Sorotan   2022/11/07 16:35 WIB

Pemerintah Mematikan Siaran Analog, 'Buat Masyarakat Kehilangan Hak Mengakses Siaran TV'

Pemerintah Mematikan Siaran Analog, 'Buat Masyarakat Kehilangan Hak Mengakses Siaran TV'

"Masyarakat tidak bisa lagi menonton siaran televisi sejak Pemerintah mematikan siaran analog, tetapi ini dinilai buat kehilangan hak mengakses siaran TV"

eputusan pemerintah Indonesia mematikan siaran televisi analog (analog switch off/ASO) yang dimuai daerah Jabodetabek sejak Rabu 2 November 2022 telah menyebabkan masyarakat yang tidak mampu bermigrasi ke siaran digital kehilangan hak untuk mengakses siaran televisi.

Pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan hal itu terjadi karena bantuan set top box (STB) gratis dari pemerintah belum merata, bahkan berpotensi tidak tepat sasaran.

STB merupakan peranti yang dapat mengonversi sinyal digital sehingga bisa menayangan siaran digital di televisi analog. Alat ini menjadi kunci bagi pengguna televisi analog untuk bisa bermigrasi ke layanan televisi digital.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada Minggu mengeklaim bahwa distribusi STB gratis di Jabodetabek sudah hampir 100%.

“Pertanyaannya, apakah itu tepat sasaran? Apalagi data yang digunakan sama seperti data bantuan sosial, tidak ada data yang mewakili ini (penerima) sudah memiliki TV digital atau belum, sudah memiliki STB atau belum, tidak ada data valid seperti itu,” kata Nailul seperti dilansir BBC News Indonesia.

“Akibatnya beberapa masyarakat yang menunggu STB gratis dari pemerintah, tetapi juga tidak punya uang untuk beli sendiri, jadi tidak bisa menikmati layanan televisi lagi,” lanjut dia.

Kebijakan ASO itu telah memicu resistensi dari lembaga penyiaran swasta seperti MNC Group dengan alasan "merugikan masyarakat".

Namun, pengamat teknologi dan informasi dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyatakan bahwa lembaga penyelenggara penyiaran multipleksing --yang bertugas menyediakan saluran televisi digital -- seperti MNC Group, VIVA Group, dan lain-lain, turut bertanggung jawab mendistribusikan STB agar transisi masyarakat ke televisi digital berjalan mulus.

Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik Kominfo Usman Kansong mengakui bahwa tolak ukur bantuan STB "bukan apakah mereka punya TV analog atau digital, tapi mereka masuk kategori miskin atau tidak".

Rencana migrasi dari siaran analog ke televisi digital sudah digaungkan sejak era Menkominfo Tifatul Sembiring (2009-2014).

S eorang warga Jakarta Pusat tidak bisa lagi menonton televisi sejak di Jabodetabek pada 2 November 2022.

Tetapi persoalannya bantuan STB TV digital dikhawatirkan tidak merata dan berpotensi 'tak tepat sasaran'.

Namun payung hukum yang kuat terkait ini baru muncul dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang diundangkan pada 2 November 2020.

UU Ciptaker mengamanatkan penghentian siaran televisi analog paling lambat dilaksanakan dalam dua tahun setelah UU itu disahkan.

Sejauh ini, tercatat ada 230 kabupaten dan kota yang telah bermigrasi dari siaran analog ke digital.

Masih ada sekitar 292 kabupaten dan kota yang belum bermigrasi ke televisi digital karena belum memenuhi syarat, salah satunya karena distribusi STB belum mencapai target.

'Jangankan beli STB, untuk makan saja belum tentu ada’

Seorang warga Kelurahan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Ardi Mardiansyah, 28, tidak lagi bisa menonton televisi sejak Rabu lalu, setelah pemerintah mematikan siaran televisi analog.

Padahal televisi itu adalah satu-satunya hiburan bagi kedua orang tuanya yang hobi menonton sinetron.

Satu tahun yang lalu, Ardi membeli televisi tabung bekas itu seharga Rp500.000. Sebelumnya, mereka tidak memiliki televisi sama sekali.

“Pas mati itu, keluarga cukup sedih, enggak ada siaran lagi, enggak bisa nonton lagi. Ya sudah TV ini berasa TV bangkai,” kata Ardi.

Kedua orang tuanya sudah meminta Ardi, sebagai tulang punggung keluarga, untuk membelikan STB.

Namun Ardi, yang baru saja diputus kontrak dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan alih daya, mengaku tidak mampu membeli STB yang dibandrol sekitar Rp250.000 hingga Rp300.000.

“Dengan harga yang dilontarkan penjual itu berat bagi saya, karena saya ini baru putus kontrak kerja, biaya hidup mahal, apa-apa serba mahal. Jangankan untuk beli STB, untuk makan sehari-hari saja belum tentu ada,” kata Ardi.

Ardi juga telah mengecek Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial untuk mencari tahu apakah dia termasuk sebagai orang yang berhak menerima STB gratis atau tidak. Ternyata, keluarga Ardi tidak terdaftar di dalamnya.

Ardi bukan satu-satunya yang mengalami situasi ini. Keluhan serupa juga muncul di media sosial.

Seperti bansos, bantuan STB 'berpotensi tak tepat sasaran'

Persoalan besar dalam distribusi bantuan STB gratis, kata Nailul Huda, adalah pemerintah tidak memiliki basis data yang valid soal siapa saja masyarakat yang berhak menerimanya.

Pemerintah mengacu pada data masyarakat miskin yang juga berhak menerima bantuan sosial berdasarkan DTKS Kementerian Sosial dan data sasaran penghapusan kemiskinan ekstrem di Kemenko PMK.

Padahal dalam praktiknya, Nailul mengatakan distribusi bansos saja “penuh carut marut” dan “kerap tidak tepat sasaran”.

“Kalau kita menilik data DTKS, data bansos itu ya itu belum mencerminkan berapa yang sudah pakai TV digital atau belum, jangan-jangan mereka yang sudah punya TV digital dia dapat STB gratis lagi.”

“Sebagian besar memang menengah ke bawah, tetapi yang dipersoalkan kan TV-nya sudah digital atau belum, ini yang pemerintah enggak punya datanya,” tutur Nailul.

Situasi ini membuat sebagian masyarakat kehilangan haknya untuk mendapatkan layanan televisi.

“Masyarakat punya hak kok untuk memanfaatkan frekuensi [televisi] karena ini miliki negara, di mana kita juga punya hak untuk frekuensi ini karena itu dari penerimaan negara yang dimanfaatkan untuk frekuensi itu.”

“Ini yang harus kita tuntut ketika masyarakat ini tidak dapat menikmati layanan pertelevisian, masyarakat harus berusara,” kata Nailul.

Terkait kritik ini, Usman Kansong menyatakan bahwa aturan yang berlaku memang hanya memungkinkan pemberitan STB berdasarkan data rumah tangga miskin saja.

"Ukurannya jadi itu memang, yang di luar itu yang tidak masuk dalam rumah tangga miskin maka kita mengimbau untuk mengadakan secara mandiri set top box-nya," kata Usman.

"Kalau ada yang masuk kategori rumah tangga miskin tetap kami harus berikan, meskipun sudah punya televisi digital karena itu memang haknya. Tapi ada juga yang mengembalikan karena sudah punya," jelas dia.

Lembaga penyiaran ikut bertanggung jawab

Menurut Heru Sutedi, lembaga penyiaran juga memiliki tanggung jawab untuk mendistribusikan STB kepada masyarakat.

Tanggung jawab itu tertuang melalui komitmen mereka ketika ditunjuk sebagai lembaga multipleksing dan "perlu ditagih" untuk mempercepat transisi masyarakat ke layanan televisi digital.

Sejauh ini, pemerintah telah menunjuk sejumlah lembaga penyiaran multipleksing yakni Emtek Group, Media Group, MNC Group, Transmedia, VIVA Group, dan lain-lain.

"Kita sering lupa bahwa lembaga penyelenggara multipleksing ini juga punya komitmen untuk menyebarkan STB, perlu dicek berapa yang sudah mereka sebarkan," tutur Heru.

“Kalau kedua pihak itu (pemerintah dan lembaga multipleksing) benar-benar menyuplai STB dengan jumlah cukup saya pikir enggak akan ada masalah, tapi kan masalahnya muncul seperti ini, masyarakat tidak mampu masih banyak yang belum menerima,” lanjut dia.

Sebanyak 5,6 juta STB gratis akan dibagikan untuk rumah tangga miskin di seluruh Indonesia, namun baru sekitar satu juta unit yang telah disalurkan.

Namun berdasarkan catatan Kominfo, realisasi distribusi STB oleh lembaga-lembaga itu per Jumat 4 November 2022 masih tergolong rendah.

MNC Grup misalnya baru menyalurkan 2,3% STB dari komitmennya untuk menyalurkan sekitar 1,1 juta unit. Media Grup baru menyalurkan 3,2% dari komitmennya sebesar 704.378 unit.

Terkait ini, Usman menyatakan pemerintah pun hanya bisa mengimbau lembaga-lembaga itu untuk mempercepat distribusinya.

Sebab, penyaluran itu berupa "komitmen" dan tidak ada sanksi yang melekat apabila lembaga-lembaga tersebut tidak segera merealisasikannya.

"Apa yang menjadi kewajiban mereka itu untuk menyalurkan STB untuk masyarakat miskin itu berdasarkan komitmen mereka. Memang enggak ada sanksi, tapi ini kewajiban moral mereka," jelas Usman.

Usman juga mengakui penyaluran STB yang belum 100% ini menjadi salah satu faktor paling berpengaruh yang masih menghambat penerapan ASO di 292 kabupaten dan kota.

Resistensi lembaga penyiaran swasta, mengapa?

Selain faktor kesiapan masyarakat, pemerintah juga menghadapi resistensi dari lembaga penyiaran swasta.

MNC Group, sebagai lembaga penyiaran swasta besar di Indonesia, baru mematikan siaran analognya pada Kamis 3 November 2022 pukul 24.00 WIB.

Itu menyebabkan pemerintah mencabut izin stasiun radio (ISR) TV yang dianggap "bandel" masih menyiarkan siaran analog.

Melalui siaran pers, MNC Group mempertanyakan kebijakan ASO ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Kebijakan ASO yang dilakukan hanya di Jabodetabek pada 2 November lalu oleh MNC Group dianggap menunjukkan bawah Kominfo secara implisit mengakui pemberlakuan putusan MK itu.

Namun di sisi lain, apabila pelaksanaan kebijakan ini dianggap sebagai amanat UU Ciptaker, MNC Group berargumen bahwa seharusnya ini diberlakukan secara nasional, bukan hanya di Jabodetabek.

Hary Tanoesoedibjo, selaku bos MNC Group pun menyatakan akan menggugat pemerintah atas ini.

Menanggapi itu, Usman Kansong menyatakan pemerintah "siap menghadapi gugatan itu".

"Putusan MK itu kan tidak berlaku surut, sedangkan kebijakan ASO ini sudah disiapkan sebelum putusan MK itu terbit. Jadi nanti kita tunggu saja (gugatan itu)," tutur Usman.

Pada era Menkominfo Tifatul Sembiring, pemerintah juga pernah berambisi untuk bermigrasi ke televisi digital melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 22/2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital.

Namun Permen itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung setelah Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) mengajukan gugatan uji materi, sehingga kebijakan ASO jalan di tempat.

Upaya melaksanakan migrasi ini melalui RUU Penyiaran pun pada saat itu mandek di DPR.

Kebijakan ini baru memiliki landasan hukum yang kuat setelah UU Cipta Kerja disahkan.

Mengenai resistensi industri ini, pengamat teknologi Heru Sutadi menduga resistensi itu muncul lantaran akan "memengaruhi bisnis dan iklan mereka".

"Ketika berubah jadi digital, jumlah lembaga penyiaran akan bertambah. Tentu akan mengganggu bisnis dan iklan mereka," jelas Heru.

Belum lagi hilangnya "pasar" akibat orang-orang yang tidak bisa menonton televisi analog karena kebijakan migrasi ini.

Namun Heru menilai, migrasi digital semestinya berdampak baik bagi lembaga penyiaran swasta dalam jangka panjang.

Sebab persaingan konten digital saat ini tidak hanya terjadi antar-lembaga penyiaran, namun juga platform streaming seperti Netflix, Disney+, dan lain-lain.

"Kalau enggak migrasi digital, bagaimana persaingannya mau setara?" tutur Heru.

Apa keuntungan televisi digital?

Terlepas dari pelaksanaannya yang jauh dari sempurna, pengamat teknologi dan informasi Heru Sutadi menilai migrasi ke televisi digital adalah “sebuah keniscayaan”.

Indonesia bahkan dia sebut telah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga dalam hal ini.

Secara teknis, migrasi ke televisi digital akan menghasilkan tayangan televisi yang lebih jernih bagi para pemirsa.

Selain itu, semangat dari migrasi ini adalah “demokratisasi penyiaran” berupa keberagaman pemilik saluran dan keberagaman konten.

“Keberagaman pemilik itu penting agar rakyat Indonesia tidak disetir satu atau dua pemilik (lembaga penyiaran), sehingga memengaruhi opini masyarakat,” kata Heru yang juga menyoroti bagaimana selama ini lembaga penyiaran di Indonesia didominasi oleh beberapa pihak saja.

Dengan sistem penyiaran digital, akan muncul lebih banyak ruang bagi lembaga penyiaran daerah hingga komunitas.

Televisi digital pun dianggap lebih interaktif, sehingga para pemirsa bisa lebih berpartisipasi terhadap konten-konten yang ditayangkan.

“Bahkan ini akan membuka ruang lebih banyak bagi para pembuat konten, dengan jenis konten yang juga beragam, enggak semuanya dicekoki sinetron berjilid-jilid,” tutur Heru.

Selain itu, pemanfaatan pita frekuensi bisa menjadi lebih efisien sehingga bisa dimanfaatkan untuk pengembangan internet 5G.

Dalam penyiaran analog, satu frekuensi biasanya hanya dimanfaatkan untuk satu siaran. Sedangkan dalam televisi digital, satu frekuensi bisa dimanfaatkan untuk belasan siaran.

Lembaga penyiaran multipleksing yang telah ditunjuk pemerintah pun bisa menyewakan frekuensi itu untuk lembaga lainnya. (*)

Tags : Televisi, Teknologi, Pemerintah Mematikan Siaran Analog, Masyarakat Kehilangan Hak Mengakses Siaran TV,