Headline Sorotan   2021/06/22 15:54 WIB

Pemerintah Masih 'Pertahankan Pembatasan Skala Mikro', Ditengah Lonjakan Covid-19

Pemerintah Masih 'Pertahankan Pembatasan Skala Mikro', Ditengah Lonjakan Covid-19
Keluarga terdekat menyaksikan anggota keluarganya dikubur di sebuah pemakaman di Jakarta khusus orang-orang yang meninggal akibat terpapar Covid-19, Senin (21/06).

"Pemerintah masih mempertahankan pembatasan sosial dalam skala mikro dan bukan skala besar di tengah lonjakan kasus di sejumlah daerah"

ejumlah ahli penyakit menular, melihat Pemerintah masih mempertahankan pembatasan sosial dalam skala mikro dan bukan skala besar di tengah lonjakan kasus di sejumlah daerah. Dalam kebijakan terbarunya, Senin 21 Juni 2021 pemerintah pusat mengumumkan apa yang disebut sebagai "penguatan" pembatasan sosial dalam skala mikro di zona merah Covid-19.

Langkah ini berbeda dengan yang ditempuh Malaysia, Singapura dan Filipina yang memilih melakukan pembatasan sosial dalam skala luas secara nasional. Pilihan pembatasan sosial seperti ini berulangkali dikritik oleh sebagian ahli penyakit menular, karena dianggap hanya memberikan "rasa aman semu", dan terbukti adanya lonjakan kasus Covid-19 belakangan. 

Pada 15-19 Juni 2021, ada lonjakan Covid-19 dari 8.000-an kasus per hari hingga lebih dari 12.000 kasus per hari, yang ditandai bertambahnya jumlah pasien melebihi ketersediaan rumah sakit di sejumlah daerah - utamanya di Pulau Jawa. Inilah yang mendorong para relawan Lapor Covid-19 dan organisasi CISDI, Minggu (20/06), mendesak Presiden Joko Widodo agar memprioritaskan kesehatan masyarakat.

Mereka menganggap lonjakan kasus itu terjadi akibat apa yang mereka sebut sebagai "inkonsistensi kebijakan" pemerintah. Tuduhan ini berulangkali dibantah oleh otoritas terkait, di antaranya oleh Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, yang meminta masyarakat tidak membenturkan antara pembatasan skala mikro dan skala besar, lantaran tujuannya sama.

Mengapa Indonesia pilih pembatasan sosial berskala mikro?

Sejak awal Juni lalu, Malaysia menerapkan karantina wilayah (lockdown) di penjuru negeri demi memerangi pandemi Covid yang kasusnya kembali melonjak. Kebijakan serupa juga ditempuh Singapura sejak pertengahan Mei lalu, setelah ada peningkatan kasus secara tiba-tiba dan agresif.  Negara kecil ini melakukan, antara lain, pembatasan pertemuan di luar menjadi maksimal dua orang, penutupan sekolah, dan larangan makan di restoran.

Dalam skala tertentu, Filipina juga melakukan karantina wilayah, yang ditandai warganya diperintahkan tinggal di rumah dan hanya layanan penting termasuk rumah sakit dan perawatan kesehatan, bank, dan toko bahan makanan yang diperbolehkan buka. Namun langkah Malaysia, Filipina, dan Singapura ini belum pernah diterapkan secara luas di Indonesia, walaupun para ahli penyakit menular berulangkali menyarankannya kepada pemerintah.

"Kalau kita tetap seperti sekarang, tanpa ada upaya komprehensif, tegas, dan tanpa tindakan-tindakan yang revolusioner, kita tinggal melihat angka-angkanya setiap hari naik terus," kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto dirilis BBC News Indonesia.

Dia berpendapat Indonesia perlu mencontoh Malaysia yang menerapkan lockdown total hampir satu bulan ketika kasus di negara itu mencapai lebih dari 8.000. Tetapi sejauh ini pemerintah Indonesia belum memutuskan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebagaimana yang dilakukan sejumlah daerah di awal masa pandemi di tahun 2020. "Saat kita membuat kebijakan kesehatan, banyak hal yang harus dipertimbangkan karena pada prinsipnya, keberlangsungan sektor kesehatan tidak bisa terpisahkan dengan sektor sosial ke masyarakat lainnya," kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Selasa (15/06).

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah mengupayakan langkah berimbang antara sektor kesehatan dan ekonomi. "Krisis kesehatan dan krisis ekonomi harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan," kata Joko Widodo dalam acara virtual.

Seperti apa kebijakan terbaru tentang pembatasan sosial berskala mikro?

Sebuah langkah yang sejak awal didukung para pengusaha, tetapi terus dipertanyakan sebagian besar para ahli penyakit menular. Dalam kebijakan terbarunya, Senin (21/06), pemerintah pusat mengumumkan apa yang disebut sebagai "penguatan" pembatasan sosial dalam skala mikro di zona merah Covid-19. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers virtual, menyebutkan pembatasan ini mulai berlaku Selasa (22/06) hingga dua pekan ke depan. "Terkait dengan penebalan atau penguatan PPKM mikro, arahan Bapak Presiden tadi untuk melakukan penyesuaian," kata Airlangga Hartarto.

Bagi kegiatan perkantoran, pemerintah melarang karyawannya bekerja di kantor melebihi 25%. Di luar zona merah, pembatasan itu hanya berlaku 50%. Untuk kegiatan belajar, anak didik diwajibkan dilarang tatap muka. Di luar zona merah, masyarakat diminta mengacu pada peraturan yang sudah dibuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Adapun bagi kegiatan sektor esensial seperti industri pelayanan dasar utilitas publik, proyek vital nasional, tempat kebutuhan pokok masyarakat, tetap beroperasi 100% dengan protokol kesehatan lebih ketat.

Sementara, makan di restoran, warung, kafe, hingga pedagang kaki lima baik dibatasi paling banyak 25% dari kapasitas total. Kegiatan di pusat perbelanjaan, mal, dan pasar hanya beroperasi hingga pukul 20.00 dengan kapasitas maksimal pengunjung 25%. Di sisi lain, kegiatan ibadah, akan dilakukan penutupan sementara pada masjid, musala, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya yang berada di zona merah Covid-19 sampai situasi dinyatakan aman. Hal ini juga berlaku bagi fasilitas umum seperti taman, tempat wisata, dan area publik lainnya yang berada di zona merah.

Apa yang disarankan ahli penyakit menular?

Pilihan pembatasan sosial seperti ini berulangkali dikritik oleh sebagian ahli penyakit menular, karena dianggap hanya memberikan "rasa aman semu", dan terbukti adanya lonjakan kasus Covid-19 belakangan saat diberlakukan PPKM. "Konsep PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) skala mikro itu sesuatu yang keliru, karena membuat zonasi dalam skala mikro, itu bisa menyebabkan rasa aman semu," kata ahli penyakit menular dari UGM, Riris Andono Ahmad.

Alasannya, di banyak tempat di Indonesia sudah ada penularan yang angkanya kemungkinan lebih besar ketimbang yang dideteksi pemerintah. "Dan, PPKM itu tidak akan mengurangi laju penularan."

Itulah sebabnya, menurut Risis, upaya pemerintah mengurangi waktu operasional tempat keramaian, tidak akan terlalu berkontribusi bagi upaya membentengi dari penularan. "Karena isunya bukan durasinya dikurangi, tetapi isunya pada intensitas mobilitasnya. Kalau mobilitas intensitasnya tinggi, kemudian interaksinya di populasi tetap tinggi, penularan tetap terjadi," kata Riris Andono.

Dengan demikian, menurutnya, kebijakan PPKM secara konseptual tidak akan mejawab persoalan melonjaknya kasus Covid-19. "Toh terbukti dengan PPKM mikro, kasusnya meningkat," ujarnya.

Seharusnya, sambungnya, yang perlu dipikirkan pemerintah saat ini adalah membuat agar "orang tidak bergerak", apalagi Indonesia dihadapkan kenyataan masih lemahnya upaya testing (pengujian). "Yang bisa kita lakukan, tanpa harus testing, kita minta populasinya berhenti bergerak dahulu sampai beberapa lama, agar virus itu kesulitan mencari orang untuk ditulari, dan akhirnya dia akan berkurang dengan sendirinya," paparnya.

Karena itulah, "saya mengadvokasikan agar pemerintah perlu menghentikan mobilitas penduduk secara sementara". Kalau kita bisa menghentikan 75% dari penduduk itu untuk bisa tinggal di rumah, maka kita bisa menciptakan efek seperti terjadinya herd immunity atau kekebalan kelompok. Herd immunity akan terjadi apabila begitu banyak orang dalam suatu komunitas menjadi kebal terhadap penyakit menular sehingga penyebaran penyakit itu melambat atau berhenti.

Dengan berpijak pada durasi penularan Covid-19 yang berkisar 10 hari, tambahnya, orang-orang sebaiknya tidak melakukan mobilitas selama dua kali periode penularan. "Selama pemerintah tidak mampu membuat orang-orang agar tidak bergerak, [kebijakan apapun] itu tidak akan ada efeknya," tandasnya.

Namun menurut Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, Hery Trianto menilai PPKM berbasis mikro dengan lockdown atau karantina wilayah pada "prinsipnya sama saja". "Substansinya sama, membatasi mobilitas masyarakat untuk menekan laju penularan," kata Hery sebagaimana dikutip dari Antara, Minggu (20/06).

"Tujuannya untuk mengurangi mobilitas agar masyarakat lebih banyak di rumah. Karena faktor penularannya manusia. Jadi, kalau aktivitas manusianya dikurangi, akan menekan penularan," kata dia. 

Hery mengeklaim bahwa PPKM mikro sebenarnya cukup efektif menekan laju penularan Covid-19. Menanggapi tentang anggapan bahwa belakangan ada lonjakan kasus dikaitkan mudik lebaran, Hery mengatakan pemerintah sudah berupaya agar masyarakat tidak bepergian dan mudik. Tetapi ternyata banyak yang tidak mengikuti imbauan pemerintah. "Kasus di Kudus, kita tahu di sana ada ziarah setelah Lebaran di Sunan Muria dan Sunan Kudus, kemudian itu dianggap salah satu yang memicu penularan," katanya, mencontohkan.

Pada 15-19 Juni 2021, ada lonjakan Covid-19 dari 8.000-an kasus per hari hingga lebih dari 12.000 kasus per hari di Indonesia, yang ditandai bertambahnya jumlah pasien melebihi ketersediaan rumah sakit di sejumlah daerah - utamanya di Pulau Jawa. Kasus penyebaran Covid-19 di Solo menunjukkan jumlah penambahan yang cukup banyak dibandingkan sebelumnya.

Adanya peningkatan itu menyebabkan bed occupancy rate (BOR) alias tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien Covid-19 di seluruh rumah sakit di Solo mengalami lonjakan, kata otoritas terkait. Penyebaran kasus Covid-19 di Solo mulai meningkat sejak munculnya sejumlah zona merah di sejumlah daerah di Jawa Tengah. "Ini naik terus tiap hari. Siapa yang bisa menghentikan dan siapa yang bisa mengendalikan itu masyarakat," kata Kepala Dinas Kesehatan Solo Siti Wahyuningsih di Solo, Senin (21/06), seperti dilaporkan wartawan di Solo, Fajar Sodiq untuk BBC News Indonesia.

Menurutnya, jumlah penambahan yang terjadi pada Minggu (20/06) sebanyak 64 kasus. Jumlah itu mengalami kenaikan hingga di atas 50 kasus sejak sepekan terakhir. "Ngelu (pusing) kan karena jumlah penambahan di atas 50 kasus dan banyak kasus baru," katanya. Saat ini sebagian besar kasus penyebaran kasus Covid-19 didominasi klaster keluarga.

Dia menambahkan, peningkatan kasus penyebaran Covid-19 tidak hanya terjadi di Solo, namun juga di sejumlah daerah di kawasan Solo Raya. Dua kabupaten yang terdiri dari Sragen dan Wonogiri juga masuk zona merah untuk kasus penyebaran Covid-19. Alhasil dampak itu juga menyebabkan BOR beberapa rumah sakit di Solo "hampir penuh" lantaran ada rujukan pasien dari luar kota. "Sudah 90%. Hampir semuanya penuh, seperti RSJD Surakarta sudah 100%, RS Panti Waluyo 100%, RS Kustati 100 persen," ungkapnya.

Salah satu pedagang ayam goreng di Solo, Surati mengaku sangat khawatir dengan penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat. Apalagi dirinya juga merupakan penjualan ayam goreng yang setiap harinya harus berinteraksi dengan banyak orang sehingga rasa ketakutan untuk ikut tertular pun muncul. "Tapi ya kita mengatur lah bagaimana caranya agar tidak bersentuhan langsung dengan konsumen," katanya kepada wartawan di Solo, Fajar Sodiq.

Lantas munculnya usulan untuk menerapkan lockdown, Surati pun mengaku keberatan karena kebijakan itu akan mematikan usahana berjualan ayam goreng. Selain itu dampak dari penerapan kebijakan lockdown akan menyebabkan kegiatan berdagangnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi terhambat. "Sebenarnya tidak setuju kalau lockdown kan kita tidak bisa jualan dan harus di rumah saja. Padahal sehari-harinya pendapatan kita dari berdagang, terus kalau libur nggak ada penghasilan sama sekali. Tapi gimana lagi kalau itu sudah menjadi keputusan pemerintah ikut aja," katanya, terkesan pasrah, dia pun berharap jika kebijakan isolasi wilayah itu benar-benar diterahkan agar pemerintah memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. (*)

Tags : pembatasan sosial dalam skala mikro, pemerintah masih pertahankan pembatasan skala mikro, PPSM Ditengah Lonjakan Covid-19,