranya di depan Ka’bah saat dirinya sedang tawaf (kegiatan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali).

"Waktu itu saya pikir, bisa-bisanya dia melakukan itu. Tepat depan Ka'bah! Saat melakukan tawaf! Benar-benar penistaan," tutur Anggi.

Tetapi Anggi tidak menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya. Dia juga tidak tahu kemana harus melaporkan pelecehan yang dia alami.

Sama seperti Bella, Anggi sempat khawatir bahwa pelecehan yang dia alami adalah “balasan atas apa yang dilakukan”.

Begitu kembali dan menceritakan pengalaman ini, Anggi pun mengaku mendapat cerita dari perempuan-perempuan lain yang mengalami pelecehan saat ibadah haji atau umrah.

“Itu bukan pengalaman yang jarang terjadi, banyak perempuan yang sebenarnya mengalami itu. Pemerintah harus mengakui bahwa ini masalah laten, hanya karena tidak ada yang melapor bukan berarti itu tidak terjadi,” ujar Anggi.

Beragam cerita soal pengalaman dilecehkan itu pula yang membuat Wita Adelina, 30, merasa was was ketika menjalani ibadah umrah pada 2019.

Banyak hal yang diwanti-wanti oleh pemandu dari agen perjalanannya, khususnya kepada para jemaah perempuan.

Kabah di tengah masjidil haram, dikelilingi bangunan-bangunan modern raksasa.

Misalnya bahwa jemaah perempuan harus selalu didampingi oleh mahramnya setiap bepergian. Atau ketika hendak naik taksi, “pastikan laki-laki naik lebih dulu dari perempuan”.

“Entah itu semua valid atau enggak tapi yang jelas ada banyak wanti-wantinya, dan karena banyaknya wanti-wanti itu, jujur jadi parno dan saya mencegah bepergian sendirian,” kata Wita.

Bahkan ketika tawaf, yang selalu padat dan berdesak-desakan, mereka membuat semacam barikade dari sesama rombongan keberangkatan yang sama untuk menghindari terjadinya pelecehan.

'Perempuan berhak berdesakan dan bebas dari pelecehan'

Sebagai negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia, Lies Marcoes mengatakan ada potensi besar banyak jemaah-jemaah asal Indonesia mengalami pelecehan.

Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah Indonesia mengumpulkan data dan fakta yang dapat “membuka mata” soal betapa seriusnya isu ini, dan “tidak boleh menolak realita mengenai ini”.

"Langkah pertama adalah harus ada data pembuka mata seperti apa. Susun data bahwa terjadi pelecehan seksual di asrama, perjalanan yang berdesakan, dan lain-lain. Harus punya data dulu," kata Lies.

Data yang ada, kata dia, bisa menjadi basis pemerintah untuk menyusun standar operasional prosedur yang tepat sasaran maupun mendorong upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan pemerintah Arab Saudi.

“Kan repot kalau kita tidak punya data yang bisa diandalkan untuk meminta MoU atau apa pun. Kembali ke datanya dulu dan jangan anekdotal yang berbasis katanya, lalu baru ramai ketika ada persidangan seperti saat ini,” kata Lies.

Prosedur yang dibentuk, bisa berupa menyediakan saluran pengaduan yang dapat melindungi dan berpihak pada korban.

Selain itu, membekali para pemandu haji dan umrah dengan kemampuan menangani dan menghadapi laporan pelecehan seksual dari jemaah haji.

“Jangan dianggap itu sebagai problem personal. Jadi harus ada pengaduan itu lalu harus jelas bagaimana penanganannya kalau itu terjadi di Saudi,” kata dia.

Namun Lies mengatakan salah satu kendala penanganan pelecehan seksual selama ini adalah anggapan bahwa pelecehan seksual “terjadi sebagai ujian atau karma bagi korban”. Stigma ini, kata dia, tak boleh dilanggengkan lagi.

Selain itu, SOP yang dibentuk juga tidak boleh meminggirkan perempuan dari hak-haknya untuk mendapatkan akses beribadah dan menjalankan ritual agama yang setara.

“Ini juga dalam hal kekerasan seksual jangan lalu ada satu ruang permakluman ‘oh itu karma buat perempuan itu mengalami pelecehan seksual’. Jangan masuk ke 'jebakan batman' itu."

"Perempuan berhak berdesakan, berhak bebas dari pelecehan seksual. Itu hanya bisa diupayakan dari pihak penyelenggara pelaksanaan haji, dalam hal ini Kementerian Agama,” jelas Lies.

Kementerian Agama terkait kasus ini mengutarakan pada media, kalau kewenangan untuk menjawab mereka dialihkan kepada Konsulat Jenderal RI di Jeddah. 

Sedangkan Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, mengatakan jemaah yang mengalami pelecehan "dapat melapor ke aparat setempat".

Laporan pelecehan seksual, kata Eko, akan ditangani sebagaimana delik aduan pada umumnya dan KJRI Jeddah berjanji akan memberi bantuan hukum serta pendampingan dalam hal ini.

Mengapa pelecehan seks jemaah perempuan bisa terjadi?

Aksi #MosqueMeToo yang disuarakan Sabica Khan asal Pakistan dan disambut dukungan Mona Eltahawy, wartawati Amerika Mesir, seharusnya menggema luas dari rongga bumi Indonesia.

Sebab, bagaimanapun, Indonesia adalah pengirim jamaah haji terbesar di dunia. Indonesia juga salah satu negara dengan penduduk Muslim paling progresif dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap perempuan dalam isu kejahatan seksual.

Karenanya Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor penghentian praktik kejahatan seksual kepada perempuan jamaah haji di Tanah Suci! 

Tagar #MosqueMeToo yang viral dalam beberapa hari belakangan ini menegaskan kekerasan seksual selama ibadah haji bukanlah dongeng tak bersumber. Para peneliti dari berbagai negara pengirim jamaah bisa mengumpulkan pengalaman-pengalaman traumatik perempuan terkait kejahatan seksual yang dialaminya. 

Namun hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menghapus mitos bahwa nasib buruk jamaah haji di Tanah Suci merupakan cerminan atas perbuatan mereka di tempat asalnya. 

Sebab tanpa menghapus mitos serupa itu praktik kejahatan seksual kepada jemaah perempuan di Tanah Suci ini niscaya akan terus tertutup rapat. Jangankan mencari solusi, sedang untuk menceritakan peristiwa itu dibutuhkan keberanian seperti Sabica Khan.

Sejauh yang pernah saya dengar, sesungguhnya sudah sangat lama perempuan-perempuan dari dunia Islam memendam kisah tentang fakta pelecehan seksual di tempat yang seharusnya menjadi arena meningkatnya spiritualitas manusia.

Namun, pemerintah Arab Saudi atau negara-negara asal para jamaah haji itu yang seharusnya telah lama mengetahui terjadinya berbagai pelecehan seksual yang dialami jemaah haji setiap tahun, tidak pernah menempuh jalan keluar sistemik.

Kampanye global anti kekerasan seksual #MeToo saat ini menjadi momentum yang dapat menggema luas di dunia Islam agar perempuan jamaah haji dari berbagai belahan dunia bisa terhindar dari penghinaan atas tubuh dan kedaulatannya.

Harapan serupa itu patutlah digarisbawahi dengan tinta tebal. Terutama karena kemungkinan untuk meredupkannya kembali juga tak kurang-kurang. Ini dapat dilihat dari stigma yang justru diarahkan kepada para korban, sepinya respons negara-negara Islam, dan jenis solusi yang ditawarkan.

Hukum karma?

Banyak pemuka agama, pejabat negara, maupun sesama jamaah sendiri seperti melakukan persekongkolan jahat dengan menghidupkan mitos bahwa pengalaman pelecehan seksual sang perempuan saat berhaji merupakan teguran Tuhan atau balasan atas perbuatan buruknya di tempat asal masing-masing.

Dan dengan berlindung kepada mitos serupa itu negara pengirim jamaah atau Arab Saudi sebagai negara penyelenggara ibadah haji, secara sengaja melakukan pembiaran yang terencana atas fakta kekerasan seksual yang dialami jamaah perempuan ini.

Alih-alih membantu korban dengan penanganan trauma atau berupaya menindak pelaku, korban malah distigma sebagai pelaku kejahatan seksual di tempat asalnya.

Tetapi Adi Harmanto SH menilai, selain peristiwa itu aneh, meski dalam ajaran Islam tak dikenal konsep hukum karma, dalam kasus-kasus seperti itu justru karma dijadikan sebagai jawaban atas nasib buruk yang dialami perempuan korban kekerasan seksual selama mereka berhaji.

"Jika seorang perempuan mengalami perkosaan ketika sedang berhaji, maka stigma yang akan disandangkannya adalah ia pernah menjadi pezina di masa lalunya," sebut Mahasiswa yang sedang menyusun tesis di Faska Sarjana di Universitas Islam Negeri di Riau ini menilai, Sabtu (28/1/2023) tadi ini.

Perempuan seteguh Sabica Khan dengan kuatnya berani bicara kepada publik melalui tagarnya #MosqueMeToo soal mitos itu.

Bahkan setelah ia melaporkan pengalamannya pun ia merasakan kekhawatiran yang amat sangat bahwa ia akan mengalami ancaman fisik lanjutan.

Namun Adi kembali menilai, kuatnya mitos bahwa apa yang dialami di Tanah Suci, termasuk pengalaman atas pelecehan dan kejahatan seksual itu merupakan karma masing-masing orang, jelas akan menyuburkan dan melanggengkan praktik kekerasan seksual kepada perempuan selama berhaji.

"Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa negara negara Muslim tak menganggap peristiwa ini sebagai kejahatan yang harus dipersoalkan." 

"Tetapi ada dalil lain yang cukup masuk akal mengapa pelecehan seksual bisa terjadi. Jumlah jamaah haji jumlahnya jutaan orang. Berjejalnya manusia menciptakan situasi yang seakan memungkinkan terjadinya pelecehan," kata Adi menyikapi.

"Jika penyelenggara memiliki mekanisme yang baik dalam penanganan haji niscaya ada yang dipikirkan sebagai solusi daripada menghidupkan mitos soal karma," sebutnya lagi.

Menurutnya, salah satu solusi yang diwacanakan adalah cara yang pragmatis seperti melakukan pemisahan ruang gerak perempuan dan pria saat berhaji. Atau memberlakukan jam ibadah yang berbeda bagi keduanya dan membangun arena tawaf sa'i yang terpisah.

Sebaliknya jika pemisahan itu diberlakukan justru akan mempersulit dan merugikan perempuan untuk menjalankan ritual ritual hajinya. Sebab perempuan bukanlah pihak yang dianggap penting dalam formasi ibadah. Dalam shalatpun mereka diposisikan di belakang.

Pemisahan ruang tanpa pemikiran yang matang dilihat dari aspek gendernya hanya akan mengesampingkan perempuan dari Ka'bah: jika tidak ditempatkan di belakang, mereka akan menempati 'jembatan layang' paling atas dalam arena tawaf (mengelilingi Ka'bah) dan sya'i (berlari kecil dari bukit Safa dan Marwa).

Jadi, menruutnya, pemisahan tempat antara jemaah haji lelaki dan perempuan juga riskan terjadinya pemerkosaan dan penculikan oleh lelaki oknum jamaah haji atau dari lelaki non-jemaah seperti muqimin (pemukim) atau penduduk setempat yang mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Penjagaan lembaga internasional

Pilihan lain yang paling masuk akal adalah melakukan penjagaan secara seksama oleh lembaga-lembaga internasional yang berwenang dalam mengatasi pelecehan seksual.

Jika ini diterima maka pertama-tama harus ada pengakuan dari jamaah/umat Islam di seluruh dunia bahwa pelecehan seksual di Tanah Suci adalah sebuah kenyataan dan itu adalah kejahatan, bukan takdir.

Adanya pengakuan serupa ini akan berimplikasi kepada kewajiban untuk melakukan pengawasan serta tersedianya lembaga pelapor kekerasan seksual di tingkat dunia internasional yang beroperasi di Tanah Suci.

Laporan-laporan itu kemudian wajib ditindak-lanjuti oleh penyelenggara, dalam hal ini pemerintah Saudi.

Pelaksanaan ibadah haji di Kabah di tengah masjidil haram.

Jika gagasan ini diterima, maka lembaga internasional seperti PBB atau khususnya lembaga yang terkait dengan perlindungan perempuan dari kekerasan, dan lembaga HAM Internasional lainnya, harus mendapatkan akses untuk ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan haji.

Sebetulnya sudah cukup lama muncul usulan, terutama disuarakan oleh Iran, agar Tanah Suci tidak dimonopoli oleh pemerintah Saudi sendiri. Iran meminta agar Saudi membuka akses kepada negara-negara asal jamaah untuk ikut mengelola Mekkah.

Namun, pemerintah Saudi bersikukuh mempertahankan posisi sebagai penguasa tunggal atas Tanah Suci umat Islam sedunia itu.

Seperti penilaian Adi Harmanto menyebutkan, secara hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah fiqh, pemisahan perempuan dan laki-laki ketika beribadah haji menimbulkan ragam pendapat.

Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Yang melarang biasanya akan beralasan bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh saling bersentuhan dalam keadaan apa pun.

Sedangkan yang membolehkan cenderung akan menggunakan argumen Liddarurah karena keadaan mendesak atau Musyaqqah yaitu keadaan yang akan menyulitkan jika laki-laki dan perempuan dipisahkan di tengah-tengah kerumunan manusia yang banyak. Rumusan Fikih ada yang menyebutkan:

Addaruratu tubiihul mahzuurat, kemudaratan dapat menyebabkan kebolehan untuk melakukan sesuatu (yang pada mulanya) diharamkan atau dilarang.

Apakah dengan terjadinya pelecehan seksual dapat dijadikan alasan untuk memisahkan laki-laki dan perempuan.?

Ini perlu pengkajian lebih mendalam: seberapa sering terjadi pelecehan di sana? Manakah nanti yang lebih banyak mudaratnya: melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan atau tidak?

Apakah ada jalan lain yang bisa ditempuh selain pemisahan, seperti pengetatan dan penegasan aturan, atau cara² lain yang dinilai lebih baik?

Kemudian, apakah kejadian pelecehan seksual itu akan mendatangkan azab Tuhan?

Ini juga hal hal yang tidak bisa dijawab oleh hukum Islam, karena hukum Islam hanya membicarakan dan mengurus hal hal yang berkaitan dgn perbuatan orang-orang dewasa Islam, mukallaf.

Mengenai azab, menurutnya setuju dengan pendapat Jamal Albanna, seorang ulama kontemporer, yang pernah menyebutkan bahwa, era azab, sihir dan sebagainya yang lumrah terjadi pada zaman nabi sebelum nabi Muhammad sudah berakhir dan digantikan, pada masa nabi hingga hari ini, dengan era akal dan pikiran.

"Tidak mengherankan mengapa mu'jizat terbesar nabi adalah Alquran, bukan kekuatan gaib lainnya."

"Karena ajaran Nabi Muhammad diperuntukkan untuk semua manusia di segala zaman yang, tentu saja, berada dalam sinaran akal dan pikiran. Azab terjadi akan sesuai dengan rumus kemasukakalan," ujar Adi. 

Kini, makin terungkapnya fakta-fakta kekerasan seksual selama berhaji mungkin bisa menjadi momentum bagi negara-negara asal jemaah untuk meminta kewenangan dalam ikut melindungi warga negara mereka dari perundungan seksual, sebagaimana juga terjadi para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.

Dengan adanya kewajiban untuk mematuhi hukum internasional terkait kekerasan seksual kepada perempuan, pemerintah Saudi memiliki berkewajiban untuk menyediakan mekanisme hukum dalam menindak pelaku. 

Tentu saja, itu berarti Saudi dan negara-negara pengirim jamaah haji juga memiliki satu standar yang sama dalam memaknai kekerasan seksual itu. Misalnya dengan mengambil standar hukum internasional dalam mendefinisikan kekerasan seksual seperti "against her will" "tindakan kekerasan yang melawan kehendak si perempuan untuk bebas dari pelecehan".

Arab Saudi dan negara-negara yang mengirimkan jamaahnya untuk berhaji juga harus memiliki standar yang sama tentang konsep dan praksis kekerasan berbasis gender dan menjadikannya sebagai materi-materi bimbingan haji.

Demikian juga hal yang sama harus diberlakukan kepada para petugas haji, pemukim dan warga setempat yang ikut menjadi bagian dari penyelenggara haji untuk patuh pada hukum internasional soal pencegahan dan penindaan kekerasan seksual itu.

Tanpa adanya upaya itu, jamaah haji akan tinggal dengan keyakinan yang kuat bahwa Tanah Suci bukanlah tanah yang aman bagi perempuan.

'Perempuan dari berbagai negara, juga Indonesia alami hal sama'

Seorang perempuan Indonesia termasuk yang mengaku menderita pelecehan seksual ketika menunaikan ibadah haji di Mekah, dan perempuan Muslim di berbagai negara menggunakan tagar #MosqueMeToo untuk berbagi pengalaman sejenis.

Feminis Amerika-Mesir dan juga wartawan Mona Eltahawy pertama kali menggunakan tagar tersebut untuk mendukung seorang perempuan Pakistan yang menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya.

Melalui akun Facebooknya Sabica Khan dari Pakistan mengatakan mengalami pelecehan seksual ketika melakukan tawaf, salah satu rukun haji atau umrah dengan mengelilingi Kabah selama tujuh kali.

"Ketika melakukan tawaf keliling kabah setelah salat isya, sesuatu yang aneh terjadi," tulis Sabica, "Saya merasakan sebuah tangan di pinggang saya. Saya pikir itu tak disengaja. Saya benar-benar mengabaikannya". 

Berpikir bahwa itu tindakan yang tidak disengaja Sabica terus melangkah untuk menyelesaikan tawafnya. Namun ketika mencapai putaran keenam, dia merasakannya lagi. 

Namun ketika sampai di rukun Yamani (salah satu sudut Kabah) seseorang berupaya merabanya.

"Saya memutuskan untuk berhenti di sana. Meraih tangannnya dan menghempaskannya, saya tak dapat berbalik, saya benar-benar ketakutan," tulisnya.

Saat itu masjid dipenuhi oleh para jemaah yang melakukan tawaf, sehingga Sabica tidak dapat melihat siapa orang yang melakukan pelecehan seksual terhadapnya.

"Sangat menyedihkan, ketika Anda tidak merasa aman bahkan ketika berada di tempat suci. Saya telah dilecehkan. Tidak satu kali, bukan dua kali, tapi tiga kali. Seluruh pengalaman saya selama berada di tempat suci dibayangi dengan kejadian yang mengerikan."

Sabica pun merasa marah dan menganggap penting untuk mengungkapkan pelecehan tersebut, dan mengajak orang lain untuk berbagi pengalaman mereka. 

Unggahan Sabica tersebut disambut oleh Mona Eltahawy dengan membuat tagar #MosqueMeToo.

Dalam program Impact misalnya, Mona Eltahawy mengatakan penggunaan tagar #MosqueMeToo dimaksudkan agar masalah pelecehan di tempat suci itu menjadi 'percakapan global' dan merupakan dukungan agar perempuan dapat menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya ketika menjalankan beribadah.

"Anda mungkin mendengar tagar #MeToo, tapi saya ingin ini tak hanya sekedar tentang apa yang dilakukan oleh produser yang memiliki kekuasaan besar di Hollywood kepada aktris terkenal berkulit putih," jelas Mona, "Saya ingin ini menjadi milik semua perempuan bukan sekedar milik perempuan di Hollywood dan orang-orang yang terkenal saja."

Mona yang sudah menjalankan ibadah haji selama empat kali dan beberapa kali mengunjungi tempat suci tersebut, menceritakan ia sendiri mengalami pelecehan pertama kali ketika pergi haji dengan keluarganya pada usia 15 tahun.

Tagar #MosqueMeToo mulai digunakan oleh perempuan dan laki-laki Muslim sejak awal Februari lalu dan selama 24 jam pertama telah dicuit selama 2.000 kali. 

Perempuan Indonesia juga dilecehkan

Banyak perempuan dari berbagai negara membagikan pengalaman mereka diraba dan disentuh secara tidak pantas melalui media sosial Twitter, selama melakukan perjalanan haji, termasuk pemilik akun Anggi Angguni dari Indonesia.

Anggi menceritakan pelecehan seksual yang dialami dirinya, ibu dan saudara perempuannya ketika menjalankan ibadah haji pada 2010 lalu.

"Saat mendengar mengenai #MosqueMeToo, itu menimbulkan kenangan yang mengerikan selama saya melakukan ibadah haji 2010. Orang berpikir Mekkah merupakan tempat tersuci bagi umat Muslim jadi tidak ada seorangpun akan melakukan sesuatu yang buruk. Ternyata salah sepenuhnya."

"Suatu hari, ada orang yang tiba-tiba menyentuh payudara saya dan meremasnya. Saya terkejut. Saya melihat seorang pria di belakang saya dan dia berpura-pura tidak berbuat apa-apa, lalu pergi. Saya sangat terkejut. Dan yang dapat saya lakukan adalah menangis. Itu terjadi di Mekkah" tulis Anggi. 

Para pendukung #MosqueMeToo mengatakan bahkan di tempat suci, di mana mereka menutup hampir seluruh tubuhnya dan beribadah, mereka dapat dilecehkan.

Banyak perempuan di negara-negara yang mewajibkan penggunaan hijab bagi perempuan seperti Iran, Arab Saudi, Mesir dan Afghanistan masih menghadapi pelecehan seksual di jalanan, meskipun telah menggunakan pakaian yang menutupi tubuh mereka.

Setiap tahun sekitar dua juta orang dari berbagai negara menjalankan ibadah haji. Selama di sana para jemaah tak dapat menghindar dari kerumunan orang: ketika berada di masjid, di tempat wisata di sekitar Mekkah dan Madinah ataupun di jalanan.

Tetapi Anggi kembali menuliskan ketika menjalankan ibadah haji pada 2011 lalu, sejak tiba di tanah suci petugas mengingatkan kami jemaah perempuan untuk tidak bepergian sendirian, karena rawan terjadi pelecehan dan bahkan 'penculikan'.

Bahkan untuk ke masjid yang hanya berjarak ratusan meter pun, perempuan disarankan lebih baik pergi bersama-sama dengan jemaah yang lainnya.

"Pesan itu membuat saya lebih waspada terutama ketika sedang melakukan tawaf di pagi hari bersama dengan beberapa rekan perempuan, terutama di waktu yang dianggap baik untuk menjalankan ibadah," sebutnya.

Di Masjidil Haram, ketika melakukan tawaf dan sa'i (berjalan atau berlari kecil antara Bukit Shafa ke Bukit Marwah selama tujuh kali) tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, juga di beberapa tempat yang digunakan untuk salat di kompleks masjid tersebut. Sementara di Masjid Nabawi di Madinah tempat beribadah laki-laki dan perempuan dipisahkan.

Namun pelecehan tak hanya dapat terjadi di dalam masjid, dalam perjalanan menuju atau pulang dari masjid, jemaah perempuan rentan mengalami pelecehan, sebutnya.

"Saya pernah menyaksikan ada penjual makanan dan souvenir berupaya ,merenggut tangan jemaah perempuan sambil menawarkan dagangan mereka. Dan perempuan itu menepiskannya dan menegurnya," ungkap Anggi.

Kerumunan jemaah dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan juga terjadi ketika bergerak dari Arafah menuju Muzdalifah dan Mina ketika menjalankan lempar jumroh.

"Selama di Mina, sambil menanti waktu melempar jumroh, saya bersama seorang teman perempuan pernah mencoba jalan-jalan ke luar kompleks tenda tempat kami menginap, namun baru berjalan sekitar 200 meter kami memutuskan kembali, karena merasa tidak aman," katanya.

Menyikapi ini, Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta mengecam tindakan pelecehan seksual itu sangat diperlukan dan memperlakukannya secara serius.

Sejumlah jemaah perempuan ketika berdesakan di depan kabah.

"Kerajaan Arab Saudi memperlakukan tindakan pelecehan seksual secara serius. Seluruh laporan mengenai pelecehan sepenuhnya diselidiki oleh polisi dan pasukan keamanan di Mekkah".

LMR berharap tanggapan yang bertubi datang membutuhkan aksi yang lebih nyata.

"Saya ingin imam Masjidil Haram mengatakan bahwa dalam proses ibadah haji, penghormatan terhadap perempuan merupakan ajaran utama dalam Islam, perempuan Islam berhak dihargai di mana pun terutama di sini di tempat suci itu akan lebih kuat," kata H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris SEhk menyikapinya.

Jadi Darmawi Wardhana juga menyarankan agar penjaga keamanan perempuan ditambah. Jika pelecehan seksual tidak ingin terjadi terulang kedepan Arab Saudi seharus lebih memperketat jarak antara perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan ibadah rukun kelima ini.

Tetapi dia berpesan menginginkan agar saudara perempuan sesama muslim juga dapat mewaspadai masalah ini. (*) 

Tags : Pelecehan Seksual, Pelecehan Ketika Berhaji, Perlukah Pemisahan Perempuan dan Pria Saat Beribadah, Islam, Muslim, Kekerasan seksual, Hak perempuan, Arab Saudi,