Nasional   2023/11/16 18:1 WIB

Presiden Joko Widodo akan Bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Apakah Bisa untuk Hentikan Serangan Israel ke Gaza?

Presiden Joko Widodo akan Bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Apakah Bisa untuk Hentikan Serangan Israel ke Gaza?
Jokowi akan bertemu dengan Biden.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo diutus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Senin (13/11) untuk mendesak AS agar mendorong Israel menghentikan serangan ke Jalur Gaza. Apakah akan berhasil?

Pengamat hubungan internasional dari Universitas BINUS, Tia Mariatul Kibtiah, menilai keberhasilan Jokowi untuk mendesak Biden berada di angka kemungkinan 50-50.

Tia menganggap desakan masyarakat di AS akan lebih berpengaruh, terutama karena AS akan menggelar pemilu. Alhasil, para politikus akan berupaya keras menarik simpati warga.

Melihat dinamika politik kawasan dan dalam negeri AS, Tia memperkirakan Indonesia setidaknya dapat meloloskan sejumlah poin tuntutan OKI yang tertuang dalam resolusi pertemuan luar biasa blok tersebut di Riyadh, Arab Saudi, pada akhir pekan lalu.

Namun, pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, pesimistis dinamika politik saat ini dapat menggoyang posisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk kemudian memenuhi tuntutan OKI.

Salah satu tuntutan terbesar OKI adalah agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang bisa menghentikan serangan Israel.

"Menuntut Dewan Keamanan untuk mengambil resolusi yang tegas dan mengikat yang memberlakukan penghentian agresi," demikian resolusi OKI yang diunggah di situs resmi mereka.

Mereka menegaskan bahwa kegagalan DK PBB mengeluarkan resolusi selama ini merupakan "keterlibatan yang memungkinkan Israel melanjutkan agresi brutalnya."

Selain itu, OKI juga menuntut komunitas internasional menghentikan pengiriman senjata ke Israel yang nantinya dapat digunakan untuk membunuh warga Palestina.

Mereka juga mendesak Israel berhenti mengepung Jalur Gaza serta mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah tersebut.

OKI juga meminta Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) merampungkan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel di Palestina.

Blok tersebut juga mendesak Israel menghentikan semua tindakan ilegal yang melanggengkan penjajahan, khususnya perluasan pemukiman, penyitaan tanah, dan pengusiran warga Palestina dari rumah.

Lebih jauh, OKI mendesak pengadaan konferensi internasional untuk mencari solusi permanen terhadap konflik Israel-Palestina. Mereka meyakini two-state solution masih menjadi opsi terbaik.

Untuk menggemakan seruan ini ke dunia, OKI memberikan mandat kepada menteri luar negeri Indonesia, Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, Turki, dan Nigeria segera bergerak menggencarkan diplomasi.

Tia Mariatul Kibtiah menilai peluang Jokowi berhasil melobi Biden masih "setengah-setengah", apalagi jika berkaca pada rekam jejak AS yang tak pernah meninggalkan Israel.

"Melihat sejarah panjang bagaimana AS selalu mendukung penuh Israel, saya melihat setengah-setegnah antara AS mendengarkan Indonesia dan menerima poin-poin yang ada di OKI, atau hanya menerima beberapa poin," tutur Tia pada media.

Ia lantas membeberkan sejumlah poin yang punya kans besar untuk diterima Biden, salah satunya seruan untuk memudahkan akses bantuan internasional.

"Untuk jangka yang sedikit lebih panjang, mungkin ceasefire [gencatan senjata] bisa lebih cepat dari yang diperkirakan, tergantung kepiawaian kita nanti berdiplomasi," ucap Tia.

"Saya tidak yakin kalau sampai free Palestine, tapi kalau sampai ceasefire, mungkin berhasil."

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, pesimistis diplomasi Jokowi bakal berhasil, mengingat kebijakan mendasar AS yang memang pro-Israel.

"Harus diakui kalau upaya kolektif, kemungkinannya akan lebih besar untuk menekan Israel.

"Namun, harus diingat lagi bahwa presiden AS punya tanggung jawab terhadap konstituen negara mereka sendiri, entah itu pemilih mereka maupun kepentingan politik negaranya," katanya.

Tia memandang tekanan dalam negeri di AS pun akan lebih berpengaruh ketimbang diplomasi Jokowi, terutama karena para politikus AS harus sudah mulai memasang strategi menarik suara rakyat menjelang pemilihan umum tahun depan.

Sejak konflik memanas dan serangan Israel ke Jalur Gaza kian membeludak, mulai muncul gelombang warga AS yang menyuarakan dukungan bagi Palestina.

Tia memandang pemerintah AS bisa saja melunak jika terus digerus protes warga, seperti yang terjadi di Inggris dan Prancis.

"Tekanan publik di Inggris, misalnya, perdana menterinya yang awalnya sangat keras, sekarang mulai lemah. [Presiden Prancis, Emanuel] Macron bahkan mendeklarasikan untuk gencatan senjata," kata Tia.

Ia melihat situasi serupa bisa terjadi di AS yang masyarakatnya sangat demokratis. Menurut Tia, kondisi politik di AS dan negara Barat lainnya juga saat ini sudah mulai bergeser, terutama setelah gelombang imigran korban konflik di berbagai belahan dunia mulai menerjang negara mereka.

Gelombang imigran ini meningkatkan kesadaran publik atas kesetaraan. Pada akhirnya, publik akan terus mendesak kesetaraan.

"Ini menyebabkan voters di negara-negara Barat dan Amerika berubah. Kondisi politiknya berubah. Kalau publik terus menekan ini, bisa jadi melemah juga negara-negara ini, ditambah dengan kunjungannya Pak Jokowi," tutur Tia.

"Jadi tekanan publik semakin keras, Pak Jokowi datang. Timing-nya tepat. Akhirnya ceasefire yang didapatkan oleh Indonesia."

Kishino Bawono juga mengamini kemunculan gelombang masyarakat AS yang mendukung Palestina, tapi ia tetap pesimistis.

"Memang sudah mulai ada suara-suara pro-Palestina, tapi itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan kelompok-kelompok yang pro-Israel," kata Kishino kepada BBC News Indonesia.

Kishino juga membahas pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, yang sempat mengkritik serangan Israel membunuh warga sipil di Jalur Gaza. Menurutnya, pernyataan Blinken itu juga tak bertaring.

"Ujung-ujungnya hanya pernyataan. Pernyataan itu kalau tidak didukung dengan misalnya, penghentian bantuan terhadap Israel, ya itu cuma seperti orang tua yang bicara ke anaknya, 'Nak, jangan dilakukan dong,' tapi masih memberikan uang saku untuk si anak itu melakukan hal yang salah lagi," katanya.

Jika berkaca pada sikap AS selama ini, Kishino bahkan pesimistis AS bakal bisa mendesak Israel melakukan gencatan senjata.

Menurutnya, solusi paling realistis adalah AS kembali menyerukan penghentian pertempuran sementara, tapi dengan bahasa yang diperhalus seperti sebelumnya, yaitu jeda kemanusiaan.

Pada pekan lalu, AS memang sempat mengumumkan bahwa Israel berjanji bakal memberikan jeda penghentian serangan militer selama empat jam setiap harinya agar warga sipil dapat bergerak.

"Sudah ada desakan dari AS, tapi bahasanya bukan gencatan senjata. Mereka tidak mau menunjukkan kelemahan. Mereka masih mau menunjukkan agresivitas," tutur Kishino.

Kishino ragu Israel bakal patuh kalaupun AS menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza, apalagi jika melihat sikap Netanyahu yang acap kali tutup kuping.

"Kita harus melihat pemerintahannya Netanyahu itu dari zaman dulu, apalagi dari era 2000-an, dia lebih berani untuk tidak mendengar tuntutan dari AS. Makanya, dia juga sempat ribut dengan Obama. Dia lebih cocok dengan Trump. Dia juga enggak terlalu dekat dengan Biden," ujarnya.

Sikap Netanyahu ini tak lepas dari sentimen di Israel yang sejatinya masih mendukung kebijakan Zionis, yaitu menolak pembentukan negara Palestina.

Jika dilihat dari sejarah pemilu Israel saja, koalisi yang akhirnya berkuasa pasti disokong kelompok-kelompok anti-Palestina. Kekuatan pemerintahan Netanyahu saat ini juga sangat ditentukan oleh dukungan partai-partai sayap kanan.

"Kalau sekarang Netanyahu mau mengubah image-nya dia menjadi lebih lunak, kalkulasi politiknya, kalau dia melakukan itu bisa jadi dia bunuh diri politik," tutur Kishino.

Ia lantas menarik contoh kasus ketika mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, berubah haluan dari awalnya keras terhadap Israel, tiba-tiba mencanangkan Disengagement Plan Implementation Law untuk Jalur Gaza.

Regulasi itu secara umum mencabut seluruh kehadiran Israel di Jalur Gaza, mulai dari menutup pemukiman Yahudi hingga menarik pasukan mereka dari kawasan tersebut.

"Itu yang membuat karier politik Ariel Sharon itu bubar di depan kelompok sayap kanan Israel.

"Ariel Sharon kemudian mendapatkan dukungan dari kelompok sayap kiri yang lebih lunak dan diplomatis, tapi dari kelompok sayap kanan bubar total," ucap Kishino.

Jika dilihat dari dukungan masyarakat, sikap keras Netanyahu menghadapi Hamas juga sempat membuat popularitasnya meroket. Namun kini, popularitas Netanyahu kembali merosot.

"Setelah sekarang 11.000 meninggal, baru turun lagi [popularitas Netanyahu] karena warga Israel melihat protes-protes di dunia. Mereka melihat, mereka seolah terisolasi dari pergaulan dunia. Akhirnya mereka ikut dan menuntut Netanyahu turun," kata Tia.

Namun, Tia tak yakin riak suara rakyat Israel ini mampu menumbangkan pemerintahan Netanyahu. Menurutnya, rakyat Israel pada dasarnya masih menginginkan negara Palestina tak terwujud.

"Saya tidak yakin kalau sampai Netanyahu turun karena mereka (rakyat Israel) juga sebetulnya senang dengan kebijakan Netanyahu itu, tapi ini karena gerakan di dunia ini besar, mereka atas nama kemanusiaan mendesak Netanyahu turun," tuturnya.

Melihat kemelut berkepanjangan ini, Tia dan Kishino sama-sama pesimistis dunia internasional dapat mengandalkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencari solusi konflik Israel-Palestina.

Sebagai sekutu Israel, AS selalu memveto segala resolusi DK PBB yang merugikan negara Zionis itu. Menurut Kishino, saat ini dunia setidaknya dapat mendesak AS mengubah sedikit kebijakannya terhadap Israel.

"Berubahnya itu tidak harus secara total mendukung Israel. Masih mendukung Israel, tapi lebih mengekang bagaimana conduct-nya Israel di Gaza, mengekang cara bertindaknya. Bagaimana caranya? Aksi kolektif," katanya.

Aksi kolektif ini bisa juga datang dari OKI. Namun, aksi tersebut harus benar-benar diwujudkan dalam tindakan konkret.

"Yang paling bisa mungkin sanksi ekonomi, misalnya tidak mau dagang dengan wording apa pun, seperti embargo. Karena kalau cuma ngomong doang, tidak ada efeknya.

"Perlu tekanan yang lebih konkret, seperti tidak mau dagang, pembekuan normalisasi, pembekuan hubungan diplomatik," ucap Kishino.

Selain membicarakan masalah Israel-Palestina, Jokowi juga membawa misi lain dalam pertemuan dengan Biden, yaitu peningkatan kerja sama ekonomi dan bisnis.

Agenda itu diperkirakan bakal mencakup pembahasan impor produk turunan nikel dan mineral penting lainnya untuk kendaraan listrik dari Indonesia.

Tiga sumber yang mengetahui mengenai pembahasan itu mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Indonesia dan AS memang sedang menggodok kemungkinan kerja sama di bidang mineral penting tersebut.

Seorang sumber mengatakan bahwa AS sendiri masih masih mengkhawatirkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola tambang nikel di Indonesia.

Biden pun dilaporkan masih terus mengkaji bagaimana kesepakatan dengan Indonesia bisa berjalan.

Seorang sumber lainnya mengungkap AS dan Indonesia bakal mengumumkan rencana yang akan dipersiapkan untuk negosiasi lebih lanjut.

Selain itu, Biden dan Jokowi juga bakal menyepakati sederet kerja sama di bidang pertahanan, termasuk keamanan siber, ruang angkasa, latihan bersama, hingga terkait ancaman nuklir. (*)

Tags : Islam, Israel-Palestina, Joko Widodo, Amerika Serikat, Politik, Timur tengah, Indonesia, Dunia Arab, Joe Biden, Israel, Palestina,