Linkungan   2024/02/02 10:30 WIB

Praktik Buruk Tata Kelola Sawit yang Memperparah Kejahatan Lingkungan, Aktivis SALAMBA: 'Penertibannya di Riau Terkesan Panas-Panas Taik Ayam'

Praktik Buruk Tata Kelola Sawit yang Memperparah Kejahatan Lingkungan, Aktivis SALAMBA: 'Penertibannya di Riau Terkesan Panas-Panas Taik Ayam'
Ir Marganda Simamora, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba]

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Tercatat ada 273 perusahaan sawit beroperasi tanpa Hak Guna Usaha [HGU] beroperasi di Riau. Pemerintah diminta harus komit melakukan penertiban, tidak hanya pencitraan bahkan jangan pula terkesan 'panas-panas taik ayam'.

"Salah satu penertiban dilakukan kemarin seperti pemutihan, tetapi ini jelas adalah bentuk kejahatan oleh negara," kata Ir Marganda Simamaora M.Si, dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] menilainya, Jumat (2/2/2024).

Ia pun menilai penertiban kebun swit ilegal bahkan yang dikatagorikan masuk pada hutan lindung, selalu berganti program dari Satgas.

"Ganti gubernur muncul program Satgas, tetapi lama lama hilang lagi. Sebaiknya ini langsung dilaporkan saja ke APH agar diperiksa semua. Jika ada ditemukan kerugian negara Kejagung bisa bergerak langsung untuk menjadikan pelaku yang terlibat jadi tersangka dan lahanya bisa disita sebelum menyelesaikan kerugian negara," sebutnya.

Pihak Anggota DPRD Riau juga merasagerah soal penertiban perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di 12 kabupaten kota se-Provinsi Riau saat ini beroperasi tanpa memiliki HGU di Riau.

"Ratusan perusahaan tersebut menguasai Izin Usaha Perkebunan [(IUP] seluas 1,739,300.85 hektare [Ha], tetapi bagaimana bisa masih melabrak aturan," tanya Sekretaris komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi mengaku mendukung langkah Gubernur Riau Edy Natar Nasution menertibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit tanpa memiliki Hak Guna Usaha [HGU].

Dari luas perkebunan 1,7 juta Ha lebih tersebut, baru 145 perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi Hak Guna Usaha [HGU] atau baru 53 persen, dengan luas lahan 992.992,02 Ha atau baru 57 persen, sisanya 128 perusahaan ternyata tanpa memiliki izin HGU.

"Untuk itu Gubernur Riau Edy Natar perlu membentuk tim untuk menindaklanjuti persoalan tersebut."

"Pemprov Riau harus komit menertibkan perusahaan kelapa sawit tanpa HGU," kata Husaimi, Minggu (28/1) kemarin.

Namun politisi PPP itu mengingatkan, jangan sampai apa yang diungkapkan Gubri soal 128 perusahaan kelapa sawit tanpa HGU hanya terkesan pencitraan.

"Kita minta komit. Kalau hanya sekedar bicara kesannya hanya pencitraan," ucapnya.

DPRD Riau terutama komisi II, siap memberikan data jika diperlukan oleh Pemprov Riau.

"Dulu DPRD Riau sudah membuat Pansus soal HGU ini datanya ada sama kita silahkan ambil datanya," katanya.

"Kita hormat dengan langkah pak Edy Natar ini dan saya yakin beliau mampu berbuat untuk masyarakat tempatan yang selama ini tak diperhatikan oleh perusahaan perkebunan," ujarnya.

Kembali seperti disebutkan Marganda Simamaora dalam penilaiannya masih adanya perusahaan sawit beroperasi di Riau kangkangi aturan ini hingga berujung dilakukan pemutihan sawit ilegal, menurutnya praktik itu dinilai langkah buruk pemerintah melakukan tata kelola sawit yang memperparah kejahatan lingkungan.

SALAMBA melihat cara melakukan penertiban dalam kebijakan pemutihan perusahaan sawit ilegal terkesan panas-panas taik ayam. Praktik buruk pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup semakin nyata terlihat.

Menurutnya, kebijakan disusun untuk memuluskan serangkaian aktivitas yang ilegal menjadi legal. Hal ini terlihat dalam agenda pemutihan kebun kelapa sawit yang terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar di seluruh Indonesia.

Pemerintah menunjukkan betapa minimnya komitmen negara untuk melindungi lingkungan hidup, memberantas kejahatan lingkungan hidup, memberantas korupsi, dan menempatkan keberpihakannya kepada rakyat.

"Kebijakan tersebut bahkan melindungi kejahatan lingkungan berulang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit."

Menurutnya, terdapat total luas sekitar 3.118.804 hektar tanaman kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan di Indonesia.

Setengahnya merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mana terdapat lebih dari 600 perusahaan yang masing-masing mengusahakan lebih dari 10 hektar di dalam kawasan hutan.

Sawit tersebut ditanam di atas lahan hutan dengan fungsi sebagai hutan konservasi dan lindung dengan luasan berturut-turut mencapai 90.200 hektar dan 146.871 hektar.

Berdasarkan data KLHK turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan.

"Sepuluh grup teratas yang menanam sawit di dalam kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High."

“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah–termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi–karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum,” kata Marganda Simamora menyikapinya.

"Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan."

"Kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan," kata dia.

Dia menilai, pada konteks ekologi, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut [KHG] akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan [karhutla] beserta dampak ekologis yang menyertainya.

Hasil pantauanya [2023] mengidentifikasi bahwa dari total 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 hektar [sekitar 13-14%] berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut [KHG], yang mana, sebanyak 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang [medium risk] dan 27% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi [high risk].

"Sebanyak 91,64% pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya tidak ditemukan titik implementasi restorasinya di lapangan."

SALAMBA menyampaikan; berdasarkan pantauanya, dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area Kesatuan Hidrologis Gambut [KHG], hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya, sedangkan sisa 27 [84%] perusahaan lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

"Ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko Karhutla, khususnya pada ekosistem gambut," terangnya.

Tetapi pihak pemerintah [KLHK] sendiri melihat grup-grup yang teridentifikasi memiliki keterkaitan dengan perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan merupakan pemain besar dalam industri kelapa sawit Indonesia.

Terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia.

Data menunjukkan bahwa dari 3,9 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit, sebagian besar penguasaan lahan adalah oleh Sinar Mas [14%], Salim [8%], Jardine Matheson [7%], Wilmar [6%], dan Surya Dumai Grup [5%]. Grup-grup perusahaan tersebut, disokong oleh pembiayaan besar dari lembaga jasa keuangan.

Sinar Mas dibiayai oleh berturut-turut Banco de Sabadell dan ABN AMRO memberikan corporate loan sebesar 17,5 juta USD atau setara dengan Rp247,9 milyar.

Selain itu, Bank Central Asia [BCA] dan Bank Sinar Mas turut membiayai Sinar Mas. Grup lainnya, Wilmar, dibiayai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation melalui skema revolving credit facility sebesar 24,6 juta USD pada 2018 atau setara Rp348,5 milyar, yang mana pada tahun-tahun berikutnya, melalui lembaga pembiayaan yang sama masih mendapatkan fasilitas kredit dan investasi.

Menariknya, lembaga jasa keuangan penyedia dana pensiun di Malaysia, Employees Provident Fund, membiayai Genting Grup yang turut diuntungkan dalam agenda pemutihan hingga sebesar 110,1 juta USD pada tahun 2022 yang senilai dengan Rp.1,7 triliun.

Menyinggung soal beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan merupakan perusahaan sawit yang berulangkali terlibat dalam kejahatan lingkungan berupa kebakaran hutan dan lahan, menurut Marganda Simamora, itu merupakan agenda yang diklaim mengarah pada peningkatan penerimaan negara.

Jadi menurutnya, pemutihan ini, jelas, adalah bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan, dan penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang bahkan terlibat dalam kejahatan lingkungan [karhutla]. (*)

Tags : Yayasan Sahabat Alam Rimba, SALAMBA, Penertiban Kebun Sawit Ilegal, Riau, Praktik Buruk Tata Kelola Sawit di Riau, Kejahatan Lingkungan,