Sorotan   2023/02/24 16:55 WIB

Sejumlah Aktivis dan Petani Mengeluhkan Peraturan Pemerintah Terkait Bank Tanah, 'yang Sepertinya Terjadi Pertarungan si Kecil dan si Besar'

Sejumlah Aktivis dan Petani Mengeluhkan Peraturan Pemerintah Terkait Bank Tanah, 'yang Sepertinya Terjadi Pertarungan si Kecil dan si Besar'
Ilustrasi

"Sejumlah aktivis dan masyarakat mengeluhkan Peraturan Pemerintah terkait Bank Tanah yang dinilai kebijakan tersebut merampas hak milik tanah petani dan masyarakat adat"

enolakan aktivis dan petani terhadap Peraturan Pemerintah terkait disebutkan bank tanah ini dinilai sudah 'merugikan masyarakat'. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP 64/2021) dianggap melanggar hukum dan mengancam penghidupan petani di Indonesia.

Sejumlah aktivis menilai sepertinya Bank Tanah sudah terjadi pertarungan si kecil dan si besar. Tetapi tuduhan itu dibantah Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmaja.

Dia mengeklaim peraturan itu dibuat demi "menyejahterakan rakyat".

Begitupun Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya menilai, tanah milik masyarakat adat dan petani sampai saat ini "masih sulit menerima sertifikasi".

Sementara, Bank Tanah disebutnya dapat mengalih-fungsikan tanah terlantar ataupun tanah dengan hak guna usaha yang kadaluwarsa. 

Maka, kepemilikan tanah masyarakat akan menjadi semakin rumit, ujar Benni.

“Ketika tanah itu sudah diklaim sebagai aset bank tanah berarti masyarakat ini sudah tidak punya hak lagi untuk mengklaim bahwa itu tanah mereka milik mereka,“ kata Benni Wijaya pada media, Minggu (19/2).

Ujang Uskadiana, petani transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, khawatir tanah yang sudah ia perjuangkan untuk diakui selama 10 tahun lebih, akan kelak menjadi aset Bank Tanah.

“Dengan Bank Tanah, wah makin sulit, makin akan terhempaskan. Pemerintah sekarang, para penguasa, hanya nol koma sekian, tidak 1% memikirkan rakyat untuk sejahtera kalau menurut saya,“ kata Ujang.

Pada Rabu 15 Februari 2023 kemarin, sebanyak 10 organisasi petani dan lingkungan hidup melayangkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP 64/2021) dianggap melanggar hukum dan mengancam penghidupan petani di Indonesia.

Secara hukum, PP Badan Bank Tanah dinilai bermasalah karena merupakan turunan dari draf Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tak hanya itu, PP Badan Bank Tanah juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 30 Tahun Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, Badan Bank Tanah diberi kewenangan khusus untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria di masa lalu yang memberikan manfaat di masa yang kan datang.

Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmaja mengatakan bahwa pihaknya bersedia mengikuti proses hukum terkait gugatan yang dilayangkan 10 organisasi tersebut.

“Mengenai gugatan terhadap PP Badan Bank Tanah, kami menghormati hak setiap orang untuk menggunakan jalur hukum. Oleh karena itu, kami akan ikuti proses judicial review yang akan berlangsung di MA,“ kata Parman.

Petani dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar unjuk rasa pada Hari Petani. 

Tentang tudingan bahwa aturan Bank Tanah tidak berpihak pada petani, ia mengatakan hal tersebut tidak benar. Sebab, peraturan itu dibuat dengan tujuan menyejahterakan rakyat.

Para petani khawatir tanah mereka akan hilang

Ujang Uskadiana, petani transmigrasi asal Yogyakarta mengaku dirinya dan para petani lainnya masih berjuang untuk mendapatkan lahan yang dijanjikan pemerintah selama lebih dari 10 tahun.

Ia mengatakan para warga transmigrasi yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali baru mendapatkan seperempat dari total lahan pertama 7.500 hektare dan lahan kedua pun belum mereka terima

“Ada yang kurang, ada yang belum kebagian. Kalau lahan dua malah belum terimpikan, di tempat saya, Konawe Selatan ada berapa unit transmigrasi ada berapa ratus kepala keluarga,” ujarnya, pada Kamis (19/2).

Ia dan para petani lainnya masih terlibat sengketa tanah dengan sebuah perusahaan sawit yang menetapkan lahan tersebut sebagai milik mereka.

Sementara, Ujang dan para petani belum mendapatkan sertifikasi lahan dari pihak pemerintah.

“Kalau perkebunan sawit datang membawa alat besar berat dikawal Brimob, kami menjerit menangis air mata tidak ada yang menolong. Jadi pemerintah di mana, keamanan di mana. Keadilan itu tidak ada,” ungkap Ujang.

Ia khawatir dengan adanya Bank Tanah, lahan yang sudah lama ia nantikan akan hilang dalam sekejap. Sebab, ia meyakini perusahaan sawit dapat dengan mudah mengambil lahan tersebut setelah menjadi aset negara.

“Bank Tanah itu justru persediaan untuk korporasi bukan persediaan orang kecil justru. Itu akan merugikan kami petani.

“Kenapa orang didatangkan, tanahnya sudah ada tapi orangnya datang dan tanahnya diserobot,” keluhnya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nur Uddin, mengatakan bahwa seharusnya Bank Tanah memprioritaskan kesejahteraan buruh petani yang tidak punya tanah.

Sebab, sambungnya, tanah sebagai obyek reforma agraria berupa tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

“Kalau dia dimandatkan untuk reforma agraria maka tanah-tanah negara yang bekas tanah perkebunan, pertambangan yang habis konsesi, tanah swasta yang terlantar, itu harus diprioritaskan untuk masyarakat kami,” tungkasnya.

Menurut pria yang akrab disapa Udin, kebijakan Bank Tanah yang hendak diterapkan pemerintah memberikan negara kewenangan untuk memiliki tanah. Padahal, seharusnya tanah menjadi milik rakyat.

“Padahal harusnya tidak sebesar itu, tapi ini karena didorong investasi. Maka perkembangan investasi itu menunjukkan indikator pertumbuhan ekonomi bagi pemerintah Jokowi.

Apa itu Bank Tanah dan mengapa dianggap tidak konstitusional?

Menurut Undang-Undang nomor 64 tahun 2021, Bank Tanah adalah tanah hasil penetapan pemerintah yang terdiri atas tanah bebas hak, tanah telantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, dan tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.

Pengelolaan bank tanah akan diatur oleh Badan Bank Tanah, yakni sebuah badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah.

Berdasarkan rilis pada situs resmi Kementerian Keuangan, tertera bahwa pemerintah mengharapkan Bank Tanah dapat memenuhi keperluan negara atas tanah.

Artinya, tanah tersebut dapat digunakan untuk pembangunan proyek strategis nasional berupa jalan tol, waduk, bendungan atau untuk pembangunan infrastruktur lainnya.

Badan Bank Tanah

Angka kekurangan (backlog) rumah di Indonesia masih cukup besar. Ironisnya, jumlah itu setiap tahun terus dan terus bertambah. Banyak persoalan yang menganggu terpenuhinya kebutuhan hunian bagi masyarakat tersebut.

Beberapa diantaranya merupakan masalah klasik yang seakan sulit sekali untuk diselesaikan. Seperti keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan.

Pertumbuhan populasi penduduk turut memacu kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Di sisi lain, Tuhan sudah berhenti menciptakan tanah, sehingga harganya pun terus melambung terlebih di daerah-daerah yang sudah dibangun infrastruktur yang baik.

Kesulitan memperoleh tanah dengan harga terjangkau untuk pembangunan rumah rakyat sudah dikeluhkan cukup lama oleh pengembang, sehingga tak ayal kehadiran bank tanah (land bank) sudah lama dinanti-nanti.

Namun penantian yang cukup lama itu sepertinya segera terbayarkan. Soalnya pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) sedang menggodok Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pembentukan Badan Pengelola Bank Tanah Nasional atau Batanas.

Saat ini payung hukum bank tanah di Indonesia sedang dibahas ditingkat Menko Perekonomian, dan ditargetkan sebelum akhir tahun ini rampung, sehingga bisa beroperasi pada 2018.

“Draf perpres-nya sudah selesai dan telah diserahkan ke Kemenko Perekonomian. Tinggal harmonisasi dan koordinasi lintas sektoral saja dengan enam kementerian yang terlibat, sehingga dalam waktu dekat diharapkan sudah keluar perpresnya,” ungkap Ketua Tim Teknis Pembentukan Bank Tanah, Himawan Arief Sugoto.

Yang penting, kata dia, secara prinsip tujuan pembentukan bank tanah ini dimengeti dan seluruh kementerian terkait tidak keberatan. Himawan menambahkan, nantinya BP Bank Tanah akan bertindak sebagai land keeper, land purchaser, dan land distributor. Tata kelolanya diajukan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU).

Lahan pertanian warga

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan dengan angka backlog yang cukup besar, memang sudah waktunya konsep bank tanah direalisasikan. Bahkan, ungkap dia, pembentukan bank tanah di Indonesia sudah jauh terlambat dibandingkan negara-negara tetangga.

“Seharusnya sudah sejak dahulu di Indonesia ada bank tanah. Bahkan idealnya setiap pemerintah daerah punya bank tanah sehingga memudahkan dalam melakukan pembangunan infrastruktur termasuk rumah rakyat,” kata Ali.

IPW mendorong bank tanah ini dapat terwujud sebagai pengendali harga tanah di pasaran untuk keperluan penyediaan rumah menengah bawah.

Mengenai aset tanah untuk bank tanah, menurut dia, dapat dimulai dari yang paling mudah yakni tanah-tanah idle milik negara, pemerintah daerah, BUMN, atau BUMD. Namun butuh payung hukum yang jelas sehingga status aset tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Pentingnya pembentukan bank tanah untuk mendukung sisi suplai pembangunan rumah rakyat diakui juga oleh Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Syarif Burhanuddin.

Dia menyebutkan, dengan adanya bank tanah maka pengembang tidak lagi susah mencari lahan untuk pembangunan rumah rakyat bersubsidi, karena ketersediaan tanah yang terjangkau lebih terjamin. 

“Dengan adanya bank tanah pemerintah memiliki kontrol sehingga tidak terjadi gejolak harga tanah. Dengan demikian, salah satu kendala dalam penyediaan rumah rakyat bisa teratasi,” ungkap Syarif kepada wartawan, dalam sebuah acara diskusi.

Kini, kehadiran satu badan pengelola bank tanah tinggal menunggu waktu. Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil bahkan menegaskan dirinya akan mengawal terbentuknya Batanas yang ditargetkan dapat beroperasi tahun depan. Hal ini, kata dia, merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menekan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia yang selama ini sudah terjadi.

Menurut dia, secara teori negara menguasai seluruh tanah, namun praktiknya tidak ada lembaga negara yang mengelola tanah untuk kepentingan publik.

Tetapi masalah pertanahan di Indonesia begitu beragam, mulai dari tidak terkendalinya alih fungsi lahan hingga harga tanah yang semakin tinggi. Permasalahan tanah ini seringkali menghambat pembangunan.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berusaha hadir dari sisi penyediaan, yaitu berusaha menyediakan tanah untuk kepentingan yang lebih berkeadilan.

Seperti yang dipaparkan Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto pada Rapat Kerja ke-2 The HUD Institute via pertemuan daring.

Himawan Arief Sugoto menjelaskan bahwa masalah pertanahan dan kebutuhan akan tanah berdampak pada kesenjangan pembangunan. Beberapa masalah di antaranya yakni keterbatasan tanah untuk pembangunan, terjadi ketimpangan kepemilikan tanah sehingga harga tanah tidak terkendali dan terdapat banyak potensi tanah _idle_ atau terlantar yang belum dioptimalkan.

“Di sini perlunya peran pemerintah untuk menguasai, mengendalikan dan menyediakan tanah bagi kepentingan pembangunan dan pemerataan ekonomi,” tutur Sekjen Kementerian ATR/BPN.

Menurut Amanat Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), peran Badan Bank Tanah diperlukan dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja sehingga dibuatlah PP No. 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.

Sekjen Kementerian ATR/BPN berkata bahwa Badan Bank Tanah berada di bawah Presiden dan melalui komite Bank Tanah yang terdiri dari Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

“Melalui Badan Bank Tanah, Pemerintah memiliki tanah cadangan strategis, mengontrol penguasaan tanah dan menyediakan tanah untuk pembangunan,” tuturnya.

Meski begitu, Badan Bank Tanah termasuk ke dalam lembaga _sui generis_, yakni badan hukum Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU untuk melaksanakan sebagian kewenangan khusus untuk pengelolaan pertanahan secara independen dan fleksibel. “Badan Bank Tanah tidak _profit oriented_ seperti halnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara-Red),” tambahnya.

Hal ini terjadi karena berdasarkan PP No. 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah Pasal 2 Ayat 4, disebutkan bahwa Kekayaan Bank Tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Juga tercantum pada Pasal 4 PP Bank Tanah yang disebutkan bahwa Bank Tanah bersifat transparan, akuntabel dan non profit.

Non profit di sini adalah pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaran Bank Tanah digunakan untuk pengembangan organisasi dan tidak membagikan keuntungan kepada organ Bank Tanah.

Nantinya, menurut Himawan Arief Sugoto bahwa ketersediaan tanah akan direncanakan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan serta reforma agraria dan keadilan pertanahan.

Tanah yang diperoleh pun bermacam-macam, mulai dari tanah hasil penetapan pemerintah seperti tanah bekas hak, kawasan tanah telantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah dari pihak lain seperti pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD melalui pembelian, penerimaan hibah/sumbangan, tukar menukar, pelepasan hak dan bentuk lainnya yang sah.

Sebagai tambahan, Himawan Arief Sugoto berkata bahwa Badan Bank Tanah berdiri bukan sebagai pengguna tanah, namun penyedia tanah. Nantinya, tanah akan berstatus Hak Pengelolaan (HPL). “HPL itu hak menguasai dalam bentuk pengelolaan, bukan Hak Atas Tanah (HAT),” tutupnya.

Lain halnya seperti disebutkan Iwan Nurdin, Direktur Lokataru Foundation, kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ikut menggugat PP Bank Tanah, mengatakan aturan tersebut tidak sah secara hukum.

Sebab, Bank Tanah dibuat berdasarkan UU Cipta Kerja, yang dianggap batal setelah melalui uji formil Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, sebenarnya tidak boleh ada peraturan-peraturan turunan yang bersifat strategis yang merujuk kepada UU Cipta Kerja.

“Ternyata pemerintah melanjutkan dengan membuat Perpres Kelembagaan Bank Tanah kemudian Perpres Permodalan Bank Tanah, mengacu pada PP tentang Bank Tanah yang PP tersebut mengacu kepada UU Cipta Kerja,”

Menurut Iwan, permasalahan sengketa tanah yang dirasakan masyarakat -di antaranya kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik tanah, ketimpangan kepemilikan tanah serta konflik-konflik agrarian akan menjadi semakin riuh dengan kehadiran Bank Tanah.

“Bank tanah itu dimandatkan seolah-olah hendak menjalankan reforma agraria. Reforma agraria itu bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria dan menyelesaikan ketimpangan kepemilikan tanah yang terjadi.

“Bukan melalui prosedur pengadaan tanah yang dilakukan oleh Bank Tanah,” ujar Iwan, Minggu (19/2).

Ia mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah dan dunia usaha – khususnya sektor tambang, sawit, dan perhutanan- begitu mudah mendapatkan tanah.

Sementara, sambungnya, petani, kelompok adat dan masyarakat pada umumnya masih kesulitan mendapatkan hak milik tanah.

“Sementara rakyat yang dijanjikan reforma agraria ataupun perhutanan sosial atau dijanjikan hutan adat itu begitu susah mendapatkan akses kepada tanah,” kata Iwan.

Senada, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria, Benni Wijaya, mengatakan argumentasi pemerintah mengapa perlu ada Bank Tanah sebetulnya tidak tepat.

Sebab, lebih mudah bagi pemerintah dan usaha untuk memperoleh tanah sedangkan proses distribusi tanah hak masyarakat itu belum berjalan baik sampai saat ini.

“Banyak tanah-tanah masyarakat adat, petani yang memang sangat susah mendapatkan pengakuan. Kalau Bank Tanah ini ada, otomatis tanah yang belum diberikan sertifikat hak milik itu kan akan diklaim langsung oleh Bank Tanah itu sendiri,” ungkap Benni.

Secara prinsip, katanya, Bank Tanah berfokus pada pengadaan tanah, sementara reforma agraria lebih terpaku pada perombakkan penguasaan tanah. Sehingga, keduanya memiliki prinsip berbeda.

“Ini akan terjadi pertarungan antara si kecil dan si besar tadi itulah. Seperti kami tahu, terjadi konflik kepentingan antara tanah yang seharusnya menjadi target redistribusi tanah untuk reforma agraria sekarang diolah lagi menjadi Bank Tanah,” tungkas Benni.

Terkait gugatan yang dilayangkan KPA dan 9 organisasi lainnya kepada MA, Benni mengatakan bahwa ada tiga PP dan satu Perpres yang mereka gugat.

Pertama adalah PP nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang mereka gugat pada Senin lalu (13/2). Kemudian, pada Jumat 17 Februari 2023 mereka mendaftarkan gugatan PP nomor 124 tahun 2021 tentang Modal Bank Tanah.

“Nanti ada dua gugatan lagi, yaitu PP nomor 113 soal Struktur Bank Tanah, dan PP nomor 61 tentang Penambahan Modal Bank Tanah. Jadi ada 4 gugatannya,” sebut Benni.

Pemerintah menyebut Bank Tanah tujuannya menyejahterakan rakyat.

Terkait gugatan yang dilayangkan 10 kelompok agraria dan LSM, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmaja, mengatakan bahwa pihaknya bersedia mengikuti proses hukum.

“Mengenai gugatan terhadap PP Badan Bank Tanah, kami menghormati hak setiap orang untuk menggunakan jalur hukum. Oleh karena itu, kami akan ikuti proses judicial review yang akan berlangsung di MA,“ kata Parman.

Saat ditanya tentang tudingan bahwa aturan Bank Tanah tidak berpihak pada petani, ia mengatakan hal tersebut tidak benar. Sebab, peraturan itu dibuat dengan tujuan menyejahterakanrakyat.

Papan yang diletakkan warga transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara belum menerima lahan yang dijanjikan Pemerintah Daerah Konawe Selatan

“Badan Bank Tanah didirikan dengan tujuanan yang mulia, berpihak kepada rakyat, memberikan lapangan pekerjaan yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat,“ ujar Parman.

Kepala Bagian Humas Badan Bank Tanah, Ayu Tri Rahayu, membantah anggapan bahwa Badan Bank Tanah merampas hak tanah masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa Bank Tanah diciptakan dengan tujuan membantu ekonomi negara.

"Badan bank tanah memperoleh tanah dari pemerintah, bukan dari masyarakat. Proses perolehannya sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Badan bank tanah dibentuk berdasarkan UU dengan tujuan mengelola tanah supaya dapat mewujudkan ekonomi berkeadilan dan menciptakan lapangan kerja," ungkap Ayu.

Pada tahun lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, mengatakan, Bank Tanah dapat mengakomodasi kebutuhan buruh tani dalam memanfaatkan tanah tersebut.

Selain itu, katanya, Bank Tanah dapat menjadi cara dalam merealisasikan harapan Presiden Jokowi dalam menghadapi krisis pangan. (*)

Tags : Bank Tanah, Aktivis Mengeluhkan Peraturan Pemerintah Terkait Bank Tanah, Pertarungan si Kecil dan si Besar, Pemerintah Keluarkan Aturan Bank Tanah,